Senin, 28 Februari 2011

78. Hama Utama Tanaman Kacang Tanah: Bioekologi dan Cara Penanggulangannya


Arifin, M. 1999. Hama utama tanaman kacang tanah: bioekologi dan cara penanggulangannya. Pelatihan Perbanyakan Benih Surnber Varietas Unggul Kacang Tanah dan Transfer Teknologi kepada Petani Penangkar Benih. Kerjasama Puslitbangtan dan BPTP Jawa Barat di Surade, Sukabumi, 2-8 Maret 1999. 14 p.

Muhammad Arifin
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan (Balitbio)



PENDAHULUAN

Ada ratusan jenis serangga yang berasosiasi dengan tanaman kacang tanah di Indonesia. Di antaranya, ada yang berstatus hama, predator, parasitoid, dan ada pula yang berstatus nontarget. Beberapa jenis serangga hama sering dijumpai di pertanaman dalam jumlah yang berlimpah dan mengakibatkan kehilangan hasil panen sehingga dikelompokkan sebagai hama utama.
Untuk mengendalikan hama tanaman, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bahwa dalam setiap program perlindungan tanaman harus didasarkan atas konsep dan strategi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dasar hukum PHT tertera dalam GBHN V dan Inpres No. 3/1986 yang kemudian lebih dimantapkan lagi dengan UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Pelaksanaannya, antara lain dengan menyebarkan PHT di tingkat petugas lapang dan petani melalui penyelenggaraan Sekolah Lapang PHT (SLPHT).
Di dalam makalah ini dikemukakan beberapa aspek bioekologi dan cara penanggulangan beberapa jenis hama kacang tanah berdasarkan pola pelaksanaan SLPHT.

BIOEKOLOGI

Pengisap Daun
Ada beberapa jenis serangga pengisap daun kacang tanah, yaitu kutu Aphis (Aphis
craccivora), wereng (Empoasca sp.), tungau merah (Tetranychus cinnabarinus), dan Thrip
sp.

a. Kutu Aphis
Kutu Aphis berukuran 0,8 mm. Serangga ini berkembang biak dengan cepat secara partenogenesis dan siklus hidupnya berlangsung selama 6 hari. Serangga dewasa umumnya tidak bersayap, tetapi apabila kualitas pakan menurun atau ruang geraknya semakin menyempit, maka Aphis akan membentuk sayap untuk tujuan migrasi. Proses pembentukan sayap sudah terjadi sejak stadium nimfa.
Kacang tanah merupakan salah satu tanaman inang Aphis. Kehadiran Aphis di pertanaman kacang tanah terjadi mulai tanaman muncul di atas permukaan tanah sampai menjelang panen, Kutu ini lebih menyukai bagian tanaman yang muda, seperti pucuk dan tangkai daun muda, tetapi pada keadaan populasi tinggi dapat tersebar sampai ke bagian tanaman yang tua.
Faktor lingkungan, seperti hujan, keadaan pertanaman, dan musuh alami mempengaruhi keberadaan Aphis di lapang. Kacang tanah yang ditanam pada musim kemarau terserang lebih berat bila dibandingkan dengan yang ditanam pada musim hujan karena curah hujan yang tinggi dapat menurunkan populasi Aphis secara drastis. Aphis dapat terbunuh oleh hujan atau secara tidak langsung, hujan menyebabkan kelembaban udara meningkat sehingga merangsang tumbuhnya cendawan yang mengganggu perikehidupan Aphis.


Sebagai hama, Aphis tidak menimbulkan gangguan, kecuali bila permukaan tanaman tertutup oleh noda hitam cendawan jelaga yang tumbuh dari hasil ekskresi Aphis. Noda hitam ini mengakibatkan terganggunya proses fotorespirasi tanaman dan menyebabkan daun berguguran sehingga kualitas fotosintat yang dihasilkannya menurun. Kerugian ekonomis dapat terjadi bila Aphis merupakan vektor virus. Jenis-jenis virus yang menyerang kacang tanah, antara lain peanut mottle virus (PMoV), peanut stripe virus (PStV), soybean stunt virus (SSV), bean yellow mosoic virus (BYMV).
Aphis memiliki beberapa jenis predator, seperti Coccinella spp. dan Scymus spp. (Coleoptera), Ischiodon scutellaris dan Leucopis sp. (Diptera), Chrysopa sp. dan Micromus sp. (Neuroptera), sedangkan jenis patogennya adalah Entomophtora sp. Pada tahun 1989, Indonesia mengintroduksi dua jenis parasitoid, yailu Trioxys indicus dari Australia dan Lysiphlebus testaceipes dari Amerika Serikat. L. testaceipes telah dilepas di lapang, tetapi belum ada laporan keberhasilannya untuk menetap, sedangkan T. indicus belum sempat dilepas di lapang karena terserang hiperparasit lokal.

b. Wereng Empoasca
Wereng Empoasca berwarna hijau kekuningan atau putih. Empoasca yang berwarna hijau kekuningan bersayap hijau pucat dan tarsi berwarna hijau, sedangkan Empoasca yang berwarna putih memiliki sayap depan dengan bercak merah. Imago Empoasca berukuran tubuh 2,5 mm, meletakkan telur di dalam mesofil daun.
Perkembangan telur hingga menjadi dewasa berlangsung 18-25 hari. Selain kacang tanah, Empoasca juga menyerang kedelai, kacang hijau, kacang tungggak, dan cabe. Serangan hama ini menyebabkan gejala menguning, terutama pada ujung daun.


c.  Tungau merah
Tidak kurang dari 100 jenis tanaman dapat menjadi tanaman inang tungau ini. Beberapa di antaranya adalah kedelai, ubi kayu, kapas, jeruk, tomat, dan pepaya.
Imago tungau berukuran 0,5 mm. Tubuh bulat kemerahan, kaki dan alat mulutnya berwarna putih. Telur bulat, berwarna kuning pucat. Tungau ini hanya aktif pada siang hari. Ada dua stadia nimfa, yaitu protonimfa dan deutonimfa. Nimfa berwarna hijau atau kemerahan dan mempunyai empat pasang kaki. Umur nimfa 6-10 hari. Perkembangan dari telur sampai menjadi imago berlangsung 15 hari. Apabila daun tidak menunjang perkembangannya, maka tungau membuat benang-benang halus untuk pindah dengan cara bergantung pada benang tersebut. Aktivitas makan tungau meninggalkan bercak-bercak berwarna coklat pada permukaan daun. Selain itu, tungau membuat jaring-jaring benang sutera pada permukaan bawah daun. Pada populasi tinggi, warna daun menjadi keabu-abuan atau menjadi kotor kehitaman.

Pemakan Daun
Ada beberapa jenis pemakan daun kedelai yang berstatus hama utama, yaitu pengorok daun (Biloba subsecivella), penggulung daun (Lamprosema indicata), ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), dan ulat grayak (Spodoptera litura).

a. Pengorok daun
Selain menyerang kacang tanah, pengorok daun juga menyerang kedelai dan kacang tunggak. Akibat serangan hama ini, daun menjadi terlipat sepanjang tulang utama daun dan berwarna kecoklatan. Serangan hebat menyebabkan daun sebagian bahkan seluruhnya menjadi keriting.
Larva umumnya tinggal di lipatan daun atau di antara daun-daun yang terlipat. Larva berwarna hijau muda, terdapat bercak kecil berwarna hitam. Larva membentuk pupa di lipatan daun. lmago yang keluar dari kepompong berwarna abu-abu tua, meletakkan telur di bawah daun atau di pucuk-pucuk batang. Seekor imago betina dapat bertelur sebanyak 20-65 butir. Perkembangan telur hingga menjadi imago memerlukan waktu ± 32 hari. Seekor imago dapat hidup antara 12-18 hari.

b. Penggulung daun
Penggulung daun memiliki inang tanaman kacang tanah dan berbagai jenis kacang-kacangan lainnya. Ciri khas larva adalah terdapatnya dua bercak hitam pada kedua sisi prothorax. Sesuai dengan namanya, larva berdiam di dalam gulungan daun. Gulungan daun mulai dibentuk oleh larva muda pada bagian pucuk, tempat telur diletakkan. Setelah tumbuh menjadi lebih besar, larva berpindah ke daun yang lebih tua. Gulungan daun dibentuk dengan cara merekatkan daun satu dengan lainnya dari sisi dalam dengan semacam zat perekat yang dikeluarkan oleh larva yang bersangkutan. Bila gulungan daun dibuka, akan dijumpai larva berwarna hijau transparan yang bergerak cepat. Selama berdiam di dalam gulungan daun, larva memakan daun sehingga tampak hanya tulang daunnya saja yang tersisa. Pupa dibentuk di dalam gulungan daun tersebut. Imago yang terbentuk berukuran kecil dan berwarna coklat-kekuningan.

c.  Ulat jengkal
Larva ulat jengkal berwarna hijau dan bergerak seperti menjengkal. Larva tua memiliki ciri khas, yaitu adanya tungkai palsu sebanyak tiga pasang dan garis lateral berwarna pucat sebanyak tiga pasang yang membujur dari mesonotum hingga ujung abdomen. Tubuh larva menyempit pada bagian apikal dengan kepala kecil, dan bila direntangkan, panjangnya 3 cm. Stadium larva terdiri atas lima instar. Umur larva berkisar antara 14-19 hari dengan rata-rata 16,2 hari.
Pupa berwarna hijau muda yang berangsur-angsur menjadi putih-kecoklatan. Pupa dibentuk di daun, ditutupi oleh kokon. Stadium pupa berlangsung selama 6-11 hari dengan rata-rata 6,8 hari. Stadium imago (ngengat) berlangsung selama 5-12 hari dengan rata-rata 8,5 hari. Imago meletakkan telur pada umur 4-12 hari. Produksi telur mencapai 1.250 butir per ekor imago betina. Telur diletakkan secara individual di permukaan bawah daun. Stadium telur berlangsung selama 3-4 hari dengan rata-rata 3,2 hari. Daur hidup ulat jengkal dari telur hingga imago bertelur berlangsung selama 30 hari.
Inang ulat jengkal adalah tanaman kacang tanah dan beberapa jenis tanaman pangan lainnya, sayuran, dan gulma selain rerumputan. Oleh karena itu, sifatnya polifag. Larva menyerang tanaman muda dan tua dengan gejala serangan berupa defoliasi, baik sebagian dengan masih tersisanya tulang daun, maupun total.

d. Ulat grayak
Larva ulat grayak memiliki ciri khas, yaitu terdapatnya dua buah bintik hitam seperti bulan sabit pada tiap ruas abdomen, terutama ruas keempat dan kesepuluh yang dibatasi oleh garis-garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur sepanjang badan. Setelah telur menetas, larva tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, larva tersebut berpencaran. Larva tua bersembunyi di dalam tanah pada siang hari dan giat menyerang tanaman pada malam hari. Stadium larva terdiri atas enam instar dan berlangsung selama 13-17 hari dengan rata-rata 14 hari. Pupa terbentuk di dalam rongga-rongga di dalam tanah, dekat permukaan tanah. Stadium pupa berlangsung selama 7-10 hari dengan rata-rata 8,5 hari. Stadium imago (ngengat) berlangsung selama 1-13 hari dengan rata-rata 9,3 hari.
Imago meletakkan telur pada umur 2-6 hari. Produksi telur dapat mencapai 3.000 butir per induk betina, tersusun atas 11 kelompok dengan rata-rata 350 butir per kelompok. Telur diletakkan berkelompok dan ditutupi oleh bulu-bulu halus berwarna coklat-kemerahan. Stadium telur berlangsung selama 3-5 hari dengan rata-rata 3 hari. Daur hidup ulat grayak dari telur hingga imago bertelur berlangsung selama 28 hari.
Larva muda menyerang daun sehingga bagian daun yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulangnya saja. Larva tua juga merusak tulang-tulang daun sehingga tampak lobang-lobang bekas gigitan pada daun. Di samping kacang tanah, larva juga menyerang beberapa tanaman pangan lainnya, sayuran, tanaman industri, dan gulma.

e. Heliothis
Heliothis (Helicoverpa armigera) merupakan hama pemakan daun dan bunga kacang tanah. Selain kacang tanah, tanaman inangnya adalah kedelai, tembakau, jagung, sorgum, kapas, kentang, pupuk hijau, sayur-sayuran, dan tanaman hias. Larva tua berwarna-warni; hijau kekuningan, hijau, kecoklatan atau mendekati hitam dengan garis lateral yang terang agak bergelombang. Tubuh larva ditutupi oleh kutil dan rambut. Larva bersifat kanibal sehingga merupakan salah satu faktor kematian alami yang bersifat density dependent. Imago (ngengat) betina berwarna sawo matang, sedangkan yang jantan berwarna kehijauan. lmago umumnya bertelur secara berpencaran pada pucuk tanaman atau bunga pada malam hari. Telur berwarna kuning muda dengan umur telur 2-5 hari. Umur larva 18-25 hari, umur pupa 10-15 hari, dan umur imago 8-9 hari, pra peneluran 2-3 hari, dan kapasitas bertelur 1.062 butir per imago betina.

KONSEP DAN STRATEGI PHT

Umumnya, petani menanggulangi hama kacang tanah dengan mengandalkan insektisida yang diaplikasikan dengan cara yang sering kurang sesuai dengan kaidah-kaidah cara pengendalian yang bijaksana, seperti frekuensi yang terlalu tinggi, dosis insektisida yang kurang optimal, atau penggunaan volume semprot yang kurang dari semestinya. Penanggulangan hama dengan cara demikian itu sebenarnya bertentangan dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
PHT merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. lni berarti bahwa pengendalian hama harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Untuk itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin. Dengan demikian, perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat lainnya dapat diatasi/diantisipasi dan faktor-faktor pendukung dapat dikembangkan. Apabila dengan pengelolaan ekosistem tersebut masih terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, langkah selanjutnya adalah tindakan pengendalian.
Sasaran PHT adalah: 1) produktivitas pertanian mantap tinggi, 2) penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) populasi hama dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pada tingkatan yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) pengurangan resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau metode pengendalian hama. Taktik PHT, terutama adalah:
1. Pemanfaatan proses pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami.
2. Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi perikehidupan hama serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati. Beberapa teknik bercocok tanam, antara lain: a) penanaman varietas tahan, b) penanaman benih sehat, c) pergiliran tanaman dan pergiliran varietas, d) sanitasi, e) penetapan masa tanam, f) tanam serempak dan pengaturan saat tanam, g) penanaman tanaman perangkap/penolak, h) pengaturan jarak tanam, i) penanaman tumpang sari, j) pengelolaan tanah dan air, dan k) pemupukan berimbang sesuai dengan kebutuhan setempat.
3. Pengendalian fisik dan mekanis yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama.
4. Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi hama pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas sifat fiosiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan tentang ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan telah diizinkan.

PENERAPAN PHT

Ada empat prinsip yang ingin dilaksanakan dalam penerapan PHT, yaitu pembudidayaan tanaman sehat, pelestarian musuh alami, pemantauan secara rutin, dan pengambilan keputusan pengendalian oleh petani.

