Rabu, 12 Januari 2011

Berita Orasi Profesor Riset



Top of Form
BIOINSEKTISIDA SlNPV UNTUK MENGENDALIKAN ULAT GRAYAK MENDUKUNG SWASEMBADA KEDELAI
Update : Senin, 10/01/2011

Spodoptera litura nuclear-polyheddrosis virus (SlNPV) merupakan salah satu virus patogen yang menginfeksi ulat grayak. SlNPV efektif mengendalikan ulat grayak dan berpeluang untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida dalam skala operasional.
Menurut penemunya Dr. Muhammad Arifin, MS dalam orasi pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi di Bogor, Senin (6/9) berjudul : ”Bioinsektisida SlNPV untuk mengendalikan ulat grayak mendukung swasembada kedelai” bahwa pengembangan teknologi bioinsektisida SlNPV dapat diarahkan kepada upaya produksi bioinsektisida SlNPV yang lebih virulen, tahan sinar UV, bermasa simpan lebih dari setahun, murah dan mudah dilakukan oleh balai proteksi, bahkan kelompok tani.
Dr. Muhammad Arifin, MS menyarankan strategi pemanfaatan SlNPV dalam program PHT dengan tiga strategi, yakni:
1. Strategi epizootik
Strategi ini dilakukan dengan cara mengusahakan epizootik SlNPV melalui transmisi vertikal dari satu generasi ke generasi berikutnya dan transmisi horizontal dari individu terinfeksi ke individu sehat dalam satu generasi atau generasi tumpang tindih dalam satu musim dengan kemungkinan mengaplikasikan SlNPV secara berulang.
2. Strategi konservasi
Strategi ini dilakukan dengan cara menginfestasikan ulat grayak untuk tujuan konservasi inokulum SlNPV pada pertanaman yang pernah terjadi epizootik pada beberapa musim sebelumnya.
3. Strategi aplikasi berulang
Strategi ini dilakukan dengan cara mengaplikasikan SlNPV secara berulang untuk tujuan jangka pendek karena tidak ada transmisi horizontal. Strategi ini paling cocok untuk kedelai karena AE ulat grayak telah ditentukan.

Orasi Professor Balitbangtan LIPI
bbalitvet.litbang.deptan.go.id/.../135-orasi-professor-balitbangtan-lipi

Pada hari Senin 6 September 2010, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan LIPI kembali mengadakan orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi (Hama dan Penyakit Tanaman) bertempat di Auditorium II Balitbangtan Jl. Tentara Pelajar N0. 12 Bogor. Ketiga kandidat Profesor Riset adalah:  Dr. Subiyakto, MP (Balittas), Dr. Muhammad Arifin, MS (BB Biogen) serta Dr. Ir. Deciyanto Soetopo, MS (Balittas). Tampak dalam gambar, Ka Badan berkenan diabadikan pasca pengukuhan bersama ketiga Profesor Riset yang diapit oleh isteri masing-masing. Selamat Profesor semoga ilmunya dapat lebih bermanfa'at untuk masyarakat Indonesia.
Dalam orasinya, Dr. Subiyakto mengemukakan pentingnya inovasi teknologi pengendalian hama berbasis ekologi dalam mendukung produksi kapas karena serat bahan tekstil ini memiliki peranan yang besar dalam kehidupan dan peradaban manusia. Sungguh ironis bahwa fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebutuhan serat kapas yang rata-rata memerlukan 554 ribu ton (diprediksi mencapai 688 ribu ton tahun 2910) ini harus di impor hingga 99.5%. Produktivitas yang relatif rendah sekitar 400-600 kg/ha (jauh dari target 1,5 ton/ha) terutama disebabkan oleh ancaman tidak kurang dari 28 jenis serangga hama.

Tiga hama yang sangat dominan adalah wereng yang menurunkan hingga 65% produksi, ulat merah menyebabkan kerusakan 40 - 50% serta ulat buah kapas yang dapat menurunkan produksi antara 40 - 65% produksi, ini artinya tanpa pengendalian hama, maka jumlah produksi kapas akan turun antara 40 - 65%. Pengendalian hama telah melalui beberapa fase, seperti teknik tradisional dan alami (pra 1942) dilakukan dengan tanam secara musiman, sanitasi sisa makanan dan memakai varitas genjah, pemakaian pestisida berupa kapur belerang dan pestisida nabati namun tidak banyak membantu. Fase pengendalian secara kimiawi (1942-1985) dilakukan dengan penyemprotan insektisida hingga mencapai frekuensi 10 kali setara 15 l/ha pada tahun 1978/1979. Frekuensi turun menjadi 7 kali (12l/ha) tahun 1983/1984) namun ketidakrasionalan pemakaiannya membuat resistensi dan resurgensi bahkan membunuh musuh alami serta meninggalkan residu kimia dalam tanah air dan udara. Pada periode 1986 - 2000 dikenalkan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan memakai musuh alami, pengaturan pola tumpang sari, pengaturan waktu tanam serta rotasi pemakaian dan penyemprotan insektisida hingga 3-4 kali (4-7 l/ha). Pengurangan berdampak secara nasional yaitu 18.750 l dengan cakupan sekitar 12.500 ha. PHT terus dikembangkan dan kini (2000 - sekarang) sudah berbasis ekologi, berdasarkan ekologi lokal hama dan pemberdayaan petani mengetengahkan mekanisme ekologi lokal ketimbang intervensi teknologi. Caranya adalah pemakaian benih tanpa kabu-kabu yang toleran hama, penyemprotan berdasarkan ambang populasi dan melibatkan petani melalui Sekolah Lapang PHT. Model tumpang sari dengan kedelai, kacang hijau, kacang tamah dan jagung diketahui berpengaruh positip untuk menurunkan populasi hama. Program PHT berbasis ekologi diharapkan berdampak predator dan mangsa alternatif datang lebih awal daripada hama, meningkatkan pemangsaan predator, menurunkan jumlah konsumsi insektisida, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan petani sehingga gairah mereka menanam kapas bangkit dan pertanian kapas berkembang pesat.
Dr. M. Arifin dalam orasinya banyak menyoroti pemakaian bioinsektisida Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus (SlNPV) untuk pengendalian ulat grayak untuk mencapai swasembada kedelai 2014 dengan target 2.7 juta ton, sementara produksi kedelai tahun 2009 baru mencapai 1 juta ton. Arifin menengarai ada 4 permasalahan kedelai nasional, yaitu meningkatnya impor, tingginya kesenjangan produktivitas tingkat petani dengan potensi genetik kedelai akibat belum menggunakan varitas toleran hama, pengurangan areal tanam kedelai akibat pemakaian lahan untuk jagung serta harga kompetitif kedelai nasional semakin terpuruk akibat dibanjiri produk impor dengan harga relatif murah. Namun kita tetap masih punya optimisme akan dapat meningkatkan produksi kedelai karena petani mulai bergairah menanam kedelai, adanya dukungan pemerintah melalui perluasan lahan hingga 2 juta ha tahun 2014 dengan penyediaan pupuk, tersedianya teknologi tepat guna dengan 64 varitas unggul baru dengan produksi 2 - 2,5 ton/ha serta tersedianya lahan potensial areal tanam. Dari 111 hama ulat grayak dinyatakan sebagai penting karena selain dapat menurunkan produksi hingga 80% (tanpa kendali dapat mengakibatkan puso) luas serangan ulat ini telah mencapai 1.316 - 2.902 ha pada periode 2002 - 2006. Dengan insektisida berdosis tinggi cenderung berdampak negatif terhadap lingkungan, sehingga diarahkan menggunakan virus patogen yaitu SlNPV hasil invensi Arifin tahun 1984. Arifin mengemukakan ada 4 keuntungan pemakaian SlNPV yaitu memiliki inang spesifik yaitu ulat grayak, tidak membahayakan organisme bukan sasaran dan lingkungan, dapat mengatasi masalah resistensi ulat grayak terhadap insektisida serta kompatibel dengan komponen pengendalian lainnya. Slnpv dengan nilai LC50 (konsentrasi yang dapat membunuh 50% populasi serangga) untuk ulat muda /instar III dalam dua hari, instar IV-VI dalam 4 - 9 hari. Daya bunuh yang relatif lambat dapat dipercepat dengan aplikasi SlNPV saat ulat muda, menggunakan SlNPV yang lebih virulen, mengkombinasikan SlNPV dengan insektisida kimia atau biologis lain, serta mengembangkan SlNPV rekombinan dengan gen spesifik bersifat toksik kedalam genom Slnpv. Dikatakan bahwa SlNPV dapat diproduksi secara in vivo dan in vitro, diarahkan untuk lebih virulen, tahan sinar UV dan daya simpan diatas 1 tahun. Diakhir orasi diharapkan dukungan investasi dan sosialisasi khususnya kemitraan dengan pihak swasta dalam produksi secara komersial serta peningkatan peran sekolah lapang PTT kedelai dan penekanan pada praktek PHT mutlak diperlukan.
Sementara Dr. Deciyanto Soetopo membuka orasi dengan mengemukakan kedudukan Indonesia sebagai penghasil lada dunia sebelum Perang Dunia II, namun saat ini terpuruk dan kalah bersaing dengan Vietnam. Pentingnya pengendalian hama penggerek batang lada (PBL) dan kaitannya dengan isi pembatasan residu pestisida diangkat sebagai isu utama, karena problema lada cukup klasik yaitu produktivitas rendah, kehilangan produksi (20 - 50%) karena serangan hama/penyakit serta pendapatan petani yang tidak menentu karena fluktuasi harga lada. Oleh karena itu pemakaian pestisida bukan satu-satunya cara pengendalian hama, khususnya PBL yang dapat merusak bunga, buah, batang dan daun muda yang dapat menyebabkan kematian lada (serangan larva berpotensi menghilangkan produksi hingga 43%). Perhatian Indonesia tentang bahaya pestisida dimulai dengan menerbitkan Inpres 7/1973 mengatur perijinan, pemakaian, distribusi dan penyimpanan pestisida, dilanjutkan dengan Inpres 6/1986 yang melarang peredaran 57 jenis pestisida kimia. Lebih jauh Komite Kesehatan dan Pelindungan Konsumen Eropa tahun 2005 memberlakukan pembatasan residu pestisida yang diberlakukan tahun 2008, sehingga pembatasan ini harus jadi perhagtian karena 86% petani di Bangka umumnya memakai pestisida, hampir semua (92%) petani melakukan penyemprotan sementara mayoritas (77%) mereka tidak tahu tentang bahaya / akibatnya. Hama PBL dikendalikan dengan teknologi pemakaain varitas toleran, pengendalian secara mekanis dan fisik, penggunaan kultur teknis,  pengendalian secara hayati serta pengendalian secara kimiawi sebagai alternatif pamungkas. Dengan berlakunya pembatasan residu pestisida komitmen Indonesia untuk melaksanakannya akan mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai  "the King of Spices" serta meningkatkan 'brand image' lada Indonesia yang telah tersohor itu, yang pada gilirannya akan meningkatkan kejayaan petani dan pertumbuhan devisa negara. SEMOGA (Bhr).
Pemutakhiran Terakhir ( Selasa, 07 September 2010 04:34 )
Balai Besar Penelitian Veteriner
Jl. R.E. Martadinata No 30 Bogor, Jawa Barat Indonesia
Telp.(0251) 8331048, 8334456, Fax (0251) 8336425
Bulan Ramadhan tak menyurutkan Badan Litbang Pertanian untuk melaksanakan pengukuhan profesor riset. Kali ini yang dikukuhkan sebagai profesor riset adalah Dr. Subiyakto, M.P.; Dr. Muhammad Arifin, M.S.; dan Dr. Ir. Deciyanto Soetopo, M.S., ketiganya dalam bidang Entomologi (Hama dan Penyakit Tanaman). Pengukuhan yang dilaksanakan pada 6 September 2010 ini dipimpin oleh Kepala LIPI yang baru Prof. Dr. Lukman Hakim, selaku Ketua Majelis Pengukuhan Profesor Riset, dan dihadiri pula oleh Kepala Badan Litbang Pertanian Dr. S. Gatot Irianto, Sekretaris Badan Dr. Haryono, dan eselon II lainnya.
Dalam sambutannya, Kepala Badan Litbang Pertanian (Kabadan) menyatakan bahwa pelaksanaan orasi kali ini memberikan makna yang berganda.”Kita dianjurkan untuk banyak-banyak melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat selama bulan suci Ramadhan ini,” ujarnya.
Kabadan meminta kepada Prof. Subiyakto agar membuktikan bahwa teknologi pengendalian hama yang disampaikan dalam orasinya tersebut secara faktual dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia, tetapi mampu mengendalikan hama kapas tersebut. Sementara itu Prof. M. Arifin diminta untuk terus mengembangkan dan mengintegrasikan teknologi bioinsektisida SlNPV (Spodoptera litura nuclear-polyhidrosis virus) dalam mendukung program khusus guna pencapaian swasembada kedelai.
Kepada Prof. Deciyanto S., Kabadan meminta agar terus mendorong Program Pengendalian Hama Terpadu pada tanaman lada, termasuk didalamnya Penggerek Batang Lada (PBL). Selain itu Prof. Deciyanto diminta pula untuk menggagas bagaimana caranya teknologi dan strategi yang dikemukakannya dapat diaplikasikan oleh petani, agar invensi yang ditemukan menjadi inovasi.
Dengan tambahan tiga prosefor riset tersebut, kini komunitas peneliti Badan Litbang Pertanian memiliki 80 profesor riset, dan menggenapkan professor riset di komunitas peneliti Indonesia menjadi 378 orang.
Orasi Prof. Riset
Dalam orasinya yang berjudul “Inovasi Teknologi Pengendalian Hama Berbasis Ekologi Dalam Mendukung Pengembangan Kapas”, Prof. Subiyakto, yang merupakan peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (Balittas ), memaparkan peranan teknologi pengendalian hama kapas berbasis ekologi pada kapas tumpangsari kedelai. Dinyatakan bahwa inovasi teknologi pengendalian hama berbasis ekologi pada kapas dapat dilakukan dengan sistem tumpangsari dengan kedelai, perlakukan terhadap benih, budidaya tanpa olah tanah, penggunaan jerami padi sebagai mulsa, dan penggunaan pestisida nabati. Penerapan inovasi teknologi tersebut dapat mengurangi penggunaan insektisida kimia 57 persen, meningkatkan hasil kapas 21 persen dan kedelai 31 persen, serta pendapatan petani meningkat 57 persen.
Sementara itu, Prof. M. Arifin mengemukakan teknologi dan strategi pengendalian ulat grayak yang ditekankan pada upaya mengubah kondisi lingkungan agar tidak disukai ulat grayak, menggunakan varietas tahan ulat grayak, serta mengkombinasikan berbagai teknik pengendalian secara serasi. Hal tersebut dituangkannya dalam orasinya yang berjudul “Bioinsektisida SlBPV Untuk Mengendalikan Ulat Grayak Mendukung Swasembada Kedelai”. Prof. M. Arifin merupakan peneliti pada Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen).
Adapun Prof. Deciyanto S., peneliti pada Balittas, menyampaikan orasi yang berjudul “Pengendalian Hama Penggerek Batang Lada Menghadapi Isu Pembatasan Residu Pestisida”. Dalam orasinya tersebut, dikemukakan hasil penelitian tentang teknologi pengendalian PBL ditunjang dengan pengembangan aras keputusan untuk pengendalian PBL secara berkelanjutan. Prof. Deciyanto menyatakan bahwa bila pemerintah konsisten dengan kebijakan dalam pengendalian hama lada ramah lingkungan, maka akan dapat meningkatkan kepedulian petani lada terhadap lingkungan dan kesehatan konsumen, meningkatkan kepercayaan dunia terhadap produk lada Indonesia yang ber eco-label, serta menjaga brand image dan daya saing lada Indonesia di pasar dunia.


1 komentar: