Senin, 07 Maret 2011

62. Perkembangan Populasi Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens Stal dan Predatornya pada Berbagai Teknik Budidaya Padi


Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto, dan A. Alwi. 1997. Perkembangan populasi wereng batang coklat Nilaparvata lugens Stal dan predatornya pada berbagai teknik budidaya padi. Jurnal Penelitian Pertanian, Fakultas Pertanian UISU. 16(1): 24-32.

Muhammad Arifin1, Ida Bagus Gde Suryawan2,
Budi Hari Priyanto3, dan Asnimar Alwi4

1 Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor,
2 Instalasi Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar,
3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor,
4 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor


Abstract

Development of Brown Planthopper, Nilaparvata lugens Stal Population and Its Predators at Different Cultural Techniques of Rice Production.  An experiment was conducted in irrigated rice field with a rice-rice cropping pattern in Pemalang district 1995/1996 planting season. The objective was to select a cultural technique that could stabilize brown planthopper (BPH) population. The experiment used a sub-sample design with a two-stage sampling method and a visual observation method of insect population. There were four treatment combinations of planting time (simultaneous and unsimultaneous) and insecticide (with and without insecticide application). Results indicated that during the planting season, the BPH population was relatively stable and fluctuated at a low level, i.e 3.1 - 10.5 hoppers/15 hills, and the predator population fluctuated at a high level, i.e. 9.8 - 23.1 predators/15 hills). At unsimultaneous planting time and without insecticide application, BPH and predator population were higher than those at simultaneous planting time and with insecticide application. At unsimultaneous planting time, the BPH population just before harvest was significantly increased. Therefore, it was suspected that the population would explode in the next planting season. It was concluded that the cultural technique with a combination of simultaneous planting time and without insecticide application was suitable to be applied at the time and location or the experiment. The insecticide application, especially at an unsimultaneous planting time, decreased farmer income and gave opportunity to BPH to explode.
Keywords:  Cultural technique, rice, predator, brown planthopper.

Abstrak

Suatu percobaan dilaksanakan di lahan sawah irigasi yang berpola tanam padi-padi di daerah Pemalang pada Musim Tanam (MT) 1995/1996. Tujuannya untuk menentukan teknik budidaya padi yang dapat menstabilkan populasi hama wereng batang coklat (WBC). Percobaan menggunakan rancangan sub-sample dengan metode pencontohan dua tahap dan metode pengamatan populasi serangga secara visual. Ada empat kombinasi perlakuan, yaitu waktu tanam (serempak dan tidak serempak) dan insektisida (dengan dan tanpa aplikasi insektisida). Hasil percobaan menunjukkan bahwa selama musim tanam, populasi WBC relatif stabil dan berfluktuasi pada taraf rendah, yaitu 3,1 - 10,5 ekor/15 rumpun, sedangkan populasi predator berfluktuasi pada taraf tinggi, yaitu 9,8 - 23,1 ekor/15 rumpun. Populasi WBC dan predator pada pertanaman tidak serempak dan perlakuan tanpa insektisida lebih tinggi daripada pertanaman serempak dan perlakuan dengan insektisida. Saat menjelang panen pada pertanaman tidak serempak, populasi WBC meningkat tajam sehingga dikhawatirkan akan terjadi eksplosi pada musim tanam berikutnya. Disimpulkan bahwa teknik budidaya tanam serempak dan tanpa insektisida cocok untuk diterapkan pada waktu dan lokasi percobaan. Aplikasi insektisida, terutama pada pertanaman tidak serempak menurunkan pendapatan petani dan memberikan peluang bagi WBC untuk eksplosi.
Kata kunci:  Teknik budidaya, padi, predator, wereng batang coklat


PENDAHULUAN

Hama WBC, Nilaparvata lugens Stal merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan produksi padi. Kendala tersebut terjadi, antara lain karena penerapan teknik budidaya yang kurang baik sehingga tanaman menjadi kurang sehat dan rentan terhadap serangan hama. Contoh teknik budidaya yang kurang baik adalah bertanam terus-menerus dengan pola tanam tidak teratur dan waktu tanam tidak serempak disertai dengan penggunaan insektisida secara tidak bijaksana.
Di beberapa daerah intensifikasi, saat ini masih banyak dijumpai petani yang menerapkan teknik budidaya bertanam pada tiga kali setahun dengan pola tanam padi-padi-padi. Pola tanam tersebut diterapkan dengan alasan, tersedianya air irigasi yang berlimpah sepanjang tahun, nilai jual hasil panen padi yang tebih menguntungkan daripada palawija, dan risiko serangan hama apabila bertanam palawija, terutama kedelai. Di beberapa hamparan, petani juga menerapkan cara bertanam padi tidak serempak karena tidak tersedianya traktor atau tenaga kerja yang dapat dikerahkan secara serempak untuk mengolah tanah. Selain itu, dengan alasan khawatir gagal panen akibat serangan hama, petani pada umumnya mengaplikasikan insektisida tanpa didasari atas hasil pemantauan populasi hama.
Pada kondisi lahan yang ditanami secara terus-menerus, populasi hama sering dijumpai berlimpah karena tersedianya sumber pakan yang konstan. Akan tetapi, apabila lahan disiapkan dan ditanami secara serempak, serangan hama relatif rendah. Apalagi kalau tanaman digilirkan dengan jenis lain, misalnya palawija, perkembangan populasi hama akan jauh lebih menurun. Menurut Oka dan Bahagiawati (1985), teknik budidaya seperti bertanam serempak, pergiliran tanaman, dan sanitasi dapat memutus daur hidup hama, mencegah perkembangan populasi hama, dan mencegah terjadinya generasi hama yang saling-tindih.
Khusus mengenai masalah insektisida, Untung (1992) melaporkan hasil pengalamannya selama kurun waktu 1986 sampai dengan 1992 di daerah Yogyakarta bahwa pertanaman padi yang dikelola dengan memanfaatkan teknik budidaya tanpa insektisida dapat memberikan hasil panen yang relatif tinggi. Laporan tersebut membuktikan bahwa dengan tidak digunakannya insektisida, musuh alami yang hadir di pertanaman dapat berperan secara maksimal dalam mengatur populasi hama. Oleh karena itu, meskipun hama hadir di pertanaman, tetapi tingkat populasinya rendah. Dengan kata lain, populasi hama berada dalam keadaan stabil.
Dampak beberapa teknik budidaya yang diterapkan oleh petani tersebut di atas terhadap perkembangan populasi WBC perlu dikaji. Tujuannya untuk (a) menentukan teknik budidaya yang dapat menstabilkan populasi WBC, dan (b) mendeskripsikan hubungan antara populasi WBC dan predatornya pada berbagai teknik budidaya padi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei (Cochran, 1977) pada ekosistem lahan sawah beririgasi yang berpola tanam padi-padi-padi pada MT 1995/1996 di desa Bantarbolang, Pemalang, Jawa Tengah. Percobaan menggunakan rancangan sub-sample dengan metode pencontohan dua-tahap (two-stage sampling), yaitu (a) memilih 25 petak contoh secara acak (dalam setiap petak perlakuan) dan (b) memilih beberapa unit (satuan) contoh secara acak (dalam setiap petak cantoh). Pengumpulan data populasi serangga dilakukan dengan metode visual sebanyak 15 unit contoh (serumpun/unit) pada pertanaman padi IR64.
Ada empat kombinasi perlakuan yang diuji, yaitu waktu tanam (serempak dan tidak serempak) dan insektisida (dengan dan tanpa insektisida). Kedua perlakuan waktu tanam tersebut, masing-masing ± 1 ha, berlokasi di Dukuh Karang Asem (serempak) dan Tugu Lumpang (tidak serempak). Kedua lokasi berjarak ± 10 km dan dibatasi oleh hutan jati. Tiap lokasi dibagi menjadi dua petak sama besar, masing-masing untuk perlakuan dengan dan tanpa insektisida. Keputusan aplikasi insektisida diserahkan sepenuhnya kepada petani setempat. Data yang dikumpulkan meliputi: (a) besar populasi WBC yang diamati seminggu sekali, (b) jumlah jenis (spesies) dan besar populasi predator WBC, dan (c) hasil panen. Spesimen predator WBC yang terkumpul diidentifikasi dengan kunci determinasi (Borror et al., 1984; Shepard et al., 1987).


 HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Besar Populasi WBC
Data dan hasil analisis data besar populasi WBC pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida disajikan pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa besar populasi WBC rata-rata pada pertanaman tidak serempak berbeda nyata 2,3 - 2,9 kali tebih banyak daripada pertanaman tidak serempak yang relatif berlimpah dan berkesinambungan sehingga memberikan peluang lebih besar bagi populasi WBC untuk bertahan hidup dan berkembang biak.
Data dan hasil analisis data pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa besar populasi WBC rata-rata pada perlakuan tanpa insektisida berbeda nyata 1,2 - 1,5 kali lebih banyak daripada perlakuan dengan insektisida. Hal tersebut membuktikan bahwa perlakuan dengan insektisida efektif menurunkan populasi WBC.
Hasil pengamatan visual fluktuasi populasi WBC pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida disajikan pada Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pada pertanaman serempak, kehadiran populasi WBC relatif lambat dan mencapai puncak populasi sekali saja pada 13 minggu setelah tanam (mst). Pada pertanaman tidak serempak, kehadiran populasi WBC relatif cepat dan mencapai puncak populasi dua kali, yaitu pada 10 mst dan saat menjelang panen. Populasi WBC berfluktuasi pada taraf yang relatif rendah; pada pertanaman serempak (0 - 21 ekor/15 rumpun) lebih rendah daripada pertanaman tidak serempak (0 - 41 ekor/15 rumpun). Oleh karena itu, populasi WBC dinyatakan stabil. Tingkat fluktuasi pada perlakuan dengan insektisida lebih rendah daripada perlakuan tanpa insektisida. Khusus pada tanam tidak serempak, keadaan populasi WBC yang mencapai puncak untuk kedua kalinya saat menjelang panen dapat membahayakan pertanaman padi pada musim tanam berikutnya.



B. Jumlah, Jenis, dan Besar Populasi Predator
Jenis-jenis predator yang diperoleh di sekitar lahan percobaan disajikan dalam Tabel 2. Ordo terbanyak adalah laba-laba Araneae (8 jenis) kemudian diikuti oleh kumbang Coleoptera (4 jenis), capung Odonata (3 jenis), dan belalang Orthoptera (1 jenis). Data dan analisis data jumlah jenis dan besar populasi predator pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida disajikan dalam Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah jenis predator pada pertanaman serempak relatif sama dengan pertanaman tidak serempak, dan pada perlakuan dengan insektisida relatif sama dengan perlakuan tanpa insektisida. Data juga menunjukkan bahwa besar populasi predator pada pertanaman tidak serempak berbeda nyata 1,4 - 1,9 kali lebih banyak daripada pertanaman serempak, dan pada perlakuan tanpa insektisida berbeda nyata 1,2 - 1,7 kali lebih banyak daripada perlakuan dengan insektisida.
Dominansi jenis predator pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jenis predator dominan adalah kumbang Paederus fuscipes kemudian diikuti oleh laba-laba Oxyopes javanus, sedangkan yang jarang adalah kumbang Coccinella sp., laba-laba Lycosa pseudoannulata dan capung Crocothemis sp.


 Hasil pengamalan visual fluktuasi populasi predator pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida disajikan pada Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kehadiran populasi predator relatif cepat, dimulai sejak awal pertumbuhan tanaman. Puncak populasi pada pertanaman serempak terjadi sekali saja pada 14 mst, sedangkan pada pertanaman tidak serempak, terjadi tiga kali; yang tertinggi pada 7 mst kemudian diikuti pada 10 dan 13 mst. Populasi predator berfluktuasi pada taraf yang relatif tinggi, pada pertanaman serempak (2 – 27 ekor/15 rumpun) lebih rendah daripada pertanaman tidak serempak (7 - 43 ekor/ 15 rumpun). Tingkat fluktuasi pada perlakuan dengan insektisida lebih rendah daripada perlakuan tanpa insektisida. Populasi predator pada keempat kombinasi perlakuan sejak awal kehadiran WBC relatif berlimpah dan mampu mengimbangi populasi WBC. Khusus pada pertanaman tidak serempak, populasi predator setelah 13 mst menurun tajam, sementara populasi WBC meningkat tajam sehingga populasi predator tidak mampu lagi mengimbangi populasi WBC. Oleh karena itu, populasi WBC setelah 13 mst dinyatakan dalam keadaan yang membahayakan, terutama pada musim tanam berikutnya.

C. Hasil Panen
Hasil panen padi pada keempat kombinasi perlakuan waktu tanam dan insektisida disajikan dalam Tabel 4. Tabel tersebut menunjukkan bahwa hasil panen padi IR64 pada pertanaman tidak serempak berbeda nyata lebih tinggi daripada pertanaman serempak, sedangkan pada perlakuan dengan insektisida relatif sama dengan perlakuan tanpa insektisida. Berbedanya hasil panen pada kedua waktu tanam tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kondisi kesuburan tanah di kedua lokasi, sedangkan tidak berbedanya hasil panen pada kedua perlakuan insektisida, baik pada waktu tanam serempak maupun tidak serempak, disebabkan oleh rendahnya populasi hama, khususnya WBC. Berdasarkan data tersebut, nyatalah bahwa perlakuan insektisida tidak meningkatkan hasil panen, bahkan menurunkan pendapatan karena bertambahnya biaya produksi untuk pembelian dan aplikasi insektisida.
Teknik bertanam padi secara terus-menerus dan tidak serempak sebenarnya sudah lama dilarang di daerah Pemalang, tetapi kenyataannya masih belum sepenuhnya dipatuhi. Alasannya, antara lain karena bertanam padi lebih menguntungkan, apalagi didukung oleh tersedianya air irigasi sepanjang tahun. Teknik tersebut terbukti memberikan peluang bagi populasi WBC untuk berkembang biak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Oka dan Bahagiawati (1985) bahwa pertanaman padi secara terus menerus (tiga kali tanam setahun) dan waktu penanaman tidak serempak menguntungkan bagi perkembangan populasi WBC karena senantiasa tersedia pakan, tempat berlindung, dan tempat berkembang biak. Selain itu, teknik tersebut merangsang timbulnya biotipe baru WBC yang mampu mematahkan ketahanan suatu varietas (Kamandalu et al., 1994). Pengalaman menunjukkan bahwa pada MT 1976/1977, terjadi eksplosi WBC biotipe 2 di beberapa kabupaten di Bali, Jawa Timur, dan Sumatra Utara yang belum melaksanakan tanam serempak dan pergiliran tanam. Akibatnya, varietas PB26 yang semula dinyatakan tahan WBC, ternyata hanya mampu bertahan selama 4 - 5 musim tanam (12 - 15 generasi WBC). Demikian juga pada MT 1981/1982, kembali terjadi eksplosi WBC biotipe Sumatera Utara di daerah-daerah yang belum menerapkan tanam serempak dan pergiliran tanam. Varietas padi PB36 dan PB42 (tahan WBC biotipe 2) hanya mampu bertahan selama 8 – 9 musim tanam (28 - 32 generasi WBC) (Oka dan Bahagiawati, 1985).
Mengingat pengalaman tersebut di atas dan kenyataan bahwa saat ini varietas IR64 merupakan varietas dominan di sentra produksi padi, maka kemungkinan terjadinya serangan WBC terhadap varietas IR64 secara luas harus diantisipasi. Konsepsi PHT harus benar-benar diterapkan, antara lain dengan melaksanakan penanaman serempak dan pergiliran tanaman. Meskipun air tersedia secara berlimpah sehingga lahan dapat ditanami padi tiga kali setahun, namun petani tetap harus menggilirkan tanaman padi dengan palawija secara tertib setiap tahun dan meliputi areal yang luas. Hal tersebut dimaksudkan agar daur hidup WBC dapat terpotong. Dengan demikian, tanaman padi pada musim tanam berikutnya akan menghadapi populasi WBC yang relatif rendah.
Umumnya, petani di daerah Pemalang dan daerah endemis serangan WBC lainnya selalu diliputi kekhawatiran akan gagalnya panen sehingga selalu mengaplikasikan insektisida meskipun pada saat itu populasi WBC rendah. Kekhawatiran tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi karena mengaplikasikan insektisida secara tidak bijaksana akan mengakibatkan kerugian, baik ekonomis maupun ekologis. Hal tersebut didasarkan atas hasil percobaan ini bahwa pada keadaan populasi WBC tidak membahayakan tanaman dan populasi predator cukup berlimpah, aplikasi insektisida tidak meningkatkan hasil panen, tetapi justru menurunkan pendapatan dan kemampuan predator mengatur populasi WBC.
Untuk mengurangi penggunaan insektisida, kedua jenis predator yang mendominasi pertanaman, terutama kumbang P. fuscipes, dapat dimanfaatkan sebagai agensia pengendalian hama WBC karena memiliki potensi biotik yang tinggi dengan kemampuan memangsa WBC 2 - 8 ekor/hari, tergantung tingkat instar nimfa WBC. Daur hidupnya (dari telur hingga dewasa bertelur) 18 hari, umur bertahan hidupnya 109 - 114 hari, dan kemampuan bertelurnya 106 butir/ekor (Laba dan Kilin, 1994). Pemanfaatannya, antara lain dengan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan pengendatian WBC (Untung, 1992). Selain itu, agar populasi WBC tetap stabil pada tingkat yang rendah, keberadaan musuh alaminya harus dijamin, antara lain dengan tidak mengaplikasikan insektisida, kecuali populasi WBC telah mencapai tingkat yang membahayakan tanaman. Oleh karena umumnya, musuh alami rentan terhadap insektisida, maka persepsi bahwa setiap jenis Arthropoda yang hadir di pertanaman adalah hama sehingga harus dikendalikan, harus dirubah. Perlu diinformasikan juga bahwa pada kondisi ekosistem di mana populasi hama tidak membahayakan tanaman dan populasi musuh alami cukup berlimpah, penggunaan insektisida tidak diperlukan karena akan memusnahkan musuh alami yang pada akhirnya akan memberikan peluang terjadinya eksptosi hama WBC.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut di atas, dapat ciisimpulkan bahwa:
1. Teknik budidaya tanpa pergiliran tanam (dengan pola tanam padi-padi-padi) dan penanaman tidak serempak disertai dengan penggunaan insektisida secara tidak bijaksana akan memberikan peluang terjadinya eksplosi WBC, terutama pada musim tanam berikutnya.
2. Teknik budidaya padi tanpa insektisida, cocok untuk diterapkan di daerah Pemalang, terutama pada MT 1995/1996, karena selain menstabilkan poputasi WBC, juga memberikan hasil panen yang relatif sama dan pendapatan yang lebih tinggi daripada teknik budidaya dengan insektisida.
3. Stabilitas populasi WBC berkaitan erat dengan populasi predatornya; pada ekosistem padi dengan teknik budidaya tanpa insektisida, jenis dan ukuran populasi predator relatif banyak dan mampu berperan dalam mengatur perkembangan populasi WBC.
4. Kemungkinan terjadinya serangan WBC terhadap varietas IR64 secara luas harus diantisipasi dengan (a) melaksanakan penanaman serempak dan pergiliran tanaman, (b) tidak menggunakan insektisida, kecuali bila kepadatan populasi WBC sudah membahayakan tanaman, dan (c) memanfaatkan musuh alami, terutama P. fuscipes dalam analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan pengendalian WBC.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Suharto dan Yusuf Hanafiah yang telah membantu pelaksanaan peneiitian di lapang, dan Danuwarsa yang telah membantu mengidentifikasi jenis-jenis Arthropoda di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Borror, D.J., D.M. Delong, and C.A. Triplehorn. 1984. An introduction to the study of insects. 4th ed. Holt, Rinehart, and Winston. New York.
Cochran. W.G 1977. Sampling Techniques. John Wiley & Sons. New York.
Kamandalu, A.A.N.B., Bahagiawati A.H. dan I.B.K. Suastika, 1994. Perkembangan populasi wereng batang coklat populasi IR64 pada beberapa varietas padi. Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan. 4, 246 – 252.
Laba, I.W. dan D. Kilin. 1994. Biologi Paederus fuscipes Curt. Dan kemampuannya memangsa wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal). Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan. 4, 240 - 245.
Oka, I.N. dan Bahagiawati A.H. 1985. Perkembangan biotipe wereng coklat dan pengendaliannya. Pertemuan Evaluasi Pengendalian Hama Terpadu. Ditjen Pertanian Tanaman Pangan. Sukamandi, 14 - 16 Maret 1995.
Shepard, B.M., A.T. Barrion, and J.A. Litsinger. 1987. Helpful insects, spiders, and pathogens. lRRI, Los Banos.
Untung, K. 1992. Konsep dan stralegi pengendalian hama terpadu. Simposium Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung. Sukamandi, 3-4 September 1992.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar