Senin, 31 Januari 2011

43. Pengelolaan Hama Tanaman Pangan secara Alamiah


Arifin, M. dan A. Iqbal. 1993. Pengelolaan hama tanaman pangan secara alamiah, pp. 100-104. Dalam I. Manti et al. (Eds.). Pemantapan Penelitian Hama Tanaman Pangan. Risalah Lokakarya Penelitian Hama Tanaman Pangan Puslitbangtan dalam Rangka Mendukung Pembangunan Pertanian pada PJP II. Sukarami, 4-7 Maret 1993.


Muhammad Arifin dan Agus Iqbal
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor


PENDAHULUAN

Sistem pengendalian hama secara terpadu (PHT) telah ditetapkan sebagai dasar kebijakan dalam program pengendalian hama tanaman. Pelaksanaannya sudah mulai meluas melalui Supra lnsus.
Sampai saat ini, implementasi sistem PHT baru pada tarap pemantapan (Untung, 1992b), sehingga dapat dimaklumi bahwa penerapan sistem ini oleh petani belum memadai. Tujuan PHT antara lain meningkatkan pendapatan petani, memantapkan produktivitas tanaman, mempertahankan populasi hama pada taraf yang tidak merusak tanaman, dan mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian.
Dalam sistem PHT, pengendalian hama tanaman berorientasi kepada stabilitas ekosistem dan efisiensi ekonomi (Untung, 1992a). Hal ini berarti bahwa populasi hama diusahakan dalam keadaan dinamis dan berfluktuasi pada kondisi keseimbangan umum (general equilibrium position) dan pengendaliannya dilakukan berdasarkan ambang ekonomi. Dengan demikian, produktivitas tanaman dapat optlmal dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan.
Pengertian stabilitas ekosistem umumnya dihubungkan dengan diversitas struktur trofi dalam ekosistem (Krebs, 1978) dan sifat aktual mata rantai trofi, terutama tanggapan spesies yang ada di tingkatan atas trofi terhadap peningkatan populasi spesies di tingkatan bawah trofi (Shouthwood dan Way, 1970).
Stabilitas ekosistem juga dipengaruhi oleh iklim. Apabila interaksi antar komponen-komponen ekosistem dikelola secara tepat, maka tidak tertutup kemungkinan terciptanya stabilitas ekosistem. Dengan demikian, eksplosi hama dapat dihindarkan.
Melalui makalah ini dibahas faktor yang berkaitan dengan penelitian biodiversitas dan interaksi komponen ekosistem pertanian tanaman pangan sebagai unsur dasar dalam pengelolaan hama secara alamiah.

BIODIVERSITAS EKOSISTEM

Pengertian tentang biodiversitas ekosistem umumnya dihubungkan dengan konsep keberanekaragaman (heterogenity) yang meliputi banyaknya spesies dalam ekosistem (species richness) dan keberlimpahan relatif (relative abundance) (Andrewartha dan Birch, 1984). Konsep ini didasarkan atas model Shannon-Wiener seperti yang disitir oleh Krebs (1978) dengan formula sebagai berikut:
          s
H = -  ∑   (pi) (log2 pi)
         i=1
s = banyaknya spesies dalam contoh (sample);
H = indeks diversitas yang menggambarkan diversitas spesies dalam ekosistem;
pi = proporsi dari total contoh yang dimiliki oleh spesies ke-i.
Berdasarkan model tersebut dapat dimengerti bahwa apabila jumlah spesies dalam suatu ekosistem sedikit maka diversitasnya rendah, demikian pula sebaliknva. Apabila dalam suatu ekosistem hanya terdapat spesies tunggal, maka keberlimpahan (banyaknya individu) spesiesnva bersifat maksimal. Kalau pada ekosistem yang jumlah spesiesnya terbesar maka keberlimpahannya minimal. Jadi, tingkat diversitas suatu ekosistem dicirikan oleh banyaknya spesies dalam ekosistem tersebut. Pada ekosistem yang diversitasnya tinggi, jumlah spesies yang dijumpai relatif banyak tetapi tingkat populasinyarendah.
Ekosistem pertanian tanaman pangan umumnya bersifat kurang stabil, sehingga perlu diberi masukan energi antara lain pestisida. Ketidakstabilan tersebut dicirikan oleh rendahnya biodiversitas dengan susunan jala makanan yang sederhana, sehingga populasi suatu jenis organisme khususnva herbivora berada dalam keadaan tidak seimbang, bahkan dapat mengalami eksplosi.
Biodiversitas ekosistem pertanian tanaman pangan dapat dipertahankan pada tingkat yang tinggi dengan cara mengelola ekosistem menuju kondisi yang menguntungkan spesies-spesies yang ada, terutama yang berstatus musuh alami. Misalnya dengan membatasi penggunaan pestisida, terutama yang berspektrum lebar. Dengan demikian, musuh alami yang terdapat dalam ekosistem besar peranannva dalam mengatur populasi hama yang kemudian akan berfluktuasi secara dinamik di sekitar kedudukan keseimbangan umum.

INTERAKSI KOMPONEN EKOSISTEM

lnteraksi antarspesies yang bersifat negatif dalam ekosistem dapat bertipe persaingan (competition) atau pemangsaan (predation) (Krebs, I978). Tipe persaingan terjadi apabila dua spesies atau lebih memiliki niche (peranan suatu spesies dalam komunitas) atau habitat (kisaran lingkungan suatu spesies) yang sama di dalam ekosistem. Tipe pemangsaan terjadi apabila individu suatu spesies memakan individu spesies lain. Termasuk ke dalam tipe pemangsaan antara lain herbivor, carnivor, parasitisme serangga, dan kanibalisme.
Kedua tipe interaksi tersebut di atas perlu dipahami untuk dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan hama secara alamiah di dalam ekosistem. Hal ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa pengelolaan ekosistem yang mengurangi spesies pesaing dan musuh alami dapat mengakibatkan terjadinya eksplosi hama (Risch, 1987).
Oleh karena intensitas bekerjanya berubah-ubah menurut kepadatan populasi hama, maka kedua tipe interaksi tersebut digolongkan ke dalam faktor kepadatan (density dependent factors). Ketika populasi hama meningkat, maka mortalitas yang disebabkan oleh bekerjanya kedua tipe interaksi semakin meningkat pula, dan demikian sebaliknva (Stehr, 1975).
Khusus mengenai interaksi pemangsaan, peranan interaksi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan dan mengatur populasi hama secara alamiah maupun buatan. Pemanfaatan secara alamiah dapat dilakukan melalui konservasi dan peningkatan populasi musuh alami, antara lain dengan menerapkan teknik budidaya yang tepat dan menggunakan pestisida secara bijaksana berdasarkan kepadatan populasi hama. Pemanfaatan secara buatan dapat dilakukan melalui penglepasan (augmentation) musuh alami yang dibiakkan/diperbanyak di laboratonum, serta mengimpor dan mengkolonisasi musuh alami (Watson et al., 1976).
Penelitian tentang interaksi komponen ekosistem tampaknya kurang diminati, sehingga kurangnya informasi kuantitatif mengenai peranan hal tersebut dalam mengatur populasi hama. Tanpa disadari, sebagian petani telah menerapkannya, antara lain dengan tidak digunakannya pestisida dalam usahatani (Nishida dan Torii, 1970).

ARAH DAN STRATEGI PENELITIAN

Arah Penelitian

Mengacu kepada konsep PHT yang berorientasi stabilitas ekosistem dan efisiensi ekonomi, penelitian biodiversitas dan interaksi komponen ekosistem tanaman pangan diarahkan kepada penemuan teknologi pengendalian hama yang berwawasan lingkungan dan dapat memberikan keuntungan maksimal. Dalam hal ini, pengendalian dan pengaturan populasi hama berlangsung secara alamiah.

Strategi Penelitian

Strategi yang digunakan untuk pemantapan biodiversitas dan pengelolaan interaksi ekosistem adalah:
1. Pemanfaatan teknik budidaya untuk menghambat perkembangan populasi hama.
2. Pengaturan pola tanam yang memungkinkan terciptanya lingkungan yang kurang menguntungkan bagi hama untuk bertahan hidup, tumbuh, dan bereproduksi.
3. Pemanfaatan agensia pengendalian alamiah yang bersifat density dependent.
4. Pengembangan metode analisis ekosistem untuk pengambilan kuputusan pengendalian hama.
5. Pembatasan penggunaan pestisida organik sintetik yang berspektnun lebar.

PROGRAM PENELITIAN

Berikut ini disusun program penelitian biodiversitas dan interaksi komponen ekosistem pertanian tanaman pangan yang mencakup:
1. Pengelolaan hama dengan memanfaatkan teknik budidaya, antara lain penanaman varietas tahan hama, penanaman tanaman perangkap, pengaturan jarak tanam, penggenangan, dan sanitasi.
2. Pengelolaan hama dengan mengatur pola tanam yang meliputi: pergiliran tanaman, penentuan waktu tanam, dan tanam serentak.
3. Pengelolaan hama dengan memanfaatkan peranan musuh alami.
4. Pengembangan metode analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan pengendalian berdasarkan informasi tentang keberadaan dan peranan komponen ekosistem, serta informasi ekonomi yang meliputi biaya pengelolaan ekosistem dan harga komoditas.
5. Dampak penggunaan pestisida, terutama pestisida organik sintetik berspektrum lebar, terhadap biodiversitas dan interaksi komponen ekosistem pertanian tanaman pangan.

DAFTAR BACAAN

Andrewartha, H.G. and L.C. Birch. 198t. The ecological web. The University of Chicago Press, Chicago and London.
Krebs, C.J. 1978. Ecology: The experimental analysis of distribution and abundance. 2nd ed. Harper International Edition, New York.
Nishida, T. and T. Torii. 1970. A handbook of field methods for research on rice stemborers and their natural enemies. IBP Handbook No. 14. Burgess and Son (Abingdon) Ltd., Berkshire.
Risch, S.J. 1987. Agricultural ecology and insect outbreaks. In D. Barbara and J.C. Schlutlz (Eds.). Insect Outbreaks. Academic Press Inc., New York.
Southwood, T.R.E. and M.J. Way. 1970. Ecological background to pest management. In R.L. Rabb and F.E. Guthrie (Eds.). Concept of Pest Management. North Caroline State University, Releigh, North Caroline.
Stehr, F.W. 1975. Parasitoids and predators in pest management, pp. 147-88. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New York.
Untung, K. 1991a. Penelitian dan pengembangan program pengendalian hama terpadu di Indonesia. Kongres Entomologi IV di Yogyakarta, 28-30 Januari 1992.
Untung, K. 1991b. Konsep dan strategi pengendalian hama terpadu. Simposium Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung. Sukamandi, 3-4 September 1992.
Watson, T.F., L. Moore, and G.W. Ware. 1976. Practical insect pest management: A self-instruction manual. W.H. Freeman and Company, San Francisco.

59. Potensi dan Pemanfaatan Musuh Alami dalam Pengendalian Hama Kedelai


Arifin, M., A. Iqbal, I.B.G. Suryawan, T. Djuwarso, dan W. Tengkano. 1997. Potensi dan pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama kedelai, pp. 1383-1393. Dalam M. Syam et al. (Eds.). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. Buku 5: Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau dan Kacang Tunggak.


Muhammad Arifin, Agus Iqbal, Ida Bagus Gde Suryawan,
Toto Djuwarso, dan Wedanimbi Tengkano
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor


ABSTRAK

Jasad hidup yang berpotensi besar sebagai pengendali hama kedelai adalah Trichogrammatoidea spp. (parasitoid telur penggerek polong), Gryon spp., Ooencyrtus sp., Telenomus sp., dan Trissolcus basalis (parasitoid telur pengisap polong), Coccinella arcuata (predator kutu hijau), Lycosa pseudoannulata, dan Paederus fuscipes (predator ulat grayak), cendawan dan virus (patogen larva Lepidoptera). SlNPV dan HaNPV -- masing-masing patogen ulat grayak dan pemakan polong -- dapat dimanfaatkan sebagai insektisida biologis. Tryoxis indicus dan Lysiphlebus testaceipes (parasitoid kutu hijau) yang diintroduksikan ke Indonesia belum diketahui potensinya secara penuh karena masih dalam penelitian. Penurunan efektivitas musuh alami, antara lain disebabkan oleh kondisi agroekosistem yang mempengaruhi kemampuan musuh alami untuk menetap di pertanaman. Selain itu, petani masih tergantung kepada insektisida dalam pengendalian hama. Apabila kedua kendala ini dapat diatasi, musuh alami dapat berperan besar dalam pengendalian hama. Strategi pemanfaatan musuh alami dilakukan melalui empat cara: manipulasi lingkungan, konservasi, augmentasi, dan introduksi musuh alami.

PENDAHULUAN

Kedelai termasuk salah satu komoditas pangan yang diprioritaskan peningkatan produksinya. Di samping menekan impor, peningkatan produksi kedelai juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan protein bagi sebagian besar masyarakat dengan harga yang terjangkau.
Dalam upaya peningkatan produksi kedelai, hama merupakan salah satu kendala yang menonjol. Okada et al. (1988) melaporkan, lebih dari 100 jenis hama yang dapat menyerang dan menurunkan produksi kedelai, di antaranya berstatus sebagai hama utama. Hama-hama tersebut menyerang sejak tanaman mulai berkecambah hingga panen, bahkan sampai ke tempat penyimpanan.
Dewasa ini, pengendalian hama kedelai dilakukan dengan sistem pengendalian hama secara terpadu (PHT). Pada dasarnya, PHT bertujuan untuk: (1) meningkatkan pendapatan petani, (2) memantapkan produktivitas tanaman, (3) mempertahankan populasi hama untuk tetap berada pada taraf yang tidak merugikan, dan (4) mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian (Pedigo and Higley 1992). Akan tetapi, sistem PHT ini belum terlaksana sepenuhnya.
Dalam pengendalian hama, sebagian besar petani masih menggunakan insektisida karena komponen pengendalian lain dianggap belum mantap. Penggunaan insektisida memang dapat menyelamatkan hasil panen, tetapi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan. Biaya produksi pun akan meningkat bila insektisida digunakan secara berlebihan.
Pengendalian secara hayati menggunakan musuh alami yang berupa parasitoid, predator ataupun patogen merupakan alternatif pengendalian hama yang tidak mencemari lingkungan. Meskipun jenis musuh alami telah diketahui, namun sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk pengendalian hama kedelai. Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai aspek ekobiologi dan potensi musuh alami sebagai faktor pengendali hama kedelai secara hayati.
Makalah ini mengemukakan hasil-hasil penelitian musuh alami hama kedelai, serta potensi, kendala, dan strategi pemanfaatannya.

HAMA UTAMA KEDELAI DAN MUSUH ALAMINYA

Sampai saat ini tercatat 10 jenis hama penting dan dua jenis vektor virus yang menyerang dan menulari tanaman kedelai. Beberapa hama utama yang sering ditemukan adalah lalat kacang (Ophiomyia phaseoli), kumbang daun (Phaedonia inclusa), ulat grayak (Spodoptera litura), ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), pemakan polong (Helicoverpa  armigera), penggerek polong (Etiella zinckenella dan E. hobsoni), dan pengisap polong (Riptortus linearis, Nezara viidula, dan Piezodorus hybneri). Di samping itu, kutu kebul (Bemisia tabaci) dan kutu hljau (Aphis glycines) merupakan vektor beberapa jenis penyakit virus. Guna pengendalian hama-hama tersebut secara hayati, beberapa jenis musuh alaminya telah banyak diteliti.

Lalat Kacang (Ophiomyia (Agromyza) phaseoli (Tryon)

Di Indonesia terdapat empat jenis lalat kacang pada kedelai. Dari keempat jenis itu, O. phaseoli merupakan hama yang paling berbahaya karena serangannya dapat mematikan tanaman.
Djuwarso et al. (1992) melaporkan, ada lima jenis parasitoid larva lalat kacang, yakni Cynipoide sp., Eurytoma poloni, Eurytoma sp., Trigonogastra agromyzae, dan Secodella sp. Di antara kelima jenis itu, Eurytoma sp. dan E. poloni adalah yang dominan. Karena larva lalat kacang berada di dalam jaringan tanaman yang sulit dimangsa musuh alami, maka efektivitas kedua parasitoid yang dominan itu relatif rendah.

Kutu Kebul (Bemisia tabaci Gennadius)

Serangga ini diketahui sebagai vektor virus GMMV pada tanaman kedelai. Keberadaannya di pertanaman dimulai sejak saat tanaman membentuk daun. Hasil penelitian menunjukkan, makin awal tanaman terinfeksi virus, makin panjang masa berbunga, serta makin sedikit bunga pertama dan polong yang terbentuk Tengkano et al.  1986).
Parasitoid nimfa kutu kebul yang baru diketahui hingga saat ini adalah Encarsia sp. Potensinya relatif rendah (Kajita et al. 1989), dan tingkat parasitismenya berkisar antara 4-23% (Soegiarto et al. 1988).

Kutu Hijau (Aphis glycines Matsumura)

Kutu hijau menyerang tanaman kedelai sejak awal pertumbuhan. Serangga ini dapat berstatus sebagai hama dan vektor dari tujuh jenis virus tanaman. Sebagai hama, kutu hijau mengisap cairan tanaman dan sekresinya menimbulkan cendawan jelaga yang menutupi permukaan organ tanaman, sehingga mengganggu aktivitas fotosintesis dan respirasi (Irwin 1980; Kobayashi 1977).
Predator kutu hijau antara lain Coccinella arcuata, C. repanda, C. sexmaculata, Coccinella sp., Rodolia sp., Scymnus apiciflavus, Scymnus sp., Ischiodon scutellaris, Leucopis sp., Micromus sp., dan Chrysopa sp. Di antara predator-predator tersebut, Coccinella spp. dinilai cukup potensial. Dalam pengendalian kutu hijau di lapang, sebagian besar predator kurang efektif karena memiliki hiperparasit yang berkemampuan 85% (Suryawan dan Oka 1992).
Pada tahun 1988/89, Balittan Bogor mengintroduksi parasitoid Tryoxis indicus Suba Rao & Sharma dan Lysiphlebus testaceipes (Cresson) (Hym: Aphidiidae), masing-masing dari Australia dan California (Oka et al. l99l). L. testaceipes dapat beradaptasi dengan baik di laboratorium. Parasitoid ini belum diketahui efektivitasnya terhadap A. Glycines karena masih dalam taraf penelitian, sedangkan terhadap A. craccivora cukup efektif (Supartha 1992).
Patogen kutu hijau antara lain adalah Entomophtora sp. Pada kondisi lingkungan dengan suhu dan kelembaban yang relatif tinggi, patogen ini dapat menyebabkan kematian kutu hijau hingga 100% (Suryawan dan Oka 1992).

Ulat Jengkal (Chrysodeixis chalcites Esper)

Ulat jengkal menyerang tanaman sejak stadia vegetatif. Parasitoid larvanya yang diketahui adalah Copidomopsis sp. dan Aphanteles sp. Dilaporkan, Borrelinavirus chalcites dan Nomuraea rileyi termasuk patogen ulat jengkal. Tingkat serangan patogen ini, khususnya B. chalcites, terhadap hama dalam keadaan eksplosif cukup tinggi, dapat mencapai 80% (Soegiarto dan Baco 1992). Penelitian untuk mengetahui potensi musuh-musuh alami tersebut belum banyak dilakukan.

Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius)

Ulat grayak merusak tanaman kedelai sejak awal stadia vegetatif hingga menjelang akhir pengisian polong. Menurut Arifin (1991), musuh alami ulat grayak yang berupa predator adalah Paederus fuscipes, Lycosa pseudoannulata, Oxyopes javanus, Phidippus sp., Solenopsis geminata, Euborelia stali, Agiocnemis sp., Crucothemis sp., dan Sycanus annulicornis. Di antara predator-predator tersebut, E. stali dan P. Fuscipes memiliki kemampuan memangsa yang cukup tinggi, masing-masing 22 dan 14 ekor ulat instar I-III per hari.
Parasitoid telur ulat grayak adalah Tetastichus sp. dan Telenomus sp., parasitoid larvanya Snellenius manilae, dan parasitoid pupanya Megoselia scalanis dan Peribaea orbata (Arifin 1991; Mangoendihardjo dan Pollet 1992; Yamamoto dan Sosromarsono 1985). Di antara parasitoid tersebut, S. manilae memiliki kemampuan parasitasi ulat instar I-III yang relatif tinggi, yakni 41% (Arifin 1991).
Patogen ulat grayak yang terbukti efektif ialah Borrelinavirus litura dan Bacillus thuringiensis, sedangkan N. rileyi dan Beauveria sp. sedang diteliti efektivitasnya. Penelitian tentang pemanfaatan SlNPV (Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus) untuk pengendalian ulat grayak telah dilakukan sejak tahun 1985 di Balittan Bogor (Arifin 1988). Melalui penelitian itu telah dihasilkan formulasi SlNPV yang siap diuji dalam skala luas.

Pemakan Polong (Helicoverpa armigera Hubner)

Keberadaan hama ini di pertanaman dimulai sejak tanaman dalam stadia vegetatif, tetapi baru merusak setelah tanaman membentuk polong. Beberapa jenis musuh alaminya telah diidentifikasi: Trichogramma nana adalah parasitoid telur; Eriborus (Diadegma) argenteopilosa dan beberapa jenis Diptera (Tachinidae) adalah parasitoid larva; Metarrhizium sp., N. rileyi, Beauveria sp., B. thuringiensis, dan B. Armigera adalah patogen hama pemakan polong.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. armigera (HaNPV) efektif menekan populasi hama pemakan polong dengan tingkat kematian mencapai 83% di laboratorium dan 42% di lapang (Arifin et al. 1992).

Penggerek Polong (Etiella spp.)

Keberadaan penggerek polong Etiella zinckenella Tr. dan E. hobsoni (Butler) di pertanaman kedelai dimulai sejak tanaman memasuki stadia generatif. Sesuai dengan namanya, larva serangga ini menggerek polong dan hidup di dalam polong. Beberapa jenis parasitoid yang telah diketahui adalah Tichogrammatoidea spp., Agathls sp., Bracon spp., Microbracon sp., Phanerotoma sp., Pristmeurus naitoi, Temelucha spp., Trathala sp., Antrocephlus sp., dan Aphanteles sp. (Kalshoven 1981). Trichogrammatoidea bactrae-bactrae (parasitoid telur) telah diketahui potensinya dalam pengendalian penggerek polong (Naito dan Djuwarso 1993).

Pengisap Polong Kedelai

Serangga pengisap polong yang berstatus hama penting adalah N. viridula L., P. hybneri F., dan R. linearis F. Keberadaannya di pertanaman dimulai sejak tanaman memasuki stadia generatif.
Sampai saat ini telah ditemukan delapan jenis parasitoid telur ketiga jenis hama tersebut, yakni Anastatus sp., Ooencyrtus sp., Telenomus sp., T. basalis, dan empat jenis Gryon. Jenis parasitoid imago yang diketahui adalah Conopid sp. (Hirose et al. 1987; Tengkano et al. 1992). Kedelapan jenis parasitoid telur tersebut telah berhasil dibiakkan di laboratorium.

KENDALA DAN PROSPEK PEMANFAATAN MUSUH ALAMI

Peranan Musuh Alami

Ekosistem pertanian tanaman pangan umumnya bersifat kurang stabil yang dicirikan oleh diversitas struktur komunitas yang rendah. Susunan jala makanan (food web) pada ekosistem ini bersifat sederhana sehingga populasi suatu jenis organisme (khususnya yang berstatus hama) berada dalam keadaan tidak seimbang, bahkan dapat mengalami eksplosi. Biodiversitas ekosistem tanaman pangan dapat dipertahankan pada taraf tinggi dengan cara memanipulasi lingkungan, sehingga tercipta kondisi yang menguntungkan bagi spesies-spesies untuk saling berinteraksi dalam ekosistem.
Musuh alami sebagai salah satu komponen ekosistem berperan penting dalam proses interaksi intra- dan inter-spesies. Karena tingkat pemangsaannya berubah-ubah menurut kepadatan populasi hama, maka musuh alami digolongkan ke dalam faktor ekosistem yang tergantung kepadatan (density dependent factors). Ketika populasi hama meningkat, mortalitas yang disebabkan oleh musuh alami semakin meningkat, demikian pula sebaliknya (Stehr 1975).
Musuh alami dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan dan mengatur populasi hama pada tingkat keseimbangan umum (general equilibrium position), baik secara alamiah maupun buatan. Pemanfaatannya secara alamiah dapat dilakukan melalui konservasi dan peningkatan efektivitas musuh alami, antara lain dengan menerapkan teknik budi daya yang baik, dan menggunakan pestisida secara bijaksana, sehingga tidak mengganggu kehidupan musuh alami. Pemanfaatan musuh alami secara buatan dapat dilakukan dengan cara pelepasan (augmentation) setelah dibiakkan/diperbanyak di laboratorium, introduksi, dan kolonisasi musuh alami (Watson et al. 1976).

Kendala Pemanfaatan Musuh Alami

Pemanfaatan musuh alami dalam kaitannya dengan pengendalian hama kedelai dihadapkan kepada beberapa kendala, antara lain kondisi agroekosistem dan ketergantungan kepada pestisida.

Kondisi Agroekosistem

Kondisi biotis dan abiotis ekosistem tanaman kedelai dan tanaman pangan lainnya selalu berganti-ganti menurut pola tanam setempat. Kondisi agroekosistem seperti itu tidak menguntungkan bagi musuh alami untuk menetap. Hanya beberapa jenis musuh alami yang memiliki inang pada komoditas berbeda yang mempunyai peluang lebih besar untuk menetap. Sebagai contoh, L. pseudoannulata, P. fuscipes, dan C. arcuata. Musuh alami ini merupakan predator wereng coklat pada padi yang memiliki inang alternatif berbagai jenis hama kedelai. Beberapa jenis parasitoid telur, seperti Anatatus sp., Ooencyrtus sp., Telenomus sp., Gryon C., dan T. basalis juga memiliki inang, yakni N. viridula yang terdapat pada padi dan kedelai.

Ketergantungan terhadap Pestisida

Kecenderungan petani mengendalikan hama dengan mengandalkan insektisida secara berlebihan akan menurunkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu mengatur populasi hama. Ketergantungan petani terhadap insektisida umumnya karena dibayangi oleh risiko kegagalan panen. Untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap insektisida, teknologi pengelolaan ekosistem yang telah tersedia perlu diinformasikan ke petani. Petani harus diberi penyuluhan tentang manfaat musuh alami sebagai komponen pengendali hama. Apabila ekosistem dapat terkelola dengan baik, musuh alami diharapkan mampu mengendalikan dan mengatur populasi hama pada tingkat yang tidak merugikan secara ekonomis.

Prospek Pemanfaatan Musuh Alami

Sampai saat ini tercatat 107 jenis musuh alami hama kedelai yang terdiri atas 61 predator, 41 parasitoid, dan 5 jenis patogen (Okada et al. 1988). Populasi musuh alami tersebut bervariasi menurut lokasi, waktu/musim, tipe lahan, dan teknik budi daya. Beberapa jenis di antaranya dijumpai berlimpah, terutama pada daerah yang tidak pernah atau jarang diaplikasikan pestisida. Dalam keadaan demikian, musuh alami dapat berperan cukup besar sebagai faktor pengendali populasi hama.
Beberapa jenis musuh alami telah diketahui potensinya, di antaranya memiliki kemampuan mencari inang, memangsa, berkembang-biak, dan beradaptasi yang tinggi sehingga mudah menetap/berkoloni, dan memiliki inang yang spesifik untuk tingkat spesies atau genus. Musuh-musuh alami tersebut, antara lain C. arcuata (predator kutu hijau), S. manilae (parasitoid), P. fuscipes dan E. stali (predator), Beuveria sp., B. litura, dan B. thuringiensis (patogen ulat grayak), Aphanteles sp. dan Copidomopsis sp. (parasitoid), B. chalcites (patogen ulat jengkal), B. armigera (patogen pemakan polong), Trichogrammatoidea spp. dan Phanerotoma sp. (parasitoid penggerek polong), Anastatus sp., Ooencyrtus sp., Telenomus sp., Gryon spp., dan T. basalis (parasitoid pengisap polong). Khusus untuk Borrelinavirus spp. pada ulat grayak (SlNPV) dan pemakan polong (HaNPV) telah berhasil dikembangkan sebagai insektisida biologis di Balittan Bogor. Apabila berhasil dibiakkan/diperbanyak secara massal, maka potensi musuh alami tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama sasaran.

STRATEGI PEMANFAATAN MUSUH ALAMI

Ada empat strategi yang dikembangkan dalam pemanfaatan musuh alami, yakni: (1) manipulasi lingkungan, (2) konservasi, (3) augmentasi, dan (4) introduksi musuh alami (deBach 1964; Huffaker et al. 1977).

Manipulasi Lingkungan

Parrella et al. (1992) mengemukakan bahwa pemanfaatan musuh alami dengan manipulasi lingkungan mencakup berbagai teknik, antara lain: menambahkan sejumlah individu hama sebagai inang alternatif, menggunakan senyawa penarik (attractant) atau pakan tambahan, dan memodifikasi teknik budi daya yang menguntungkan musuh alami.
Kegiatan modifikasi teknik budi daya telah berhasil diterapkan dalam pengendalian hama wereng coklat pada padi, antara lain dengan efisiensi penggunaan pupuk nitrogen, tidak menggunakan varietas rentan, dan mengurangi atau-bahkan tidak menggunakan insektisida (Manti dan Nurdin 1993). Untuk tanaman kedelai, upaya pemanfaatan musuh alami yang dapat dilakukan, antara lain melalui pengelolaan pestisida dan penggunaan tanaman perangkap hama.

Konservasi Musuh Alami

Konservasi musuh alami dapat dilakukan melalui pengembangan teknik pengelolaan ekosistem yang tidak berdampak negatif terhadap musuh alami. Hal ini berkaitan erat dengan sistem PHT yang merupakan penjabaran dari strategi pembangunan berwawasan lingkungan.
Hasil penelitian konservasi musuh alami ulat grayak di Mojosari, Jawa Timur menunjukkan bahwa laju bertahan hidup populasi ulat grayak dari kelompok telur hingga ulat instar VI pada pertanaman yang tidak diaplikasi insektisida sekitar 51%, sedangkan pada pertanaman yang diaplikasi insektisida sekitar 34% (Arifin 1991). Faktor yang mempengaruhi laju bertahan hidup populasi ulat grayak pada pertanaman yang diiplikasi insektisida, antara lain berkurangnya populasi musuh alaminya. Musuh alami tersebut terdiri dari delapan jenis predator dan satu jenis parasitoid larva. Di antara musuh-musuh alami tersebut, P. fuscipes dan E. stali (predator), serta S. manilae (parasitoid) adalah yang terpenting.
Dari hasil penelitian tersebut tersirat pentingnya arti pengelolaan insektisida dalam pengendalian hama. Apabila aplikasinya tidak bijaksana, terutama insektisida yang berspektrum lebar, tingkat populasi musuh alami akan menurun, sehingga tidak dapat berperan sebagai pengatur populasi hama. Kalaupun diperlukan, aplikasi insektisida hendaklah berpedoman kepada data pemantauan dan analisis ekosistem dengan catatan populasi hama telah mencapai ambang ekonomi dan populasi musuh alami sangat rendah sehingga tidak mampu menurunkan atau mempertahankan populasi hama di bawah ambang ekonomi.

Augmentasi Musuh Alami

Augmentasi atau pelepasan musuh alami dapat dilakukan sekaligus dalam waktu tertentu untuk segera mengendalikan hama sasaran (innoculation) dan dapat pula secara bertahap agar musuh alami dapat berkembang biak yang kemudian mampu mengendalikan hama sasaran (innundation). Kegiatan augmentasi musuh alami pada pertanaman kedelai dan tanaman pangan lain yang bersifat musiman belum mampu menyaingi kegiatan serupa pada tanaman industri, perkebunan, dan tanaman kehutanan yang bersifat tahunan karena terbatasnya perkembangan populasi dan tidak permanennya musuh alami di lingkungan pertanaman kedelai.
Kegiatan pengendalian hama dengan patogen SlNPV untuk ulat grayak dan HaNPV untuk pemakan polong telah dilakukan di Banyuwangi (Arifin et al. 1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas SlNPV dan HaNPV yang diaplikasikan dalam bentuk tepung (wettable powder) dengan takaran 15 X 1011 PIBs/ha atau setara dengan 200 ekor ulat instar VI yang mati terinfeksi NPV, mampu menurunkan populasi ulat grayak 33% dan pemakan polong 42%. Dalam hal ini, efektivitas NPV relatif rendah dibandingkan dengan kalau NPV diaplikasikan di rumah kaca. Penyebabnya adalah berkurangnya sifat persistensi NPV akibat pengaruh sinar surya terhadap patogenisitas NPV. Dengan menambahkan bahan pelindung radiasi ultra violet (UV protectant) ke dalam bahan formulasi, efektivitas NPV dapat ditingkatkan. Mengingat sifatnya yang kurang persisten di lapang, maka NPV dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama dalam jangka pendek dengan cara mengaplikasikan secara berulang sebagai insektisida biologis (Maddox 1975).
Augmentasi parasitoid dan predator untuk pengendalian hama kedelai belum banyak dilakukan karena belum ada metode pembiakan massal yang efisien dan belum tersedianya metode augmentasi yang dapat menjadikan musuh alami mampu menetap dan berkoloni di lapang. Beberapa jenis parasitoid, seperti Tichogrammatoidea spp. Pada penggerek polong; Anastatus sp., Ooencyrtus sp., Telenomus sp., Gryon spp., dan T. basalis pada pengisap polong dan predator C. arcuata pada kutu hijau serta L. pseudoannulata dan P. fuscipes pada ulat grayak, telah berhasil dibiakkan dalam skala kecil di laboratorium Balittan Bogor. Parasitoid dan predator tersebut memiliki potensi yang cukup besar sehingga perlu dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam pengendalian hama melalui program pelepasan musuh alami.

Introduksi Musuh Alami

Pengendalian hayati melalui introduksi dan kolonisasi musuh alami merupakan cara pengendalian hama sasaran tanpa bantuan cara lain. Kegiatan tersebut telah dilakukan dengan mendatangkan dua jenis parasitoid kutu hijau, yakni T. indicus dan L. testaceipes. Di antara kedua jenis parasitoid tersebut, L. testaceipes terbukti mampu beradaptasi dengan baik di laboratorium Balittan Bogor (Oka et al. 1992). Parasitoid ini mampu mengendalikan kutu hijau Aphis craccivora, tetapi belum diketahui secara lengkap efektivitasnya dalam pengendalian A. glycines.

KESIMPULAN

1.  Terdapat lebih dari 100 jenis musuh alami (parasitoid, predator, dan patogen) pada berbagai ekosistem pertanaman kedelai. Di antara musuh-musuh alami potensi yang berpotensi besar untuk pengendalian hama kedelai adalah Trichogrammatoidea spp. (parasitoid telur penggerek polong), Gryon sp., dan T. basalis (parasitoid telur pengisap polong), C. arcuata (predator kutu hijau), L. pseudoannulata, dan P. fuscipes (predator larva ulat grayak).
2. SlNPV dan HaNPV, masing-masing adalah patogen ulat grayak dan pemakan polong, telah berhasil diformulasikan dalam bentuk tepung. Apabila kendala paparan sinar surya terhadap efektivitas NPV dapat diatasi, maka NPV dapat dimanfaatkansebagai insektisida biologis.
3.  Penurunan efektivitas musuh alami antara lain disebabkan oleh kondisi ekosistem yang tidak mendukung kehidupannya untuk menetap di pertanaman. Sementara itu, ketergantungan petani kepada pestisida dalam pengendalian hama, merupakan salah satu penyebab menurunnya populasi musuh alami.
4.  Pemanfaatan musuh alami untuk pengendalian hama kedelai dilakukan dengan empat strategi, yakni: (1) manipulasi lingkungan melalui teknik budi daya, (2) konservasi musuh alami melalui pengelolaan pestisida, (3) augmentasi musuh alami yang telah diketahui potensinya, dan (4) introduksi musuh alami untuk pengendalian hama yang tidak memiliki musuh alami yang efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan volume nuclear polyhedrosis virus terhadap kematian ulat grayak kedelai, Spodoptera litura (F.) Penelitian Pertanian 8(1): 12-14.
Arifin, M. 1991. Peranan musuh alami ulat grayak, Spodoptera litura (F.) pada berbagai kondisi lingkungan pertanaman kedelai. Prosiding Seminar Biologi II. Bogor, 14 Februari 1990. pp. 207-214.
Arifin, M., E. Soenarjo, B. Soegiarto, dan Subiyakto. 1992. Efektivitas Helicoverpa armigera nuclear-polyhedrosis virus dalam pengendalian hama pemakan polong, Helicoverpa armigera (Hubner) pada tanaman kedelai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balittan Bogor, 29 Februari dan 2 Maret 1992. Vol. II : 320-326.
deBach, P. 1964. Biological control of insect pests and weeds. Chapman and Hall, London.
Djuwarso, T., J. Soejitno, dan T. Okada. 1992. Studi populasi lalat kacang pada tanaman kedelai. Seminar Balittan Bogor - JICA. 31 p.
Huffaker, C.B., R.L. Rabb, and J.A. Logan. 1977. Some aspects of population dynamic relative to augmentation of natural enemy action. In: R.L. Ridgway and S.B. Vinson (Eds.). Biological Control by Augmentation of Natural Enemies, Insect and Mite Control with Parasites and Predators. Pnenum, New York. pp. 3-38.
Hirose, Y., W. Tengkano, and T. Okada. 1987. The role of egg parasitoids in the biological control on soybean bugs in Indonesia. Seminar Puslitbangtan. 19 p.
Irwin, M.E. 1980. Sampling aphids soybean fields. In: M. Kogan and N.C. Herzog (Eds.). Sampling Methods in Soybean Entomology. Springer Verlag, New York. 587 p.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The pest of crops in Indonesia (revised by P.A. van der Laan). PT. Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta.
Kajita, H., I.M. Samudra, and A. Naito. 1989. Natural enemies of whiteflies in Indonesia. Seminar BORIF, Bogor. 21 p.
Kobayashi, T. 1977. Insect pest of soybean in Japan. Taiwan Bull. 36: 1-24.
Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management. In: R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New York. pp. 189-233.
Mangoendihardjo, S. and A. Pollet. 1992. Insect viruses and the posible application of nuclear-polyhedrosis virus for the control of armyworm Spodoptera litura (F.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balittan Malang. pp. 169-183.
Manti, L dan F. Nurdin. 1993. Pengendalian hayati dengan predator dan parasitoid. Makalah Workshop Hama Tanaman, Puslitbang Tanaman Pangan. Sukarami, 4-7 Maret 1993.
Naito, A. and T. Djuwarso. 1993. Biological control of Etiella podborer by egg parasites. BORIF Seminar, 20 Agustus 1993. 5 p.
Oka, I.N., D. Pimentel, A. Iqbal, and I.B.G. Suryawan. 1991. Ecology and population dynamics of aphids and other arthropods associated with soybean and mungbean crops. BORIF. 93 p.
Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuwarso. 1988. An outline on soybean pests in Indonesia in faunistic aspects. Seminar Balittan Bogor. 36 p.
Pedigo, L.P. and L. G. Higley. 1992. The economic injury level concept and environmental quality. Am. Entomol. Spring 38(1): 12-21.
Purrella, M.P., K.M. Heinz, and L. Nunney. 1992. Biological control through augmentative releases of natural enemies: a strategy whose time has come. Am. Entomol. Spring 38(1): 172-179.
Soegiarto, B. dan D. Baco. 1992. Langkah, strategi dan program penelitian hama tanaman pangan. Rapat Kerja Puslitbang Tanaman Pangan. Banjarbaru, 21-25 Oktober 1992. 25 p.
Sugiarto, B., T. Okada, dan J. Soejitno. 1988. Studi populasi Bemisia tabaci Genn. (Hem: Aleyrodidae). Seminar Balittan Bogor. 19 p.
Stehr, F.W. 1982. Parasitoids and predators in pest management. In: R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Management. John Wiley and Sons, New York. pp. 135-173.
Supartha, I.W. 1991. Perilaku dan parasitisme Lysiphlebus testaceipes (Cresson) (Hymenoptera: Aphididae) terhadap kutu daun, Aphis craccivora Koch. (Homoptera: Aphididae) pada empat jenis tanaman kacang-kacangan. Thesis MS IPB, Bogor. 70 p.
Suryawan, I.B.G. dan I.N. Oka. 1992. Bioekologi serangan dan pengendarian hama-hama pengisap daun kedelai. Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai Balittan Malang. pp. 104-116.
Tengkano, W., M. Roechan, U. Kartosuwondo, dan B. Sakti. 1986. periode kritis tanaman kedelai Orba terhadap serangan virus yang ditularkan oleh Bemisia tabaci Genn. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan 1: 89-96 (palawija). Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Tengkano, W., M. Iman dan A. M. Tohir. 1992. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pengisap dan penggerek polong kedelai. Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Tanaman Kedelai, Balittan Malang. pp. 117-153.
Watson, T.F., L. Moore, and G.W. Ware. 1976. Practical insect pest management: a self-instructuion manual. W.H. Freeman and Company, San Francisco.
Yamamoto, I. dan S. Sosromarsono. 1985. Ecological impact of pest management in Indonesia. Tokyo University of Agriculture. 84 p.

Minggu, 30 Januari 2011

33. Pertumbuhan Intrinsik Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Kedelai


Arifin, M. 1992. Pertumbuhan intrinsik ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai, pp. 453-464. Dalam M. Machmud et al. (Eds.). Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas Khusus 1991. AARP Badan Litbang Pertanian – Ditjen Dikti.

Muhammad Arifin
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor


ABSTRAK

Dua percobaan dilaksanakan di KP Mojosari (Jawa Timur) pada MK 1989 untuk menentuken laju pertumbuhan intrinsik ulat grayak serta beberapa parameter populasi lainnya. Ulat grayak diambil dari lapangan, dipelihara secara alami pada tanaman kedelai di pot berdiameter 21 cm dan dikurung plastik tembus cahaya. Kepompong yang terjadi dikumpulkan dalam kotak plastik berisi pasir; ngengatnya dikawinkan dan telur yang melekat pada kertas filter dikumpulkan dan ditetaskan pada daun kedelai. Laju fekunditas ulat grayak dihitung di laboratorium. Kelompok telur yang berjumlah 300 butir/kelompok diletakkan di bawah permukaan daun kedelai varietas Wilis yang ditanam di lapangan pada petak ukuran 500 m2. Tanaman yang diberi telur disungkup kurungan kain kasa berdiameter 21 cm dan tinggi 60 cm. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan menghitung banyaknya telur yang menetas dan ulat yang hidup. Hasilnya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan intrinsik ulat grayak (r)= 0,134 individu/hari. Laju reproduksi bersih (Ro) ulat grayak 68,8 kali/generasi. Rata-rata panjang daur hidup 31,8 hari; laju pertambahannya 1,14 kali/hari; laju kelahiran 0,283 dan angka kematian 0,149. Model laju pertumbuhan pada keadaan yang tidak terbatas adalah Nt = No e0,134t. Satu ekor ngengat ulat grayak dapat berkembang menjadi 56 pasang dalam waktu satu bulan.

ABSTRACT

Intrinsic Rate of Natural Increase of the Common-Cutworm (Spodoptera litura F.) on Soybean. The intrinsic rate of increase (r) as a basic parameter for bio-ecological study of insect had been established for the common cutworm population. The research consisted of 2 experiments, namely survival rate and fecundity rate of the cutworm. The survival rate of the cutworm was found by measuring of the development from egg to adult at various stages of soybean plant growth in the field. The fecundity rate of the cutworm was found by counting of the eggs laid by moths at 22.8-29.0OC in the laboratory. Results of the experiment indicated that the value of r was 0.134 individuals per day. It was 71% accounted for by the first two days or 97% by the first fourth days of adult life. The value of net reproduction rate (Ro) was 68.8 times in each generation; mean length of a generation (T) was 31.8 days; finite rate of increase was 1.14 times per day; instantaneous birth rate (b) was 0.283; instantaneous death rate (d) was 0.149. In an unlimited environment, the model of the population growth rate can be written as Nt= No e0.134t. If there is a pair of moth at time t, then in one month later, the moth population will become 56 pairs.

PENDAHULUAN

Salah satu kendala penting dalam usaha mempertahankan hasil kedelai adalah kerusakan tanaman akibat serangan hama, khususnya ulat grayak, Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae). Upaya untuk mengendalikan serangga hama ini dilakukan dengan pendekatan ekologis sesuai dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Hal ini berarti bahwa pengendalian hama harus didasarkan atas pengetahuan tentang bio-ekologi hama (3). Oleh karena itu perlu dilakukan usaha memperdalam pengkajian terhadap berbagai gatra bio-ekologi ulat grayak, antara lain potensi biotiknya.
Potensi biotik suatu serangga dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan parameter yang disebut laju pertumbuhan intrinsik. Laju pertumbuhan intrinsik (r) adalah laju pertumbuhan individu serangga pada suatu kondisi fisik tertentu dalam suatu lingkungan tak-terbatas yang pengaruhnya terhadap peningkatan populasi serangga tidak diperhitungkan (1). Pertumbuhan populasi pada suatu lingkungan tak-terbatas mengikuti suatu model yang bersifat eksponensial.
Nt = No ert;
No = banyaknya individu pada waktu nol;
Nt = banyaknya individu pada waktu t;
r   = laju pertumbuhan intrinsik; dan
e  = bilangan logaritma alami (= 2,71828).
Pertumbuhan populasi ini dapat terjadi bila populasi serangga memiliki sebaran umur yang stabil, artinya memiliki peluang keperidian dan kematian yang sama pada kelompok umur tertentu untuk setiap generasi. Selain itu, populasi tersebut memiliki proporsi kelompok umur yang relatif sama untuk setiap generasi (2).
Penelitian ini bertujuan menentukan laju pertumbuhan intrinsik ulat grayak serta beberapa parameter populasi lainnya, seperti laju reproduksi bersih, masa generasi serta laju kelahiran dan kematian. Hasil penelitian penting artinya dalam mempelajari bio-ekologi serangga sebagai salah satu elemen dasar PHT (3).

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada MK 1989 di Kebun Percobaan Sub-Balai Penelitian Tanaman Pangan Mojosari, Jawa Timur.

Pemeliharaan Ulat Grayak

Ulat grayak diambil dari lapangan dan dipelihara secara alami pada tanaman kedelai dalam pot berdiameter 21 cm yang disungkup dengan kurungan plastik tembus cahaya berdiameter 21 cm dan tinggi 100 cm. Kurungan dilengkapi dengan 3 buah lobang di dinding dan sebuah lobang di atap yang ditutup kain kasa untuk ventilasi. Penggantian pakan dilakukan dengan memindahkan ulat ke tanaman sehat dalam pot yang lain sebelum daun kedelai habis. Kepompong yang terjadi dikumpulkan dalam kotak plastik berukuran 18 cm x 13 cm x 7,5 cm yang berisi pasir. Ngengat yang muncul dikawinkan dalam kotak plastik yang berukuran sama. Sisi dalam kotak dilapisi kertas filter untuk ngengat meletakkan telur. Larutan madu 10% yang telah diserapkan pada kapas dimasukkan ke dalam kotak sebagai pakan dan diganti setiap hari. Kelompok telur yang melekat pada kertas filter dilekatkan pada daun tanaman sehat dengan penjepit hingga menetas.

Peluang Hidup Ulat

Percobaan dilakukan dengan perlakuan 3 stadia tanaman, yaitu stadia vegetatif, pembungaan dan pembentukan/pengisian polong, Tiap perlakuan diulang 10 kali. Benih kedelai varietas Wilis ditanam di lapangan pada petak berukuran 500 m2 dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm, 2 tanaman/rumpun. Pupuk diberikan pada saat tanam dengan dosis setara dengan 50 kg N, 75 kg P2O5 dan 50 K2O/ha. Kelompok telur yang baru diletakkan oleh ngengat betina dikumpulkan dan yang berjumlah 300 butir/kelompok dipilih untuk bahan penelitian. Kelompok telur diletakkan di permukaan daun bagian bawah, kemudian rumpun tanaman disungkup dengan kurungan kain kasa berdiameter 21 cm dan tinggi 60 cm. Bagian bawah kurungan yang terbuka diikatkan ke batang tanaman. Pengamatan banyaknya telur yang menetas dan banyaknya ulat yang hidup dilakukan setiap hari. Untuk memudahkan pengamatan banyaknya ulat yang hidup pada saat ulat mencapai instar I-III, dilakukan pengamatan berseri dengan menginfestasikan 7 kelompok telur tiap ulangan secara terpisah pada tiap rumpun. Pengamatan hari pertama hingga keenam dilakukan dengan membuka salah satu kurungan dan setelah pengamatan, ulat dimatikan. Pengamatan hari ketujuh dan seterusnya dilakukan dengan cara yang sama, tetapi setelah pengamatan ulat dipindahkan ke rumpun tanaman sehat.

Keperidian Ngengat

Ngengat yang baru muncul dikawinkan sepasang-sepasang dalam kotak plastik seperti pada cara pemeliharaan ngengat. Banyaknya telur yang diletakkan tiap ekor ngengat betina dihitung setiap hari sampai ngengat betina mati. Setelah penghitungan, ngengat dipindahkan ke kotak lain dan dipelihara dengan cara yang sama. Suhu laboratorium selama percobaan berkisar antara 22,8 - 29,0OC dan perlakuan diulang 25 kali.

Penghitungan

Penghitungan semua parameter di bawah ini menggunakan metode Birch (1) berdasarkan populasi serangga betina. Data primer yang dibutuhkan meliputi:
a. Tabel kehidupan; menerangkan peluang hidup setiap individu pada umur x, dinyatakan dengan lx (lo= 1). Umur x ditentukan berdasarkan titik tengah dari kedua waktu pengamatan.
b. Tabel keperidian; menerangkan banyaknya keturunan betina yang dihasilkan oleh seekor ngengat pada umur x, dinyatakan dengan mx. Jika N butir telur dihasilkan oleh seekor ngengat betina yang hidup antara umur x hingga x+1 dalam unit waktu tertentu, maka mx= N. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa nisbah individu betina dan jantan= 1.
Mengawali penghitungan nilai r, kedua parameter lain, yaitu laju reproduksi bersih dan masa generasi rata-rata harus ditentukan telebih dahulu. Laju reproduksi bersih (Ro) adalah laju kelipatan keturunan betina dalam suatu generasi.
Ro = ∑ lx mx
Masa generasi rata-rata (T) adalah masa rata-rata individu antara generasi induk dan generasi keturunannya.
        ∑ x lx mx
T = --------------
          ∑ lx mx
Laju pertumbuhan intrinsik (r) dihitug dengan rumus:
        loge Ro
r = -------------
            T
Nilai r ini merupakan hasil penaksiran yang kasar. Nilai r sesungguhnya dapat diperoleh melalui proses iterasi, yaitu dengan memasukkan berbagai nilai r di sekitar nilai r duga ke dalam rumus:
∑ e-rx lx mx = 1
Penghitungan r akan lebih mudah kalau kedua sisi persamaan dikali dengan e7 sehingga menjadi:
∑ e7-rx lx mx = 1097
Laju pertumbuhan terbatas (λ) adalah kelipatan populasi dalam suatu kisaran waktu tertentu.
λ = anti loge r
Laju kelahiran terbatas (β):
1/β = ∑ lx e-r(x+1)
Laju kelahiran seketika (b):
         r β
b = ----------
        er - 1
Laju kematian seketika (d):
r = b – d
Laju kematian terbatas (δ):
          δ r
d = ----------
        er - 1
Hubungan antara jumlah individu dan waktu dalam suatu populasi yang tumbuh exponensial dinyatakan dengan persamaan:
Nt = No ert

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kurva peluang hidup ulat grayak pada berbagai stadia tanaman kedelai tanpa musuh alami di lapangan disajikan pada Gambar 1. Peluang hidup tertinggi sejak saat telur hingga menjadi ulat instar VI terjadi pada stadium vegetatif (15%), diikuti stadium pembungaan (10%) dan stadium pembentukan/pengisian polong (8%). Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa tanaman pada stadium vegetatif merupakan sumber pakan terbaik untuk pertumbuhan ulat. Oleh karena itu, laju pertumbuhan instrinsik ulat grayak dihitung berdasarkan data peluang hidup ulat pada tanaman stadium vegetatif. Peluang hidup dari telur hingga ulat instar I, awal kepompong dan awal ngengat, masing-masing 94%, 15% dan 11%. Lamanya stadia telur, ulat, kepompong dan ngengat, masing-masing sekitar 2, 16, 9 dan 9 hari. Keperidian keturunan betina per ngengat betina tertinggi terjadi pada hari kedua, yaitu 233 ekor dan jumlah keturunan betina sebanyak 707 ekor. Masa prapeneluran, peneluran dan pascapeneluran, masing-masing berlangsung selama 2, 6 dan 1 hari.
Penghitungan laju pertumbuhan intrinsik (r) ulat grayak diawali dengan menghitung laju reproduksi bersih (Ro). Langkah dan hasil penghitungannya disajikan pada Tabel 1. Perkembangan dari telur hingga munculnya ngengat berakhir pada hari ke 27, dan hari ke 28,5 adalah titik tengah dari hari pertama dan kedua telur diletakkan. Awal tabel kehidupan ngengat dihitung sejak saat ngengat meletakkan telur (x= 28,5 hari). Karena peluang hidup (lx) stadia pra-dewasa dari telur hingga munculnya ngengat sebesar 0,108, dan keturunan betina pada x= 28,5 hari sebanyak 183,0 ekor, maka awal tabel kehidupan ngengat (lx mx)= 0,108 X 183,0= 19,76 ekor. Untuk selanjutnya, nilai lx mx diperoleh dari tiap kelompok umur, dan jumlah nilai tersebut (∑ lx mx)= Ro= 68,8. Hal ini berarti bahwa populasi ulat grayak betina meningkat menjadi 68,8 kali lipat tiap generasi pada kondisi lingkungan tak terbatas.
Perbandingan dua populasi melalui Ro dapat menyesatkan, kecuali jika masa generasi rata-rata (T) kedua populasi tersebut sama. Dua populasi mungkin mempunyai Ro yang sama, tetapi r keduanya berbeda karena T-nya berbeda. Sebagai contoh, nilai lx mx pada Tabel 1 naik-turun menurut kelompok umur. Jika Ro kedua populasi tersebut bernilai sama, nyatalah bahwa nilai T kedua populasi tersebut akan berbeda. Oleh karena itu, parameter Ro memiliki nilai yang terbatas dan peranannya harus selalu dipertimbangkan bersama dengan T.
Ro analog dengan λ (laju pertumbuhan terbatas). Perbedaannya, Ro didefinisikan untuk suatu waktu yang panjang yang sama dengan masa generasi T sedangkan λ untuk suatu kisaran waktu tertentu (t) yang pendek, umumnya hari. Jika kisaran waktu t sama dengan masa generasi T, maka Ro akan sama dengan λ. Masa generasi rata-rata secara kasar dapat diduga dengan rumus:
        loge Ro
T = -----------
           r
Jika λ mendekati 1, nilai T dapat dihitung dengan rumus:
         ∑ x lx mx          2185,17
T = ---------------  = ------------- = 31,8 hari
           ∑ lx mx             68,75
Nilai r dapat dihitung dengan rumus:
        loge Ro          loge 68,8
r = ------------- = --------------- = 0,13 per ekor per hari
            T                 31,8
Nilai r ini adalah nilai duga. Dengan proses iterasi, diperoleh nilai r sesungguhnya, yaitu sebesar 0,134 ekor per hari (Tabel 2).
Nilai r merupakan konstante untuk suatu kondisi lingkungan yang konstan. Jika kondisi lingkungan berubah, nilai r juga akan berubah. Agar suatu species mampu bertahan hidup pada suatu lingkungan, nilai r minimum dari species tersebut harus dilampaui. Jika r kurang dari nilai minimum tersebut, species tersebut akan gagal dalam perjuangan hidupnya. Hal itu tidak berarti bahwa makin tinggi nilai r, populasi tersebut makin berhasil dalam perjuangan hidupnya (1).
Alam mungkin mengatur nilai r suatu species. Nilai tersebut: 1) cukup besar, sehingga memungkinkan mereka berhasil dalam berkompetisi dengan spesies lain, dan 2) cukup kecil untuk mencegah suatu laju peningkatan populasi, sehingga cadangan makanan dalam lingkungan tidak cepat habis (1).
Setelah nilai r diperoleh, maka laju pertumbuhan terbatas (λ) dapat dihitung, sebagai berikut:
λ = antiloge r = antiloge 0,134 = 1,143
Hal ini berarti bahwa populasi menjadi 1,143 kali lipat per hari.
Penghitungan andil tiap kelompok umur ngengat terhadap nilai r disajikan pada Tabel 3. Kelompok ngengat berumur 2 hari pertama memberikan andil terhadap nilai r= 71% dan kelompok ngengat berumur 4 hari pertama memberikan andil 97%. Makin awal telur diletakkan dalam kehidupan ngengat, makin besar andilnya terhadap nilai r. Andil kelompok umur 3 hari terakhir kehidupan ngengat sebesar 3%. Meskipun andilnya kecil, tetapi itu tidak berarti bahwa ngengat berumur 5-8 hari tidak penting karena telur-telur yang dihasilkan pada akhirnya akan memunculkan ngengat dalam kategori umur reproduktif.
Kenyataan biologis tersebut menunjukkan bahwa nilai r ditentukan oleh jumlah telur selama 4 hari pertama kehidupan ngengat daripada oleh jumlah telur total selama kehidupan ngengat.
Jika tabel kehidupan diketahui dan nilai r dihitung, sebaran umur stabil ulat grayak dan laju kelahiran individu betina yang stabil (β) dapat ditentukan. Penghitungan kedua parameter tersebut disajikan pada Tabel 4. Dalam penghitungan, 1/β= 3,302 atau β= 0,303.
Sebaran umur stabil sebagian besar adalah stadia pradewasa dengan proporsi 99,3%. Hanya 0,9% dari jumlah total individu dalam sebaran umur stabil adalah ngengat.

Suatu populasi memiliki laju kelahiran dan laju kematian. Nilai laju kelahiran seketika (b) diperoleh dengan persamaan:
          r β          (0,134) (0,303)
b = ---------- = -------------------- = 0,283
        er – 1             e0,134 – 1
sedangkan laju kematian seketika (d) sebesar:
d = b – r = 0,283 – 0,134 = 0,149
Berdasarkan nilai r= 0,134, maka persamaan pertumbuhan populasi eksponensial dapat
ditentukan, yaitu:
Nt = No e0,134t
Persamaan di atas menunjukkan bahwa seekor ngengat betina dapat menghasilkan keturunan sebanyak 56 ekor betina selama sebulan dan 3103 ekor betina selama 2 bulan.

Umumnya petani di Jawa Timur dan daerah penghasil kedelai utama lainnya menanam kedelai di musim kemarau 2 kali. Jadi, apabila seekor ngengat betina hadir di pertanaman 3 minggu setelah tanam, maka 2 bulan kemudian atau kira-kira seminggu sebelum panen, populasinya akan menjadi 3103 ekor betina. Populasi itu bila menyerang pertanaman kedelai pada masa tanam kedua di musim kemarau, tentu akan mengakibatkan hasil panen yang besar. Oleh karena itu, pemantauan populasi ulat grayak perlu diintensifkan, terutama pada musim tanam kedua di musim kemarau.

KESIMPULAN

Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Peluang hidup populasi ulat grayak tanpa musuh alami di lapang pada tanaman kedelai stadium vegetatif lebih tinggi daripada stadia pembungaan dan pembentukan/pengisian polong.
2. Laju pertumbuhan instrinsik (r) ulat grayak pada suhu 22,8 - 29,0o C di laboratorium adalah 0,134. Nilai r ini ditentukan oleh jumlah telur yang dihasilkan selama 4 hari pertama kehidupan ngengat. Laju reproduksi bersih (Ro) sebesar 68,8 kali tiap generasi, masa generasi rata-rata (T) berlangsung selama 31,8 hari, laju pertumbuhan terbatas sebesar 1,14 kali per hari, laju kelahiran dan laju kematian seketika, masing-masing sebesar 0,283 dan 0,149. Proporsi stadium pradewasa (telur, ulat dan kepompong) sebesar 99,3% sedangkan stadium dewasa (ngengat) sebesar 0,7%.
3. Berdasarkan laju pertumbuhan instrinsik ulat grayak sebesar 0,134, pada kondisi lingkungan tak-terbatas, sepasang ngengat dalam sebulan akan meningkat populasinya menjadi 56 kali lipat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Birch, L.C. 1948. The intrinsic rate of natural increase of an insect population. J. An. Ecol. 17: 15-26.
2. Poole, R.W. 1974. An introduction to quantitative ecology. McGraw-Hill Kojakusha, Tokyo. 531 p.
3. Watson, T.F, L. Moore, and C.W. Ware. 1976. Practical insect pest management: a self-instruction manual. W.H. Freeman, San Francisco' 196 p.