Minggu, 06 Maret 2011

94. Virus Patogen SlNPV, Efektif Mengendalikan Ulat Grayak Kedelai


Arifin, M. dan Bedjo. 2005. Virus patogen SlNPV, efektif mengendalikan ulat grayak kedelai. Berita Puslitbangtan. 34: 9-10.

Muhammad Arifin1 dan Bedjo2
1 Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor
2 Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang


Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus (SlNPV) merupakan salah satu jenis patogen serangga yang menginfeksi ulat grayak (Spodoptera litura) pada berbagai jenis tanaman pangan, sayuran, dan industri. Virus ini ditemukan pertama kali oleh penulis pada pertanaman kedelai di daerah Brebes dan Lampung Tengah pada tahun 1985. Mulai saat itu, penelitian untuk memanfaatkannya sebagai agensia pengendalian hayati ulat grayak terus dilakukan secara intensif hingga diperoleh bioinsektisida SlNPV yang efektif (Arifin 2002).
Bioinsektisida SlNPV diproduksi melalui tiga tahap kegiatan, yaitu a) pembiakan masal ulat grayak dengan pakan buatan, b) perbanyakan SlNPV secara in vivo melalui inokulasi, koleksi ulat mati, ekstraksi, sentrifugasi, standarisasi, dan (c) formulasi SlNPV dalam bentuk tepung (wettable powder). Bioinsektisida SlNPV ini berkonsentrasi 3,0 X 108 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/g dan berbahan aktif polyhedra 0,3% (1 mg= 1 X 108 PIBs). Dosis aplikasinya 500 g/ha.

Efektivitas

Untuk menentukan tingkat efektivitas bioinsektisida SlNPV terhadap ulat grayak pada kedelai, suatu penelitian telah dilakukan di daerah Tulungagung dan Ponorogo pada MK 1999 (Bedjo et al. 2000). Lahan kedelai fase pembentukan polong milik petani seluas lebih-kurang 0,5 ha dibagi menjadi 10 petak perlakuan yang luasnya relatif sama. Di dalam tiap petak perlakuan ditentukan lima petak contoh, masing-masing berisi 45 rumpun tanaman sebagai ulangan. Perlakuan terdiri atas 10 macam kombinasi dosis bioinsektisida SlNPV dan insektisida lambda sihalotrin 25 g/l (Tabel 1 dan 2). Pengamatan populasi ulat grayak dilakukan pada 0, 6, dan 12 hari setelah aplikasi (hsa).


Hasil penelitian (Tabel 1 dan 2) menunjukkan bahwa perlakuan SlNPV saja dosis 500 g/ha (= 1,5 X 1011 PIBs/ha) mampu menurunkan populasi 87,5 - 89,6% pada 6 hsa dan memberikan hasil kedelai 1,418 - 1,480 t/ha. Hasil perlakuan ini setara dengan kombinasi perlakuan SlNPV dosis 50 g/ha (= 1,5 X 1010 PIBs/ha) dan insektisida sihalotrin dosis 1 l/ha, juga setara dengan insektisida sihalotrin saja dosis 2 l/ha.
Berdasarkan hasil penelitian di dua lokasi kegiatan tersebut, bioinsektisida SlNPV dosis 500 g/ha dinyatakan efektif untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai karena memenuhi standar umum efektivitas suatu insektisida, yaitu mampu mematikan/menurunkan populasi hama sasaran lebih-kurang 80%. Bioinsektisida SlNPV ini juga dapat menjadi alternatif pengendalian, bahkan tidak tertutup kemungkinan akan menggantikan peran insektisida kimiawi apabila telah diproduksi secara komersial.

Pemanfaatan

Ada tiga strategi pemanfaatan bioinsektisida SlNPV, yaitu 1) mengusahakan terjadinya epizootik (wabah) SlNPV di pertanaman melalui transmisi vertikal dan horizontal dengan kemungkinan mengaplikasikan SlNPV secara berulang. Strategi ini diterapkan karena SlNPV sering mengalami epizootik yang dapat mengurangi populasi hama secara drastis, 2) mengkonservasi inokulum SlNPV dalam lingkungan dan mengaktifkan kembali melalui manipulasi lingkungan. Strategi ini diterapkan karena dengan menginfestasikan hama ke tanaman akan terjadi epizootik lebih awal. Strategi akan efektif bila ada inokulum SlNPV pada pertanaman tersebut, misalnya pada beberapa musim sebelumnya pernah terjadi epizootik, dan 3) mengaplikasikan SlNPV secara berulang karena tidak adanya transmisi horizontal. Strategi ini mungkin paling cocok untuk diterapkan karena nilai ambang ekonomi ulat grayak yang didasarkan atas aplikasi SlNPV mudah ditentukan (Starnes et al. 1993).
Bioinsektisida SlNPV diaplikasikan dengan menggunakan alat semprot yang umum digunakan untuk mengaplikasikan insektisida. Hasil terbaik akan dicapai bila SlNPV diaplikasikan selama awal stadium perkembangan serangga. Alasannya, ulat instar awal lebih rentan terhadap SlNPV daripada ulat instar akhir. Agar efektif, dosis, frekuensi, waktu, dan cara aplikasi harus tepat. Dosis aplikasi yang digunakan sebanyak 500 g/ha. Apabila kepadatan populasi ulat grayak relatif tinggi, aplikasi sebaiknya diulang 1-2 minggu kemudian.
Paparan sinar surya dapat mengakibatkan berkurangnya stabilitas SlNPV. Untuk mengantisipasinya, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, aplikasi harus dilakukan pada sore hari agar SlNPV segera tertelan ulat pada malam hari. Aplikasi pada pagi atau siang hari merusak SlNPV sebelum tertelan ulat. Kedua, aplikasi sebaiknya diarahkan ke permukaan bawah daun agar persistensi SlNPV berlangsung lebih lama. SlNPV yang diaplikasikan ke permukaan atas daun pada pagi hari menurun aktivitasnya hingga 50% setelah 3 jam dan menjadi inaktif setelah 15 jam, sedangkan yang diaplikasikan ke permukaan bawah daun menurun aktivitasnya hingga 50% setelah 20 jam (Okada 1977).

Pustaka

Arifin, M. 2002. Teknik produksi dan pemanfaatan bioinsektisida NPV untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai, p. 121-134. Dalam Sunihardi et al. (eds.). Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan: Komponen dan Paket Teknologi Produksi Palawija. Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Puslitbangtan, Bogor.
Bedjo, M. Arifin, M. Rahayu, dan Sumartini. 2000. Pemanfaatan nuclear-polyhedrosis virus, Bacillus thuringiensis, dan Metarhizium anisopliae sebagai biopestisida untuk pengendalian hama kedelai. Laporan Hasil Penelitian PAATP Balitkabi, Malang. 32 p.
Okada, M. 1977. Studies on the utilization and mass production of Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus for control of the tobacco cutworm, Spodoptera litura F. Rev. Pl. Protec. Res. 10: 102-128.
Starnes, R.L., C.L. Liu, and P.G. Marrone. 1993. History, use, and future of microbial insecticides. American Entomologist. Summer: 83-91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar