Selasa, 08 Maret 2011

98. Tingkat Kerusakan Ekonomi Hama Kepik Coklat pada Kedelai


Arifin, M. dan W. Tengkano. 2008. Tingkat kerusakan ekonomi hama kepik coklat pada kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 27(1): 47-54.

Muhammad Arifin1 dan Wedanimbi Tengkano2
1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi 
dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor
2 Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang


ABSTRACT.  Economic Injury Level for The Bean Bug, Riptortus linearis (L.) on Soybean. Decision-making of pest control based on the economic injury level (ElL) was a judicious step to suppress a high risk of the expensive production cost and environmental disturbance. This experiment was conducted to determine the EIL value for the bean bug as a criterion for decision making of pest control using insecticides. The EIL value was determined by the break-even point principle of the pest control, i.e., a balance between the yield loss due to pest control action and cost of the pest control. The results indicated that soybean yield losses due to the bean bug at different bean bug stadia and plant growth stages could be expressed in a linier regression model: y = - 0.007 + 1.746 x (y= yield loss (%); x= bean bug population (bugs/10 hills). At a population range of 0 to 8 bean bugs/10 hills, the higher the population, the higher the yield loss. The EIL value for the bean bug at different bean bug stadia and plant growth stages were expressed in a multiple regression equation: y = 2.328 + 0.008 x1 - 0.717 x2 [y= the EIL value (bugs/10 hills); x1= cost of the
pest control (x Rp 1,000/ha); x2= soybean price (x Rp 1,000/kg). If the cost to control the pest at different plant growth stages was Rp 240,000/ha and the soybean price was Rp 3,000/kg, then the EIL value for the bean bug was 2.1 bugs/10 hills.
Keywords: Bean bug, soybean, economic injury level

ABSTRAK. Pengambilan keputusan pengendalian hama berdasarkan tingkat kerusakan ekonomi (TKE) merupakan langkah bijaksana untuk mengurangi risiko tingginya biaya produksi dan terganggunya lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai TKE hama kepik coklat sebagai kriteria pengambilan keputusan pengendalian dengan insektisida. Nilai TKE ditentukan dengan menerapkan prinsip impas pengendalian hama, yakni kesetaraan antara nilai kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dan biaya pengendalian hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan hasil kedelai akibat infestasi kepik coklat pada berbagai stadia kepik dan umur tanaman dinyatakan dengan persamaan regresi y = - 0,007 + 1,746 x [y= kehilangan hasil (%); x= populasi kepik coklat (ekor/10 rumpun). Pada kisaran populasi kepik coklat 0-8 ekor/10 rumpun, makin tinggi populasi, makin tinggi pula kehilangan hasil. Nilai TKE kepik coklat pada berbagai stadia kepik dan umur tanaman dinyatakan dengan persamaan regresi berganda y = 2,329 + 0,008 x1 -0,717 x2 [y= nilai TKE (ekor/10 rumpun); x1= biaya pengendalian (x Rp 1.000/ha); x2= harga kedelai (x Rp 1.000/kg)]. Apabila biaya pengendalian kepik coklat Rp 240.000/ha dan harga kedelai Rp 3.000/kg, maka nilai TKE kepik coklat adalah 2,1 ekor/10 rumpun.
Kata kunci: Kepik coklat, kedelai, tingkat kerusakan ekonomi


Kepik coklat Riptortus linearis (L.) (Hemiptera: Alydidae) merupakan salah satu serangga hama kehilangan hasil, bahkan dapat menggagalkan panen pada kedelai. Hama ini menyerang polong muda dan tua sehingga polong dan biji kempis, polong gugur, biji keriput, hitam membusuk, berbercak hitam, dan berlubang. Serangan pengisap polong pada biji menyebabkan daya tumbuh biji berkurang (Tengkano et al. 1992).
Sampai saat ini, pengendalian hama oleh sebagian besar petani didasarkan atas ada atau tidaknya serangan, dan satu-satunya alat pengendali yang tersedia dan siap pakai adalah insektisida. Pengendalian dengan insektisida dilakukan secara berkala, mulai sejak tanaman muda hingga menjelang panen, dengan selang waktu 2 minggu, dan dengan dosis sesuai rekomendasi yang tertera pada kemasan (Marwoto 1992). Cara ini dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain biaya produksi terlalu tinggi dan terganggunya kelestarian lingkungan. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, pengendalian hama dengan insektisida harus didasarkan atas konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Dalam konsep PHT, pengendalian hama merupakan satu kesatuan sistem pengelolaan agroekosistem dengan penekanan pada upaya mengintegrasikan semua teknologi pengendalian yang cocok dan mendorong berfungsinya proses pengendalian alami untuk mempertahankan populasi pada tingkat keseimbangan rendah. Tujuan PHT adalah: (a) menurunkan status hama, (b) menjamin keuntungan pendapatan petani, (c) melestarikan kualitas lingkungan, dan (d) menyelesaikan masalah hama secara berkelanjutan (Pedigo and Higley 1992).
Penggunaan insektisida sebagai sarana pengendalian dibenarkan bila manfaat yang diperoleh dari segi ekonomi sekurang-kurangnya sama dengan biaya pengendalian hama, dan dari segi ekologi, bila komponen ekosistem, baik fisik maupun biologis, tidak mampu menekan populasi hama dan mempertahankannya pada tingkat keseimbangan rendah. Kedua dasar penggunaan insektisida tersebut melahirkan gagasan tentang konsep tingkat kerusakan ekonomi (TKE, economic injury level).
TKE adalah tingkat populasi terendah yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi (economic damage) pada tanaman (Stern et al. 1959). Konsep tersebut telah dikembangkan oleh para pakar sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian hama dengan insektisida secara rasional. Komponen penting dalam menentukan TKE adalah informasi mengenai tingkat kehilangan hasil panen karena serangan hama. Informasi tersebut diperoleh dari model regresi hubungan antara tingkat populasi hama dan persentase kehilangan hasil panen.
Peneltian ini dilakukan berdasarkan pentingnya nilai TKE sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian hama kepik coklat. Tujuannya adalah untuk menentukan nilai TKE kepik coklat pada kedelai.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP) Mojosari, Jawa Timur, pada bulan Juni sampai Desember 2000. Ada 14 seri percobaan infestasi kepik coklat pada beberapa umur tanaman kedelai, masing-masing menggunakan rancangan acak kelompok dengan lima taraf populasi sebagai perlakuan, yakni 0 (kontrol), 2, 4, 6, dan 8 ekor/10 rumpun. Kelima taraf perlakuan tersebut ditentukan berdasarkan perkiraan bahwa nilai TKE kepik coklat berada di antaranya. Tiap perlakuan diulang empat kali. Ke-14 seri percobaan tersebut, yakni: (1) imago pada 42 hari setelah tanam (HST), (2) imago pada 49 HST, (3) nimfa instar III (n3) pada 49 HST, (4) imago pada 56 HST, (5) n3 pada 56 HST, (6) nimfa instar IV (n4) pada 56 HST, (7) imago pada 63 HST, (8) n3 pada 63 HST, (9) n4 pada 63 HST, (10) nimfa instarV (n5) pada 63 HST, (11) imago pada 70 HST, (12) n3 pada 70 HST, (13) n4 pada 70 HST dan (14) n5 pada 70 HST. Tiap petak perlakuan berisi 10 rumpun contoh.
Imago kepik coklat diperoleh dari lapang, kemudian dibiakkan secara alami dengan kacang panjang dalam kurungan kain kasa. Kapas digunakan sebagai tempat imago meletakkan telur. Telur-telur dikumpulkan setiap hari, kemudian dipelihara dalam cawan petri sampai menetas. Untuk mempertahankan kelembaban tinggi, dalam cawanpetri tersebut disediakan sepotong kacang panjang segar. Nimfa yang keluar dari telur dipelihara dalam kurungan plastik milar dan diberi pakan kacang panjang yang telah berisi biji. Pakan diperbaharui tiga hari sekali.
Lahan seluas lebih kurang 3.000 m2 ditanami kedelai varietas Wilis dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm, 3 biji per lubang. Pada saat tanam, tanaman dipupuk urea, SP36, dan KCl, masing-masing dengan takaran 50 kg, 100 kg, dan 75 kg/ha. Pada umur 14 dan 21 HST tanaman diberi pupuk daun 2 g/l air. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 14 dan 30 HST. Pengairan dilakukan sebelum dan sesudah tanam kemudian dilanjutkan 10 hari sekali.
Dua minggu sebelum infestasi serangga, tanaman disemprot dengan insektisida deltametrin 25 g/l untuk mengatasi serangan hama yang tidak diinginkan. Residu penyemprotan insektisida tersebut tidak berpengaruh negatif terhadap kepik coklat yang akan diinfestasikan.

Kehilangan Hasil
Tanaman contoh sebanyak 10 rumpun per perlakuan disungkup dengan kain kasa berukuran 100 cm x 100 cm x 100 cm pada 12 jam sebelum infestasi. Penyungkupan tanaman dimaksudkan agar tidak terjadi serangan hama yang tidak diinginkan. Tanaman dalam sungkup diinfestasi dengan kepik coklat sesuai perlakuan. Sungkup dilepas pada 7 hari setelah infestasi kemudian tanaman disemprot dengan insektisida setiap minggu sampai tanaman berumur 77 HST. Panen dilakukan pada 90 HST.
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah polong, biji terserang, dan bobot biji hasil panen. Data dianalisis dengan sidik ragam, kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Gomez and Gomez 1984). Tingkat kerusakan polong dan atau biji dihitung dengan rumus berikut:
                                  Jumlah polong atau
                                      biji terserang
Tingkat kerusakan  =  ---------------------------  x 100%
polong atau biji (%)      Jumlah polong atau
                                     biji yang diamati
Nilai kehilangan hasil untuk tiap perlakuan dihitung dengan rumus:
            Hp - Hi
KHi  =  ----------  x 100%
               Hp
KHi = persentase kehilangan hasil pada perlakuan i,
Hp = hasil panen potensial yang diperoleh pada kontrol,
Hi   = hasil panen pada perlakuan i.
Model kehilangan hasil untuk hubungan antara populasi serangga dan kehilangan hasil panen pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman dinyatakan dengan persamaan regresi linier (Gomez and Gomez 1984):
y  =  a  +  bx
y = kehilangan hasilpanen,
a  = konstanta regresi,
b  = koefisien regresi,
x  = populasi serangga.
Setelah berbagai persamaan regresi linier tersebut diduga, dilakukan pengujian homogenitas terhadap berbagai koefisien regresinya. Apabila ada dua atau lebih koefisien regresi yang dinyatakan homogen, dibuat satu persamaan regresi yang mewakili beberapa persamaan regresi dengan koefisien regresi yang homogen.

Penentuan TKE
Penghitungan nilai TKE kepik coklat didasarkan atas prinsip titik impas pengendalian hama, yakni kesetaraan nilai antara biaya pengendalian dan kehilangan hasil panen yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama. Urutan langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Penentuan ambang perolehan (gain threshold), yakni kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama, diperoleh dari rumus:
                  BP
AP  =  ----------  x 100%
               HK X E
AP  = ambang perolehan (kg/ha),
BP  = biayapengendalian (Rp/ha),
HK  = harga kedelai (Rp/kg),
E    = efektivitas pengendalian (%).
2. Penentuan persentase kehilangan hasil panen untuk ambang perolehan (langkah 1), diperoleh dari rumus:
                AP
KH  =  -------  x  100%
                PH
KH = kehilangan hasil panen (%),
AP = ambang perolehan (k9ha),
PH = potensi hasil panen di daerah setempat (kg/ha).
3. Penentuan persamaan regresi hubungan antara populasi hama (x) dan persentase kehilangan hasil panen (y) pada berbagai umur tanaman diperoleh dari hasil percobaan mengenai kehilangan hasil panen kedelai akibat infestasi kepik coklat di lapang.
4. Penentuan nilai TKE kepik coklat, diperoleh dengan cara mensubstitusikan nilai y pada persamaan regresi (langkah 3) dengan nilai KH (langkah 2).
Urutan langkah tersebut mengikuti metode yang telah diterapkan oleh Arifin (1994) berdasarkan hasil modifikasi metode Stone dan Pedigo (1970), dengan mempertimbangkan efektivitas pengendalian yang diinginkan (Pedigo and Higley 1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tlngkat Kerusakan Polong dan Biji
Data pengamatan tingkat kerusakan polong dan biji kedelai varietas Wilis yang diinfestasi kepik coklat pada berbagai umur tanaman, stadia serangga, dan populasi serangga disajikan dalam Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kerusakan polong dan biji mulai terjadi setelah tanaman diinfestasi dengan 2 ekor kepik coklat per 10 rumpun. Tingkat kerusakan tertinggi diperoleh setelah tanaman diinfestasi dengan 8 ekor kepik coklat per 10 rumpun.


 Persamaan regresi hubungan antara populasi kepik coklat dan tingkat kerusakan polong memiliki koefisien regresi (r) yang bersifat homogen (P= 0,01) untuk lima perlakuan umur tanaman kedelai varietas Wilis (42, 49, 56, 63, dan 70 HST), tetapi tidak bersifat homogen untuk empat perlakuan stadia serangga (nimfa instar III, nimfa instar IV, nimfa instar V, dan imago). Oleh karena itu, dibuat empat persamaan regresi tunggal dengan koefisien regresi homogen yang mewakili empat stadia serangga tersebut, seperti yang disajikan pada Gambar 1. Keempat persamaan regresi homogen tersebut menunjukkan bahwa pada kepadatan populasi minimum 0 ekor/10 rumpun dan populasi maksimum 8 ekor/10 rumpun (0 ≤ x ≤ 8 ), makin tinggi populasi kepik coklat, makin tinggi pula tingkat kerusakan polongnya. Tingkat kerusakan polong tertinggi terjadi pada perlakuan imago kemudian diikuti oleh perlakuan nimfa instar V dan IV dan yang terendah pada perlakuan nimfa instar III. Perbedaan tingkat kerusakan polong ini disebabkan oleh perbedaan perilaku kepik coklat dalam menghisap polong pada berbagai stadia serangga. Kepik coklat stadia imago bergerak lebih bebas bila dibandingkan dengan stadia nimfa instar V, demikian juga nimfa instar V bergerak lebih bebas dibandingkan dengan nimfa instar IV, dan nimfa instar IV bergerak lebih bebas bila dibandingkan dengan nimfa instar III. Makin leluasa kepik coklat bergerak, makin besar peluangnya menghisap polong dan makin banyak polong yang
dirusak.


Persamaan regresi hubungan antara populasi kepik coklat dan tingkat kerusakan biji pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman kedelai varietas Wilis memiliki beberapa koefisien regresi (r) yang bersifat homogen (P= 0,01). Oleh karena itu, untuk mewakilinya, dibuat persamaan regresi tunggal dengan koefisien regresi homogen, seperti yang disajikan pada Gambar 2. Persamaan regresi homogen tersebut menunjukkan bahwa pada kepadatan populasi minimum 0 ekor/10 rumpun dan populasi maksimum 8 ekor/10 rumpun (0 ≤ x ≤ 8), makin tinggi populasi kepik coklat makin tinggi pula tingkat kerusakan biji.
Pada tingkat populasi yang relatif rendah, kepik coklat mungkin belum mengakibatkan kerusakan polong dan biji, sehingga tidak cukup alasan untuk diberlakukannya tindakan pengendalian. Pada keadaan ini, tanaman biasanya mampu mentolerir tingkat kerusakan rendah, bahkan mampu mengkompensasi kerusakan dengan cara menyalurkan lebih banyak energi ke sumber-sumber pertumbuhan (Meyer 2003). Tindakan pengendalian kepik coklat baru dapat dibenarkan bila kerusakan tanaman yang terjadi sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan kerusakan tanaman.

Hasil dan Kehilangan Hasil Panen
Data hasil dan kehiiangan hasil panen kedelai varietas Wilis yang diinfestasi kepik coklat pada berbagai umur tanaman, stadia serangga, dan populasi serangga disajikan dalam Tabel 2. Data tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan analisis sidik ragam, hasil kedelai tidak dipengaruhi oleh infestasi kepik coklat pada tingkat populasi 0 hingga 8 ekor/10 rumpun. Hal ini dimaklumi karena macam perlakuan populasi kepik coklat sengaja dibuat pada tingkat yang relatif rendah, sesuai dengan kebutuhan untuk penghitungan nilai TKE kepik coklat. Pengaruh infestasi kepik coklat terhadap hasil panen akan nyata bila populasinya lebih dari 8 ekor/10 rumpun.


Data kehilangan hasil panen yang juga disajikan dalam Tabel 2 digunakan untuk menentukan model hubungannya dengan populasi kepik coklat pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman kedelai varietas Wlis. Hubungan yang dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi linier tersebut memiliki beberapa koefisien regresi (r) yang bersifat homogen (P= 0,01). Oleh karena itu, untuk mewakilinya, dibuat persamaan regresi tunggal dengan koefisien regresi homogen, seperti yang disajikan pada Gambar 3. Persamaan regresi homogen tersebut menunjukkan bahwa pada kepadatan populasi minimum 0 ekor/10 rumpun dan populasi maksimum 8 ekor/10 rumpun (0 ≤ x ≤ 8), makin tinggi populasi kepik coklat makin tinggi pula tingkat kehilangan hasil panen.
Sebagai ilustrasi, apabila terjadi infestasi hama kepik coklat 2 ekor/10 rumpun, maka berdasarkan persamaan regresi pada Gambar 3, kehilangan hasil 3,5% atau setara dengan 95,6 kg/ha (potensi hasil kedelai varietas Wlis 2.731 kg/ha) atau senilai Rp 286.673/ha (harga kedelai Rp 3.000/kg).


Penentuan TKE
Penghitungan nilai TKE kepik coklat didasarkan atas data (a) persamaan regresi hubungan antara populasi kepik coklat dan tingkat kehilangan hasil pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman kedelai varietas Wilis (Gambar 3); (b) potensi hasil panen kedelai varietas Wilis diperoleh dari rata-rata hasil panen pada perlakuan kontrol (0 ekor/10 rumpun) pada 42, 49, 56, 63, dan 70 HST (Tabel 2), yaitu 218,5 g/10 rumpun atau 2.731 kg/ha (1 ha= 125.000 rumpun); (c) harga kedelai varietas Wilis di lokasi percobaan (IPPTP Mojosari) Rp 3.000/kg; (d) harga insektisida deltametrin Rp 180.000/l/ha; (e) biaya aplikasi insektisida Rp 60.000/2 orang/hari/ha; dan (f) efektivitas pengendalian hama 80%. Berdasarkan data tersebut dan rumus untuk menghitung TKE, maka nilai TKE hama kepik coklat dapat ditentukan, yaitu rata-rata 2,1 ekor/10 rumpun atau 21 ekor/100 rumpun.
Penentuan nilai TKE di atas bersifat kurang dinamis karena hasilnya valid untuk situasi harga pasar tertentu. Apabila harga pasar berubah, maka nilai TKE juga berubah. Untuk menentukan nilai TKE yang lebih dinamis, biaya pengendalian dibuat bervariasi antara Rp 200.000/ha dan Rp 350.000/ha, dan harga kedelai bervariasi antara Rp 2.500/kg dan Rp 3.500/kg. Hasil penghitungan nilai TKE pada berbagai biaya pengendalian dan harga kedelai tersebut disajikan dalam Tabel 3.


Berdasarkan data dalam Tabel 3 diperoleh suatu model persamaan regresi berganda sebagai berikut:
y  = 2,328 + 0,008 x1 - 0,717 x2
R2  = 0,974**
y  = nilai TKE kepik coklat (ekor/10 rumpun);
x1  = biaya pengendalian (x Rp 1.000/ha);
x2  = harga kedelai (x Rp 1.000/kg).
Model persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa nilai TKE bervariasi menurut perubahan biaya pengendalian dan harga kedelai. Meningkatnya biaya pengendalian akan meningkatkan nilai TKE, tetapi meningkatnya harga kedelai akan menurunkan nilai TKE. Jadi, berdasarkan persamaan regresi berganda tersebut, apabila biaya pengendalian kepik coklat Rp 240.000/ha dan harga kedelai konsumsi Rp 3.000/kg, maka nilai TKE kepik coklat rata-rata 2,1 ekor/10 rumpun atau 21 ekor/10 rumpun. Dengan demikian, hasil penghitungan TKE kepik coklat yang bersifat dinamis tersebut cocok dengan penghitungan TKE kepik coklat yang bersifat statis.

Pengambilan Keputusan Pengendalian
Sejak Stern et al. (1959) mengemukakan konsep TKE, para pakar bersepakat untuk mengembangkannya sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian dengan insektisida. Dalam hal ini, petani sebagai pengambil keputusan tidak boleh menunggu hingga populasi hama mencapai TKE, tetapi harus segera memulai tindakan pengendalian sebelum populasi hama mencapai TKE. Maksudnya, agar tersedia waktu bagi petani untuk mempersiapkan diri sebelum tindakan pengendalian dilakukan. Apabila populasi hama telah mencapai TKE, sementara petani baru mulai mempersiapkan diri, tindakan pengendalian akan terlambat karena populasi hama telah melampaui TKE. Tingkat populasi hama sebelum mencapai TKE dikenal sebagai ambang ekonomi (economic threshold) atau ambang kendali (action threshold).
Untuk menentukan apakah populasi hama kepik coklat telah mencapai TKE, kegiatan pemantauan populasi hama tersebut harus dilakukan secara berkala. Umumnya, kepadatan populasi hama tidak ditentukan dengan cara menghitung banyaknya individu serangga hama secara keseluruhan, tetapi dengan cara penarikan contoh pada beberapa unit tanaman, baik secara acak maupun sistematik, bergantung pola sebaran populasi serangga (Ruesink 1980). Apabila rata-rata populasi hama kepik coklat mendekati 2,1 ekor/10 rumpun, tindakan pengendalian harus segera dilakukan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil-hasil percobaan TKE kepik coklat pada tanaman kedelai varietas Wilis dapat disimpulkan dan disarankan beberapa hal berikut:
1. Kehilangan hasil kedelai karena kepik coklat dapat diduga dengan persamaan regresi linier sederhana yang berlaku pada populasi minimum 0 ekor/10 rumpun dan populasi maksimum 8 ekor/10 rumpun: y = - 0.007 + 1,746 x. y= tingkat kehilangan hasil panen kedelai (%); x= populasi kepik coklat (ekor/10 rumpun).
2. Nilai TKE kepik coklat pada berbagai biaya pengendalian dan harga kedelai dapat ditentukan dengan model persamaan regresi berganda. Apabila biaya pengendalian hama kepik coklat Rp 240.000/ha dan harga kedelai Rp 3.000/kg, nilai TKE hama kepik coklat adalah 2,1 ekor/10 rumpun.
3. Berdasarkan kriteria TKE, tindakan pengendalian hama kepik coklat harus segera dilakukan sebelum populasinya mencapai 2,1 ekor/10 rumpun. Pengendalian yang dilakukan setelah itu akan mengalami kerugian karena biaya yang dikeluarkan lebih tinggi daripada nilai kehilangan hasil panen yang akan diselamatkan.
4. Untuk pengambilan keputusan pengendalian hama kepik coklat, perlu dilakukan penelitian teknik penarikan contoh beruntun populasi kepik coklat pada berbagai stadia serangga dan tanaman kedelai.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yulianti, SPd dan Drs. Bedjo yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M. 1994. Economic injury level and sequential sampling technique for the common cutworm, Spodoptera litura (F.) on soybean. Contr. Central Research Institute Food Crops Bogor. 82: 13-37.
Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1984. Statistical procedures for agricultural research. 2nd ed. John Wiley & Sons, New York. 680 p.
Marwoto. 1992. Masalah pengendalian hama kedelai di tingkat petani, p. 37-43. Dalam: Marwoto et al. (penyunting). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balittan Malang.
Meyer, J.R. 2003. Economic injury level. www.cals.nscu.edu/course/ent425/tutorial/ economics.html
Pedigo, L.P. and L.G. Higley. 1992. The economic injury level concept and environmental quality. American Entomologist. 38(1): 12-21.
Ruesink, W.G. 1980. Intoduction to sampling plans for soybean arthropods, p. 61-78. In: M. Kogan and D.C. Herzog (Eds.). Sampling methods in soybean entomology. Springer-Verlag, New York.
Stern, V.M., R.F. Smith, R. van den Bosch, and K.S. Hagen. 1959. The integrated control concept. Hilgardia. 29: 81-101.
Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1970. Development and economic injury level of the green cloverworm on soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.
Tengkano, W., M. Iman, dan A.M. Tohir. 1992. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pengisap dan penggerek polong kedelai, p. 117-139. Dalam: Marwoto et al. (Eds.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balittan Malang. 183 p.

Senin, 07 Maret 2011

62. Perkembangan Populasi Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens Stal dan Predatornya pada Berbagai Teknik Budidaya Padi


Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto, dan A. Alwi. 1997. Perkembangan populasi wereng batang coklat Nilaparvata lugens Stal dan predatornya pada berbagai teknik budidaya padi. Jurnal Penelitian Pertanian, Fakultas Pertanian UISU. 16(1): 24-32.

Muhammad Arifin1, Ida Bagus Gde Suryawan2,
Budi Hari Priyanto3, dan Asnimar Alwi4

1 Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor,
2 Instalasi Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar,
3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor,
4 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor


Abstract

Development of Brown Planthopper, Nilaparvata lugens Stal Population and Its Predators at Different Cultural Techniques of Rice Production.  An experiment was conducted in irrigated rice field with a rice-rice cropping pattern in Pemalang district 1995/1996 planting season. The objective was to select a cultural technique that could stabilize brown planthopper (BPH) population. The experiment used a sub-sample design with a two-stage sampling method and a visual observation method of insect population. There were four treatment combinations of planting time (simultaneous and unsimultaneous) and insecticide (with and without insecticide application). Results indicated that during the planting season, the BPH population was relatively stable and fluctuated at a low level, i.e 3.1 - 10.5 hoppers/15 hills, and the predator population fluctuated at a high level, i.e. 9.8 - 23.1 predators/15 hills). At unsimultaneous planting time and without insecticide application, BPH and predator population were higher than those at simultaneous planting time and with insecticide application. At unsimultaneous planting time, the BPH population just before harvest was significantly increased. Therefore, it was suspected that the population would explode in the next planting season. It was concluded that the cultural technique with a combination of simultaneous planting time and without insecticide application was suitable to be applied at the time and location or the experiment. The insecticide application, especially at an unsimultaneous planting time, decreased farmer income and gave opportunity to BPH to explode.
Keywords:  Cultural technique, rice, predator, brown planthopper.

Abstrak

Suatu percobaan dilaksanakan di lahan sawah irigasi yang berpola tanam padi-padi di daerah Pemalang pada Musim Tanam (MT) 1995/1996. Tujuannya untuk menentukan teknik budidaya padi yang dapat menstabilkan populasi hama wereng batang coklat (WBC). Percobaan menggunakan rancangan sub-sample dengan metode pencontohan dua tahap dan metode pengamatan populasi serangga secara visual. Ada empat kombinasi perlakuan, yaitu waktu tanam (serempak dan tidak serempak) dan insektisida (dengan dan tanpa aplikasi insektisida). Hasil percobaan menunjukkan bahwa selama musim tanam, populasi WBC relatif stabil dan berfluktuasi pada taraf rendah, yaitu 3,1 - 10,5 ekor/15 rumpun, sedangkan populasi predator berfluktuasi pada taraf tinggi, yaitu 9,8 - 23,1 ekor/15 rumpun. Populasi WBC dan predator pada pertanaman tidak serempak dan perlakuan tanpa insektisida lebih tinggi daripada pertanaman serempak dan perlakuan dengan insektisida. Saat menjelang panen pada pertanaman tidak serempak, populasi WBC meningkat tajam sehingga dikhawatirkan akan terjadi eksplosi pada musim tanam berikutnya. Disimpulkan bahwa teknik budidaya tanam serempak dan tanpa insektisida cocok untuk diterapkan pada waktu dan lokasi percobaan. Aplikasi insektisida, terutama pada pertanaman tidak serempak menurunkan pendapatan petani dan memberikan peluang bagi WBC untuk eksplosi.
Kata kunci:  Teknik budidaya, padi, predator, wereng batang coklat


PENDAHULUAN

Hama WBC, Nilaparvata lugens Stal merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan produksi padi. Kendala tersebut terjadi, antara lain karena penerapan teknik budidaya yang kurang baik sehingga tanaman menjadi kurang sehat dan rentan terhadap serangan hama. Contoh teknik budidaya yang kurang baik adalah bertanam terus-menerus dengan pola tanam tidak teratur dan waktu tanam tidak serempak disertai dengan penggunaan insektisida secara tidak bijaksana.
Di beberapa daerah intensifikasi, saat ini masih banyak dijumpai petani yang menerapkan teknik budidaya bertanam pada tiga kali setahun dengan pola tanam padi-padi-padi. Pola tanam tersebut diterapkan dengan alasan, tersedianya air irigasi yang berlimpah sepanjang tahun, nilai jual hasil panen padi yang tebih menguntungkan daripada palawija, dan risiko serangan hama apabila bertanam palawija, terutama kedelai. Di beberapa hamparan, petani juga menerapkan cara bertanam padi tidak serempak karena tidak tersedianya traktor atau tenaga kerja yang dapat dikerahkan secara serempak untuk mengolah tanah. Selain itu, dengan alasan khawatir gagal panen akibat serangan hama, petani pada umumnya mengaplikasikan insektisida tanpa didasari atas hasil pemantauan populasi hama.
Pada kondisi lahan yang ditanami secara terus-menerus, populasi hama sering dijumpai berlimpah karena tersedianya sumber pakan yang konstan. Akan tetapi, apabila lahan disiapkan dan ditanami secara serempak, serangan hama relatif rendah. Apalagi kalau tanaman digilirkan dengan jenis lain, misalnya palawija, perkembangan populasi hama akan jauh lebih menurun. Menurut Oka dan Bahagiawati (1985), teknik budidaya seperti bertanam serempak, pergiliran tanaman, dan sanitasi dapat memutus daur hidup hama, mencegah perkembangan populasi hama, dan mencegah terjadinya generasi hama yang saling-tindih.
Khusus mengenai masalah insektisida, Untung (1992) melaporkan hasil pengalamannya selama kurun waktu 1986 sampai dengan 1992 di daerah Yogyakarta bahwa pertanaman padi yang dikelola dengan memanfaatkan teknik budidaya tanpa insektisida dapat memberikan hasil panen yang relatif tinggi. Laporan tersebut membuktikan bahwa dengan tidak digunakannya insektisida, musuh alami yang hadir di pertanaman dapat berperan secara maksimal dalam mengatur populasi hama. Oleh karena itu, meskipun hama hadir di pertanaman, tetapi tingkat populasinya rendah. Dengan kata lain, populasi hama berada dalam keadaan stabil.
Dampak beberapa teknik budidaya yang diterapkan oleh petani tersebut di atas terhadap perkembangan populasi WBC perlu dikaji. Tujuannya untuk (a) menentukan teknik budidaya yang dapat menstabilkan populasi WBC, dan (b) mendeskripsikan hubungan antara populasi WBC dan predatornya pada berbagai teknik budidaya padi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei (Cochran, 1977) pada ekosistem lahan sawah beririgasi yang berpola tanam padi-padi-padi pada MT 1995/1996 di desa Bantarbolang, Pemalang, Jawa Tengah. Percobaan menggunakan rancangan sub-sample dengan metode pencontohan dua-tahap (two-stage sampling), yaitu (a) memilih 25 petak contoh secara acak (dalam setiap petak perlakuan) dan (b) memilih beberapa unit (satuan) contoh secara acak (dalam setiap petak cantoh). Pengumpulan data populasi serangga dilakukan dengan metode visual sebanyak 15 unit contoh (serumpun/unit) pada pertanaman padi IR64.
Ada empat kombinasi perlakuan yang diuji, yaitu waktu tanam (serempak dan tidak serempak) dan insektisida (dengan dan tanpa insektisida). Kedua perlakuan waktu tanam tersebut, masing-masing ± 1 ha, berlokasi di Dukuh Karang Asem (serempak) dan Tugu Lumpang (tidak serempak). Kedua lokasi berjarak ± 10 km dan dibatasi oleh hutan jati. Tiap lokasi dibagi menjadi dua petak sama besar, masing-masing untuk perlakuan dengan dan tanpa insektisida. Keputusan aplikasi insektisida diserahkan sepenuhnya kepada petani setempat. Data yang dikumpulkan meliputi: (a) besar populasi WBC yang diamati seminggu sekali, (b) jumlah jenis (spesies) dan besar populasi predator WBC, dan (c) hasil panen. Spesimen predator WBC yang terkumpul diidentifikasi dengan kunci determinasi (Borror et al., 1984; Shepard et al., 1987).


 HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Besar Populasi WBC
Data dan hasil analisis data besar populasi WBC pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida disajikan pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa besar populasi WBC rata-rata pada pertanaman tidak serempak berbeda nyata 2,3 - 2,9 kali tebih banyak daripada pertanaman tidak serempak yang relatif berlimpah dan berkesinambungan sehingga memberikan peluang lebih besar bagi populasi WBC untuk bertahan hidup dan berkembang biak.
Data dan hasil analisis data pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa besar populasi WBC rata-rata pada perlakuan tanpa insektisida berbeda nyata 1,2 - 1,5 kali lebih banyak daripada perlakuan dengan insektisida. Hal tersebut membuktikan bahwa perlakuan dengan insektisida efektif menurunkan populasi WBC.
Hasil pengamatan visual fluktuasi populasi WBC pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida disajikan pada Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pada pertanaman serempak, kehadiran populasi WBC relatif lambat dan mencapai puncak populasi sekali saja pada 13 minggu setelah tanam (mst). Pada pertanaman tidak serempak, kehadiran populasi WBC relatif cepat dan mencapai puncak populasi dua kali, yaitu pada 10 mst dan saat menjelang panen. Populasi WBC berfluktuasi pada taraf yang relatif rendah; pada pertanaman serempak (0 - 21 ekor/15 rumpun) lebih rendah daripada pertanaman tidak serempak (0 - 41 ekor/15 rumpun). Oleh karena itu, populasi WBC dinyatakan stabil. Tingkat fluktuasi pada perlakuan dengan insektisida lebih rendah daripada perlakuan tanpa insektisida. Khusus pada tanam tidak serempak, keadaan populasi WBC yang mencapai puncak untuk kedua kalinya saat menjelang panen dapat membahayakan pertanaman padi pada musim tanam berikutnya.



B. Jumlah, Jenis, dan Besar Populasi Predator
Jenis-jenis predator yang diperoleh di sekitar lahan percobaan disajikan dalam Tabel 2. Ordo terbanyak adalah laba-laba Araneae (8 jenis) kemudian diikuti oleh kumbang Coleoptera (4 jenis), capung Odonata (3 jenis), dan belalang Orthoptera (1 jenis). Data dan analisis data jumlah jenis dan besar populasi predator pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida disajikan dalam Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah jenis predator pada pertanaman serempak relatif sama dengan pertanaman tidak serempak, dan pada perlakuan dengan insektisida relatif sama dengan perlakuan tanpa insektisida. Data juga menunjukkan bahwa besar populasi predator pada pertanaman tidak serempak berbeda nyata 1,4 - 1,9 kali lebih banyak daripada pertanaman serempak, dan pada perlakuan tanpa insektisida berbeda nyata 1,2 - 1,7 kali lebih banyak daripada perlakuan dengan insektisida.
Dominansi jenis predator pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jenis predator dominan adalah kumbang Paederus fuscipes kemudian diikuti oleh laba-laba Oxyopes javanus, sedangkan yang jarang adalah kumbang Coccinella sp., laba-laba Lycosa pseudoannulata dan capung Crocothemis sp.


 Hasil pengamalan visual fluktuasi populasi predator pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida disajikan pada Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kehadiran populasi predator relatif cepat, dimulai sejak awal pertumbuhan tanaman. Puncak populasi pada pertanaman serempak terjadi sekali saja pada 14 mst, sedangkan pada pertanaman tidak serempak, terjadi tiga kali; yang tertinggi pada 7 mst kemudian diikuti pada 10 dan 13 mst. Populasi predator berfluktuasi pada taraf yang relatif tinggi, pada pertanaman serempak (2 – 27 ekor/15 rumpun) lebih rendah daripada pertanaman tidak serempak (7 - 43 ekor/ 15 rumpun). Tingkat fluktuasi pada perlakuan dengan insektisida lebih rendah daripada perlakuan tanpa insektisida. Populasi predator pada keempat kombinasi perlakuan sejak awal kehadiran WBC relatif berlimpah dan mampu mengimbangi populasi WBC. Khusus pada pertanaman tidak serempak, populasi predator setelah 13 mst menurun tajam, sementara populasi WBC meningkat tajam sehingga populasi predator tidak mampu lagi mengimbangi populasi WBC. Oleh karena itu, populasi WBC setelah 13 mst dinyatakan dalam keadaan yang membahayakan, terutama pada musim tanam berikutnya.

C. Hasil Panen
Hasil panen padi pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida disajikan dalam Tabel 4. Tabel tersebut menunjukkan bahwa hasil panen padi IR64 pada pertanaman tidak serempak berbeda nyata lebih tinggi daripada pertanaman serempak, sedangkan pada perlakuan dengan insektisida relatif sama dengan perlakuan tanpa insektisida. Berbedanya hasil panen pada kedua waktu tanam tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kondisi kesuburan tanah di kedua lokasi, sedangkan tidak berbedanya hasil panen pada kedua perlakuan insektisida, baik pada waktu tanam serempak maupun tidak serempak, disebabkan oleh rendahnya populasi hama, khususnya WBC. Berdasarkan data tersebut, nyatalah bahwa perlakuan insektisida tidak meningkatkan hasil panen, bahkan menurunkan pendapatan karena bertambahnya biaya produksi untuk pembelian dan aplikasi insektisida.
Teknik bertanam padi secara terus-menerus dan tidak serempak sebenarnya sudah lama dilarang di daerah Pemalang, tetapi kenyataannya masih belum sepenuhnya dipatuhi. Alasannya, antara lain karena bertanam padi lebih menguntungkan, apalagi didukung oleh tersedianya air irigasi sepanjang tahun. Teknik tersebut terbukti memberikan peluang bagi populasi WBC untuk berkembang biak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Oka dan Bahagiawati (1985) bahwa pertanaman padi secara terus menerus (tiga kali tanam setahun) dan waktu penanaman tidak serempak menguntungkan bagi perkembangan populasi WBC karena senantiasa tersedia pakan, tempat berlindung, dan tempat berkembang biak. Selain itu, teknik tersebut merangsang timbulnya biotipe baru WBC yang mampu mematahkan ketahanan suatu varietas (Kamandalu et al., 1994). Pengalaman menunjukkan bahwa pada MT 1976/1977, terjadi eksplosi WBC biotipe 2 di beberapa kabupaten di Bali, Jawa Timur, dan Sumatra Utara yang belum melaksanakan tanam serempak dan pergiliran tanam. Akibatnya, varietas PB26 yang semula dinyatakan tahan WBC, ternyata hanya mampu bertahan selama 4 - 5 musim tanam (12 - 15 generasi WBC). Demikian juga pada MT 1981/1982, kembali terjadi eksplosi WBC biotipe Sumatera Utara di daerah-daerah yang belum menerapkan tanam serempak dan pergiliran tanam. Varietas padi PB36 dan PB42 (tahan WBC biotipe 2) hanya mampu bertahan selama 8 – 9 musim tanam (28 - 32 generasi WBC) (Oka dan Bahagiawati, 1985).
Mengingat pengalaman tersebut di atas dan kenyataan bahwa saat ini varietas IR64 merupakan varietas dominan di sentra produksi padi, maka kemungkinan terjadinya serangan WBC terhadap varietas IR64 secara luas harus diantisipasi. Konsepsi PHT harus benar-benar diterapkan, antara lain dengan melaksanakan penanaman serempak dan pergiliran tanaman. Meskipun air tersedia secara berlimpah sehingga lahan dapat ditanami padi tiga kali setahun, namun petani tetap harus menggilirkan tanaman padi dengan palawija secara tertib setiap tahun dan meliputi areal yang luas. Hal tersebut dimaksudkan agar daur hidup WBC dapat terpotong. Dengan demikian, tanaman padi pada musim tanam berikutnya akan menghadapi populasi WBC yang relatif rendah.
Umumnya, petani di daerah Pemalang dan daerah endemis serangan WBC lainnya selalu diliputi kekhawatiran akan gagalnya panen sehingga selalu mengaplikasikan insektisida meskipun pada saat itu populasi WBC rendah. Kekhawatiran tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi karena mengaplikasikan insektisida secara tidak bijaksana akan mengakibatkan kerugian, baik ekonomis maupun ekologis. Hal tersebut didasarkan atas hasil percobaan ini bahwa pada keadaan populasi WBC tidak membahayakan tanaman dan populasi predator cukup berlimpah, aplikasi insektisida tidak meningkatkan hasil panen, tetapi justru menurunkan pendapatan dan kemampuan predator mengatur populasi WBC.
Untuk mengurangi penggunaan insektisida, kedua jenis predator yang mendominasi pertanaman, terutama kumbang P. fuscipes, dapat dimanfaatkan sebagai agensia pengendalian hama WBC karena memiliki potensi biotik yang tinggi dengan kemampuan memangsa WBC 2 - 8 ekor/hari, tergantung tingkat instar nimfa WBC. Daur hidupnya (dari telur hingga dewasa bertelur) 18 hari, umur bertahan hidupnya 109 - 114 hari, dan kemampuan bertelurnya 106 butir/ekor (Laba dan Kilin, 1994). Pemanfaatannya, antara lain dengan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan pengendatian WBC (Untung, 1992). Selain itu, agar populasi WBC tetap stabil pada tingkat yang rendah, keberadaan musuh alaminya harus dijamin, antara lain dengan tidak mengaplikasikan insektisida, kecuali populasi WBC telah mencapai tingkat yang membahayakan tanaman. Oleh karena umumnya, musuh alami rentan terhadap insektisida, maka persepsi bahwa setiap jenis Arthropoda yang hadir di pertanaman adalah hama sehingga harus dikendalikan, harus dirubah. Perlu diinformasikan juga bahwa pada kondisi ekosistem di mana populasi hama tidak membahayakan tanaman dan populasi musuh alami cukup berlimpah, penggunaan insektisida tidak diperlukan karena akan memusnahkan musuh alami yang pada akhirnya akan memberikan peluang terjadinya eksptosi hama WBC.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut di atas, dapat ciisimpulkan bahwa:
1. Teknik budidaya tanpa pergiliran tanam (dengan pola tanam padi-padi-padi) dan penanaman tidak serempak disertai dengan penggunaan insektisida secara tidak bijaksana akan memberikan peluang terjadinya eksplosi WBC, terutama pada musim tanam berikutnya.
2. Teknik budidaya padi tanpa insektisida, cocok untuk diterapkan di daerah Pemalang, terutama pada MT 1995/1996, karena selain menstabilkan poputasi WBC, juga memberikan hasil panen yang relatif sama dan pendapatan yang lebih tinggi daripada teknik budidaya dengan insektisida.
3. Stabilitas populasi WBC berkaitan erat dengan populasi predatornya; pada ekosistem padi dengan teknik budidaya tanpa insektisida, jenis dan ukuran populasi predator relatif banyak dan mampu berperan dalam mengatur perkembangan populasi WBC.
4. Kemungkinan terjadinya serangan WBC terhadap varietas IR64 secara luas harus diantisipasi dengan (a) melaksanakan penanaman serempak dan pergiliran tanaman, (b) tidak menggunakan insektisida, kecuali bila kepadatan populasi WBC sudah membahayakan tanaman, dan (c) memanfaatkan musuh alami, terutama P. fuscipes dalam analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan pengendalian WBC.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Suharto dan Yusuf Hanafiah yang telah membantu pelaksanaan peneiitian di lapang, dan Danuwarsa yang telah membantu mengidentifikasi jenis-jenis Arthropoda di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Borror, D.J., D.M. Delong, and C.A. Triplehorn. 1984. An introduction to the study of insects. 4th ed. Holt, Rinehart, and Winston. New York.
Cochran. W.G 1977. Sampling Techniques. John Wiley & Sons. New York.
Kamandalu, A.A.N.B., Bahagiawati A.H. dan I.B.K. Suastika, 1994. Perkembangan populasi wereng batang coklat populasi IR64 pada beberapa varietas padi. Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan. 4, 246 – 252.
Laba, I.W. dan D. Kilin. 1994. Biologi Paederus fuscipes Curt. Dan kemampuannya memangsa wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal). Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan. 4, 240 - 245.
Oka, I.N. dan Bahagiawati A.H. 1985. Perkembangan biotipe wereng coklat dan pengendaliannya. Pertemuan Evaluasi Pengendalian Hama Terpadu. Ditjen Pertanian Tanaman Pangan. Sukamandi, 14 - 16 Maret 1995.
Shepard, B.M., A.T. Barrion, and J.A. Litsinger. 1987. Helpful insects, spiders, and pathogens. lRRI, Los Banos.
Untung, K. 1992. Konsep dan stralegi pengendalian hama terpadu. Simposium Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung. Sukamandi, 3-4 September 1992.