Budidaya Tanaman Sehat
Pengelolaan ekosistem melalui budidaya tanaman sehat bertujuan untuk membuat lingkungan pertanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan, pertumbuhan, dan perkembangbiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendalian hayati. Tujuan akhirnya adalah tingkat produksi yang maksimal dan aman dari gangguan hama. Oleh karena itu, budidaya tanaman sehat menjadi bagian penting dalam program pengendalian hama. Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologis yang tinggi terhadap gangguan hama. Beberapa macam teknik budidaya tanaman yang dianjurkan adalah:

a. Penanaman varietas tahan
Penanaman varietas tahan sebagai salah satu komponen sistem PHT berfungsi sebagai cara pengendalian utama dan juga sebagai tambahan terhadap cara pengendalian lain. Penggunaan varietas tahan memiliki keunggulan, antara lain bersifat spesifik, kumulatif, persisten, murah, dan kompatibel dengan cara pengendalian lain, khususnya pengendalian hayati. Kelemahan penggunaan varietas tahan adalah kemungkinan terjadinya perkembangan biotipe serangga yang mampu menyerang varietas tahan.

b. Penanaman benih sehat
Benih yang akan disebar/ditanam dipilih berdasarkan kriteria. bersertifikat dan/atau sehat, unggul, dan tahan hama. Benih yang sehat apabila ditanam akan tumbuh lebih cepat dan lebih tahan terhadap gangguan hama. Untuk itu, jangan menggunakan benih yang berasal dari pertanaman yang terserang hama.

c. Pergiliran tanaman
Pergiliran tanaman dan pergiliran varietas dimaksudkan untuk memutus rantai makanan sehingga dapat memutus siklus hidup hama, maupun menghindari risiko ketidak-seimbangan unsur hara yang tersedia.

d. Sanitasi
Sisa-sisa tanaman, gulma, dan tanaman inang lainnya di sekitar pertanaman merupakan tempat bertahan hidup hama. Oleh karena itu, pemusnahannya perlu dilakukan untuk memperkecil sumber inokulum awal. Sebagai contoh, di daerah kronis serangan tikus, biasanya terdapat banyak sarang tikus di semak-semak dan di bawah tumpukan sisa-sisa tanaman. Semak dan sisa tanaman di sekitar pertanaman harus dibersihkan.

e. Penetapan pola tanam
Pengaturan pola tanam dimaksudkan untuk membuat lingkungan yang kurang menguntungkan bagi hama untuk bertahan hidup, tumbuh dan berkembangbiak. Cara ini biasanya tidak memberikan hasil yang memuaskan karena sifatnya hanya mengurangi populasi hama. Namun demikian, cara ini cocok untuk diterapkan dalam program pengendalian hama karena menciptakan lingkungan yang relatif stabil dan tidak memberikan hasil pengendalian yang beragam, seperti yang dihasilkan bila mengandalkan pestisida saja.
Di lahan persawahan yang airnya berlimpah, umumnya petani menanam padi dua atau tiga kali dalam setahun. Penanaman satu jenis tanaman secara terus-menerus, apalagi dilakukan secara tidak serempak, memberikan peluang terjadinya eksplosi hama. Di lahan kering, petani menanam non-padi (palawija/sayuran) dua kali dalam setahun. Selama periode bera, populasi hama menurun. Pola tanam yang ideal di persawahan adalah padipadi-palawija/sayuran. Penanaman padi dua kali berturut-turut menggunakan varietas yang berbeda. Pola tanam yang ideal di lahan kering adalah dua atau tiga kali penanaman palawija/sayuran berlainan jenis.

f.  Tanam serempak dan pengaturan waktu tanam
Tanam serempak dilakukan dalam areal seluas-luasnya, yaitu pada hamparan dalam satu golongan air atau dengan batas-batas alami, seperti perkampungan atau topografi tertentu.
Tujuan bertanam serempak adalah untuk: 1) menciptakan populasi hama serendah-rendahnya pada awal pertumbuhan tanaman, 2) menciptakan populasi hama yang "seragam" agar perkembangannya lebih mudah diamati dan pengendaliannya juga lebih mudah dilakukan, 3) menghindari sumber serangan (dari tanaman yang tidak bertanam serempak), dan 4) mengencerkan populasi hama dan vektor virus per satuan luas.
Tujuan perencanaan waktu tanam adalah untuk 1) menghindarkan masa rentan tanaman dari serangan hama, dan 2) mengusahakan agar pada saat tanaman tumbuh, populasi hama rendah.

g. Penanaman tumpangsari
Tanaman palawija/sayuran biasanya ditanam secara tumpangsari. Populasi hama yang ditemukan bervariasi dari waktu ke waktu; mungkin jarang atau relatif berlimpah, tetapi keberadaannya stabil.

Pelestarian Musuh Alami
Di dalam ekosistem pertanian terdapat kelompok makhluk hidup yang tergolong predator, parasitoid, dan patogen. Ketiga kelompok makhluk hidup yang disebut musuh alami tersebut mampu mengendalikan populasi hama. Tanpa bekerjanya musuh alami, hama akan memperbanyak diri dengan cepat sehingga dapat merusak tanaman.
Predator merupakan kelompok musuh alami yang sepanjang hidupnya memakan mangsanya. Predator memiliki bentuk tubuh yang relatif besar sehingga mudah dilihat. Contoh predator penting adalah laba-laba Lycosa pseudoannulata, kumbang Coccinella arcuata dan Paederus fuscipes.
Parasitoid memiliki inang yang spesifik, berukuran relatif kecil sehingga sulit dilihat. Umumnya, parasitoid hanya memerlukan seekor serangga inang. Parasitoid meletakkan telurnya secara berkelompok atau individual di dalam atau di sebelah luar tubuh inangnya. Bila sebutir telur parasitoid menetas dan berkembang menjadi dewasa, maka inangnya akan segera mati. Parasitoid dapat menyerang telur, larva, nimfa, kepompong, atau inang dewasa. Contoh parasitoid penting adalah Apenteles sp.
Berbagai jenis patogen serangga dapat menyebabkan infeksi pada inangnya. Kelompok patogen serangga utama adalah cendawan, virus, dan bakteri. Contoh patogen serangga penting adalah cendawan Beauveria bassiana, virus nuclear-polyhedrosis, dan bakteri Bacillus thuringiensis. Patogen serangga dapat diproduksi secara massal dengan biaya relatif murah dalam bentuk cairan atau tepung yang dalam pelaksanaannya di lapang dapat disemprotkan seperti halnya dengan pestisida.
Usaha melestarikan musuh alami dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
1. Pendayagunaan teknik budidaya tanaman sehat yang mendorong berperannya musuh alami, misalnya penanaman varietas tahan, sanitasi selektif, dan penanaman dengan sistem tumpangsari.
2. Pengumpulan dan pemeliharaan kelompok telur. Parasitoid telur yang muncul dibiarkan lepas ke pertanaman, sedangkan telur yang menetas menjadi ulat, dimusnahkan.
3. Penggunaan pestisida secara bijaksana. Pestisida digunakan secara selektif, sebagai pilihan terakhir apabila populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan apabila berdasarkan hasil pemantauan, populasi hama telah melampaui ambang kendali.

Pemantauan Ekosistem
Masalah hama biasanya timbul karena hasil kerja kombinasi unsur-unsur lingkungan yang sesuai, baik biotik (tanaman atau makanan) maupun abiotik (iklim, cuaca, dan tanah), serta campur tangan manusia yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan populasi hama. Oleh karena itu, pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin oleh petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan melakukan tindakan yang diperlukan.
Kegiatan pemantauan populasi hama ditujukan untuk menentukan apakah populasi hama tersebut telah melampaui tingkat kerusakan ekonomis. Hal tersebut dimaksudkan agar populasi hama tidak terlambat dikendalikan. Dalam kegiatan tersebut, tingkat populasi hama tidak ditentukan dengan menghitung banyaknya individu hama secara keseluruhan di lapang, tetapi dengan menduga populasi hama berdasarkan teknik penarikan contoh.
Pemantauan populasi pada pertanaman dianjurkan seminggu sekali, mulai awal pertumbuhan tanaman hingga menjelang panen. Banyaknya individu hama di lapang dihitung dengan unit contoh berupa tanaman tunggal, rumpun tanaman, atau sejumlah tanaman per meter baris. Dalam hal ini perlu diingat bahwa unit contoh kecil yang berjumlah banyak memberikan data lebih dipercaya daripada unit contoh besar yang berjumlah sedikit.
Metode pemantauan umumnya dilakukan secara a) acak, menggunakan tabel nomor acak pada beberapa unit habitat, b) acak berstrata, yaitu dengan membagi lahan menjadi beberapa strata yang tidak tumpang tindih kemudian banyaknya unit contoh dibagi secara proporsional untuk tiap stratum dan ditempatkan secara acak, 3) acak diagonal, yaitu dengan mengambil contoh secara acak pada bidang diagonal lahan, dan 4) sistematik, yaitu dengan mengambil contoh pada selang ruang atau waktu tertentu. Pemilihan terhadap metode pemantauan umumnya didasarkan atas ketentuan yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan dan biaya penarikan contoh.
Kegiatan pemantauan juga dilakukan terhadap jenis dan populasi musuh alami dan keadaan tanaman. Tingkat kerusakan tanaman akibat serangan OPT ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
          a
P  =  -----  x  100%
          N
P=  tingkat kerusakan (%);
s=  jumlah tanaman atau bagian tanaman yang terserang;
N= jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati.

          ∑ (ni x vi)
P  =  --------------  X  100%
               ZN
P=  tingkat kerusakan (%);
ni= jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati dari tiap kategori serangan;
vi= nilai skala tiap kategori serangan;
Z=  skala kategori serangan tertinggi;
N= jumlah tanaman atau bagian tanaman yang diamati.
Nilai kategori serangan (v):
0=  tidak ada serangan;
1=  kerusakan >0 – 25%;
2=  kerusakan >25 – 50%;
3=  kerusakan >50 – 75%;
4=  kerusakan >7S – 100%.

Pengambilan Keputusan Pengendalian
Petani sebagai pengambil keputusan di lahannya sendiri hendaknya memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis ekosistem serta mampu menetapkan keputusan pengendalian hama secara tepat sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Contoh pengambilan keputusan pengendalian hama berdasarkan hasil pemantauan ekosistem adalah sebagai berikut :
1. Apabila ada tanaman atau sisa tanaman yang menunjukkan gejala terserang penyakit, maka tanaman dicabut dan dibenamkan ke dalam tanah, dan sisa tanaman dimusnahkan dengan jalan dibakar.
2. Di daerah kronis serangan suatu jenis hama, dilakukan penundaan waktu tanam, yaitu setelah puncak populasi hama terlewati.
3. Apabila ditemukan kelompok telur, segera dilakukan pengumpulan dan memeliharanya. Parasitoid telur yang muncul dibiarkan lepas ke pertanaman. Pengumpulan kelompok telur dilakukan setelah terlihat penerbangan ngengat, dengan selang waktu paling lambat 4 hari sekali, sehingga telur belum sempat menetas.
4. Dilakukan pengumpulan dan mematikan individu hama yang ditemukan di persemaian.
5. Apabila populasi ngengat mengkhawatirkan, dilakukan penangkapan ngengat dengan lampu (petromaks atau lampu listrik) yang dipasang di atas campuran air dan minyak tanah (perbandingan 40:1). Lampu dipasang di sekitar pertanaman.
6. Apabila ditemukan liang-liang aktif tikus dan tanda-tanda keberadaan populasi tikus di lahan, maka dilakukan gropyokan, sanitasi lingkungan, dan pengumpanan beracun menggunakan rodentisida antikoagulan. Kalau memungkinkan, dilakukan pemagaran menggunakan plastik yang dikombinasikan dengan bubu perangkap tikus.
7. Apabila populasi hama melampaui ambang kendali dan populasi musuh alami relatif berlimpah, maka jangan dilakukan pengendalian. Tetapi apabila populasi musuh alami relatif sedikit, maka dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif.

PENANGGULANGAN HAMA KACANG TANAH

Penanggulangan hama didasarkan atas pendekatan pengelolaan ekosistem secara menyeluruh. Untuk mempermudah pelaksanaan PHT, maka ekosistem didekati berdasarkan stadia pertumbuhan tanaman. Setiap stadia pertumbuhan tanaman mempunyai ciri khas hubungan antara tanaman, hama, dan lingkungannya. Ini mencakup ekosistem pra dan pasca tanam.

1. Pratanam
Pratanam merupakan tahap perencanaan ekosistem yang dilakukan oleh organisasi di tingkat kelompok tani dan menjalin kerjasama antar kelompok tani. Ekosistem yang direncanakan merupakan keadaan yang sedemikian rupa sehingga tidak memberikan kesempatan bagi hama untuk berkembang biak, tetapi justru memberikan kesempatan kepada unsur-unsur pengendali alami mampu bekerja seoptimal mungkin. Perencanaan ekosistem ini terwujud dalam bentuk Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Di sini disusun, antara lain pola tanam yang akan dilaksanakan, varietas yang akan ditanam, waktu tanam, kebutuhan dan pengelolaan air, kebutuhan sarana produksi dan penyediaannya, jumlah dan waktu penyediaan sarana produksi, dan lain-lain perencanaan yang berkaitan dengan usaha tani.
Kegiatan perencanaan dan pelaksanaan dalam periode pratanam, antara lain meliputi:
a. Perencanaan tanam serempak dan waktu tanam
-   Kacang tanah ditanam secara serempak dengan selisih waktu antara tanam awal dan tanam akhir tidak lebih dari 10 hari, dilakukan pada areal yang seluas-luasnya, yaitu pada hamparan dalam satu golongan air atau dengan batas-batas alami, seperti perkampungan atau topografi tertentu.

b. Perencanaan pergiliran tanaman
-   Bertanam kacang tanah setelah padi akan mengurangi serangan hama dan penyakit karena kebanyakan hama dan penyakit padi tidak menyerang kacang tanah, demikian pula sebaliknya.
-   Pergiliran tanaman disesuaikan dengan jenis lahan, tipe pengairannya, dan lamanya bulan basah. Selain itu kacang tanah dapat ditanam secara tumpangsari dengan jagung atau ubi kayu.
-   Pada lahan bekas kedelai atau kacang-kacangan sering masih terdapat sumber inokulum penyakit Rhizoctonia solani dan layu cendawan (Sclerotium rolfsii) yang dapat menyerang kacang tanah, namun biasanya serangan yang terjadi kurang-dari 15%.

c. Perencanaan varietas dan persiapan benih
-   Gunakan varietas unggul yang cocok untuk lahan setempat dan apabila memungkinkan gunakan varietas yang tahan lagak tahan/toleran terhadap penyakit (Tabel 3).
-   Gunakan benih berlabel, yaitu benih murni (tidak tercampur dengan varietas lain), berdaya kecambah 90% atau lebih, mulus, tidak keriput, tidak berlobang, dan sehat (tidak terserang cendawan). Jangan gunakan benih yang berasal dari lokasi atau pertanaman yang terserang virus belang.

d. Perencanaan teknik budidaya tanaman lainnya
-   Teknik budidaya tanaman lainnya, seperti pengolahan tanah, pembuatan saluran drainase, sanitasi, dan perbaikan lahan masam juga direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan anjuran agronomis.


2. Tanam
Penanaman benih kacang tanah dilaksanakan sesuai dengan anjuran agronomis, seperti penggunaan inokulasi Rhizobium untuk lahan yang jarang ditanami kacang tanah, waktu tanam, jarak tanam, cara tanam, dan pemupukan.

3. Fase tanaman muda (kurang dari 10 hst)
Hama dan penyakit penting yang mungkin dijumpai adalah virus belang kacang tanah (PSIV) yang ditularkan oleh serangga vektor (Aphis craccivora) yang dapat menggagalkan pembentukan polong, dan bakteri layu (Pseudomonas solanacearum) yang dapat mematikan tanaman kacang tanah, terutama saat menjelang pembungaan.


Pengamatan dilakukan sejak perkecambahan, terutama pada umur 7 hst. Pengamatan populasi atau intensitas serangan hama/penyakit dilakukan terhadap 10 rumpun contoh yang diambil secara sistematik-diagonal dalam petak alami kemudian dianalisis untuk pengambilan keputusan pengendaliannya.
Pada fase ini biasanya belum dijumpai adanya hama atau penyakit yang mengancam. Namun apabila ditemukan populasi A. craccivora dan Orosius argentatus (sejenis wereng, sebagai vektor mikoplasma atau sapu setan) maka perlu perhatian serius. Pada fase ini biasanya dijumpai predator laba-laba dan kumbang Coccinellidae. Keberadaan musuh alami tersebut akan membantu menekan populasi hama dan vektor virus. Oleh karena itu, dalam pengambilan keputusan hendaknya dilakukan dengan cermat.
Kotiledon yang terkena penyakit dikumpulkan dan dibuang di luar lahan pertanian (dikubur/dibakar) agar tidak menjadi sumber infeksi pada tanaman sekitarnya atau karena sebagai patogen tular tanah. Apabila dijumpai vektor virus atau mikoplasma, dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif.

4. Fase vegetatif (11-30 hst)
Hama utama yang mungkin dijumpai adalah pengorok daun (Biloba subsecivella), ulat penggulung daun (Lamprosema indicata), ulat jengkal (Chrisodeixis chalcites), ulat grayak (Spodoptera litura), Empoasca sp., dan tungau. Serangan virus yang ditularkan vektor, yaitu Aphis dan Orosius sampai tanaman berumur 21 hst masih sangat potensial. Kadang-kadang terjadi serangan bakteri layu dan layu cendawan yang sangat cepat dan mematikan tanaman. Dapat pula terjadi serangan Cercosporium personatum dan Cercospora arachidicola (bercak daun) dan Puccinia arachidis (karat). Kerusakan daun pada fase ini masih dapat dikompensasi dengan pembentukan daun baru sehingga kurang berpengaruh terhadap hasil panen. Namun demikian, keberadaan hama daun perlu diwaspadai agar tidak terjadi kerusakan berat.


Pada fase ini biasanya dijumpai berbagai jenis musuh alami. Predator biasanya lebih dominan daripada parasitoid. Predator yang banyak ditemukan, antara lain laba-laba, kumbang Coccinellidae, capung, semut, belalang sembah, tabuhan, dan kumbang Carabidae. Parasitoid yang mungkin dijumpai adalah Apanteles sp. Di beberapa lokasi sering ditemukan populasi musuh alami cukup tinggi sehingga berperan dalam penekanan populasi hama. Kerusakan daun pada fase ini biasanya relatif rendah dan tidak menurunkan hasil panen secara nyata. Oleh karena itu, pengendalian hama daun, seperti pengorok daun, ulat grayak, dan penggulung daun cukup dilakukan secara mekanis.
Apabila populasi ulat grayak relatif rendah, maka pengendaliannya dilakukan dengan cara pengumpulan ulat grayak yang baru menetas dan masih mengelompok pada daun tempat telur diletakkan. Apabila populasi pengorok daun, ulat grayak, ulat jengkal, dan penggulung daun melampaui ambang pengendalian, maka dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif. Apabila terdapat tanaman yang menunjukkan gejala serangan virus belang, sapu setan, layu cendawan, dan layu bakteri, maka sanitasi selektif harus dilakukan, yaitu tanaman dicabut, dikumpulkan dan dibuang atau dibakar di luar lahan pertanian. Apabila ditemukan populasi vektor virus di daerah serangan virus belang, maka perlu dilakukan pengendalian dengan menggunakan insektisida efektif. Apabila terdapat 20% daun terkena bercak daun dan karat, perlu dilakukan pengendalian dengan fungisida efektif.

5. Fase generatif (berbunga, berpolong, sampai menjelang panen (31-100/110 hst)
Hama yang mungkin dijumpai adalah pengorok daun, penggulung daun, ulat grayak dan ulat jengkal, meskipun biasanya kurang berarti. Namun demikian, tetap diperlukan pemantauan. Penyakit penting yang berkembang pada fase generatif seperti pada fase vegetatif, yaitu layu bakteri, layu cendawan, bercak daun, karat, virus belang, dan sapu setan.
Pengamatan gejala penyakit harus lebih diperhatikan terhadap pertanaman calon benih. Demikian juga terhadap populasi musuh alami. Berdasarkan hasil pemantauan populasi dan serangan hama serta keberadaan musuh alaminya, maka apabila dijumpai populasi hama, pengendaliannya sedapat mungkin dilakukan secara mekanis. Akan tetapi, apabila populasi hama melampaui ambang kendali, maka dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif. Apabila dijumpai ulat terparasit atau ulat terinfeksi virus, kemungkinan tidak perlu menggunakan insektisida. Penyakit yang muncul pada fase lanjut relatif sulit dikendalikan. Oleh karena itu, harus diantisipasi sejak dini.

6. Panen dan pasca panen
Apabila panen terlambat, kacang tanah yang telah tumbuh dan yang masih muda harus dipisahkan dari yang tua (yang akan disimpan). Hal ini karena kacang tanah yang telah tumbuh dan polong muda merupakan media yang baik untuk pertumbuhan cendawan Aspergillus flavus (penghasil aflatoxin) dan Penicillium sp.
Waktu dan cara panen, serta memprosesan panenan dilakukan sebagaimana yang dianjurkan. Kacang tanah yang akan dijadikan benih harus disortir dan dikeringkan dalam bentuk polong agar tidak terkontaminasi cendawan, bebas hama gudang, dan kidar airnya tetap hingga dapat disimpan sampai 1 tahun atau lebih. Biji untuk benih berkadar air 7% dapat pula disimpan dalam plastik tebal yang tertutup rapat.

PERANAN PETUGAS LAPANG

Untuk dapat menerapkan keempat prinsip, yaitu pembudidayaan tanaman sehat, pemantauan secara rutin, pelestarian musuh alami, dan pengambilan keputusan pengendalian oleh petani, petugas lapang harus mampu: 1) memahami konsepsi dan proses penerapan PHT di lapang, 2) memberikan bimbingan dan rekomendasi penerapan PHT bagi petani, dan 3) mengusahakan agar petani memahami dan melaksanakan proses penerapan PHT di lahan usaha taninya sendiri.
Tahap awal dalam pengendalian hama adalah perencanaan ekosistem. Ekosistem yang direncanakan merupakan keadaan yang tidak memberikan kesempatan bagi hama untuk berkembang biak, tetapi memberikan kesempatan bagi unsur-unsur pengendali alami mampu bekerja seoptimal mungkin. Langkah yang perlu dilakukan adalah persiapan organisasi petani berupa pemantapan kelompok tani dan pertemuan untuk membahas persiapan tanam pada musim yang akan segera dilaksanakan.
Salah satu kegiatan perencanaan yang penting adalah menyusun RDK (Rencana Definitif Kelompok) dan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) untuk kegiatan usahatani secara menyeluruh. Hal-hal yang perlu dipersiapkan, antara lain penetapan pola tanam, penentuan varietas, pengolahan tanah, sanitasi sumber serangan hama, waktu sebar/tanam, pengelolaan air, penyediaan kebutuhan sarana yang meliputi jenis (benih bersertifikat, pupuk), jumlah dan waktu penyediaannya. Persiapan tersebut diarahkan pada penciptaan keadaan yang dapat meningkatkan pengendalian alamiah untuk menjamin langkanya populasi hama. Hal ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan atau kestabilan ekosistem.
Pendekatan pengendalian hama didasarkan atas pendekatan pengelolaan ekosistem secara menyeluruh. Pendekatan pengelolaan ekosistem dilakukan secara sederhana sehingga petani mampu memahami dan melaksanakannya, sesuai dengan kemajuan teknologi.
Untuk mempermudah pelaksanaan PHT, maka ekosistem didekati berdasarkan fase pertumbuhan tanaman karena tiap fase memiliki ciri khas hubungan antara tanaman, hama dan lingkungannya. Untuk itu, usaha pembudidayaan tanaman sehat, pengamatan hama, pengamatan musuh alami, dan pengamatan komponen-komponen ekosistem lainnya perlu dilakukan agar pengambilan keputusan didasarkan atas keadaan keseluruhan komponen komponen ekosistem pada berbagai fase pertumbuhan tanaman. Sebagai contoh, bila populasi hama dan musuh alami masih dalam perbandingan yang menguntungkan hama, dan keadaan lingkungan tidak menguntungkan hama, maka keputusan yang diambil adalah tidak perlu dilakukan tindakan pengendalian. Akan tetapi, bila terjadi keadaan sebaliknya, maka tindakan pengendalian perlu dilakukan.

PROSPEK DAN TANTANGAN

Penerapan konsep PHT berskala luas, terutama pada padi dinilai cukup berhasil. Hal ini ditunjukkan, antara lain oleh semakin mampunya petani mengelola tanaman, termasuk menangani masalah hama. Keberhasilan penerapan PHT tersebut disebabkan, antara lain oleh adanya kelompok-kelompok tani. Melalui kelompok tani, berbagai cara pengendalian, terutama yang membutuhkan kerjasamma sesama petani dalam satu hamparan atau ekosistem, seperti tanam serempak dan pergiliran tanaman, dapat diterapkan. Di samping itu, dukungan Pemerintah Daerah melalui program pemasyarakatan PHT, penyediaan sarana fisik dan informasi, serta pengorganisasian pelaksanaan PHT, demikian juga peranan lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi dalam menyempurnakan teknologi PHT, mendorong keberhasilan penerapan PHT. Modal keberhasilan penerapan PHT tersebut tetap harus dipertahankan dan dikembangkan karena dengan pengetahuan dan ketrampilan petani dalam menerapkan PHT diharapkan akan membuat petani lebih mampu mengatasi masalah hama.
Kenyataan menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan PHT tersebut belum merata di seluruh petani di lndonesia. Di beberapa daerah, organisasi kelompok tani masih sangat lemah, atau hanya formalitas saja. Kondisi kelompok tani demikian tentu saja harus dibenahi. Kelompok-kelompok tani harus dibentuk, kemudian diperkuat dan dijadikan organisasi yang permanen. Pemerintah Daerah dan instansi terkait diharapkan memiliki program pemasyarakatan dan pelaksanaan PHT, antara lain melalui penyelenggaraan pelatihan seperti SLPHT.
Teknologi PHT, terutama pemanfaatan musuh alami dan varietas kedelai tahan hama dirasakan belum mantap sepenuhnya sehingga sering menyulitkan petani untuk menentukan alternatif cara pengendalian yang cocok dan memadukannya secara serasi. Belum manatapnya teknologi tersebut dapat dimaklumi karena PHT di lndonesia masih dalam taraf pemantapan. Namun demikian, PHT harus dilaksanakan seiring dengan usaha menyempurnakan teknologinya.

Minggu, 27 Februari 2011

79. Pemanfaatan Musuh Alami dalam Pengendalian Hama Utama Tanaman Teh, Kopi, dan Kelapa


Arifin, M. 1999. Pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama utama tanaman teh, kopi, dan kelapa. Seminar Pemasyarakatan PHT Tanaman Perkebunan. Dinas Perkebunan Kabupaten Bogor, 4-5 Agustus 1999. 19 p.

Muhammad Arifin
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan


PENDAHULUAN

Pada tanaman perkebunan sering dijumpai berbagai jenis serangga. Tidak semua jenis serangga tersebut berstatus hama. Beberapa jenis di antaranya justru merupakan serangga berguna, misalnya penyerbuk dan musuh alami (parasitoid dan predatcr). Ada juga jenis serangga berstatus tidak jelas karena hanya berasosiasi saja di pertanaman.
Ada ratusan jenis serangga berstatus hama pada tanaman perkebunan. Kehadiran serangga tersebut tidak selalu merugikan, sehingga tidak diperlukan pengendalian. Meskipun demikian, pertumbuhan populasinya harus diwaspadai agar tidak terjadi lonjakan yang mengarah ke eksplosi. Tidak terjadinya gangguan hama pada pertanaman karena populasinya terkendali secara alami, baik oleh faktor abiotis, misalnya iklim yang tidak mendukung, maupun oleh faktor biotis, misalnya tidak tersedianya sumber pakan dan berlimpahnya populasi musuh alami.
Di antara serangga-serangga hama, ada yang dikelompokkan sebagai hama utama karena memiliki potensi biotik (daya reproduksi, daya makan atau daya rusak, dan daya adaptasi) yang tinggi. Hama tersebut selalu mengakibatkan kehilangan hasil panen yang relatif tinggi sepanjang tahun, bahkan sering dilaporkan mengalami eksplosi, apabila kondisi lingkungan mendukung. Untuk mengendalikannya, petani pada umumnya menggunakan pestisida (kimiawi) yang diaplikasikan secara terjadual dengan frekuensi tinggi, tanpa memperhatikan keadaan populasi di lapang. Penggunaan insektisida menjadi berlebihan sehingga seringkali tidak mengenai sasaran, bahkan dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap pendapatan petani, maupun lingkungan, seperti musnahnya serangga berguna dan munculnya gejala resurgensi dan resistensi hama. Cara tersebut dilakukan karena belum tersedia cara pengendalian lain yang efektif dan tidak berdampak negatif di tingkat petani.
Mengingat dampak negatif penggunaan pestisida, pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan tentang sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pelaksanaannya dengan menciptakan dan menerapkan teknologi pengendalian hama yang berwawasan lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan musuh alami. Di dalam makalah ini dikemukakan beberapa jenis hama utama tanaman teh, kopi dan kelapa, dan cara pengendaliannya dengan memanfaatkan musuh alami berdasarkan pola pelaksanaan SLPHT.

KONSEP DAN STRATEGI PHT

PHT merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. Ini berarti bahwa pengendalian hama harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Untuk itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin. Dengan demikian, perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat lainnya dapat diatasi/diantisipasi dan faktor-faktor pendukung dapat dikembangkan. Apabila dengan pengelolaan ekosistem tersebut masih terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, langkah selanjutnya adalah tindakan pengendalian.
Sasaran PHT adalah: 1) produktivitas pertanian mantap tinggi, 2) penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) populasi hama dan kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pada tingkatan yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) pengurangan resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida.
Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau metode pengendalian hama. Taktik PHT, terutama adalah: 1) Pemanfaatan prosss pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami, 2) Pengelolaan ekosisem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi perikehidupan hama serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati, 3) Pengendalian fisik dan mekanis yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu aktivitas fisiologis  hama yang normal, serta mengubah lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama, dan 4) Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi hama pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas sifat fisiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan direkomendasikan. Ada empat prinsip yang harus dilaksanakan dalam penerapan PHT, yaitu pembudidayaan tanaman sehat, pelestarian musuh alami, pemantauan secara rutin, dan pengambiian keputusan pengendalian oleh petani.

Budidaya tanaman sehat

Pengelolaan ekosistem melalui budidaya tanaman sehat bertujuan untuk membuat lingkungan pertanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan, pertumbuhan, dan perkembangbiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendalian hayati. Tujuan akhirnya adalah tingkat produksi yang maksimal dan aman dari gangguan hama. Oleh karena itu, budidaya tanaman sehat menjadi bagian penting dalam program pengendalian hama. Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologis yang tinggi terhadap gangguan hama. Beberapa macam teknik budidaya tanaman yang dianjurkan adalah:

a. Penanaman varietas tahan
Penanaman varietas tahan sebagai salah satu komponen sistem PHT berfungsi sebagai cara pengendalian utama dan juga sebagai tambahan terhadap cara pengendalian lain. Penggunaan varietas tahan memiliki keunggulan, antara lain bersifat spesifik, kumulatif, persisten, murah, dan kompatibel dengan cara pengendalian lain, khususnya pengendalian hayati. Kelemahan penggunaan varietas tahan adalah kemungkinan terjadinya perkembangan biotipe serangga yang mampu menyerang varietas tahan.

b. Penanaman benih/bibit sehat
Benih/bibit yang akan ditanam dipilih berdasarkan kriteria: bersertifikat dan/atau sehat, unggul, dan tahan hama. Benih/bibit yang sehat apabila ditanam akan tumbuh lebih cepat dan lebih tahan terhadap gangguan hama. Untuk itu, jangan menggunakan benih/bibit yang berasal dari pertanaman yang terserang hama.

c.  Sanitasi
Sisa-sisa tanaman, gulma, dan tanaman inang lainnya di sekitar pertanaman merupakan tempat bertahan hidup hama. Oleh karena itu, pemusnahannya perlu dilakukan untuk memperkecil sumber inokulum awal.

Pelestarian musuh alami

Di dalam ekosistem pertanian terdapat kelompok makhluk hidup yang tergolong predator, parasitoid, dan patogen. Ketiga kelompok yang disebut musuh alami tersebut mampu mengendalikan populasi hama. Tanpa bekerjanya musuh alami, hama akan memperbanyak diri dengan cepat sehingga dapat merusak tanaman.
Predator merupakan kelompok musuh alami yang sepanjang hidupnya memakan mangsanya. Predator memiliki bentuk tubuh yang relatif besar sehingga mudah dilihat. Contoh predator penting adalah tungau Amblyseius deleoni yang memangsa tungau jingga, Brevipalpus phoenicis pada teh.
Parasitoid memiliki inang yang spesifik berukuran relatif kecil, sehingga sulit dilihat. Umumnya, parasitoid hanya memerlukan seekor serangga inang. Parasitoid meletakkan telurnya secara berkelompok atau individual di dalam atau di sebelah luar tubuh inangnya. Bila sebutir telur parasitoid menetas dan berkembang menjadi dewasa, maka inangnya akan segera mati. Parasitoid dapat menyerang telur, larva, nimfa, pupa atau imago inang. Contoh parasitoid penting adalah lebah Cephalonomia stephanoderis yang memparasit kumbang penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei.
Berbagai jenis patogen serangga dapat menyebabkan infeksi pada inangnya. Kelompok patogen serangga utama adalah cendawan, virus, dan bakteri. Contoh patogen serangga penting adalah cendawan Beauveria bassiana yang menginfeksi kumbang penggerek buah kopi, vrrus Baculovirus oryctes yang menginfeksi kumbang nyiur, Oryctes rhinoceros, dan bakteri Bacillus thuringiensis. Patogen serangga dapat diproduksi secara massal dengan biaya relatif murah dalam bentuk cairan atau tepung yang dalam pelaksanaannya di lapang dapat disemprotkan seperti halnya dengan pestisida.
Usaha melestarikan musuh alami dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: 1) Pendayagunaan teknik budidaya tanaman sehat yang mendorong berperannya musuh alami, misalnya penanaman varietas tahan, sanitasi selektif dan penanaman dengan sistem tumpangsari, 2) Pengumpulan dan pemeliharaan kelompok telur. Parasitoid telur yang muncul dibiarkan lepas ke pertanaman, sedangkan telur yang menetas menjadi ulat, dimusnahkan, 3) Penggunaan pestisida secara bijaksana. Pestisida digunakan secara selektif, sebagai pilihan terakhir apabila populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan apabila berdasarkan hasil pemantauan, populasi hama telah melampaui ambang kendali.

Pemantauan ekosistem

Masalah hama biasanya timbul karena hasil kerja kombinasi unsur-unsur lingkungan yang sesuai, baik biotik (tanaman atau makanan) maupun abiotik (iklim, cuaca, dan tanah), serta campur tangan manusia yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan populasi hama. Oleh karena itu, pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin oleh petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan melakukan tindakan yang diperlukan.
Kegiatan pemantauan populasi hama ditujukan untuk menentukan apakah populasi hama tersebut telah melampaui tingkat kerusakan ekonomis. Hal tersebut dimaksudkan agar populasi hama tidak terlambat dikendalikan. Dalam kegiatan tersebut tingkat populasi hama tidak ditentukan dengan menghitung banyaknya individu hama secara keseluruhan di lapang, tetapi dengan menduga populasi hama berdasarkan teknik penarikan contoh.
Pemantauan populasi pada pertanaman dianjurkan seminggu sekali, mulai awal pertumbuhan tanaman hingga menjelang panen. Banyaknya individu hama di lapang dihitung dengan unit contoh berupa tanaman tunggal atau sejumlah tanaman per unit area. Dalam hal ini perlu diingat bahwa unit contoh kecil yang berjumlah banyak memberikan data lebih dipercaya daripada unit contoh besar yang berjumlah sedikit. Kegiatan pemantauan juga dilakukan terhadap jenis dan populasi musuh alami, dan keadaan tanaman.
Metode pemantauan umumnya dilakukan secara (a) acak menggunakan tabel nomor acak pada beberapa unit habitat, (b) acak berstrata, yaitu dengan membagi lahan menjadi beberapa strata yang tidak tumpang-tindih kemudian banyaknya unit contoh dibagi secara proporsional untuk tiap stratum dan ditempatkan secara acak, (3) acak diagonal, yaitu dengan mengambil contoh secara acak pada bidang diagonal lahan, dan 4) sistematik, yaitu dengan mengambil contoh pada selang ruang atau waktu tertentu. Pemilihan terhadap metode pemantauan umumnya didasarkan atas ketentuan yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan dan biaya penarikan contoh.

Pengambilan Keputusan Pengendalian

Petani sebagai pengambil keputusan di lahannya sendiri hendaknya memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis ekosistem serta mampu menetapkan keputusan pengendalian hama secara tepat sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Contoh pengambilan keputusan pengendalian hama berdasarkan hasil pemantauan ekosistem adalah sebagai berikut:
1. Apabila ada bagian tanaman yang menunjukkan gejala terserang penyakit, maka bagian tanaman terserang dipangkas dan dimusnahkan dengan jalan dibakar.
2. Apabila ditemukan kelompok telur, segera dilakukan pengumpulan dan memeliharanya. Parasitoid telur yang muncul dibiarkan lepas ke pertanaman. Pengumpulan kelompok telur dilakukan setelah terlihat penerbangan imago, dengan selang waktu paling lambat 4 hari sekaii, sehingga telur belum sempat menetas.
3. Dilakukan pengumpulan dan mematikan individu hama yang ditemukan di pertanaman.
4. Apabila ditemukan liang-liang aktif tikus dan tanda-tanda keberadaan populasi tikus di lahan maka dilakukan gropyokan, sanitasi lingkungan, pemasangan bubu perangkap tikus, dan pengumpanan beracun menggunakan rodentisida antikoagulan.
5. Apabila populasi hama melampaui ambang kendali dan populasi musuh alami relatif berlimpah, maka jangan dilakukan pengendalian. Tetapi apabila populasi musuh alami relatif sedikit, maka dilakukan pengendalian dengan insekisida efektif.

HAMA UTAMA DAN MUSUH ALAMI PADA TANAMAN TEH, KOPI, DAN KELAPA

1. Tungau jingga tanaman teh
Tungau jingga, Brevipalpus phoenicis (Geijskes) (Acaeina, Tenuipalpidae) berukuran 0,2 mm dan berwarna jingga-kemerahan. Tungau merusak daun teh tua, khususnya pada permukaan bawah daun dan ptiolus. Tungau membentuk koloni pada pangkal daun di sekitar ptiolus. Serangan awal ditandai oleh becak-becak kecil pada pangkal daun. Serangan lanjut ditandai oleh daun yang berubah warna menjadi kemerahan kemudian kering dan akhirnya rontok. Serangan berat mengakibatkan tanaman teh tidak berdaun sama sekali. Nilai ambang kendali hama ini 24 ekor/daun teh tua atau gejala serangan 50%. Amblyseius deleoni Muma et Denmark (Parasitiformes, Phytoseiidae) merupakan tungau predator penting yang memangsa tungau jingga.

2. Kepik pengisap pucuk daun teh
Imago kepik pengisap pucuk daun teh, Helopeltis theivora Watt. dan H. antonii Sign. (Hemiptera, Miridae) berukuran 6,5-7,5 mm dan mempunyai tonjolan seperti jarum pentol pada bagian punggung. Imago jantan dengan toraks berwarna hitam kemerahan dan abdomen berwarna hijau tua. Imago betina dengan toraks berwarna hijau kebiruan dan abdomen berwarna hijau muda. Stadia imago dapat hidup lebih dari 50 hari. Telur berukuran 1-1,5 mm dan berbentuk kapsul dengan 2 helai benang yang tidak sama panjang yang menyembul ke luar pada bagian ujungnya. Telur mula-mula jernih kemudian putih. Telur diletakkan secara berkelompok (5-8 butir/kelompok) pada bagian internodus atau tulang daun. Stadia telur 7-14 hari. Nimfa baru berukuran panjang 5-6,5 mm, berwarna kuning jernih kemudian berubah menjadi kehijauan/coklat-kemerahan. Nimfa baru berbulu, belum memiliki tonjolan pada toraks. Tonjolan mulai terlihat setelah nimfa berganti kulit pertama. Stadia nimfa 14-24 hari. Nimfa dan imago menusuk daun muda dan pucuk/tunas dengan stiletnya untuk mengisap cairan sel. Gejala serangannya berupa becak-becak pada jaringan tanaman akibat sekresi ludah yang ditusukkan ke jaringan sewaktu serangga mengisap tanaman. Bila tusukan berdekatan, becak akan berwarna coklat. Organ tanaman yang terserang berat akan mengering.
Musuh alami hama ini, antara lain jenis parasitoid, Euphorus helopeltidis Ferr. (Hymenoptera, Braconidae) dan Erythmelus helopeltidis Gah. (Hymenoptera, Mymaridae), jenis predator, Cosmolestes picticeps Stal., Isyndros heros (F.), Sycanus annulicornis Dohrn., S. leucomesus Wlk. (Hemiptera, Reduviidae), semut hitam, Dolichodorus thoracicus (Hymenoptera, Formicidae), dan jamur patogen, Spicaria javanica.

3. Ulat jengkal tanaman teh
Larva ulat jengkal, Hyposidra talaca (Walker) berwarna hitam atau coklat bergaris putih, menyerang daun muda, pucuk dan daun tua. Serangan meningkat pada musim kemarau. Gejala serangan berupa gerekan atau lobang pada daun. Serangan berat mengakibatkan tanaman gundul, hanya ranting saja yang tertinggal. Larva berpupasi di dalam tanah di bawah perdu teh. Produksi telur 400-900 butir/ekor. Telur diletakkan secara berkelompok (50-200 butir/kelompok) pada celah kulit pohon pelindung. Telur ditutupi bulu seperti kapas dan berukuran 0,4-0,7 mm. Telur baru berwarna kehijauan dan sebelum menetas berwarna agak keabu-abuan. Siklus hidupnya 57-70 hari; telur 8-9 hari, larva 28-35 hari, pupa 17-21 hari, dan imago 3-5 hari.

4. Ulat penggulung daun teh
Imago ulat penggulung daun teh, Homona coffearia (Nietner) meletakkan telurnya dalam satu kelompok (100-150 butir/kelompok) pada bagian atas daun tua. Larva dengan kepala berwarna hitam atau coklat tua. Larva instar V berukuran 2,5 cm. Larva membuat sarang dengan cara menggulung dan menyatukan beberapa helai daun muda atau tua dengan benang-benang sutera. Pupa dapat ditemukan pada gulungan daun. Siklus hidupnya 5-8 minggu; telur 6-11 hari; larva 5-6 hari, pupa 7-10 hari. Serangan meningkat pada musim kemarau. Serangan berat mengakibatkan tanaman gundul.
Musuh alaminya, antara lain parasitoid Macrocentrus homonae Nix. (Hymenoptera, Braconidae) dan Elasmus homonae. Parasitoid M. homonae pemah di ekspor, antara lain ke Srilanka pada tahun 1935/1936 dan berhasil menanggulangi hama yang sama. Serangga ini juga diekspor ke Australia pada tahun 1991/1992 untuk menanggulangi Homona sporbiotis penggulung daun alpukat. Siklus hidupnya 3 minggu.

5. Wereng Empoasca
Wereng teh, Empoasca (Sundapteryx) biguttula (Ishida) (Homoptera, Cicadellidae) menyerang pucuk dan daun muda. Populasi serangga ini meningkat pada musim kemarau. Gejala serangan dikelompokkan berdasarkan sifat serangan. Serangan ringan bila daun memperlihatkan gejala klorosis (perubahan warna menjadi coklat tua) pada tulang daun, serangan sedang bila bagian pinggiran daun sebagian besar mengeriting, dan serangan berat bila sebagian besar daun muda berwarna kuning kusam, mengeriting dan sebagian terjadi kematian pinggiran daun.
Imago berukuran panjang 2,3-2,7 mm, berwarna hijau-kekuningan dengan warna sayap hijau-pucat dan warna tarsal hijau. Imago jantan berumur 8 hari dan yang betina 6 hari. Produksi telur 200-300 butir/ekor. Telur disisipkan secara tunggal pada jaringan tanaman bagian urat daun, ketiak daun, atau tangkai daun. Telur berwarna keputihan, berukuran panjang 0,55 mm dan diameter 0,15 mm. Telur menetas setelah 6-7 hari. Nimfa berumur 5-15 hari, hidup pada permukaan daun bagian bawah. Instar V berwarna hijau-pucat panjang 2,2 mm dan lebar 0,6 mm. Cara berjalan serangga ini khas, yaitu berjalan serong (menyamping) dan meloncat jika pindah tempat. Siklus hidupnya 18-25 hari. Musuh alaminya, antara lain Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera, Coccinellidae), yaitu jenis kumbang predator yang umum diketahui memangsa kutu loncat pada lamtoro.

6. Kumbang penggerek buah kopi
Imago (kumbang) penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei Ferrari (Coleoptera: Scolytidae) berwarna hitam coklat aiau hitam mengkilap. Tubuhnya ditumbuhi rambut-rambut, berukuran panjang 1,2-1,7 mm dan lebar 0,6-0,7 mm. Imago betina yang siap bertelur terbang pada sore dan petang hari, sedang yang jantan tetap berada di dalam biji kopi. Lama hidup imago betina 87-102 hari, sedang yang jantan 110-135 hari. Telur diletakkan dalam lobang gerekan. Telur berwarna putih bening dan berbentuk bulat panjang. Stadium larva hidup dalam lobang gerekan, terdiri dari 2 instar untuk jantan dan 3 instar untuk betina. Larva muda berwarna putih, sedangkan yang tua berwarna kecoklatan dengan panjang tubuh ± 1,5 mm. Lama stadium larva 10-21 hari dengan masa istirahat sebelum menjadi papa (prapupa) selama 2 hari. Pupa berwarna putih dan berukuran 1 mm. Stadium pupa 4-6 hari, kadang-kadang sampai 8 hari. Daur hidup dari telur sampai dewasa 25-35 hari. Bila buah kopi tersedia sepanjang tahun, dapat terjadi 8-10 generasi.
Kumbang menyerang buah kopi pada saat biji mulai mengeras (umur sekitar 3 bulan) sampai panen. Gejala serangannya berupa bekas lobang gerekan pada ujung buah. Pada buah kopi baru, kumbang betina membuat lobang kemudian masuk ke dalam biji untuk meletakkan telur. Telur menetas dan berkembang hingga menjadi imago dalam buah kopi. Serangan terhadap buah muda menyebabkan buah tidak dapat berkembang kemudian busuk dan gugur.
Musuh alaminya, antara lain empat jenis parasitoid, yaitu Heterospilus coffeicola Schm. (Hymenoptera, Braconidae), Cephalonomia stephanoderis Betr. (Hymenoptera, Bethylidae), Prorops nasuta Wat. (Hymenoptera, Bethylidae), Crematogaster difformis Sm. (Hymenoptera, Formicidae), satu jenis predator, yaitu Dindymus rubiginosus (Heteroptera, Pyrrhocoridae), dan tiga jenis cendawan Botrytis stephanoderes, Beauveria bassiana, dan Spicaria javanica.

7. Kutu putih atau kutu dompolan kopi
lmago kutu putih atau kutu dompolan kopi, Planococcus citri Risso (Homoptera, Pseudococcidae) berukuran 3,5 X 2 mm dan berwarna kuning muda dengan bagian punggung yang ditutupi lilin. Imago jantan bersayap tembus pandang sedangkan yang betina tidak bersayap. Produksi telur 200-400 butir/ekor. Telur berbentuk lonjong, berukuran 0,1-0,4 mm, berwarna kuning muda, dan diletakkan secara berkelompok dan diselimuti oleh benang-benang halus. Lama stadia telur 3-5 hari. Stadium nimfa terdiri dari 4 instar untuk betina dan 3 instar untuk jantan. Nimfa berbentuk hampir sama dengan imago, berukuran 0,5 mm, dan membentuk koloni. Lama hidup instar I 6-10 hari, instar II 10-14 hari, instar III 14 hari. Siklus hidup hama ini 34-43 hari. Nimfa dan imago mengisap kuncup bunga, tunas, dan cabang. Pada populasi tinggi, organ-organ tanaman yang terserang menjadi kering, sedangkan pada populasi sedang menyebabkan sebagian besar permukaan daun ditutupi oleh cendawan embun jelaga. Pemencaran populasi secara cepat dibantu oleh semut gramang, Anoplolepis longipes.
Hama ini memiliki beberapa jenis predator, antara lain Scymus roepkei de Fl., S. apiciflavus Motsch., Brumoides (Brumus) suturalis F.), Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera, Coccinellidae), Coccidiplosis smithi (Felt) (Diptera, Cecidomyiidae), dan beberapa jenis parasitoid, antara lain Coccidiplosis smithi (Felt) (Diptera, Cecidomyiidae), Anagyrus greeni How. (Hymenoptera, Encyrtidae), dan Leptomastix trilongifasciatus Gir. (Hymenoptera, Encyrtidae).

8. Kutu hijau tanaman kopi
Imago kutu hijau Coccus viridis (Green) (Homoptera, Coccidae) berwarna hijau muda sampai hijau tua. Bentuk tubuh bulat telur, pipih, panjang 2,5-3,3 mm dan lebar 1,5-2 mm bersifat immobil. Tubuh dilengkapi dengan dua mata tunggal berwarna hitam, operkulum (dua bangunan segitiga berwarna coklat yang bersatu dan menutupi anusnya), dan sebuah stilet yang panjangnya kurang lebih sama dengan panjang badannya. Produksi telur 600 butir/ekor. Telur berkembang di dalam tubuh induknya. Nimfa yang baru muncul untuk sementara waktu berada di dekat tubuh induknya. Siklus hidupnya 45-65 hari.
Kutu hijau berkelompo pada permukaan bawah daun dan tulang daun. Kutu mengisap cairan pada bagian tanaman yang muda, seperti daun, tunas, tangkai bunga, dompolan muda, dan ujung dahan. Warna hijau dari bagian tanaman yang diisap berubah menjadi kuning. Daun yang terserang berat akan mengering dan gugur. Serangan kutu hijau pada tanaman muda mengakibatkan tehambatnya pertumbuhan tanaman, sehingga menjadi kerdil. Serangan pada tanaman fase generatif mengakibatkan turunnya hasil panen. Kehadiran kutu hijau dibantu oleh kehadiran semut, terutama semut gramang.
Beberapa janis musuh alami hama ini, antara lain predator Chilocorus melanophthalmus Muls. dan Orcus janthinus Muls. (Coleoptera, Coccinellidae), dan parasitoid Coccophagus bogoriensis Kngb. (Hymenoptera, Encyrtidae)

9. Penggerek cabang hitam dan coklat tanaman kopi
Penggerek cabang hitam, Xylosandrus compactus Eichhoff dan penggerek cabang coklat, X. morigerus Blandford menyerang kopi sejak pembibitan sampai tanaman dewasa. Pada bibit, kumbang menggerek batang dekat dengan permukaan tanah. Gerekan diperluas ke arah atas dan bawah pada jaringan empulur, sehingga mengakibatkan daun layu dan akhirnya bibit mati. Serangan pada tanaman muda menghambat pertumbuhan dan pada tanaman produktif mengakibatkan keringnya cabang.
Telur diletakkan 7-8 hari setelah serangga betina masuk ke dalam cabang. Tiap serangga betina mampu meletakkan 30-50 butir telur dalam satu lobang gerekan. Lama stadium telur 4-5 hari, larva 11 hari, pupa 7 hari. Stadium larva terdiri dari 2-3 instar. Perkawinan terjadi di dalam liang gerekan. Perbandingan antara serangga betina dan jantan 7:1. Serangga jantan tetap berada di dalam liang gerekan, sedangkan yang betina, setelah dibuahi akan terbang menggerek cabang baru untuk meletakkan telurnya.

10. Penggerek batang merah tanaman kopi
Imago penggerek batang merah, Zeuzera coffeae Nietner dan Z. roricyanea Walk. (Lepidoptera: Cossidae) mampu berproduksi telur sebanyak 500-1000 butir. Telur berukuran panjang 1 mm dan lebar 0,5 mm, berwarna kuning-kemerahan, dan berumur 10-11 hari. Telur diletakkan pada celah-celah kulit pohon. Larva berwarna merah cerah sampai ungu sawo-matang dan panjangnya 3-5 mm. Stadium larva 81-151 hari. Pupa berada di dalam "kamar pupa" pada liang gerek. Panjang kamar pupa 7-12 cm. Bagian atas dan bawah kamar pupa disumbat oleh sisa-sisa gerekan. Larva menggerek batang muda (± 3 tahun) dan cabang berdiameter 3 cm. Liang gerekan berukuran panjang 40-50 cm dan diameter 1-1,2 cm yang melingkari batang dalam kulit sekunder, sehingga bagian atas cabang itu mati dan mudah patah. Serangan pada cabang muda hanya menyebabkan hambatan pertumbuhan, sehingga batang dapat tumbuh normal kembali. Serangan hama ini juga ditandai oleh kotoran larva yang berbentuk silindris dan berwarna merah sawo-matang yang dikeluarkan melalui liang gerek.
Musuh alami hama ini, antara lain jenis parasitoid, Bracon zeuzerae (Hymenoptera, Braconidae), Carcelia (Senometopia) kockiana Towns., dan lsosturmia chatterjeeana (Cam.) (Diptera, Tachinidae). Kedua jenis Tachinidae mempunyai hiperparasit, yaitu Brachymeria punctiventris (Cam.) (Hymenoptera, Chalcididae). Selain dengan serangga musuh alami, hama ini dapat juga dikendalikan dengan jamur patogen serangga, Beauveria bassiana.

11. Kumbang nyiur
Kumbang nyiur, Oryctes rhinoceros L. pada stadia telur, larva dan pupa hidup pada sarang berupa bahan-bahan organik di tanah, khususnya sisa batang kelapa yang membusuk, limbah penggergajian kayu, limbah penggilingan padi, sampah pasar, dan kotoran ternak. Imago muda juga berada pada sarang, sedangkan yang dewasa terbang menyerang pucuk kelapa dan melangsungkan perkawinan kemudian kembali ke sarang untuk bertelur. Imago berwarna hitam, bagian bawah badan berwarna coklat kemerahan, panjang 40 mm dan lebar 20 mm. Cula imago jantan lebih panjang daripada yang betina. Imago berumur 3-5 bulan dan produksi telurnya 35-70 butir/ekor. Telur berwarna putih, panjang 3-4 mm, lebar 2-3 mm dan berumur 9-10 hari. Larva muda berwarna putih, bagian mulut merah-kecoklatan, panjang 7-8 mm, kepala dan tungkai berwarna coklat. Larva tua panjang 60-105 mm, lebar 25 mm, bentuk membengkok, ujung abdomen berbentuk kantong, dan ditumbuhi rambut-rambut pendek. Stadium larva 2,5-4 bulan. Pupa berwarna coklat, panjang 45-50 mm, lebar 22 mm. Bakal alat mulut, sayap, tungkai, dan cula terlihat jelas. Pupa berada dalam kokon yang terbuat dari tanah atau sisa-sisa serat tanaman. Stadium pupa 17-22 hari.
Kumbang (imago) menyerang pucuk pohon dan pangkal daun muda. Kerusakan baru pada tanaman terlihat setelah daun membuka 1-2 bulan kemudian, berupa gambaran guntingan-guntingan segitiga seperti huruf V. Kalau titik tumbuh yang terserang, pohon akan mati. Sifat memakan ini selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Stadium imago 3-5 bulan. Karena umur yang panjang dan sifat memakan yang selalu berpindah-pindah menyebabkan daerah serangannya luas dan tingkat serangannya berat. Musuh alami Oryctes, antara lain parasitoid larva, Scolia arcytophaga (Hymenoptera, Scoliidae), jamur patogen, Metarrhizium anisoliae, dan virus patogen, Baculovirus oryctes.

12. Kumbang jamur
Kumbang janur, Brontispa longissima Gestro memiliki telur berbentuk pipih, lonjong, panjang 1,4 mm dan lebar 0,5 mm. Telur diletakkan secara berkelompok 2-7 butir/kelompok pada lipatan janur. Stadium telur 4-7 hari. Lana baru panjangnya 2 mm dan larva tua 8-10 mm. Stadium larva 23-43 hari. Pupa berwarna putih-kekuningan kemudian menjadi merah kecoklatan, panjangnya 8-10 mm dan lebar 2 mm. Stadium pupa 4-5 hari. Imago panjangnya 7,5-10 mm dan lebar 1,5-2 mnr, bentuknya pipih panjang. Stadium imago 75-90 hari. Stadia larva dan imago merupakan stadia aktif karena di dalam lipatan janur melakukan kegiatan mengetam atau menggerigiti dan memakan kulit janur secara memanjang. Setelah daun membuka, tampak jaringan becak-becak memanjang dan daun menjadi keriput kemudian kering dan berwarna coklat.
Musuh alami hama ini, antara lain parasitoid telur, Haeckeliana brontispae F. dan Ooencyrtus padontiae Bah., parasitoid larva tua dan pupa Tetrastichodes brontispae Ferr., dan jamur patogen Metarrhizium anisopliae Str. Brontispae. Parasitoid T. brontispae berwarna hitam, panjang 1,5-2 mm. Parasitoid jantan dengan ujung abdomen tumpul, sedang yang betina runcing. Imago meletakkan telur pada tubuh larva tua atau pupa baru. Setelah 4-6 hari, pupa yang terserang menjadi tegang dan tidak bergerak kemudian mati. Dalam satu individu pupa dapat keluar 18-20 ekor parasitoid.

13. Ulat mayang kelapa
Larva ulat majang kelapa, Batrachedra arenosella Wlk. (Lepidoptera, Cosmopterigidae) merupakan stadium yang aktif merusak. Larva merusak bunga jantan dan bunga betina yang terdapat di dalam mayang-1 dan mayang-2. Imago bertelur pada alur kulit seludang secara terpisah atau berkelompok. Telur berwarna putih-kekuningan, lonjong, dan berumur 4 hari. Larva segera menggerek seludang menuju bunga-bunga jantan. Larva berwarna putih dengan kepala berwarna coklat-kehitaman. Panjang larva tua 0,8 cm, ruas tubuhnya dilingkari oleh gelang-gelang berwarna hijau-kecoklatan. Stadium larva 1-2 minggu. Larva berpupa pada pangkal tangkai bunga. Stadium pupa 10 hari. Ketika seludang membuka, imago telah terjadi.
Musuh alami Batrochedra, antara lain parasitoid telur Trichogramma sp, (Hymenoptera, Trichogrammatidae), Meteorus sp, Apanteles sp. dan Chetonus sp. (Hymenoptera, Braconidae). Di antara keempat jenis parasitoid tersebut, Chetonus sp. dapat dikembangbiakkan dengan inang penggantinya, yaitu telur ulat penggerek umbi kentang, Phthorimaes operculella Zell. Di lapang, dalam pupa inang hanya ditemukan seekor parasitoid, jantan atau betina. Sepasang parasitoid mampu menurunkan keturunannya 14 ekor. Masa inkubasi parasitoid di dalam tubuh inang penggantinya 26-27 hari. Parasitoid bersifat arenothoky.

14. Belalang pedang
Belalang pedang Sexava sp. memiiiki siklus hidup 243 hari, telur 45 hari, nimfa 108 hari, dan imago 90 hari. Musuh alami Sexava, antara lain parasitoid telur Leefmansia bicolor, Doirania leefmansia Waterson (Hymenoptera, Trichogrammatidae), Tetrastichoides dubius, dan Prosapegus atrellus. Di antara keempat jenis parasitoid tersebut, yang dapat dikembangbiakkan adalah Leefmansia bicolor.

15. Kutu perisai
Kutu perisai, Aspidiotus destructor Sign. berkembang pada musim kemarau dan merusak daun kelapa agak tua. Daun yang terserang tampak menguning pada permukaan daun bagian atas. Kutu perisai hidup berkoloni di bawah perisai dan berkembangbiak secara partenogenesis. Tiap kutu dapat memproduksi 50 butir telur yang diltakkan di sekeliling tubuhnya, di bawah perisai. Dalam 2-3 hari, telur menetas menjadi nimfa. Setelah 3 minggu, nimfa menjadi imago. Siklus hidupnya 1 bulan.
Musuh alami kutu perisai, antara lain tiga jenis parasitoid, yaitu Aphytis (Aphelinus) chrysomphali (Merc.), Aspidiotiphagus citrinus Craw., dan Spanioterus crucifer Gah. (Hymenoptera, Encyrtidae), dan iima jenis predator, yaitu Chilocorus melanophthalmus Muls., Cryptolaemus sp., Scymnus severini (Coleoptera, Coccinellidae). Ancylopteryx sp, dan Chrysopa sp. Imago Chilocorus berwarna kuning merah dengan diameter tubuh 4 mm, sedangkan larva agak kehitaman. Larva Cryptolaemus berwarna putih dengan duri-duri berlapis lilin tebal yang tidak kaku dengan panjang tubuh 5-6 mm. Imago Scymnus berdiameter 2 mm dan panjang 2,5 mm. Larva berwarna kuning pucat dengan panjang tubuh 3-4 mm.

16. Artona catoxantha
Artona catoxantha Hamps. memiliki telur berwarna hijau bening kekuningan, lonjong, panjangnya 1 mm dan diletakkan borkelompok pada permukaan bawah anak daun. Telur berumur 4-5 hari. Larva muda berwarna kuning cerah. Larva tua dilengkapi dengan garis-garis memanjang berwarna hitam semu ungu pada punggung dan kepala berwarna kuning-kemerahan. Panjang larva 12 mm. Larva muda menggerogoti permukaan bawah anak daun, sedangkan larva tua memakan anak daun sampai ke permukaan atas. Anak daun yang terserang akan mengering dan terlihat seperti terbakar. Anak daun setengah tua paling disukai. Umur larva 16-23 hari. Serangan Artona tidak akan mematikan kelapa. Serangan ringan berupa gejala titik pada permukaan bawah daun. Lama kelamaan menjadi gejala garis, dan akhirnya menjadi gejala tepi. Serangan berat mengakibatkan hampir semua anak daun kering, tetapi karena bagian pucuk tidak terserang, kelanjutan hidup kelapa dapat dipertahankan.
Pupa muda berwarna kekuningan, berada di bawah kokon yang berbentuk lonjong dengan warna merah sawo yang tersebar di sepanjaag lidi dan permukaan bawah anak daun. Bakal sayap dan mata berwarna hitam. Umur pupa 10 hari. Imago berwarna hitam semu merah-kecoklatan, tengkuk dan pinggir sayap depan dan bagian bawah badan berwarna kuning. Imago biasa ditemukan berjejer di ujung anak daun dengan posisi membentuk huruf V dengan permukaan hinggapnya. Siklus hidupnya 35 hari.
Musuh alami Artona, antara lain tiga jenis tabuhan parasioid larva, yaitu Apanteles artonae, Goryphus inferus, dan Neoplectus bicarinatus, tiga jenis lalat parasitoid larva, yaitu Ptychomyia remota, Euplectomorpha viridiceps, dan Cadursia leefmansi, satu jenis predator, yaitu Eucanthecona sp., dan satu jenis patogen, yaitu Beauveria sp.
Pengendalian Artona terdiri dari tiga tahapan, yaitu pengamatan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan pengadalian. Pengamatan dilakukan dengan pengambilan contoh terhadap 20 pohon secara acak per satu satuan wilayah yang luasnya 25 ha setiap bulan. Tiap pohon contoh diambil satu pelepah daun yang telah membuka sempurna. Jumlah larva sehat dan larva terparasit dihitung. Pengendalian tidak dilakukan apabila rata-rata populasi larva <5 ekor/contoh atau berkisar antara 5-10 ekor/contoh dan tingkat parasitasinya >40%. Pengendalian dilakukan apabila rata-rata populasi larva >5 ekor/contoh dan tingkat parasitasinya <40%. Tindakan pengendalian dapat berupa pemangkasan dan pembakaran pelepah apabila populasi larva telah memasuki instar terakhir atau pupa. Tujuannya untuk membasmi sumber infestasi dan mencegah perluasan serangan hama. Akan tetapi, apabila populasi larva mencapai instar awal, aplikasi insektisida dapat dilakukan (infus akar, injeksi batang, penyemprotan dari bawah tajuk, atau penyemprstan dari udara).

TEKNIK PRODUKSI MUSUH ALAMI

1. Parasitoid Cephalonomia stephanoderis
C. stephanoderis merupakan lebah parasitoid yang menyerang kumbang penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei. Larva hidup sebagai ektoparasit pada larva instar terakhir dan prapupa inang. Imago betina berukuran panjang 1,6-2 mm, sedangkan yang jantan 1,4 mm. Imago meletakkan telur pada prapupa inang bagian ventral dan pada pupa inang bagian dorso-abdominal. Imago memakan telur, larva, pupa, dan imago inang. Telur parasitoid berukuran 0,4 x 0,2 mm. Larva berwarna putih, berukuran panjang 2,1 mm, bentuk tubuh bengkok dan meruncing ke bagian ekor, tidak berkaki dan berbulu. Pupa berada di dalam kokon berwarna putih, pupa memiliki tipe bebas (liberal), mula-mula berwarna putih kemudian berubah menjadi coklat.
Untuk mendapatkan kumbang penggerek buah kopi, buah kopi yang terserang penggerek dimasukkan ke dalam stoples. Imago yang terjadi dipasangkan dengan perbandingan jumlah betina dan jantan 1:2 dalam tempat sejenis dan diberi pakan buah kopi segar. Larva dan pupa yang dihasilkan digunakan untuk pembiakan parasitoid. Larva atau pupa penggerek sebanyak 10 ekor dimasukkan ke dalam tabung gelas, sebagai inang parasitoid. Imago parasitoid dipasangkan dalam tabung dengan perbandingan jumlah betina dan jantan 2:1. Pemindahan parasitoid ke tabung lain yang berisi inang segar dilakukan 2 hari sekali sampai hari ke 10.

2. Parasitoid Tetrastichoides brontispae
T. brontispae merupakan parasitoid untuk kumbang janur, Brontispa longissima. Ada tiga metode pembiakan parasitoid T. brontispae, yaitu metode tabung gelas, metode stoples, dan metode kotak. Metode tabung geias dilakukan sebagai berikut. Pupa Brontispa terparasit dimasukkan ke dalam tabung gelas berukuran diameter 1,5 cm dan panjang 15 cm. Setelah parasitoid keluar dari pupa, ke dalam tabung dimasukkan pupa segar berumur 1-2 hari secara bertahap 1-3 ekor per hari. Pupa yang telah terserang parasitoid dipelihara hingga muncul parasitoid baru. Agar suhu stabil tabung disisipkan ke dalam potongen pelepah daun pisang yang masih segar. Untuk pakan parasitoid, ke dalam tabung dimasukkan larutan madu 10% pada kapas.
Metade stoples dilakukan sebagai berikut. Pupa Brontispa terparasit dimasukkan ke dalam tabung yang dibungkus dengan pelepah daun pisang. Tabung dimasukkan ke dalam stoples berukuran diameter 8 cm dan tinggi 10 cm. bersama-sama dengan larva tua Brontispa pada lipatan janur dan larutan madu 10%.
Metode kotak dilakukan sebagai berikut. Disiapkan kotak kayu berukuran 20 X 15 X 7,5 cm. Pada sisi kotak bagian depan dan belakang dibuat tiga buah lobang yang berjajar harizontal dan bergaris tengah sama dengan tabung gelas. Tabung berguna untuk mengetahui apakah sudah terjadi parasitasi pada pupa. Pupa Brontispa terparasit dimasukkan ke dalam tabung yang dibungkus dengan pelepah daun pisang. Parasitoid yang muncul dimasukkan ke dalam kotak melalui lobang. Secara bertahap, pupa segar dimasukkan ke dalam tabung kemudian disisipkan pada lobang untuk berlangsungnya parasitasi.
Untuk mendapatkan pupa Brontispa, 50-100 pasang imago hasil koleksi dari lapang atau hasil pembiakan secara terus-menerus dipelihara dalam wadah berukuran 2000 ml dan diberi pakan junur. Telur-telur yang dihasilkan akan menetas dalam 3-7 hari. Larva diberi pakan yang sama hingga menjadi pupa.
Pelepasan parasitoid di lapang dilakukan dengan cara sebagai berikut. Pupa terparasit sebanyak 4 ekor dibungkus dengan kain kasa. Kain kasa dijepitkan pada koker atau potongan bambu berukuran diameter 3-5 cm dan panjang 5-7 cm. Koker diikat dengan tali dan digantungkan pada daun kelapa pada bagian pucuk. Untuk setiap ha tanaman terserang diperlukan 4 buah koker, masing-masing berisi 4 ekor pupa Brontispa terparasit. Pelepasan dilakukan 3-6 bulan sekeli.

3. Parasitoid Chelonus sp.
Chelonus sp. menrpakan salah satu parasitoid untuk ulat mayang kelapa, Batrachedra arenosella. Pembiakan parasitoid ini diawali dengan mengkoleksi Chelonus sp. pada seludang dari lapang. Pupa Betrachedra terparasit yang terdapat pada seludang diambil tanpa menyentuh pupanya kemudian pupa dipelihara dalam tabung hingga muncul parasitoid.
Parasitoid diperbanyak dengan inang pengganti, yaitu telur ulat penggerek umbi kentang. Phthorimaes operculella. Inang diperbanyak dengan cara sebagai berikut: umbi kentang diambil dari lapang. Larva, pupa, dan imago P. operculella yang dijumpai dipelihara dalam stoples berisi larutan gula kelapa 10% pada kapas sebagai pakan imago. Stoples ditutup dengan kain katun berwarna hijau sebagai tempat imago meletakkan telur. Pakan dan kain katun diganti setiap hari. Kain berisi telur dibungkuskan pada kentang segar yang telah ditusuk-tusuk kemudian dimasukkan ke dalam stoples yang berisi pasir. Setelah semua larva masuk ke dalam kentang, kain pembungkus dibuka. Jika kentang membusuh larva di dalam kentang dipindahkan ke kentang segar. Pupasi berlangsung di dalam dan di luar kentang. Imago yang muncul dimasukkan ke dalam stoples lain untuk memperoleh telur.
Parasitoid Chelonus sp. dipasangkan selama 2 hari 2 malam dalam tabung. Tabung dilengkapi dengan kain katun berisi telur inang P. operculella. Telur inang yang telah diparasitasi dibungkuskan ke kentang segar. Larva masuk ke dalam kentang kemudian berpupasi. Pupa terparasit berwarna putih siap dikirim ke tempat lain yang jauh. Parasitoid yang muncul dipasangkan di dalam tabung gelas untuk persiapan pelepasan di daerah serangan Batrachedra. Tabung berisi 5 ekor parasitoid betina yang telah dipasangkan dibungkus dengan pelepah daun pisang kemudian dilepas di atas pohon. Pelepasan dilakukan pada siang hari, 3 bulan sekali sebanyak 5 ekor/ha.

4. Parasitoid Leefmansia bicolor
Leefmansia merupakan salah satu parasitoid untuk hama Sexava. Selama hidupnya, Leefmansia berada dalam telur Sexava. Perkembangan parasitoid mulai telur diletakkan hingga menjadi imago berlangsung selama 35 hari. Pembiakan parasitoid ini diawali dengan pembiakan Sexava.
Sexava dikoleksi dari lapang kemudian dipelihara dalam kurungan kasa berukuran 75 X 50 X 50 cm sebanyak 50 ekor dengan perbandingan betina dan jantan 4:1. Pakan yang digunakan berupa campuran daun pisang dan daun kelapa. Kurungan berisi pasir untuk tempat meletakkan telur. Telur Sexava dimasukkan ke dalam tabung, 10 butir/tabung kemudian dimasukkan 15 ekor parasitoid dengan perbandingan betina dan jatan 4:1. Sebagai pakan, diberikan larutan madu 10% pada kapas. Telur Sexava terparasit (2-3 hari kemudian), disimpan dalam potongan bambu yang berisi pasir dengan cara dibenamkan dengan posisi tegak pada permukaan pasir.
Pelepasan parasitoid berpedomankan sebagai berikut. Apabila populasi Sexava 1-2 ekor/pelepah dan persentase parasitasi <20%, 20-40%, atau >40%, telur terparasit yang dilepas, berturut-turut sebanyak 75, 50 dan 25 butir/ha. Cara pelepasannya dengan memasukkan 5-10 butir telur Sexava terparasit ke dalam kotak gabus. Kotak digantungkan setinggi 50-75 cm pada tongkat kayu dan diletakkan pada tempat teduh.
Evaluasi dilakukan dengan mengambil 1 pohon contoh yang mewakili 1000 pohon. Pengamatan populasi nimfa dan imago dilakukan dengan cara menurunkan satu pelepah daun kelapa yang masih utuh secara acak dari pohon contoh. Pengamatan telur dilakukan pada permukaan tanah sampai kedalaman 10-20 cm di sekitar batang kelapa dengan radius 50 cm dari batang pohon contoh. Berdasarkan hasil pengamatan tingkat populasi Sexava dan parasitasi Leefmansia, maka dapat ditentukan perlu-tidaknya pelepasan parasitoid.

5. Predator Amblyseius deleoni
A. deleoni merupakan tungau predator penting yang memangsa tungau jingga, B. phoenicis. Ukuran tubuh tungau predator lebih besar daripada tungau jingga. Tubuhnya berukuran panjang 390 µm dan berwarna bening transparan atau tembus cahaya. Warna tabuh berubah menjadi jingga sesuai dengan warna tungau yang dimangsanya. Bentuk tubuh agak rata, tetapi akan sedikit kembung jika telah memangsa tungau hama. Pergerakannya lebih cepat daripada tungau jingga. Tungkai depan lebih panjang daripada tungkai depan dan berguna untuk menangkap mangsanya. Pada bagian kepaia terdapat stylet yang berbentuk jarum dan berguna untuk menusuk bagian tubuh dan mengisap cairan sel tubuh mangsanya. Telur tungau predator berbentuk oval, berwarna putih atau transparan, dan ukurannya lebih besar daripada telur mangsanya. Larva berwarna transparan dan kakinya tiga pasang. Bentuk pronimfa, deutonimfa, dan imago hampir sama. Perbedaannya hanya dalam ukuran; makin bertambah umur, makin besar tubuhnya. Jumlah kaki stadia pronimfa, deutonimfa dan imago empat pasang. Siklus hidup parasitoid ini 28-31 hari.
Pembiakan A. deleoni diawali dengan penyiapan media biakan. Spon dimasukkan ke dalam kotak plastik berisi air. Di atas spon diletakkan plastik hitam kemudian ditekan agar air meresap ke dalam spon.Lipatan tisu dicelupkan ke dalam air kemudian diletakkan di atas plastik hitam hingga sisa tisu berkeliling dgn tidak putus-putus. Di atas plastik hitam diberi sedikit kapas selanjutnya ditutup dengan cover glass. Predator dikoleksi dari perdu teh yang terserang tungau jingga. Predator sebanyak 5-10 ekor diambil dengan kuas kemudian dipindahkan ke kultur biakan. Predator diberi pakan telur tungau jingga, telur tungau Tetranichus urticae, atau polen tanaman teh. Telur tungau inang diperoleh dengan cara membiakkan T. urticae ke tanaman kacang merah berumur 2-3 minggu. Predator dilepas di lapang sebanyak 20-30 ekor/perdu teh/aplikasi sebelum populasi tungau jingga mencapai ambang kendali.

6. Predator Curinus coeruleus
C. coeruleus merupakan salah satu jenis kumbang predator penting untuk kutu putih atau kutu dompolan, Planococcus citri pada tanaman kopi. Kumbang ini mudah dibiakkan dengan mangsa kutu loncat Heteropsylla cubana Crawford (Homoptera, Psyllidae). Caranya, pertama-tama, tanaman lamtoro (Leucaena glauca) ditumbuhkan dalam pot plastik. Setelah lamtoro berumur lebih dari sebulan, imago kutu loncat diinfestasikan ke tanaman kemudian tanaman disungkup dengan kurungan. Setelah telur diproduksi, kumbang predator dipasangkan ke dalam kurungan. Imago C. coeruleus menyukai telur, nimfa, dan imago kutu loncat, tetapi larvanya hanya menyukai telur dan nimfa dan tidak menyukai imago kutu loncat.

7. Predator Chilocorus sp.
Chilocorus merupakan predator untuk kutu perisai, Aspidiotus destructor pada kelapa. Pembiakan predator dimulai dengan mengkoleksi kutu perisai dari daun kelapa yang terserang kemudian dipelihara dengan pakan buah waluh tua. Sebuah waluh diinfestasi dengan 40 ekor imago kutu. Infestasi dilakukan dengan cara menempelkan potongan daun kelapa yang ada kutunya ke waluh. Setelah populasi kutu cukup banpk, buah waluh dimasukkan ke dalam kurungan kasa kemudian dilepaskan kumbang predator Chilocorus. Daya mangsa kumbang ini 80-130 ekor kutu/hari.

8. Jamur Beauveria bassiana
Jamur ini bersifat patogen pada berbagai jenis serangga, antara lain ulat penggerek batang merah (Zeuzera coffeae), kumbang penggerek batang kopi (Lophoboris piperis), dan kumbang penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei). B. bassiana mempunyai hifa ramping, hialin, dan berukuran 1,5-2 µm. Konidium bersel satu, hialin, berbentuk bulat sampai bulat telur. Konidiofor berbentuk botol dengan bagian ujung yang ramping. Pada saat pembentukan konidium, ujung konidiofor tetap tumbuh pada sisi yang berbeda sehingga berbentuk zig-zag. Larva yang terinfeksi B. bassiana ditandai oleh munculnya hifa pada permukaan tubuh yang lunak atau pada antar segmen. Pada tubuh larva yang telah mati menjadi mumi muncul miselium berupa serbuk seperti kapur berwarna putih.
Selain pada serangga, B. bassiana dapat diperbanyak pada media buatan, baik yang berupa media padat maupun cair. Perbanyakan pada media padat diiakukan sebagai berikut. Jagung giling dimasak dengan perbandingan berat jagung dan air 1:1 sampai setengah matang dan air tepat habis. Setelah dingin, jagung dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian disterilisasikan ke dalam autoklaf pada suhu 120 C dan tekanan 1 atm selama 30 menit. Setelah dingin, media diinokulasi dengan biakan murni B. bassiana. Kantong diberi lobang aerasi berupa pipa dengan diameter 2 cm yang berisi kapas. Media diinkubasikan pada suhu kamar dengan sinar difus selama 10 hari atau sampai terjadi sporulasi penuh. Untuk persiapan aplikasi, 1 kg biakan B. bassiana diremas-remas kemudian dicampurkan ke dalam 1 l air. Suspensi spora disaring dengan kain kasa kemudian diencerkan menjadi 200-400 l air. Suspensi siap digunakan untuk penyemprotan 1 ha tanaman.
Perbanyakan pada media cair dilakukan sebagai berikut. Media cair dibuat menurut metode Samsinakova (1966) yang dimodifikasi dengan komposisi: kentang 200 g, NaCl 0,5%, CaCO3 0,2% dan Yeast 0,2% dalam 1 l air. Potongan kentang direbus dalam 700 ml air sampai cairan agak kental kemudian disaring. Bahan-bahan lain dilarutkan dalam 250 ml air kemudian dimasukkan ke dalam larutan kentang. Larutan media dimasukkan ke dalam fermentor dan disterilkan dalam autoklaf. Setelah dingin, media diinokulasi dengan biakan murni B. bassiana. Untuk persiapan aplikasi, biakan B. Bassiana berumur 5 hari disaring dengan kain kasa kemudian diencerkan 5000 kali. 1 l biakan murni dapat digunakan untuk penyemprotan 1 ha tanaman.

9. Jamur Spicaria javanica
S. javanica merupakan salah satu jamur patogen yang menginfeksi kepik pengisap pucuk daun teh dan buah kakao (Helopeltis theivora dan H. antonii), dan kumbang penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei). Gejala serangga terinfeksi jamur S. javanica berupa tubuh kaku dan keras dan permukaan tubuhnya ditumbuhi jamur berwarna putih.
Jamur patogen ini diperbanyak dengan cara sebagai berikut. Serangga yang terinfeksi S. javanica disterilkan dengan desinfektan kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam petridis yang berisi media PDA (potato dextrose agar). Koloni yang terbentuk dimurnikan dengan cara menumbuhkannya ke media baru secara berulang. Jagung giling dimasak sampai setengah matang. Setelah dingin, jagung dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian disterilisasikan kedalam autoklaf. Setelah dingin, media diinokulasi dengan biakan murni S. javanica menggunakan jarum oce steril. Kantong diberi lobang aerasi kemudian diinkubasi pada suhu kamar salama seminggu sampai terjadi sporulasi penuh kemudian diremas-remas. Hasil biakan ini digunakan sebagai starter. Perbanyakan massal S. javanica dilakukan dengan cara yang sama dengan perbanyakan untuk starter. Bedanya, bahan inokulannya bukan biakan murni, tetapi starter dengan perbandingan berat starter dan medium 1:25.
Untuk persiapan aplikasi, 200 g starter berumur 2 minggu dilarutkan dalam 1 l air kemudian diremas-remas dan disaring. Larutan cendawan ditambahkan air hingga menjadi 10 l. Larutan siap diaplikasikan dengan dosis 2 kg/ha.

10. Jamur patogen Metarrhizium anisopliae
M. anisopliae merupakan salah satu jamur patogen yang menginfeksi kumbang nyiur, Oryctes rhinoceros. Larva (lundi) yang terinfeksi Metarrhizium mula-mula tampak bintik coklat pada permukaan tubuh. Lima hari kemudian, permukaan tubuh ditumbuhi oleh hifa berwarna putih, selanjutnya berubah warna menjadi hijau olive.
Pembiakan Oryctes dilakukan sebagai berikut. Larva instar III sehat dikoleksi dari lapang kemudian dipelihara dengan media campuran serbuk gergaji dan kotoran hewan yang sudah melapuk dengan perbandingan 1:1. Media disterilisasi dengan cara dikukus selama 2 X 90 menit dengan interval 24 jam kemudian didinginkan. Media dibasahi dengan air hingga lembab. Kumbang yang terjadi dipasangkan dengan perbandingan betina dan jantan 4:1 dalam baskom yang berisi media dan diberi pakan potongan tebu. Panen telur dilakukan setiap minggu. Telur ditetaskan dalam baskom kecil berisi media. Telur disusun dalam kelompok kecil kemudian ditutup dengan petridis. Setiap baskom berisi 50 butir telur. Setelah menetas, larva dibiarkan selama 40 hari kemudian dipindahkan ke wadah yang lebih besar.
Perbanyakan Metarrhizium diawali dengan mengkoleksi larva Oryctes yang mati terinfeksi Metarrhizium. Jamur pada larva mati terinfeksi dimurnikan dengan media PDA. Media PDA dibuat dengan cara sebagai berikut. Kentang yang telah dikupas (200 g) diiris-iris kemudian direbus dengan aquades sampai lunak, saring dan ambil kaldunya. Agar (20 g) dan dextrose (20 g) dimasukkan ke dalam kaldu kentang (tambahkan aquades bila kurang dari 1000 ml), masak dalam penangas sampai hemogen. Larutan dimasukkan ke dalam petridis atau tabung gelas. Petridis dibungkus dengan kertas payung, sedangkan tabung gelas ditutup dengan kapas kemudian disterilkan dalam autoclave pada suhu 1200 C dan tekanan 15 lbs selama 30 menit. Biarkan agak dingin (tetapi belum membeku) kemudian diangkat. Tabung gelas dimiringkan untuk memperoleh agar miring.
Perbanyakan masal pada media jagung. Jagung pecah giling dimasak sampai setengah matang kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer (1/3 nya), selanjutnya ditutup dengan kapas dan dilapisi dengan kertas timah. Sterilkan dalam autoclave pada suhu 1200 C dan tekanan 15 lbs selama 30 menit. Media jagung yang telah dingin digunakan untuk perbanyakan Metarrhizium. Spora jamur dari biakan murni (dalam petridis/tabung gelas) diencerkan dengan aquades kemudian dituangkan beberapa tetes dengan pipet ke dalam media jagung kemudian ditutup lagi dengan kapas dan dilapisi dengan kertas timah. Media digojok secara hati-hati agar spora jamur merata. Jamur mulai tumbuh pada hari ke 3 atau 4 dan akan penuh setelah 10 hari. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar. Bila jamur telah merata menutupi permukaan media, maka dapat digunakan langsung atau sebagai sumber inokulum baru. Jagung berjamur ditaburkan ke dalam media sterii dengan perbandingan 1:20 dalam kotak isolasi. Seminggu kemudian, media ditumbuhi jamur. Hasil ini dapat dikeringkan dan disimpan sebagai bioinsektisida. Biakan jamur yang teiah tumbuh sempurna dikering-anginkan selama 4 hari. Jamur kering dapat disimpan dalam kantong plastik atau botol tertutup. Jamur ini dapat disimpan 1-2 tahun dalam suhu kamar atau 2-3 tahun dalam refrigerator pada suhu 5-100 C.
Metode perbanyakan secara sederhana. Larva instar III sehat dimasukkan ke dalam ember 20-30 l yang berisi media kira-kira setengahnya dan ditutup. Setiap 1 media dapat menampung 3 ekor larva. Sebanyak 2-3 ekor larva mati terinfeksi jamur dipotong-potong kemudian dicampurkan ke dalam ember. Larva yang mati dikoleksi 2 kali seminggu. Larva mati dimasukkan ke dalam kantong plastik dan siap disebar di lapang. Sasaran jamur ini adalah larva dan pupa dalam sarang. Biakan jamur pada media jagung dapat disebarkan dalam keadaan basah atau kering. Inokulum dicampur dengan media serbuk gergaji sampai rata kemudian taburkan di bawah permukaan (5 cm) sarang. Penaburan dilakukan 6 bulan sekali. Jumlah inokulum yang ditaburkan 20 g jamur kering per m2 sarang. Apabila cuaca kering, perlu dilakukan penyiraman pada sore hari setiap 3 hari sekali. Evaluasi dilakukan 1-2 bulan setelah penyebaran pada daerah sasaran.

11. Perbanyakan Baculovirus oryctes
B. oryctes merupakan salah satu virus patogen yang menginfeksi kumbang nyiur, Oryctes rhinoceros. Larva yang terserang virus tubuhnya lemas, berwarna lebih transparan, bila mati akan berwarna krem atau coklat muda, kadang-kadang pada anus keluar usus. Larva yang telah mati berbau busuk. Larva yang baru mati berwarna putih transparan merupakan bahan virus yang baik untuk dibekukan.
Perbanyakan virus dimulai dengan pembiakan Oryctes. Media berupa serbuk gergaji halus dibasahi air secukupnya, selanjutnya diaduk merata di dalam ember. Media disterilkan dengan cara dikukus selama 1 jam. Setelah dingin, media dimasukkan pada botol bening yang sudah disterilkan dengan alkohol. Setiap botol diisi media setengahnya. Larva instar III (mendekati prapupa) dikoleksi dari lapang kemudian dicuci dengan air mengalir menggunakan ayakan. Larva dimasukkan ke dalam botol yang berisi media. Kumbang yang muncul diberi pakan tebu.
Perbanyakan virus dengan larva. Seekor larva yang terinfeksi virus dipotong-potong, dicampur dengan media kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi media dan dimasukkan pula 2 ekor larva sehat. Setelah 1-6 minggu larva terinfeksi. Larva mati disimpan dalam refrigerator.
Perbanyakan virus dengan kumbang. Kumbang mati terinfeksi virus dibedah. Bagian ususnya berwarna putih, membengkak dan bila dipotong akan mengeluakan cairan putih kental. Usus dari 4-5 ekor kumbang dicampur dengan sedikit gula pasir lalu dihancurkan sampai lumat dan ditambahkan 1 sendok aquades. Larutan ini cukup untuk menginfeksi 30 ekor kumbang sehat dengaa cara meneteskannya (2-3 tetes) ke mulut kumbang. Stelah 2-3 minggu, kumbang siap dilepas di lapang.
Kumbang terinfeksi virus diletakkan pada pangkal pelepah muda atau tempat terlindung pada sore hari. Jumlah kumbang yang dilepas sebanyak 10 ekor/ha. Evaluasi dilakukan 1 tahun setelah pelepasan dengan cara mengkoleksi kumbang di lapang. Bangkai kumbang dipotong-potong kemudian dicampur dengan media steril. Setelah itu, dimasukkan ke dalam botol yang berisi 2 ekor larva sehat. Bila lundi mati, berarti pelepasan berhasil.
Daerah sasaran virus adalah kumbang di pertanaman kelapa. Sebanyak 4 ekor larva mati ditambah 1 l air kemudian diblender. Campuran disaring dan suspansinya digunakan untuk merendam kumbaag yang akan diiepas ke pertanaman kelapa yang terserang. Sebanyak 1 l suspensi dapat digunakan untuk merendam 100 ekor kumbang selama 5-7 menit. Kumbang dimasukkan ke dalam botol dan dipuasakan sehari, kemudian dilepas. Sebelum dilepas, kumbang dipelihara dulu selama 4 hari dan diberi pakan tebu. Kumbang dilepas pada sore atau malam hari sebanyak 10-12 ekor/ha. Evaluasi dilakukan 1-3 bulan setelah penyebaran.

KENDALA DAN PROSPEK PEMANFAATAN MUSUH ALAMI

Peranan Musuh Alami
Peranan musuh alami dalam mengatur populasi hama sering kurang dimengerti secara baik oleh petani. Sebagai konsekuensinya, banyak program pengelolaan hama tidak mempertimbangkannya sebagai sesuatu yang penting. Akan tetapi setelah terjadi gejolak populasi hama akibat gangguan terhadap musuh alami karena penggunaan pestisida yang tidak bijaksana, barulah petani menyadari peranan musuh alami tersebut. Apabila peranan musuh alami dimengerti secara baik, petani akan melakukan usaha memanipulasi lingkungan dan memanfaatkan musuh alami sedemikian rupa, sehingga musuh alami merupakan suutu komponen nyata dalam strategi pengelolaan hama yang efektif dan praktis. Dalam mengembangkan srtategi pengelolaan hama, satu unsur dasar yang harus dipertimbangkan adalah pengenalan musuh alami yang ada di pertanaman dan penentuan dampaknya dalam pengaturan populasi hama.

Kendala Pemanfaatan Musuh Alami
Pemanfaatan musuh alami dalam kaitannya dengan pengendalian hama tanaman perkebunan dihadapkan kepada beberapa kendala, antara lain kondisi agroekosistem dan kebergantungan kepada pestisida.

Kondisi Agroekosistem
Kondisi biotis dan abiotis ekosistem tananan perkebunan relatif tetap, kecuali pada beberapa tanaman semusim misalnya kapas yang ekosistemnya selalu berubah-ubah menurut pola tanam setempat. Kondisi agroekosistem yang selalu berubah-ubah tersebut tidak menguntungkan bagi musuh alami untuk menetap (establish). Hanya beberapa jenis musuh alami yang memiliki inang pada komoditas berbeda yang mempunyai peluang lebih besar untuk menetap.

Kebergantungan terhadap Pestisida
Kecenderungan petani mengendalikan hama dengan menggunakan pestisida secara berlebihah akan menurunkan populasi musuh alami, sehingga musuh alami tidak mampu mengatur populasi hama. Kebergantungan petani terhadap pestisida umumnya karena dibayangi oleh risiko kegagalan panen. Oleh karena itu, untuk mangurangi kebergantungan petani terhadap pestisida, teknologi pengelolaan ekosistem yang telah tersedia perlu diinformasikan ke petani. Petani harus diberi penyuluhan tentang manfaat musuh alami sebagai komponen pengendalian hama. Apabila ekosislem dapat terkelola dengan baik, musuh alami diharapkan mampu mengendalikan dan mengatur populasi hama pada tingkat yang tidak merugikan secara ekonomis.

Prospek Pemanfaatan Musuh Alami
Populasi musuh alami pada tanaman perkebunan bervariasi menurut lokasi, waktu/musim, tipe lahan, dan teknik budidaya. Beberapa jenis di antaranya dijumpai berlimpah, terutama pada daerah yang tidak pernah atau jarang diaplikasikan pestisida. Dalam keadaan demikian, musuh alami dapat berperanan cukup besar sebagai faktor pengendali populasi hama.
Beberapa jenis musuh alami telah diketahui potensinya, di antaranya memiliki kemampuan mencari inang, memangsa, berkembang biak, dan beradaptasi yang tinggi, sehingga mudah menetap/berkoloni, dan memiliki inang yang spesifik untuk tingkat spesies atau genus. Apabila musuh alami, baik yang bersifat indigenous maupun exotic apabila berhasil dibiakkan/diperbanyak secara massal, maka potensi musuh alami tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama sasaran.

STRATEGI PEMANFAATAN MUSUH ALAMI

Ada empat strategi yang dikembangkan dalam pemanfaatan agens pengendalian hayati, yakni: 1) manipulasi lingkungan, 2) konservasi, 3) augmentasi, dan 4) introduksi agens pengendalian hayati.

Manipulasi Lingkungan
Sejumlah musuh alami indigenoas mungkin dapat ditingkatkan peranannya dengan memanipulasi lingkungan. Usaha memanipulasi lingkungan mencakup berbagai teknik antara lain menambahkan sejumlah individu hama sebagai inang alternatif menggunakan senyawa penarik (attractant) atau pakan tambahan dan memodifikasi teknik budidaya yang menguntungkan musuh alami.
Musuh alami, terutama parasitoid dan patogen, umumnya bersifat spesifik terhadap jenis inang dan tahap perkembangan inang. Apabila keberadaan musuh alami tidak sesuai dengan keberadaan inangnya, maka musuh alami tersebut tidak dapat bertahan hidup. Terjadinya eksplosi suatu jenis hama mungkin disebabkan oleh ketidaksesuaian antara musuh alami dan inangnya pada kondisi lingkungan tertentu. Oleh karena itu, tersedianya inang alternatif dan pakan inang lainnya, misalnya nektar, tepungsari, dan embun madu sangat menentukan kehidupan musuh alami. Tumbuhan liar di luar pertanaman perlu dikelola sebaik-baiknya, selain untuk tempat berlindung, juga tempat hidup inang alternatif, dan sumber pakan musuh alami. Lebih lanjut, jumlah musuh alami di lapang dapat ditingkatkan dengan melepas serangga yang dipelihara di laboratorium. Usaha tersebut dapat membuktikan bahwa pengendalian hayati memberikan keuntungan karena murah, tahan lama dan menjamin keberhasilan pengendalian hama.
Kegiatan modifikasi teknik budidaya dilakukan, antara lain dengan mengefisiensikan
penggunaan pupuk nitrogen, tidak menggunakan varietas rentan, dan mengurangi atau bahkan tidak menggunakan pestisida. Demikian juga usaha tumpangsari tanaman dapat membuat kondisi lingkungan yang menguntungkan bagi musuh alami. Hal tersebut telah dibuktikan oleh beberapa peneliti bahwa tumpangsari tanaman antara kapas dan kacang-kacangan dapat meningkatkan kepadatan populasi predator (coccinellids dan syrphids) secara bertahap hingga tanaman relatif terhindar dari serangan hama.

Konservasi Musuh Alami
Konservasi musuh alami dapat dilakukan melalui pengembangan teknik pengelolaan ekosistem yang tidak berdampak negatif terhadap musuh alami. Hal ini berkaitan erat dengan sistem PHT yang merupakan penjabaran dari strategi pembangunan berwawasan lingkungan.
Berbagai hasil penelitian konservasi musuh alami umumnya menunjukkan pentingnya arti pengelolaan pestisida dalam pengendalian hama. Apabila aplikasinya tidak bijaksana, terutama pestisida yang berspekrum lebar, tingkat populasi musuh alami akan menurun, sehingga tidak dapat berperan sebagai pengatur populasi hama. Sebagai contoh, praktek pengelolaan dengan fungisida berpengaruh negatif terhadap keefekifan jamur patogen serangga, sehingga penggunaannya dapat mencegah atau melambatkan terjadinya opizootik. Oleh karena itu, kalau pun diperlukan, aplikasi pestisida hendaklah berpedoman kepada data pemantauan dan analisis ekosistem dengan catatan populasi hama telah mencapai ambang ekonomi dan populasi musuh alami sangat rendah atau tidak mampu menurunkan/mempertahankan populasi hama di bawah ambang ekonomi. Selain itu, jenis pestisida dan waktu aplikasinya harus dipilih secara tepat agar pengaruh yang merugikan dari pestisida dapat dibatasi.

Augmentasi Musuh Alami
Augmentasi atau penglepasan musuh alami dapat dilakukan sekaligus dalam waktu tertentu untuk segera mengendalikan hama sasaran (innoculation) dan dapat pula secara bertahap agar musuh alami dapat berkembang biak yang kemudian mampu mengendalikan hama sasaran (innundation). Kegiatan augmentasi musuh alami pada pertanaman perkebunan relatif berhasil bila dibandingkan dengan tanaman semusim karena tidak terbatasnya perkembangan populasi dan permanennya musuh alami di ekosistem perkebunan. Kalaupun kurang berhasil, hal tersebut mungkin terkait erat dengan masih terbatasnya pengetahuan biologi, teknik pembiakan massal, fasilitas produksi, dan sistem penglepasan musuh alami. Dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang menangani musuh alami, permasalahan tersebut dapat diatasi.
Beberapa jenis musuh alami baru yang telah berhasil dibiakkan dan diaugmentasikan di balai penelitian dan perguruan tinggi perlu diadopsi teknologinya di Laboratorium Lapang. Jenis musuh alami tersebut, antara lain: a) predator A. deleoni untuk tungau jingga, B. phoenicis pada teh, dan (b) predator C. coeruleus untuk kutu lancat, H. cubana, tetapi mungkin dapat pula untuk kutu dompolan kopi, P. citri. Demikian juga, beberapa jenis musuh alami yang telah berhasil dibiakkan dan diaugmentasikan di suatu Laboratorium Lapang perlu ditingkatkan kualitasrya dan diadopsikan teknologinya di Laboratorim Lapang lainnya. Musuh alami tersebut, terutama patogen, mungkin dapat digunakan untuk mengendalikan hama lainnya. Beberapa jenis musuh alami tersebut, antara lain: a) parasitoid C. stephanoderis untuk kumbang penggerek buah kopi, H. hampei, (b) jamur B. bassiana untuk ulat penggerek batang merah, Zeuzera spp., kumbang penggerek batang kopi, L. piperis, dan kumbang penggerek buah kopi, H. hampei, (c) jamur S. javaxica untuk pengisap pucuk daun teh, Helopeltis spp., dan kumbang penggerek buah kopi, H. hampei.

Introduksi Musuh Alami
Pengendalian hayati melalui introduksi dan kolonisasi musuh alami merupakan pengendalian hayati klasik. Suatu jenis musuh alami diintroduksikan dari suatu daerah atau negara asal ke daerah atau negara lain dengan harapan dapat menetap dan menyelenggarakan pengendalian hama sasaran dalam jangka panjang. Strategi pengendalian hayati ini telah berkali-kali diterapkan di tanaman perkebunan.
Sebagai contoh, pada bulan Agustus 1986 telah diintroduksikan ke Indonesia, predator C. coeruleus dari Hawaii untuk mengendalikan kutu loncat, H. cubana pada tanaman lamtoro yang merupakan tanaman pelindung tanaman kopi, di samping fungsinya sebagai pakan ternak dan tanaman penghijauan. Kumbang predator tersebut berhasil dibiakkan di laboratorium dan mampu menetap. Diharapkan, kumbang predator ini dapat dimanfaatkan untuk mengendaiikan kutu dompolan kopi, P. citri. Pada tahun 1989, parasitoid Cephalonomia stephanoderis juga diintroduksikan ke Indonesia dari Tongo dan Kenya. Parasitoid ini berhasil dikembang-biakkan di beberapa daerah penghasil kopi di Lampung dan Jatim untuk mengendalikan kumbang penggerek buah kopi, H. hampei.
Introduksi musuh alami tidak selalu berhasil. Sebagai contoh, parasitoid Heterospilus coffeicola Schm. (Hymenoptera, Braconidae) yang diintroduksikan dari Afrika dan parasitoid Prorops nasuta Wat. (Hymenoptera, Bethylidae) yang diintroduksikan dua kali dari Uganda pada 1923 dan 1989. Kegagalan tersebut karena tidak mampu menetap.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ekosistem perkebunan yang pada *mumnya relatif stabil merupakan faktor menguntungkan bagi pemanfaatan musuh alami. Kestabilan ekosistem ini selayaknya dipertahankan melalui pengeloaan yang bijaksana.
2. Musuh alami berperanan penting dalam ekosistem perkebunan karena dapat mengendalikan dan mengatur populasi hama. Keberadaannya dalam ekasistem perlu dilestarikan melalui usaha konservasi dan peningkatan efektivitas musuh alami.
3. Beberapa jenis musuh alami telah berhasil diidentifikasi dan diproduksi secara massal di banyak laboratorium lingkup Direktorat Jendral Tanaman Perkebunan. Metode produksi yang efisien dan kualitasnya perlu ditingkatkan, teknologi pemanfaatannya perlu disebarluaskan ke petani, dan sumberdaya manusia yang menanganinya perlu ditingkatkan.
4. Beberapa jenis musuh alami baru yang potensial dan terbukti efektif perlu ditentukan prioritas pengembangannya.

PUSTAKA

Anonim. 1994. Parasitoids and predators of arthropod pests. Direklorat Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jendral Perkebunan. 124 p.
Arifin, M., A. Iqbal, I.B.G. Suryawan, T. Djuwarso, dan W. Tengkaao. 1997. Potensi dan pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama kedelai. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. 5: 1383-1393.
Bahagiawati A.H. and A.A.N.B. Kamandalu. 1988. The predation of Curinus coeruleus Mulsant, the predator of leucaena psyllid Heteropsylla cubana. Research Journal. 1(1): 32-36.
Deciyanto, S. 1989. Pengendalian terpadu hama utama tanaman lada di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian VII(3): 69-74.
Dharmadi, A. 1996. Peluang pelepasan Amblyseius deleoni predator tungau hama di perkebunan teh dan hortikultura. Kumpulan Makalah Seminar Sehari Altematif Pengendalian Hama Teh secara Hayati. Gambung, 5 Desember 1996. Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambrmg. p. 9-14.
Sulistyowati, E. 1998. Pengelolaan hama utama tanaman kopi. Crash Course SLPHT PL-1 Komoditas Kopi. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao - Dinas Perkebunan Dati I Jawa Timur. 16 p.
Holdom, D.G. The use of fungal pathogens to control brown planthopper and other pest insects. 7 p.
Huffaker, C.B., R.L. Rabb, and J.A. Logan. 1977. Some aspects of population dynamic relative to augmentation of natural enemy action. In R.L. Ridgway and S.B. Vinson (Eds.) Biological Control by Augmentation of Natural Enemies; Insect and Mite Control with Parasites and Predators. Pnenum, New York. pp. 3-38.
Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management, p. 189-233. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Management. John Wiley and Sons, New York.
Nuridah and O.S. Bindra. 1988. Studies on biological control of cotton pests. Industrial Crops Research Journal. 1(1): 59-83.
Parrella, M.P., K.M. Heinz, and L. Nunney. 1992. Biological control through augmentative releases of natural enemies: a strategy whose time has come. Am. Entomol. Spring 38(1): 172-179.
Stehr, F.W. 1975. Parasitoids and predators in pest management, p. 135-173. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Management. John Wiley and Sons, New York.
Watson, T.F., L. Moore, and G.W. Ware. 1976. Practical insect pest management: a self-instruction manual. W.H. Freeman and Company, San Francisco.
Widayat, W. 1992. Teknik perbanyakan tungau predator. Pelatihan Pengendalian Hama, Patogen, dan Gulma secara Terpadu. BLPP Cihea, Cianjur, 20 September - 4 Oktober 1992. 12 p.