Arifin, M. 1999. Teknik produksi dan pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama tanaman perkebunan. Pertemuan Pembahasan Teknis Perlindungan Tanaman, Direktorat Proteksi Tanaman, Direktorat Jendral Perkebunan. Bogor, 26-29 Juli 1999. 13 p.
Muhammad Arifin
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor
PENDAHULUAN
Ekosistem perkebunan umumnya bersifat relatif lebih stabil bila dibandingkan dengan ekosistem tanaman semusim. Ekosistem perkebunan dicirikan oleh diversitas struktur komunitas yang relatif tinggi. Susunan jala makanan (food web) pada ekosistem ini bersifat kompleks sehingga populasi suatu jenis organisme (khususnya yang berstatus hama) berada dalam keadaan seimbang, jarang terjadi eksplosi. Ekosistem perkebunan dapat dipertahankan stabil dengan cara memanipulasi lingkungan, sehingga tercipta kondisi yang menguntungkan bagi spesies-spesies untuk saling berinteraksi dalam ekosistem.
Musuh alami (agens pengendalian hayati) sebagai salah satu komponen ekosistem berperanan penting dalam proses interaksi intra- dan inter-spesies. Karena tingkat pemangsaannya berubah-ubah menurut kepadatan populasi hama, maka musuh alami digolongkan ke dalam faktor ekosistem yang bergantung kepadatan (density dependent factors). Ketika populasi hama meningkat, mortalitas yang disebabkan oleh musuh alami semakin meningkat, demikian pula sebaliknya (Stehr, 1975).
Musuh alami dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan dan mengatur populasi hama pada tingkat keseimbangan umum (general equilibrium position), baik secara alamiah maupun buatan. Pemanfaatannya secara alamiah dapat dilakukan melalui konservasi dan peningkatan efektivitas musuh alami, antara lain dengan menerapkan teknik budidaya yang baik dan menggunakan pestisida secara bijaksana, sehingga tidak mengganggu kehidupan musuh alami. Pemanfaatan musuh alami secara buatan dapat dilakukan, baik dengan cara melepaskan (augmentation) musuh alami setelah dibiakkan/diperbanyak di laboratorium, maupun mengintroduksikan (import) dan mengkolonisasikan musuh alami (Watson et al., 1976).
Beberapa jenis musuh alami predator, parasitoid, dan patogen) telah berhasil diidentifikasi dan diproduksi secara massal di banyak laboratorium lingkup Direktorat Jendral Tanaman Perkebunan. Sebagian besar produk dan teknologi pemanfaatan musuh alami tersebut telah disebarluaskan dan digunakan oleh pengguna, khususnya petani pada perkebunan rakyat dan pengusaha pada perkebunan besar (negara dan swasta). Kenyataan menunjukkan bahwa pemanfratan musuh alami sebagai teknologi alternatif pengendalian hama pada ekosistem perkebunan telah memberikan dampak positif, antara lain dapat mereduksi biaya peagendalian serta meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk perkebunan. Namun demikian, masih banyak jenis hama yang belum ditemukan musuh alaminya yang efektif sehingga cara pengendaliannya masih dilakukan dengan mengandalkan pestisida semata. Di samping itu, metode produksi musuh alami secara massal dirasakan masih belum efisien dan produk yang dihasilkan belum memenuhi standar mutu.
Makalah ini disusun dengan tujuan memberikan informasi mengenai (a) beberapa jenis hama utama dan musuh alaminya, (b) teknik produksi musuh alami, (c) strategi pemanfaatan musuh alami, dan (d) kendala dan prospek pemanfaatan musuh alami pada lima komoditas perkebunan, yaitu lada, teh, kopi, kakao dan kapas. Informasi yang disajikan diharapkan dapat memberikan masukan dalam mengevaluasi mutu produk dan teknologi pemanfaatan musuh alami yang sedang/telah diproduksi di laboratorium lingkup Direktorat Jendral Tanaman Perkebunan dan menentukan prioritas jenis musuh alami baru yang akan dikembangkan.
HAMA UTAMA DAN MUSUH ALAMINYA
1. Tungau jingga tanaman teh
Tungau jingga, Brevipalpus phoenicis Geijskes berukuran 0,2 mm dan berwarna jingga kemerahan. Tungau merusak daun teh tua khususnya pada permukaan bawah daun dan petiolus. Tungau membentuk koloni pada pangkal daun di sekitar ptiolus. Serangan awal ditandai oleh becak-becak kecil pada pangkal daun. Serangan lanjut ditandai oleh daun yang berubah warna menjadi kemerahan kemudian kering dan akhirnya rontok. Serangan berat mengakibatkan tanaman teh tidak berdaun sama sekali. Anblyseius deleoni Muma et Denmark (Parasitiformes, Phytoseiidae) merupakan tungau predator penting yang memangsa tungau jingga.
2. Kepik pengisap pucuk daun teh
Imago kepik pengisap pucuk daun teh, Helopeltis theivora Watt. dan H. antonii Sign. (Hemiptera, Miridae) berukuran ± 6 mm dan mempunyai tonjolan seperti jarum pentol pada toraks. Imago jantan dengan toraks berwarna hitam kemerahan dan abdomen berwarna hijau tua. Imago betina dengan toraks berwarna hijau kebiruan dan abdomen berwarna hijau muda. Telur berukuran 1-1,5 mm dan berbentuk kapsul dengan 2 helai benang yang tidak sama panjang yang menyembul ke luar pada bagian ujungnya. Telur mula-mula jemih kemudian putih. Telur diletakkan secara berkelompok (5-8 butir/kelompok) pada jaringan tanaman muda. Nimfa baru berukuran panjang 5-6,5 mm, berwarna kuning jernih kemudian
berubah menjadi kehijauan/coklat kemerahan.
Nimfa dan imago menusuk daun muda dan pucuk/tunas dengan stiletnya untuk mengisap cairan sel. Gejala serangannya berupa becak-becak pada jaringan tanaman akibat sekresi ludah yang dimasukkan ke jaringan sewaktu serangga mengisap tanaman. Bila tusukan berdekatan, becak akan berwarna coklat. Organ tanaman yang terserang berat akan mengering. Spicaria javanica merupakan salah satu jamur patogen yang menginfeksi kepik pengisap pucuk daun teh.
3. Pengisap buah lada
Imago pengisap buah lada, Dasynus piperis China (Hemiptera, Coreidae) meletakkan telur secara berkelompok (3-10 butir/kelompok). Nimfa dan imago mengisap buah lada. Gejala serangan berupa becak hitam pada buah. Serangan pada buah muda mengakibatkan buah tidak berisi. Hama ini memiliki beberapa jenis parasitoid telur, seperti Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera, Encyrtidae), Gryon (=Hadronotus) dasyni (Nix.) (Hymenoptera, Scelionidae), dan Ooencyrtus malayensis Ferr. (Hymenoptera, Encyrtidae), dan jamur patogen, Nomuraea rileyi (Farlow) Samson.
4. Kumbang moncong penggerek batang lada
Imago kumbang moncong atau penggerek batang lada, Lophoboris piperis Marsh. (Coleoptera, Curculionidae) berukuran 3-5 mm. Imago dan larva memakan bunga, buah, pucuk, daun muda, batang muda, dan cabang muda. Gejala serangan hama ini berupa luka pada organ tumbuhan. Hama ini memiliki beberapa jenis musuh alami, antara lain parasitoid Spathius araeceri Wlk. (Hymenoptera, Braconidae) dan Eupelmus curculionis Ferr. (Hymenoptera, Encyrtidae), dan jamur patogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin (Moniliales: Moniliaceae).
5. Kutu putih atau kutu dompolan kopi
Imago kutu putih atau kutu dompolan kopi, Planococcus citri Risso (Homoptera, Pseudococcidae) berukuran 2 X 3,5 mm dan berwarna kuning muda dengan bagian punggung yang ditutupi lilin. Imago jantan bersayap tembus pandang, sedangkan yang betina tidak bersayap. Telur berbentuk lonjong, berukuran 0,1-0,4 mm, berwarna kuning muda, dan diletakkan secara berkelompok dan diselimuti oleh benang-benang halus. Nimfa berbentuk hampir sama dengan imago, berukuran 0,5 mm dan membentuk koloni. Nimfa dan imago mengisap kuncup bunga, tunas, dan cabang. Pada populasi tinggi, organ-organ tanaman yang terserang menjadi kering, sedangkan pada populasi sedang menyebabkan sebagian besar permukaan daun ditutupi oleh cendawan embun jelaga.
Hama ini memiliki beberapa jenis predator, antara lain Scymus roepkei de Fl., S. apiciflavus Motsch., Brumoides (=Brumus) suturalis (F.). Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera, Coccinellidae), Coccidiplosis smithi (Felt) (Diptera, Cecidomyiidae), dan beberapa jenis parasitoid, antara lain Coccidiplosis smithi (Felt) (Diptera, Cecidomyiidae), Anagyrus greeni How. (Hymenoptera, Encyrtidae), dan Leptemastix trilongifasciatus Gir. (Hymenoptera, Encyrtidae). Predator S. roepkei dan S. apiciflavus telah berhasil dibiakkan secara massal dan dimanfaatkan di Laboratorium Lapang NTT.
6. Kumbang penggerek buah kopi
Imago kumbang penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei Ferrari (Coleoptera: Scolytidae) berwarna hitam coklat atau hitam mengkilap. Tubuhnya berukuran panjang 1,2-1,7 mm dan lebar 0,6-0,7 mm. Kumbang betina yang siap bertelur terbang pada sore dan petang hari, sedang yang jantan tetap berada di dalam biji kopi. Telur berwarna putih bening dan berbentuk bulat panjang. Larva muda berwarna putih, sedangkan yang tua berwarna kecoklatan dengan panjang tubuh ± 1,5 mm. Pupa berwarna putih dan berukuran ± 1 mm.
Kumbang menyerang buah kopi pada saat biji mulai mengeras (umur sekitar 3 bulan) sampai panen. Gejala serangan berupa bekas lobang gerekan pada ujung buah. Pada buah kopi baru, kumbang betina membuat lobang kemudian masuk ke dalam biji untuk meletakkan telur. Telur menetas dan berkembaag hingga menjadi imago dalam buah kopi. Serangan terhadap buah muda menyebabkan buah tidak dapat berkembang kemudian busuk dan gugur. Beberapa jenis musuh alami hama ini, antara lain jamur patogen, Spicaria javanica dan Beauveria bassiana, dan lebah parasitoid, Cephalonomia stephanoderis Betr. (Hymenoptera: Bethylidae).
7. Kutu hijau tanaman kopi
Imago kutu hijau Coccus viridis Green (Homoptera, Aphididae) berwarna hijau muda sampai hijau tua. Bentuk tubuh bulat telur, pipih, panjang 2,5-3,3 mm dan bersifat immobil. Tubuh dilengkapi dengan dua mata tunggal berwarna hitam, operkulum (dua bangunan segitiga berwarna coklat yang bersatu dan menutupi anusnya), dan sebuah stilet yang panjangnya kurang lebih sama dengan panjang badannya. Telur berkembang di dalam tubuh induknya. Nimfa yang baru muncul untuk sementara waktu berada di dekat tubuh induknya.
Kutu mengisap cairan pada bagian tanaman yang muda, seperti daun, tunas, tangkai bunga, dompolan muda, dan ujung dahan. Warna hijau dari bagian tanaman yang diisap berubah menjadi kuning. Daun yang terserang berat akan mengering dan gugur. Serangan kutu hijau pada tanaman muda mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman, sehingga menjadi kerdil. Serangan pada tanaman fase generatif mengakibatkan turunnya hasil panen. Beberapa jenis musuh alami hama ini, antara lain predator Chilocorus melanophthalmus Muls. dan Orcus janthinus Muls. (Coleoptera, Coccinellidae), dan parasitoid Coccophagus bogoriensis Kngb. (Hymenoptera, Encyrtidae).
8. Kepik pengisap buah kakao
Kepik pengisap buah kakao, Helopeltis antonii Sign. (Hemiptera, Miridae) mudah dikenal karena adanya tonjolan seperti jarum pentol pada toraks. Imago jantan berwarna coklat kehitaman sedangkan yang betina berwarna coklat kemerahan. Punggungnya berwarna kelabu sampai hijau kelabu dan tungkainya berwarna coklat kelabu. Panjang tubuhnya 6,5-7,5 mm. Telur berwarna putih dan panjangnya ± 1 mm, berbentuk lonjong dan memiliki dua helai benang pada salah satu ujungnya. Telur diletakkan di dalam jaringan kulit buah atau pucuk. Nimfa yang baru keluar dari telur berbulu, belum memiliki tonjolan pada toraks. Tonjolan mulai terlihat setelah nimfa berganti kulit pertama. Nimfa dan imago menusuk buah/pucuk dengan stiletnya untuk mengisap cairan makanan. Gejala serangannya berupa becak-becak berwarna coklat sebagai akibat sekresi ludah sewaktu serangga mengisap tanaman. Bagian yang terserang akan mengering.
Musuh alami hama ini, antara lain jenis parasitoid, Euphorus helopeltidis Ferr. (Hymenoptera, Braconidae) dan Erythmelus helopeltidis Gah. (Hymenoptera, Mymaridae), jenis predator, Cosmolestes picticeps Stal., Isyndros heros (F.), Sycanus annulicornis Dohrn., S. leucomesus Wlk. (Hemiptera, Reduviidae), semut hitam, Dolichodorus thoracicus (Hymenoptera, Formicidae), dan jamur patogen, Spicaria javanica. Semut hitam predator, D. throracicus berhasil dibiakkan secara massal dan dimanfaatkan di Laboratorium Lapang Sultra, Bengkulu, dan Bali.
9. Penggerek buah kakao
Imago penggorek buah kakao, Conopomorpha cramerella Snellerr (Lepidoptera, Gracillariidae (Lithocolletidae) berukuran 7 X 2 mm, sayap depan berwarna hitam dengan garis putih dan pada ujungnya terdapat sebuah bintik kuning. Sayap belakang berwarna hitam rata. Telur berbentuk lonjong berukuran 0,5 X 0,2 mm dan berwarna kemerahan/jingga. Telur diletakkan pada alur permukaan buah. Larva berukuran 1 mm, berwarna putih kecoklatan, dan terdapat di dalam buah. Pupa berbentuk lonjong, berwarna coklat, dan terdapat pada daun atau lekukan buah. Larva menggerek buah kakao, sehingga daging buah menjadi busuk dan berwarna hitam. Perkembangan biji terhambat, biji menjadi lengket dan akhirnya menjadi hitam dan keriput. Bila buah dibelah, terlihat liang gerek berwarna coklat pada bagian dalam kulit buah dan daging buah.
Musuh alami hama ini, antara lain jenis predator, Oncocephalus breviscutum Reuter (Hemiptera, Reduviidae) dan jenis parasitoid, Goryphus mesoxanthus (Br.) (Hymenoptera, Ichneumonidae), Phaenocarpa sp., Phanerotama sp. (Hymenoptera, Braconidae), dan Ceraphron aquinaldoi (Hymenoptera, Scelionidae). Selain serangga musuh alami, hama ini juga dapat dikendalikan dengan nematoda patogen, Steinernema carpocapsae (Rapditida, Steinernematidae). Nematoda patogen serangga ini telah berhasil diproduksi dan dimanfaatkan di Laboratorium Lapang Sulsel.
10. Penggerek cabang kakao
Telur penggerek cabang kakao, Zeuzera coffeae Nietner dan Z. roricyanea Walk. (Lepidoptera, Cossidae) berukuran panjang 1 mm dan lebar 0,5 mm, berwarna kuning kemerahan. Telur diletakkan pada celah-celah kulit pohon. Larva berwarna merah cerah sampai ungu sawo-matang dan panjangnya 3-5 mm. Pupa berada di dalam "kamar pupa" pada liang gerek. Panjang kamar pupa 7-12 cm. Bagian atas dan bawah kamar pupa disumbat oleh sisa-sisa gerekan. Larva menggerek cabang tanaman untuk membuat liang gerek berdiameter 3-5 cm yang melingkari batang dalam kulit sekunder, sehingga bagian atas cabang itu mati dan mudah patah. Serangan pada cabang muda hanya menyebabkan hambatan pertumbuhan, sehingga batang dapat tumbuh normal kembali. Serangan hama ini juga ditandai oleh kotoran larva yang berbentuk silindris dan berwarna merah sawo-matang yang dikeluarkan melalui liang gerek.
Musuh alami hama ini, antara lain jenis parasitoid, Bracon zeuzerae (Hymenoptera, Braconidae), Carcelia (Senometopia) kockiana Towns., dan Isosturmia chatterjeeana (Bar.) (Diptera, Tachinidae). Kedua jenis Tachinidae mempunyai hiperparasit, yaitu Brachymeria punctiventris (Cam.) (Hymenoptera, Chalcididae). Selain dengan serangga musuh alami, hama ini dapat juga dikendalikan dengan jamur patogen serangga, Beauveria bassiana.
11. Ulat buah kapas
Imago ulat buah kapas, Helicoverpa armigera (Hbn.) (Lepidoptera, Noctuidae) berwarna sawo matang dengan becak gelap pada bagian tengah sayap depan. Panjang tubuh 19 mm dan lebar bentangan sayap 40 mm. Telur berwarna kuning muda, berbentuk setengah bola, berukuran 0,5 mm, dan diletakkan secara berpencaran pada pucuk tanaman atau bunga. Larva berukuran panjang 3-4 cm dan lebar 0,5 cm, dengan warna bervariasi, yaitu kuning, hijau kekuningan, hijau, coklat dan agak hitam. Larva memiliki ciri khas, yakni garis memanjang berwarna gelap di bagian punggung dan garis pucat kecoklatan pada kedua sisi tubuhnya. Pupa berwarna coklat merah, panjang 14-18 mm dan berada di dalam tanah. Larva menggerek kuncup bunga, bunga, dan buah. Pada waktu makan buah, biasanya kepala dan sebagian badannya masuk ke dalam buah.
Musuh alami pada kapas, ada 89 jenis serangga dan 24 jenis laba-laba. Jenis musuh alami penting untuk H. armigera, antara lain tiga jenis predator, yaitu Campylomma diversicornis R., Deraecoris indianus Carvalho (Hemiptera, Miridae), dan Eocanthecona furcellata Wolff. (Hemiptera, Pentatomidae), dan satu jenis parasitoid, yaitu Trichogramma chilonis Ishii (Hymenoptera, Trichogrammatidae). Musuh-musuh alami tersebut berhasil dikembangbiakkan di Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang (Nurindah dan Bindra, 1988). Jamur patogen, Beauveria bassiana dan Nomuraea rileyi, serta virus patogan, Borrelinavirus heliothis (Virales: Borrelinaceae) atau yang lebih dikenal sebagai Helicoverpa armigera nuclear polyhedrosis virus (HaNPV) juga merupakan musuh alami ulat buah kapas.
12. Wereng kapas
Imago wereng kapas Sundapteryx biguttata (Ishida) (Homoptera, Cicadellidae) berwarna hijau kekuningan dengan sayap depan licin dan mengkilap. Bentuk tubuh nimfa sama dengan imago dengan panjang 2-2,4 cm dan lebar 0,5-0,6 mm. Nimfa berada di permukaan daun bagian bawah. Telur berbentuk buah pisang dan berwarna putih kebiruan. Telur diletakkan satu per satu di dalam jaringan ibu tulang daun, tangkai daun dan batang muda. Panjang telur 0,5 mm dan lebar 0,1 mm. Nimfa dan imago mengisap cairan daun pada awal pertumbuhan kapas dengan cara menginjeksikan ludah yang beracun. Gejala serangannya berupa noda berwarna coklat kemerahan, tepi daun menggulung ke bawah, dan daun mengering kemudian gugur. Serangan berat pada tanaman muda mengakibatkan tanaman kerdil, daun seperti terbakar, dan bentuk buah kecil.
Beberapa jenis musuh alami hama ini, antara lain predator Harmonia arcuata (F.) (Coleoptera, Coccinellidae), Paederus fasciatus Curt. (Coleoptera, Staphylinidae), dan Geocoris sp. Hemiptera, Lygaeidae).
13. Ulat penggerek buah berwarna jingga
Ulat penggerek buah berwarna jingga, Pectinophora gossypiella (Saunders) (Lepidoptera, Gelechiidae) berwarna putih pucat sampai putih kekuningan dengan dua buah pita berwarna jingga pada setiap ruas tubuh. Ukuran tubuh maksimum 15 mm. Pupa berwarna coklat mahoni, berada di dalam rumah pupa di dalam tanah. Imago berukuran 8-9 mm. Sayap depan berwarna coklat abu-abu atau coklat yang dipenuhi dengan bintik-bintik berwarna gelap. Sayap belakang berwarna keputihan, lebih lebar daripada sayap depan. Telur sulit ditemukan, biasanya di bawah kelopak bunga. Telur berukuran 0,5 X 0,3 mm, berwarna putih kemudian berubah menjadi merah, dan bentuknya lonjong dengan gerigi tak beraturan pada bagian permukaan. Ulat memakan bunga sambil memintal mahkota bunga, sehingga membentuk rosette. Bunga tidak mekar dan gagal membentuk buah. Selain bunga, ulat juga memakan biji kapas. Musuh alami hama ini, antara lain parasitoid, Goziozus sp (Hymenoptera, Bethylidae) dan Bachymeria sp. (Hymenoptera, Chalcididae), serta Chrysopa sp. (Neuroptera, Chrysopidae).
TEKNIK PRODUKSI MUSUH ALAMI
1. Parasitoid Trichogramma chilonis
T. chilonis merupakan parasitoid penting untuk ulat buah kapas H. armigera. Parasitoid ini berukuran panjang 0,75 mm dengan sayap yang berjumbai pendek dan jarang digunakan untuk terbang. T. chilonis berhasil dibiakkan pada telur serangga hama pasca panen, yaitu Corcyra cephalonica di Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang.
Pembiakan massal T. chilonis dilakukan dengan dua tahapan, yaitu pembiakan inang dan pembiakan parasitoid. Pembiakan inang dilakukan dengan menginfestasikan telur inang ke dalam media beras pecah kulit dan bekatul dengan perbandingan 2:1. Imago yang muncul sebanyak 200 ekor dimasukkan ke dalam tabung karton berukuran diameter 10 cm dan tinggi 18 cm yang ditutup kain kasa. Sebagai pakannya digunakan larutan madu 10% pada kapas. Telur dikumpulkan setiap hari dengan cara menyikat tutup kasa. Telur hari pertama dan kedua digunakan untuk pembuatan pias, sisanya untuk pembiakan selanjutnya.
Pembiakan parasitoid dilakukan dengan membuat pias, yaitu massa telur inang yang direkatkan pada kertas karton berukuran 8x2 cm. Pias yang telah dinfestasi dengan parasitoid dimasukkan ke dalam tabung. Setelah parasitoid muncul, pias baru dimasukkan ke dalam tabung kemudian ujung tabung ditutup dengan kain hitam. Sehari kemudian pias lama diambil, diganti dengan yang baru. Demikian seterusnya. Pias yang telah diinfestasi digunakan untuk pembiakan selanjutnya dan dilepas di lapangan.
2. Parasitoid Ooencyrtus malayensis
O. malayensis merupakan salah satu jenis parasitoid telur penting untuk serangga hama pengisap buah lada, D. piperis. Parasitoid tersebut belum dimanfaatkan meskipun telah diketahui efektif dengan tingkat parasitisme 75-89%. Peluang pemanfaatannya cukup besar mengingat parasitoid tersebut telah berhasil dibiakkan di Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Malang untuk mengendalikan kepik pengisap polong kedelai, Nezara viridula L. (Hemiptera, Pentatomidae) dan Riptortus linearis L. (Hemiptera, Alydidae).
Pembiakan parasitoid diawali dengan mengkoleksi telur parasitoid dari lapang kemudian dipelihara dalam tabung gelas. Inang diperoleh dengan cara memelihara nimfa dan imago pengisap polong kedelai hasil koleksi dari lapang dalam kurungan yang diberi pakan kacang panjang. Telur yang dihasilkan dimasukkan ke dalam tabung gelas sebagai inang parasitoid. Ke dalam tabung dimasukkan juga larutan gula 5% pada kapas sebagai pakan parasitoid. Infestasi parasitoid pada telur inang dilakukan selama 2 hari.
3. Parasitoid Cephalonomia stephanoderis
C. stephanoderis merupakan lebah parasitoid yang menyerang kumbang penggerek buah kopi, H. hampei. Lebah ini telah berhasil dibiakkan secara massal di Laboratorium Lapang Sumbar dan Lampung. Larva parasitoid hidup sebagai ektoparasit pada larva instar terakhir dan prapupa inang. Imago betina berukuran panjang 1,6-2 mm, sedangkan yang jantan 1,4 mm. Imago meletakkan telur pada prapupa inang bagian ventral dan pada pupa inang bagian dorso-abdominal. Imago memakan telur, larva, pupa, dan imago inang. Telur parasitoid berukuran 0,4 x 0,2 mm. Larva berwarna putih, berukuran panjang 2,1 mm, bentuk tubuh bengkok dan meruncing ke bagian ekor, tidak berkaki dan berbulu. Pupa berada di dalam kokon berwarna putih, pupa memiliki tipe bebas (liberal), mula-mula berwarna putih kemudian berubah menjadi coklat.
Untuk mendapatkan kumbang penggerek buah kopi, buah kopi yang terserang penggerek dimasukkan ke dalam kantong plastik/stoplos. Imago yang terjadi dipasangkan dengan perbandingan jumlah betina dan jantan 1:2 dalam tempat yang sejenis dan diberi pakan buah kopi segar. Larva dan pupa yang dihasilkan digunakan untuk pembiakan parasitoid. Larva atau pupa penggerek sebanyak 10 ekor dimasukkan ke dalam tabung gelas sebagai inang parasitoid. Imago parasitoid dipasangkan dengan perbandingan jumlah betina dan jantan 2:1 dalam tabung gelas. Pemindahan parasitoid ke tabung lain yang berisi inang dilakukan setiap 2 hari sekali sampai hari ke 10 (Wedanimbi dan Tohir, 1994).
4. Predator Curinus coeruleus
C. coeruleus merupakan salah satu jenis kumbang predator penting untuk kutu putih atau kutu dompolan, Planococcus citri pada tanaman kopi. Kumbang ini mudah dibiakkan dengan mangsa kutu loncat Heteropsylla cubana Crawford (Homoptera, Psyllidae). Caranya, pertama-tama, tanaman lamtoro (Leucaena glauca) ditumbuhkan dalam pot plastik. Setelah lamtoro berumur lebih dari sebulan, imago kutu loncat diinfestasikan ke tanaman kemudian tanaman disungkup dengan kurungan. Setelah telur diproduksi, kumbang predator dipasangkan ke dalam kurungan. Imago C. coeruleus menyukai telur, nimfa, dan imago kutu loncat, tetapi larvanya hanya menyukai telur dan nimfa dan tidak menyukai imago kutu loncat.
5. Predator Amblyseius deleoni
A. deleoni merupakan tungau predator penting yang memangsa tungau jingga, B. Phoenicis. Tungau predator ini telah berhasil dibiakkan dan dimanfaatkaan di Laboratorium Lapang Jabar. Ukuran tubuh tungau predator lebih besar daripada tungau jingga yang menjadi mangsanya. Tubuhnya berukuran panjang 390 µm dan berwarna bening-transparan atau tembus cahaya. Warna tubuh berubah menjadi jingga sesuai dengan warna tungau yang dimangsanya. Bentuk tubuh agak rata, tetapi akan sedikit kembung jika telah memangsa tungau hama. Pergerakannya lebih cepat daripada tungau jingga. Tungkai depan lebih panjang daripada tungkai depan dan berguna untuk menangkap mangsanya. Pada bagian kepala terdapat stylet yang berbentuk jarum dan berguna untuk menusuk bagian tubuh dan mengisap cairan sel tubuh mangsanya. Telur tungau predator berbentuk oval, berwarna putih atau transparan, dan ukurannya lebih besar daripada telur mangsanya. Larva berwarna transparan dan kakinya tiga pasang. Bentuk pronimfa, deutonimfa, dan imago hampir sama. Perbedaannya hanya dalam ukuran; makin bertambah umur, makin besar tubuhnya. Jumlah kaki stadia pronimfa, deutonimfa dan imago empat pasang.
Pembiakan A. deleoni diawali dengan penyiapan media biakan. Spon dimasukkan ke dalam kotak plastik berisi air. Di atas spon diletakkan plastik hitam kemudian ditekan agar air meresap ke dalam spon. Lipatan tisu dicelupkan ke dalam air kemudian diletakkan di atas plastik hitam hingga sisa tisu menutupi spon dan menyentuh air. Di atas tisu diberi tangle foot dengan menggunakan alat suntik hingga berkeliling dan tidak putus-putus. Di atas plastik hitam diberi sedikit kapas selanjutnya ditutup dengan cover glass. Predator dikoleksi dari perdu teh yang terserang tungau jingga. Predator sebanyak 5-10 ekor diambil dengan kuas kemudian dipindahkan ke kultur biakan. Predator diberi pakan telur tungau jingga, telur tungau Tetranichus urticae, atau polen tanaman teh. Telur tungau inang diperoleh dengan cara membiakkan T. urticae ke tanaman kacang merah berumur 2-3 minggu.
6. Jamur Nomuraea rileyi
N. rileyi merupakan salah satu jamur patogen pada berbagai jenis serangga, khususnya hama pengisap buah lada, D. piperis China. Jamur patogen ini telah berhasil diproduksi di Laboratorium Lapang Lampung. Caranya, spora biakan murni diisolasi dengan media PDA (potato dextrose agar). Hasil isolasi dipindahkan dengan jarum oce steril ke media jagung giling yang steril dalam erlenmeyer kemudian ditutup rapat dengan kapas yang dilapisi dengan alumunium foil dan disimpan dalam inkubator. Spora jamur yang sudah disiapkan dilarutkan dalam air suling. Konsentrasi 100% dibuat dengan cara mencampur 100 g media jagung telah diselimuti N. rileyi dengan 100 ml air suling. Campuran diaduk dengan magnetik stirer selama 10 menit. Hasil adukan disaring dengan mesh 0,1 mm. Hasil saringan merupakan suspensi spora dengan konsentrasi 100%. Dosis suspensi spora 4% disemprotkan pada buah lada (Nazar, 1997).
7. Jamur Beauveria bassiana
Jamur ini bersifat patogen pada berbagai jenis serangga, antara lain ulat penggerek cabang kakao (Zeuzera coffeae dan Z. roricyanea), kumbang penggerek batang kopi (Lophoboris piperis), kumbang penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei), dan ulat buah kapas (Helicoverpa armigera). Jamur patogen serangga ini telah berhasil diperbanyak di Laboratorium Lapang Bengkulu, NTB, DIY, Sumut, Bali, Sulut, Jatim, Kaltim, Lampung, Jabar, Kalbar, Kalsel, Sultra, Jambi, Riau, Kalteng, dan Timtim.
B. bassiana mempunyai hifa ramping, hialin, dan berukuran 1,5-2 µm. Konidium bersel satu, hialin, berbentuk bulat sampai bulat telur. Konidiofor berbentuk botol dengan bagian ujung yang ramping. Pada saat pembentukan konidium, ujung konidiofor tetap tumbuh pada sisi yang berbeda sehingga berbentuk zig-zag. Larva yang terinfeksi B. bassiana ditandai oleh munculnya hifa pada permukaan tubuh yang lunak atau pada antar segmen. Pada tubuh larva yang telah mati menjadi murni muncul miselium berupa serbuk seperti kapur berwarna putih.
Selain pada serangga, B. bassiana dapat diperbanyak pada media buatan, baik yang berupa media padat maupun media cair. Perbanyakan pada media padat dilakukan sebagai berikut. Jagung giling dimasak dengan perbandingan berat jagung dan air 1:1 sampai setengah matang dan air tepat habis. Setelah dingin, jagung dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian disterilisasikan ke dalam aufoklaf pada suhu 120 C dan tekanan 1 atm selama 30 menit. Setelah dingin, media diinokulasi dengan biakan murni B. bassiana. Kantong diberi lobang aerasi berupa pupa dengan diameter 2 cm yang berisi kapas. Media diinkubasikan pada suhu kamar dengan sinar difus selama 10 hari atau sampai terjadi sporulasi penuh. Untuk persiapan aplikasi, 1 kg biakan B. bassiana diremas-remas kemudian dicampurkan ke dalam 1 l air. Suspensi spora disaring dengan kain kasa kemudian diencarkan menjadi 200-400 l air. Suspensi siap digunakan untuk penyempotan 1 ha tanaman.
Perbanyakan pada media cair dilakukan sebagai berikut. Media cair dibuat menurut metode Samsinakova (1966) yang dimodifikasi dengan komposisi: kentang 200 g, NaCl 0,5%, CaCO3 0,2% dan yeast 0,2% dalam 1 l air. Potongan kentang direbus dalam 700 ml air sampai cairan agak kental kemudian disaring. Bahan-bahan lain dilarutkan dalam 250 ml air kemudian dimasukkan ke dalam larutan kentang. Larutan media dimasukkan ke dalam fermentor dan disterilkan dalam autoklaf. Setelah dingin, media diinokulasi dengan biakan murni B. bassiana. Untuk persiapan aplikasi, biakan B. Bassiana berumur 5 hari disaring dengan kain kasa kemudian diencerkan 5.000 kali. Sebanyak 1 l biakan murni dapat digunakan untuk penyemprotan 1 ha tanaman.
8. Jamur Spicaria javanica
S. javanica merupakan salah satu jamur patogen yang menginfeksi kepik pengisap pucuk daun teh dan buah kakao (Helopeltis theivora dan H. antonii), dan kumbang penggerek buah kopi (Hypothenewus hampei). Gejala serangga terinfeksi jamur S. javanica berupa tubuh kaku dan keras dan permukaan tubuhnya ditumbuhi jamur berwarna putih. Jamur patogen serangga ini telah berhasil diperbanyak di Laboratorium Lapang Bali, Sultra, DIY, NTB, Bengkulu, Irja, Jambi, Jabar, Lampung Sumbar, dan Kalteng.
Jamur patogen ini diperbanyak dengan cara sebagai berikut. Serangga yang terinfeksi S. javanica disterilkan dengan desinfektan kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam petridis yang berisi media PDA. Koloni yang terbentuk dimurnikan dengan cara menumbuhkannya ke media baru secara berulang. Jagung giling dimasak sampai setergah matang. Setelah dingin, jagung dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian disterilisasikan ke dalam autoklaf. Setelah dingin, media diinokulasi dengan biakan murni S. javanica. Kantong diberi lobang aerasi kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama seminggu sampai terjadi sporulasi penuh kemudian diremas-remas. Hasil biakan ini digunakan sebagai starter. Perbanyakan massal S. javanica dilakukan dengan cara yang sama dengan perbanyakan untuk starter. Bedanya, bahan inokulannya bukan biakan murni, tetapi starter dengan perbandingan berat starter dan medium 1:25.
Untuk persiapan aplikasi, 200 g starter berumur 2 minggu dilarutkan dalam 1 l air kemudian diremas-remas dan disaring. Larutan cendawan ditambahkan air hingga menjadi 10 l. Larutan siap diaplikasikan dengan dosis 2 kg/ha.
9. Helicoverpa nuclear-polyhedrosis virus (HaNPV)
HaNPV merupakan virus patogen yang menginfeksi ulat buah kapas, Helicoverpa armigera. Virus patogen ini telah berhasil diperbanyak dan dikembangkan di Laboratorium Lapang Jatim, Jateng, dan NTB.
HaNPV berbentuk batang dan terdapat di dalam inclusion bodies yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak, berukuran 0,5-15 µ, dan terdapat di dalam inti sel yang rentan dari serangga inang seperti hemolimfa dan badan lemak. HaNPV bersifat racun perut. Dalam waktu 1-2 hari setelah polihedra tertelan, larva tampak berminyak, disertai dengan membran integumen yang membengkak dan perubahan warna tubuh menjadi pucat-kemerahan, terutama pada bagian perut. Larva cenderung merayap ke pucuk tanaman kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan kaki-semunya pada bagian tanaman. Integumen larva yang mati mengalami lisis dan disintegrasi sehingga sangat rapuh. Apabila robek, dari dalam tubuh larva keluar cairan hemolimfa yang mengandung banyak polihedra. Larva muda mati dalam 2 hari, sedangkan larva tua dalam 4-9 hari setelah polihedra tertelan. HaNPV dipertanyak secara in vivo dalam tubuh serangga inang. Ada tiga tahapan kegiatan dalam prosss produksi HaNPV, yaitu (a) pembiakan masal serangga inang, (b) perbanyakan HaNPV, dan (c) pemformulasian HaNPV. Pembiakan masal serangga inang dilakukan dengan cara memelihara larva H. armigera secara individual dalam vial plastik yang berisi pakan buatan hingga menjadi pupa. Imago yang muncul dipasangkan dan dipelihara dengan pakan berupa larutan madu 10%. Pemeliharaan dilakukan dalam stoples yang bagian dalamnya digantungkan kain kasa setinggi stoples dan lebar 10 cm untuk imago meletakkan telur. Telur yang dihasilkan dipelihara hingga menetas menjadi larva.
Perbanyakan HaNPV dilakukan dengan cara menginfeksikan hemolimfa dari larva mati terinfeksi HaNPV atau suspensi polihedra stok ke larva instar IV melalui pengolesan pada pakan. Larva yang mati dikoleksi kemudian dihomogenasi dengan air suling dan disaring dengan kasa nilon berukuran 100 mesh. Suspensi polihedra kasar dimurnikan dengan sentrifus berkecepatan 3500 putaran/menit selama 15 menit. Endapan yang dihasilkan dicuci dengan air suling dan dimurnikan kembali secara berulang hingga empat kali. Konsentrasinya distandarisasi dengan haemacytometer melalui penghitungan banyaknya partikel polihedra atau polyhedra inclusion bodies (PIBs).
Pemformulasian HaNPV dilakukan dengan cara mencampur 100 ml suspensi polihedra stok berkonsentrasi 6 X 109 PIBs/ml dengan tepung laktosum dan bahan-bahan tambahan, seperti perata, perekat pelindung sinar surya, dan perangsang makan hingga mencapai bobot 100 g. Dengan cara tersebut, konsentrasinya ditentukan sebesar 6 X 109 PIBs/g. Biopestisida HaNPV sebanyak 100 g siap diaplikasikan ke pertanaman seluas 1 ha.
KENDALA DAN PROSPEK PEMANFAATAN MUSUH ALAMI
Peranan musuh Alami
Peranan musuh alami dalam mengatur populasi hama sering kurang dimengerti secara baik oleh petani. Sebagai konsekuensinya, banyak program pengelolaan hama tidak mempertimbangkannya sebagai sesuatu yang penting. Akan tetepi setelah terjadi gejolak populasi hama akibat gangguan terhadap musuh alami karena penggunaan pestisida yang tidak bijaksana, barulah petani menyadari peranan musuh alami tersebut. Apabila peranan musuh alami dimengerti secara baik, petani akan melakukan usaha memanipulasi lingkungan dan memanfaatkan musuh alami sedemikian rupa, sehingga musuh alami merupakan suatu komponen nyata dalam strategi pengelolaan hama yang efektif dan praktis.
Dalam mengembangkan strategi pengelolaan hama, satu unsur dasar yang harus dipertimbangkan adalah pengenalan musuh alami yang ada di pertanaman dan penentuan dampaknya dalam pengaturan populasi hama.
Kendala Pemanfaatan Musuh Alami
Pemanfaatan musuh alami dalam kaitannya dengan pengendalian hama tanaman perkebunan dihadapkan kepada beberapa kendala, antara lain kondisi agroekosistem dan kebergantungan kepada pestisida.
Kondisi Agroekosistem
Kondisi biotis dan abiotis ekosistem tanaman perkebunan relatif tetap, kecuali pada beberapa tanaman semusim, misalnya kapas yang ekosistemnya selalu berubah-ubah menurut pola tanam setempat. Kondisi agroekosistem yang selalu berubah-ubah tersebut tidak menguntungkan bagi musuh alami untuk menetap (establish). Hanya beberapa jenis musuh alami yang memiliki inang pada komoditas berbeda yang mempunyai peluang lebih besar untuk menetap.
Kebergantungan terhadap Pestisida
Kecenderungan petani mengendalikan hama dengan menggunakan pestisida secara berlebihan akan menurunkan populasi musuh alami, sehingga musuh alami tidak mampu mengatur populasi hama. Kebergantungan petani terhadap pestisida umumnya karena dibayangi oleh risiko kegagalan panen. Oleh karena itu, untuk mengurangi kebergantungan petani terhadap pestisida, teknologi pengelolaan ekosistem yang telah tersedia perlu diinformasikan ke petani. Petani harus diberi penyuluhan tentang manfaat musuh alami sebagai komponen pengendalian hama. Apabila ekosistem dapat terkelola dengan baik, musuh alami diharapkan mampu mengendalikan dan mengatur populasi hema pada tingkat yang tidak merugikan secara ekonomis.
Prospek Pemanfaatan Musuh Alami
Populasi musuh alami pada tanaman perkebunan bervariasi menurut lokasi, waktu/musim, tipe lahan, dan teknik budidaya. Beberapa jenis di antaranya dijumpai berlimpah, terutama pada daerah yang tidak pernah atau jarang diaplikasikan pestisida. Dalam keadaan demikian, musuh alami dapat berperanan cukup besar sebagai faktor pengendali papulasi hama.
Beberapa jaris musuh alami telah diketahui potensinya, di antaranya memiliki kemampuan mencari inang, memangsa, berkembang biak, dan beradaptasi yang tinggi, sehingga mudah manetap/berkoloni, dan memiliki inang yang spesifik untuk tingkat spesies atau genus. Apabila musuh alami, baik yang bersifat indigenous maupun exotic apabila berhasil dibiakkan/diperbanyak secara massal, maka potensi musuh alami tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama sasaran.
STRATEGI PEMANFAATAN MUSUH ALAMI
Ada empat strategi yang dikembangkan dalam pemanfaatan agens pengendalian hayati, yakni: 1) manipulasi lingkungan, 2) konservasi, 3) augmentasi, dan 4) introduksi agens pengendalian hayati (Huffaker et al., 1977).
Manipulasi Lingkungan
Sejumlah musuh alami indigenous mungkin dapat ditingkatkan peranannya dengan memanipulasi lingkungan. Usaha memanipulasi liagkungan mencakup berbagai teknik, antara lain menambahkan sejumlah individu hama sebagai inang alternatif, menggunakan senyawa penarik (attractant) atau pakan tambahan, dan memodifikasi teknik budidaya yang menguntungkan musuh alami (Parella et al., 1997).
Musuh alami, terutama parasitoid dan patogen, umumnya bersifat spesifik terhadap jenis inang dan tahap perkembangan inang. Apabila keberadaan musuh alami tidak sesuai dengan keberadaan inangnya, maka musuh alami tersebut tidak dapat bertahan hidup. Terjadinya eksplosi suatu jenis hama mungkin disebabkan oleh ketidak-sesuaian antara musuh alami dan inangnya pada kondisi lingkungan tertentu. Oleh karena itu, tersedianya inang altematif dan pakan inang lainnya, misalnya nektar, tepungsari, dan embun madu sangat menentukan kehidupan musuh alami. Tumbuhan liar di luar pertanaman perlu dikelola sebaik-baiknya, selain untuk tempat berlindung, juga tempat hidup inang alternatif dan sumber pakan musuh alami. Lebih lanjut jumlah musuh alami di lapang dapat ditingkatkan dengan melepas serangga yang dipelihara di laboratorium. Usaha tersebut dapat membuktikan bahwa pengendalian hayati memberikan keuntungan karena murah, tahan lama dan menjamin keberhasilan pengendalian hama.
Kegiatan modifikasi teknik budidaya dilakukan, antara lain dengan mengefisiensikan penggunaan pupuk nitrogen, tidak menggunakan varietas rentan, dan mengurangi atau bahkan tidak menggunakan pestisida. Demikian juga usaha tumpangsari tanaman dapat membuat kondisi lingkungan yang menguntungkan bagi musuh alami. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Nurindah dan Bindra (1988) bahwa tumpangsari tanaman antara kapas dan kacang-kacangan dapat meningkatkan kepadatan populasi predator (coccinellids dan syrphids) secara bertahap hingga tanaman relatif terhindar dari serangan hama.
Konservasi Musuh Alami
Konservasi musuh alami dapat dilakukan melalui pengembangan teknik pengelolaan ekosistem yang tidak berdampak negatif terhadap musuh alami. Hal ini berkaitan erat dengan sisiem PHT yang merupakan penjabaran dari strategi pembangunan berwawasan lingkungan.
Berbagai hasil penelitian konservasi musuh alami umumnya menunjukkan pentingnya arti pengelolaan pestisida dalam pengendalian hama. Apabila aplikasinya tidak bijaksana, terutama pestisida yang berspektrum lebar, tingkat populasi musuh alami akan menurun, sehingga tidak dapat berperan sebagai pengatur populasi hama. Sebagai contoh, praktek pengelolaan dengan fungisida berpengaruh negatif terhadap keefektifan jamur patogen serangga, sehingga penggunaannya dapat mencegah atau melambatkan terjadinya epizootik. Oleh karena itu, kalau pun diperlukan, aplikasi pestisida hendaklah berpedoman kepada data pemantauan dan analisis ekosistem dengan catatan populasi hama telah mencapai ambang ekonomi dan populasi musuh alami sangat rendah atau tidak mampu menurunkan/mempertahankan populasi hama di bawah ambang ekonomi. Selain itu, jenis pestisida dan waktu aplikasinya harus dipilih secara tepat agar pengaruh yang merugikan dari pestisida dapat dibatasi.
Augmentasi Musuh Alami
Augmentasi atau penglepasan musuh alami dapat dilakukan sekaligus dalam waktu tertentu untuk segera mengendalikan hama sasaran (innoculation) dan dapat pula secara bertahap agar musuh alami dapat berkembang biak yang kemudian mampu mengendalikan hama sasaran (innundation).
Kegiatan augmentasi musuh alami pada pertanaman perkebunan relatif berhasil bila dibandingkan dengan tanaman semusim karena tidak terbatasnya perkembangan populasi dan permanennya musuh alami di ekosistem perkebunan. Kalaupun kurang berhasil, hal tersebut mungkin terkait erat dengan masih terbatasnya pengetahuan biologi, teknik pembiakan massal, fasilitas produksi, dan sistem penglepasan musuh alami. Dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang menangani musuh alami, permasalahan tersebut dapat diatasi.
Beberapa jenis musuh alami baru yang telah berhasil dibiakkan dan diaugmentasikan di balai penelitian dan perguruan tinggi perlu diadopsi teknologinya di Laboratorium Lapang. Jenis musuh alami tersebut antara lain: a) parasitoid T. chilonis untuk ulat pemakan buah kapas, H. armigera (Nurindah dan Bindra, 1988), b) parasitoid O. malayensis untuk kepik pengisap polong kedelai, N. viridula, tetapi mungkin dapat pula untuk pengisap buah lada, D. piperis (Tengkano dan Tohir, 1994), c) predator A. deleoni untuk tungau jingga, B. phoenicis pada teh (Dharmadi, 1996), dan d) predator C. coeruleus untuk kutu loncat, H. cubana, tetapi mungkin dapat pula untuk kutu dompolan kopi, P. citri.
Demikian juga, beberapa jenis musuh alami yang telah berhasil dibiakkan dan diaugmentasikan di suatu Laboratorium Lapang perlu ditingkatkan kualitasnya, diadopsikan teknologinya di Laboratorium Lapang lainnya. Musuh alami tersebut, terutama patogen, mungkin dapat digunakan untuk mengendalikan hama lainnya. Beberapa jenis musuh alami tersebut, antara lain: a) parasitoid C. stephanoderis untuk kumbang penggerek buah kopi, H. hampei, b) Jamur N. rileyi untuk pengisap buah lada, D. piperis, c) Jamur B. bassiana untuk ulat penggerek cabang kakao Zeuzera spp., kumbang penggerek batang kopi, L. piperis, kumbang penggerek buah kopi, H. hampei, dan ulat buah kapas, H. armigera, d) Jamur S. javanica untuk kepik pengisap pucuk daun teh dan buah kakao, Helopeltis spp., dan kumbang penggerek buah kopi, H. hampei, dan e) patogen HaNPV mltuk ulat buah kapas, H. armigera.
Introduksi Musuh Alami
Pengendalian hayati melalui introduksi dan kolonisasi musuh alami merupakan pengendalian hayati klasik. Suatu jenis musuh alami diintroduksikan dari suatu daerah atau negara asal ke daerah atau negara lain dengan harapan dapat menetap dan menyelenggarakan pengendalian hama sasaran dalam jangka panjang. Strategi pengendalian hayati ini telah berkali-kali diterapkan di tanaman perkebunan.
Sebagai contoh, pada bulan Agustus 1986 telah diintroduksikan ke Indonesia, predator C. coeruleus dari Hawaii untuk mengendalikan kutu loncat, H. cubana pada tanaman lamtoro yang merupakan tanaman pelindung tanaman kopi, di samping fungsinya sebagai pakan ternak dan tanaman penghijauan. Kumbang predator tersebut berhasil dibiakkan di laboratorium dan mampu menetap (Bahagiawati dan Kamandalu, 1988). Diharapkan, kumbang predator ini dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan kutu dompolan kopi, P. citri. Pada tahun 1989, parasitoid Cephalonomia stephanoderis juga diintroduksikan ke Indonesia dari Tongo dan Kenya. Parasitoid ini berhasil dikembang-biakkan di beberapa daerah penghasil kopi di Lampung dan Jatim untuk mengendalikan kumbang penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei.
Introduksi musuh alami tidak selalu berhasil. Sebagai contoh, parasitoid Heterospilus coffeicola Schm. (Hymenoptera, Braconidae) yang diintroduksikan dari Afrika dan parasitoid Prorops nasuta Wat. (Hymenoptera, Bethylidae) yang diintroduksikan dua kali dari Uganda pada 1923 dan 1989. Kegagalan tersebut karena tidak mampu menetap.
Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang mengusulkan untuk mengintroduksikan sembilan jenis parasitoid Ordo Hymenoptera untuk ulat buah kapas, H. armigera dari Amerika Serikat. Kesembilan jenis parasitoid tersebut terdiri atas empat jenis dari familia Braconidae, yaitu Microplitis corceips Cresson, Cardiochiles nigriceps (Vier.), Cotesia marginiventris (Cresson), dan Apenteles kazak (telenga), dua jenis dari familia Ichneumonidae, yaitu Campoletis choridae Uchida dan Hyposoter dindymator, satu jenis dari familia Tachinidae, yaitu Eucellatoria bryani Sabrosky, dan dua jenis dari familia Trichogrammatidae, yaitu Trichogramma braziliensis (Ashmead) dan T. pretiosum Riley.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ekosistsm perkebunan yang pada umumnya relatif stabil merupakan faktor menguntungkan bagi pemanfaatan musuh alami. Kestabilan ekosistem ini selayaknya dipertahankan melalui pengeloaan yang bijaksana.
2. Musuh alami berperanan penting dalam ekosistem perkebunan karena dapat mengendalikan dan mengatur populasi hama. Keberadaannya dalam ekosistem perlu dilestarikan melalui usaha konservasi dan peningkatan efektivitas musuh alami.
3. Beberapa jenis musuh alami telah berhasil diidentifikasi dan diproduksi secara massal di banyak laboratorium lingkup Direktorat Jendral Tanaman Perkebunan. Metode produksi yang efisien dan kualitasnya perlu ditingkatkan, teknologi pemanfaatannya perlu disebarluaskan ke petani, dan sumberdaya manusia yang menanganinya perlu ditingkatkan.
4. Beberapa jenis musuh alami baru yang potensial dan terbukti efektif perlu ditentukan prioritas pengembangannya.
PUSTAKA
Anonim. 1994. Parasitoids and predators of arthropod pests. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jendral Perkebunan. 124 p.
Arifin, M., A. Iqbal, I.B.G. Suryawan, T. Djuwarso, dan W. Tengkano. 1997. Potensi dan pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama kedelai. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. 5: 1383-1393.
Bahagiawati, A.H. and A.A.N.B. Kamandalu. 1988. The predation of Curinus coeruleus Mulsant, the predator of leucaena psyllid, Heteropsylla cubana. Research Journal. 1(1): 32-36.
Bindra, O.S. and Nurindah. 1988. Pests of cotton in Indonesia. Cotton IPM Research Workshop 10-11 August 1988. Research Institute for Tobacco and Fibre Crops, Malang. pp. 1-38.
Deciyanto, S. 1939. Pengendalian terpadu hama utama tanaman lada di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. VIII(3): 69-74.
Dharmadi, A. 1996. Peluang pelepasan Amblyseius deleoni predator tungau hama di perkebunan teh dan hortikultura. Kumpulan makalah Seminar Sehari Alternatif Pengendalian Hama Teh secara Hayati. Gambung, 5 Desember 1996. Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung. pp. 9-14.
Naito, A. and T. Djuwarso. 1997. Biological control of Etiella podborer: preliminary report. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. 5: 1363-1372.
Holdom, D.G. The use of fungal pathogens to control brown planthopper and other pest insects. 7 p.
Huffaker, C.B., R.L. Rabb, and J.A. Logan. 1977. Some aspects of population dynamic relative to augmentation of natural enemy action, p. 3-38. In: R.L. Ridgway and S.B. Vinson (Eds.) Biological Control by Augmentation of Natural Enemies. Insect and Mite Control with Parasites and Predators. Pnenum, New York.
Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management, p. 189-233. In: R.L. Metcalf and W.H. Luckman (Eds.). Introduction to Insect Managemeat. John Wiley and Sons, New York.
Nazar, A. 1997. Pengaruh beberapa tingkat umur biakan jamur Nomuraea rileyi tehadap kematian Dasynus piperis China pada tanaman lada, p. 87-90. Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI. PEI Cabang Bogor dan Proyek PHT Nasional.
Nurindah and O.S. Bindra. 1988. Studies on biological control of cotton pests. Industrial Crops Research Journal. 1(1): 59-83.
Panella, M.P., K.M. Heinz, and L. Nunney. 1992. Biological control through augmentative releases of natural enemies: a strategy whose time has come. Am. Entomol. Spring. 38(1): 172-179.
Stehr, F.W. 1975. Parasitoids and predators in pest management, p. 135-173. In: R.L. Metcalf and W.H. Luckman (Eds.). Introduction to Insect Management. John Wiley and Sons, New York.
Tengkano, W. dan A.M. Tohir. 1997. Beberapa sifat biologi parasitoid telur pengisap polong kedelai. Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan. 4: 285-293.
Watson, T.F., L. Moore, and G.W. Ware. 1976. Practical insect pest management: a self-instruction manual. W.H. Freeman and Company, San Francisco.
Widayat, W. 1992. Teknik perbanyakan tungau predator. Pelatihan Pengendalian Hama, Patogen, dan Gulma secara Terpadu. BLPP Cihea, Cianjur, 20 September - 4 Oktober 1992. 12 p.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar