Senin, 31 Januari 2011

59. Potensi dan Pemanfaatan Musuh Alami dalam Pengendalian Hama Kedelai


Arifin, M., A. Iqbal, I.B.G. Suryawan, T. Djuwarso, dan W. Tengkano. 1997. Potensi dan pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama kedelai, pp. 1383-1393. Dalam M. Syam et al. (Eds.). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. Buku 5: Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau dan Kacang Tunggak.


Muhammad Arifin, Agus Iqbal, Ida Bagus Gde Suryawan,
Toto Djuwarso, dan Wedanimbi Tengkano
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor


ABSTRAK

Jasad hidup yang berpotensi besar sebagai pengendali hama kedelai adalah Trichogrammatoidea spp. (parasitoid telur penggerek polong), Gryon spp., Ooencyrtus sp., Telenomus sp., dan Trissolcus basalis (parasitoid telur pengisap polong), Coccinella arcuata (predator kutu hijau), Lycosa pseudoannulata, dan Paederus fuscipes (predator ulat grayak), cendawan dan virus (patogen larva Lepidoptera). SlNPV dan HaNPV -- masing-masing patogen ulat grayak dan pemakan polong -- dapat dimanfaatkan sebagai insektisida biologis. Tryoxis indicus dan Lysiphlebus testaceipes (parasitoid kutu hijau) yang diintroduksikan ke Indonesia belum diketahui potensinya secara penuh karena masih dalam penelitian. Penurunan efektivitas musuh alami, antara lain disebabkan oleh kondisi agroekosistem yang mempengaruhi kemampuan musuh alami untuk menetap di pertanaman. Selain itu, petani masih tergantung kepada insektisida dalam pengendalian hama. Apabila kedua kendala ini dapat diatasi, musuh alami dapat berperan besar dalam pengendalian hama. Strategi pemanfaatan musuh alami dilakukan melalui empat cara: manipulasi lingkungan, konservasi, augmentasi, dan introduksi musuh alami.

PENDAHULUAN

Kedelai termasuk salah satu komoditas pangan yang diprioritaskan peningkatan produksinya. Di samping menekan impor, peningkatan produksi kedelai juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan protein bagi sebagian besar masyarakat dengan harga yang terjangkau.
Dalam upaya peningkatan produksi kedelai, hama merupakan salah satu kendala yang menonjol. Okada et al. (1988) melaporkan, lebih dari 100 jenis hama yang dapat menyerang dan menurunkan produksi kedelai, di antaranya berstatus sebagai hama utama. Hama-hama tersebut menyerang sejak tanaman mulai berkecambah hingga panen, bahkan sampai ke tempat penyimpanan.
Dewasa ini, pengendalian hama kedelai dilakukan dengan sistem pengendalian hama secara terpadu (PHT). Pada dasarnya, PHT bertujuan untuk: (1) meningkatkan pendapatan petani, (2) memantapkan produktivitas tanaman, (3) mempertahankan populasi hama untuk tetap berada pada taraf yang tidak merugikan, dan (4) mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian (Pedigo and Higley 1992). Akan tetapi, sistem PHT ini belum terlaksana sepenuhnya.
Dalam pengendalian hama, sebagian besar petani masih menggunakan insektisida karena komponen pengendalian lain dianggap belum mantap. Penggunaan insektisida memang dapat menyelamatkan hasil panen, tetapi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan. Biaya produksi pun akan meningkat bila insektisida digunakan secara berlebihan.
Pengendalian secara hayati menggunakan musuh alami yang berupa parasitoid, predator ataupun patogen merupakan alternatif pengendalian hama yang tidak mencemari lingkungan. Meskipun jenis musuh alami telah diketahui, namun sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk pengendalian hama kedelai. Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai aspek ekobiologi dan potensi musuh alami sebagai faktor pengendali hama kedelai secara hayati.
Makalah ini mengemukakan hasil-hasil penelitian musuh alami hama kedelai, serta potensi, kendala, dan strategi pemanfaatannya.

HAMA UTAMA KEDELAI DAN MUSUH ALAMINYA

Sampai saat ini tercatat 10 jenis hama penting dan dua jenis vektor virus yang menyerang dan menulari tanaman kedelai. Beberapa hama utama yang sering ditemukan adalah lalat kacang (Ophiomyia phaseoli), kumbang daun (Phaedonia inclusa), ulat grayak (Spodoptera litura), ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), pemakan polong (Helicoverpa  armigera), penggerek polong (Etiella zinckenella dan E. hobsoni), dan pengisap polong (Riptortus linearis, Nezara viidula, dan Piezodorus hybneri). Di samping itu, kutu kebul (Bemisia tabaci) dan kutu hljau (Aphis glycines) merupakan vektor beberapa jenis penyakit virus. Guna pengendalian hama-hama tersebut secara hayati, beberapa jenis musuh alaminya telah banyak diteliti.

Lalat Kacang (Ophiomyia (Agromyza) phaseoli (Tryon)

Di Indonesia terdapat empat jenis lalat kacang pada kedelai. Dari keempat jenis itu, O. phaseoli merupakan hama yang paling berbahaya karena serangannya dapat mematikan tanaman.
Djuwarso et al. (1992) melaporkan, ada lima jenis parasitoid larva lalat kacang, yakni Cynipoide sp., Eurytoma poloni, Eurytoma sp., Trigonogastra agromyzae, dan Secodella sp. Di antara kelima jenis itu, Eurytoma sp. dan E. poloni adalah yang dominan. Karena larva lalat kacang berada di dalam jaringan tanaman yang sulit dimangsa musuh alami, maka efektivitas kedua parasitoid yang dominan itu relatif rendah.

Kutu Kebul (Bemisia tabaci Gennadius)

Serangga ini diketahui sebagai vektor virus GMMV pada tanaman kedelai. Keberadaannya di pertanaman dimulai sejak saat tanaman membentuk daun. Hasil penelitian menunjukkan, makin awal tanaman terinfeksi virus, makin panjang masa berbunga, serta makin sedikit bunga pertama dan polong yang terbentuk Tengkano et al.  1986).
Parasitoid nimfa kutu kebul yang baru diketahui hingga saat ini adalah Encarsia sp. Potensinya relatif rendah (Kajita et al. 1989), dan tingkat parasitismenya berkisar antara 4-23% (Soegiarto et al. 1988).

Kutu Hijau (Aphis glycines Matsumura)

Kutu hijau menyerang tanaman kedelai sejak awal pertumbuhan. Serangga ini dapat berstatus sebagai hama dan vektor dari tujuh jenis virus tanaman. Sebagai hama, kutu hijau mengisap cairan tanaman dan sekresinya menimbulkan cendawan jelaga yang menutupi permukaan organ tanaman, sehingga mengganggu aktivitas fotosintesis dan respirasi (Irwin 1980; Kobayashi 1977).
Predator kutu hijau antara lain Coccinella arcuata, C. repanda, C. sexmaculata, Coccinella sp., Rodolia sp., Scymnus apiciflavus, Scymnus sp., Ischiodon scutellaris, Leucopis sp., Micromus sp., dan Chrysopa sp. Di antara predator-predator tersebut, Coccinella spp. dinilai cukup potensial. Dalam pengendalian kutu hijau di lapang, sebagian besar predator kurang efektif karena memiliki hiperparasit yang berkemampuan 85% (Suryawan dan Oka 1992).
Pada tahun 1988/89, Balittan Bogor mengintroduksi parasitoid Tryoxis indicus Suba Rao & Sharma dan Lysiphlebus testaceipes (Cresson) (Hym: Aphidiidae), masing-masing dari Australia dan California (Oka et al. l99l). L. testaceipes dapat beradaptasi dengan baik di laboratorium. Parasitoid ini belum diketahui efektivitasnya terhadap A. Glycines karena masih dalam taraf penelitian, sedangkan terhadap A. craccivora cukup efektif (Supartha 1992).
Patogen kutu hijau antara lain adalah Entomophtora sp. Pada kondisi lingkungan dengan suhu dan kelembaban yang relatif tinggi, patogen ini dapat menyebabkan kematian kutu hijau hingga 100% (Suryawan dan Oka 1992).

Ulat Jengkal (Chrysodeixis chalcites Esper)

Ulat jengkal menyerang tanaman sejak stadia vegetatif. Parasitoid larvanya yang diketahui adalah Copidomopsis sp. dan Aphanteles sp. Dilaporkan, Borrelinavirus chalcites dan Nomuraea rileyi termasuk patogen ulat jengkal. Tingkat serangan patogen ini, khususnya B. chalcites, terhadap hama dalam keadaan eksplosif cukup tinggi, dapat mencapai 80% (Soegiarto dan Baco 1992). Penelitian untuk mengetahui potensi musuh-musuh alami tersebut belum banyak dilakukan.

Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius)

Ulat grayak merusak tanaman kedelai sejak awal stadia vegetatif hingga menjelang akhir pengisian polong. Menurut Arifin (1991), musuh alami ulat grayak yang berupa predator adalah Paederus fuscipes, Lycosa pseudoannulata, Oxyopes javanus, Phidippus sp., Solenopsis geminata, Euborelia stali, Agiocnemis sp., Crucothemis sp., dan Sycanus annulicornis. Di antara predator-predator tersebut, E. stali dan P. Fuscipes memiliki kemampuan memangsa yang cukup tinggi, masing-masing 22 dan 14 ekor ulat instar I-III per hari.
Parasitoid telur ulat grayak adalah Tetastichus sp. dan Telenomus sp., parasitoid larvanya Snellenius manilae, dan parasitoid pupanya Megoselia scalanis dan Peribaea orbata (Arifin 1991; Mangoendihardjo dan Pollet 1992; Yamamoto dan Sosromarsono 1985). Di antara parasitoid tersebut, S. manilae memiliki kemampuan parasitasi ulat instar I-III yang relatif tinggi, yakni 41% (Arifin 1991).
Patogen ulat grayak yang terbukti efektif ialah Borrelinavirus litura dan Bacillus thuringiensis, sedangkan N. rileyi dan Beauveria sp. sedang diteliti efektivitasnya. Penelitian tentang pemanfaatan SlNPV (Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus) untuk pengendalian ulat grayak telah dilakukan sejak tahun 1985 di Balittan Bogor (Arifin 1988). Melalui penelitian itu telah dihasilkan formulasi SlNPV yang siap diuji dalam skala luas.

Pemakan Polong (Helicoverpa armigera Hubner)

Keberadaan hama ini di pertanaman dimulai sejak tanaman dalam stadia vegetatif, tetapi baru merusak setelah tanaman membentuk polong. Beberapa jenis musuh alaminya telah diidentifikasi: Trichogramma nana adalah parasitoid telur; Eriborus (Diadegma) argenteopilosa dan beberapa jenis Diptera (Tachinidae) adalah parasitoid larva; Metarrhizium sp., N. rileyi, Beauveria sp., B. thuringiensis, dan B. Armigera adalah patogen hama pemakan polong.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. armigera (HaNPV) efektif menekan populasi hama pemakan polong dengan tingkat kematian mencapai 83% di laboratorium dan 42% di lapang (Arifin et al. 1992).

Penggerek Polong (Etiella spp.)

Keberadaan penggerek polong Etiella zinckenella Tr. dan E. hobsoni (Butler) di pertanaman kedelai dimulai sejak tanaman memasuki stadia generatif. Sesuai dengan namanya, larva serangga ini menggerek polong dan hidup di dalam polong. Beberapa jenis parasitoid yang telah diketahui adalah Tichogrammatoidea spp., Agathls sp., Bracon spp., Microbracon sp., Phanerotoma sp., Pristmeurus naitoi, Temelucha spp., Trathala sp., Antrocephlus sp., dan Aphanteles sp. (Kalshoven 1981). Trichogrammatoidea bactrae-bactrae (parasitoid telur) telah diketahui potensinya dalam pengendalian penggerek polong (Naito dan Djuwarso 1993).

Pengisap Polong Kedelai

Serangga pengisap polong yang berstatus hama penting adalah N. viridula L., P. hybneri F., dan R. linearis F. Keberadaannya di pertanaman dimulai sejak tanaman memasuki stadia generatif.
Sampai saat ini telah ditemukan delapan jenis parasitoid telur ketiga jenis hama tersebut, yakni Anastatus sp., Ooencyrtus sp., Telenomus sp., T. basalis, dan empat jenis Gryon. Jenis parasitoid imago yang diketahui adalah Conopid sp. (Hirose et al. 1987; Tengkano et al. 1992). Kedelapan jenis parasitoid telur tersebut telah berhasil dibiakkan di laboratorium.

KENDALA DAN PROSPEK PEMANFAATAN MUSUH ALAMI

Peranan Musuh Alami

Ekosistem pertanian tanaman pangan umumnya bersifat kurang stabil yang dicirikan oleh diversitas struktur komunitas yang rendah. Susunan jala makanan (food web) pada ekosistem ini bersifat sederhana sehingga populasi suatu jenis organisme (khususnya yang berstatus hama) berada dalam keadaan tidak seimbang, bahkan dapat mengalami eksplosi. Biodiversitas ekosistem tanaman pangan dapat dipertahankan pada taraf tinggi dengan cara memanipulasi lingkungan, sehingga tercipta kondisi yang menguntungkan bagi spesies-spesies untuk saling berinteraksi dalam ekosistem.
Musuh alami sebagai salah satu komponen ekosistem berperan penting dalam proses interaksi intra- dan inter-spesies. Karena tingkat pemangsaannya berubah-ubah menurut kepadatan populasi hama, maka musuh alami digolongkan ke dalam faktor ekosistem yang tergantung kepadatan (density dependent factors). Ketika populasi hama meningkat, mortalitas yang disebabkan oleh musuh alami semakin meningkat, demikian pula sebaliknya (Stehr 1975).
Musuh alami dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan dan mengatur populasi hama pada tingkat keseimbangan umum (general equilibrium position), baik secara alamiah maupun buatan. Pemanfaatannya secara alamiah dapat dilakukan melalui konservasi dan peningkatan efektivitas musuh alami, antara lain dengan menerapkan teknik budi daya yang baik, dan menggunakan pestisida secara bijaksana, sehingga tidak mengganggu kehidupan musuh alami. Pemanfaatan musuh alami secara buatan dapat dilakukan dengan cara pelepasan (augmentation) setelah dibiakkan/diperbanyak di laboratorium, introduksi, dan kolonisasi musuh alami (Watson et al. 1976).

Kendala Pemanfaatan Musuh Alami

Pemanfaatan musuh alami dalam kaitannya dengan pengendalian hama kedelai dihadapkan kepada beberapa kendala, antara lain kondisi agroekosistem dan ketergantungan kepada pestisida.

Kondisi Agroekosistem

Kondisi biotis dan abiotis ekosistem tanaman kedelai dan tanaman pangan lainnya selalu berganti-ganti menurut pola tanam setempat. Kondisi agroekosistem seperti itu tidak menguntungkan bagi musuh alami untuk menetap. Hanya beberapa jenis musuh alami yang memiliki inang pada komoditas berbeda yang mempunyai peluang lebih besar untuk menetap. Sebagai contoh, L. pseudoannulata, P. fuscipes, dan C. arcuata. Musuh alami ini merupakan predator wereng coklat pada padi yang memiliki inang alternatif berbagai jenis hama kedelai. Beberapa jenis parasitoid telur, seperti Anatatus sp., Ooencyrtus sp., Telenomus sp., Gryon C., dan T. basalis juga memiliki inang, yakni N. viridula yang terdapat pada padi dan kedelai.

Ketergantungan terhadap Pestisida

Kecenderungan petani mengendalikan hama dengan mengandalkan insektisida secara berlebihan akan menurunkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu mengatur populasi hama. Ketergantungan petani terhadap insektisida umumnya karena dibayangi oleh risiko kegagalan panen. Untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap insektisida, teknologi pengelolaan ekosistem yang telah tersedia perlu diinformasikan ke petani. Petani harus diberi penyuluhan tentang manfaat musuh alami sebagai komponen pengendali hama. Apabila ekosistem dapat terkelola dengan baik, musuh alami diharapkan mampu mengendalikan dan mengatur populasi hama pada tingkat yang tidak merugikan secara ekonomis.

Prospek Pemanfaatan Musuh Alami

Sampai saat ini tercatat 107 jenis musuh alami hama kedelai yang terdiri atas 61 predator, 41 parasitoid, dan 5 jenis patogen (Okada et al. 1988). Populasi musuh alami tersebut bervariasi menurut lokasi, waktu/musim, tipe lahan, dan teknik budi daya. Beberapa jenis di antaranya dijumpai berlimpah, terutama pada daerah yang tidak pernah atau jarang diaplikasikan pestisida. Dalam keadaan demikian, musuh alami dapat berperan cukup besar sebagai faktor pengendali populasi hama.
Beberapa jenis musuh alami telah diketahui potensinya, di antaranya memiliki kemampuan mencari inang, memangsa, berkembang-biak, dan beradaptasi yang tinggi sehingga mudah menetap/berkoloni, dan memiliki inang yang spesifik untuk tingkat spesies atau genus. Musuh-musuh alami tersebut, antara lain C. arcuata (predator kutu hijau), S. manilae (parasitoid), P. fuscipes dan E. stali (predator), Beuveria sp., B. litura, dan B. thuringiensis (patogen ulat grayak), Aphanteles sp. dan Copidomopsis sp. (parasitoid), B. chalcites (patogen ulat jengkal), B. armigera (patogen pemakan polong), Trichogrammatoidea spp. dan Phanerotoma sp. (parasitoid penggerek polong), Anastatus sp., Ooencyrtus sp., Telenomus sp., Gryon spp., dan T. basalis (parasitoid pengisap polong). Khusus untuk Borrelinavirus spp. pada ulat grayak (SlNPV) dan pemakan polong (HaNPV) telah berhasil dikembangkan sebagai insektisida biologis di Balittan Bogor. Apabila berhasil dibiakkan/diperbanyak secara massal, maka potensi musuh alami tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama sasaran.

STRATEGI PEMANFAATAN MUSUH ALAMI

Ada empat strategi yang dikembangkan dalam pemanfaatan musuh alami, yakni: (1) manipulasi lingkungan, (2) konservasi, (3) augmentasi, dan (4) introduksi musuh alami (deBach 1964; Huffaker et al. 1977).

Manipulasi Lingkungan

Parrella et al. (1992) mengemukakan bahwa pemanfaatan musuh alami dengan manipulasi lingkungan mencakup berbagai teknik, antara lain: menambahkan sejumlah individu hama sebagai inang alternatif, menggunakan senyawa penarik (attractant) atau pakan tambahan, dan memodifikasi teknik budi daya yang menguntungkan musuh alami.
Kegiatan modifikasi teknik budi daya telah berhasil diterapkan dalam pengendalian hama wereng coklat pada padi, antara lain dengan efisiensi penggunaan pupuk nitrogen, tidak menggunakan varietas rentan, dan mengurangi atau-bahkan tidak menggunakan insektisida (Manti dan Nurdin 1993). Untuk tanaman kedelai, upaya pemanfaatan musuh alami yang dapat dilakukan, antara lain melalui pengelolaan pestisida dan penggunaan tanaman perangkap hama.

Konservasi Musuh Alami

Konservasi musuh alami dapat dilakukan melalui pengembangan teknik pengelolaan ekosistem yang tidak berdampak negatif terhadap musuh alami. Hal ini berkaitan erat dengan sistem PHT yang merupakan penjabaran dari strategi pembangunan berwawasan lingkungan.
Hasil penelitian konservasi musuh alami ulat grayak di Mojosari, Jawa Timur menunjukkan bahwa laju bertahan hidup populasi ulat grayak dari kelompok telur hingga ulat instar VI pada pertanaman yang tidak diaplikasi insektisida sekitar 51%, sedangkan pada pertanaman yang diaplikasi insektisida sekitar 34% (Arifin 1991). Faktor yang mempengaruhi laju bertahan hidup populasi ulat grayak pada pertanaman yang diiplikasi insektisida, antara lain berkurangnya populasi musuh alaminya. Musuh alami tersebut terdiri dari delapan jenis predator dan satu jenis parasitoid larva. Di antara musuh-musuh alami tersebut, P. fuscipes dan E. stali (predator), serta S. manilae (parasitoid) adalah yang terpenting.
Dari hasil penelitian tersebut tersirat pentingnya arti pengelolaan insektisida dalam pengendalian hama. Apabila aplikasinya tidak bijaksana, terutama insektisida yang berspektrum lebar, tingkat populasi musuh alami akan menurun, sehingga tidak dapat berperan sebagai pengatur populasi hama. Kalaupun diperlukan, aplikasi insektisida hendaklah berpedoman kepada data pemantauan dan analisis ekosistem dengan catatan populasi hama telah mencapai ambang ekonomi dan populasi musuh alami sangat rendah sehingga tidak mampu menurunkan atau mempertahankan populasi hama di bawah ambang ekonomi.

Augmentasi Musuh Alami

Augmentasi atau pelepasan musuh alami dapat dilakukan sekaligus dalam waktu tertentu untuk segera mengendalikan hama sasaran (innoculation) dan dapat pula secara bertahap agar musuh alami dapat berkembang biak yang kemudian mampu mengendalikan hama sasaran (innundation). Kegiatan augmentasi musuh alami pada pertanaman kedelai dan tanaman pangan lain yang bersifat musiman belum mampu menyaingi kegiatan serupa pada tanaman industri, perkebunan, dan tanaman kehutanan yang bersifat tahunan karena terbatasnya perkembangan populasi dan tidak permanennya musuh alami di lingkungan pertanaman kedelai.
Kegiatan pengendalian hama dengan patogen SlNPV untuk ulat grayak dan HaNPV untuk pemakan polong telah dilakukan di Banyuwangi (Arifin et al. 1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas SlNPV dan HaNPV yang diaplikasikan dalam bentuk tepung (wettable powder) dengan takaran 15 X 1011 PIBs/ha atau setara dengan 200 ekor ulat instar VI yang mati terinfeksi NPV, mampu menurunkan populasi ulat grayak 33% dan pemakan polong 42%. Dalam hal ini, efektivitas NPV relatif rendah dibandingkan dengan kalau NPV diaplikasikan di rumah kaca. Penyebabnya adalah berkurangnya sifat persistensi NPV akibat pengaruh sinar surya terhadap patogenisitas NPV. Dengan menambahkan bahan pelindung radiasi ultra violet (UV protectant) ke dalam bahan formulasi, efektivitas NPV dapat ditingkatkan. Mengingat sifatnya yang kurang persisten di lapang, maka NPV dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama dalam jangka pendek dengan cara mengaplikasikan secara berulang sebagai insektisida biologis (Maddox 1975).
Augmentasi parasitoid dan predator untuk pengendalian hama kedelai belum banyak dilakukan karena belum ada metode pembiakan massal yang efisien dan belum tersedianya metode augmentasi yang dapat menjadikan musuh alami mampu menetap dan berkoloni di lapang. Beberapa jenis parasitoid, seperti Tichogrammatoidea spp. Pada penggerek polong; Anastatus sp., Ooencyrtus sp., Telenomus sp., Gryon spp., dan T. basalis pada pengisap polong dan predator C. arcuata pada kutu hijau serta L. pseudoannulata dan P. fuscipes pada ulat grayak, telah berhasil dibiakkan dalam skala kecil di laboratorium Balittan Bogor. Parasitoid dan predator tersebut memiliki potensi yang cukup besar sehingga perlu dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam pengendalian hama melalui program pelepasan musuh alami.

Introduksi Musuh Alami

Pengendalian hayati melalui introduksi dan kolonisasi musuh alami merupakan cara pengendalian hama sasaran tanpa bantuan cara lain. Kegiatan tersebut telah dilakukan dengan mendatangkan dua jenis parasitoid kutu hijau, yakni T. indicus dan L. testaceipes. Di antara kedua jenis parasitoid tersebut, L. testaceipes terbukti mampu beradaptasi dengan baik di laboratorium Balittan Bogor (Oka et al. 1992). Parasitoid ini mampu mengendalikan kutu hijau Aphis craccivora, tetapi belum diketahui secara lengkap efektivitasnya dalam pengendalian A. glycines.

KESIMPULAN

1.  Terdapat lebih dari 100 jenis musuh alami (parasitoid, predator, dan patogen) pada berbagai ekosistem pertanaman kedelai. Di antara musuh-musuh alami potensi yang berpotensi besar untuk pengendalian hama kedelai adalah Trichogrammatoidea spp. (parasitoid telur penggerek polong), Gryon sp., dan T. basalis (parasitoid telur pengisap polong), C. arcuata (predator kutu hijau), L. pseudoannulata, dan P. fuscipes (predator larva ulat grayak).
2. SlNPV dan HaNPV, masing-masing adalah patogen ulat grayak dan pemakan polong, telah berhasil diformulasikan dalam bentuk tepung. Apabila kendala paparan sinar surya terhadap efektivitas NPV dapat diatasi, maka NPV dapat dimanfaatkansebagai insektisida biologis.
3.  Penurunan efektivitas musuh alami antara lain disebabkan oleh kondisi ekosistem yang tidak mendukung kehidupannya untuk menetap di pertanaman. Sementara itu, ketergantungan petani kepada pestisida dalam pengendalian hama, merupakan salah satu penyebab menurunnya populasi musuh alami.
4.  Pemanfaatan musuh alami untuk pengendalian hama kedelai dilakukan dengan empat strategi, yakni: (1) manipulasi lingkungan melalui teknik budi daya, (2) konservasi musuh alami melalui pengelolaan pestisida, (3) augmentasi musuh alami yang telah diketahui potensinya, dan (4) introduksi musuh alami untuk pengendalian hama yang tidak memiliki musuh alami yang efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan volume nuclear polyhedrosis virus terhadap kematian ulat grayak kedelai, Spodoptera litura (F.) Penelitian Pertanian 8(1): 12-14.
Arifin, M. 1991. Peranan musuh alami ulat grayak, Spodoptera litura (F.) pada berbagai kondisi lingkungan pertanaman kedelai. Prosiding Seminar Biologi II. Bogor, 14 Februari 1990. pp. 207-214.
Arifin, M., E. Soenarjo, B. Soegiarto, dan Subiyakto. 1992. Efektivitas Helicoverpa armigera nuclear-polyhedrosis virus dalam pengendalian hama pemakan polong, Helicoverpa armigera (Hubner) pada tanaman kedelai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balittan Bogor, 29 Februari dan 2 Maret 1992. Vol. II : 320-326.
deBach, P. 1964. Biological control of insect pests and weeds. Chapman and Hall, London.
Djuwarso, T., J. Soejitno, dan T. Okada. 1992. Studi populasi lalat kacang pada tanaman kedelai. Seminar Balittan Bogor - JICA. 31 p.
Huffaker, C.B., R.L. Rabb, and J.A. Logan. 1977. Some aspects of population dynamic relative to augmentation of natural enemy action. In: R.L. Ridgway and S.B. Vinson (Eds.). Biological Control by Augmentation of Natural Enemies, Insect and Mite Control with Parasites and Predators. Pnenum, New York. pp. 3-38.
Hirose, Y., W. Tengkano, and T. Okada. 1987. The role of egg parasitoids in the biological control on soybean bugs in Indonesia. Seminar Puslitbangtan. 19 p.
Irwin, M.E. 1980. Sampling aphids soybean fields. In: M. Kogan and N.C. Herzog (Eds.). Sampling Methods in Soybean Entomology. Springer Verlag, New York. 587 p.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The pest of crops in Indonesia (revised by P.A. van der Laan). PT. Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta.
Kajita, H., I.M. Samudra, and A. Naito. 1989. Natural enemies of whiteflies in Indonesia. Seminar BORIF, Bogor. 21 p.
Kobayashi, T. 1977. Insect pest of soybean in Japan. Taiwan Bull. 36: 1-24.
Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management. In: R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New York. pp. 189-233.
Mangoendihardjo, S. and A. Pollet. 1992. Insect viruses and the posible application of nuclear-polyhedrosis virus for the control of armyworm Spodoptera litura (F.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balittan Malang. pp. 169-183.
Manti, L dan F. Nurdin. 1993. Pengendalian hayati dengan predator dan parasitoid. Makalah Workshop Hama Tanaman, Puslitbang Tanaman Pangan. Sukarami, 4-7 Maret 1993.
Naito, A. and T. Djuwarso. 1993. Biological control of Etiella podborer by egg parasites. BORIF Seminar, 20 Agustus 1993. 5 p.
Oka, I.N., D. Pimentel, A. Iqbal, and I.B.G. Suryawan. 1991. Ecology and population dynamics of aphids and other arthropods associated with soybean and mungbean crops. BORIF. 93 p.
Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuwarso. 1988. An outline on soybean pests in Indonesia in faunistic aspects. Seminar Balittan Bogor. 36 p.
Pedigo, L.P. and L. G. Higley. 1992. The economic injury level concept and environmental quality. Am. Entomol. Spring 38(1): 12-21.
Purrella, M.P., K.M. Heinz, and L. Nunney. 1992. Biological control through augmentative releases of natural enemies: a strategy whose time has come. Am. Entomol. Spring 38(1): 172-179.
Soegiarto, B. dan D. Baco. 1992. Langkah, strategi dan program penelitian hama tanaman pangan. Rapat Kerja Puslitbang Tanaman Pangan. Banjarbaru, 21-25 Oktober 1992. 25 p.
Sugiarto, B., T. Okada, dan J. Soejitno. 1988. Studi populasi Bemisia tabaci Genn. (Hem: Aleyrodidae). Seminar Balittan Bogor. 19 p.
Stehr, F.W. 1982. Parasitoids and predators in pest management. In: R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Management. John Wiley and Sons, New York. pp. 135-173.
Supartha, I.W. 1991. Perilaku dan parasitisme Lysiphlebus testaceipes (Cresson) (Hymenoptera: Aphididae) terhadap kutu daun, Aphis craccivora Koch. (Homoptera: Aphididae) pada empat jenis tanaman kacang-kacangan. Thesis MS IPB, Bogor. 70 p.
Suryawan, I.B.G. dan I.N. Oka. 1992. Bioekologi serangan dan pengendarian hama-hama pengisap daun kedelai. Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai Balittan Malang. pp. 104-116.
Tengkano, W., M. Roechan, U. Kartosuwondo, dan B. Sakti. 1986. periode kritis tanaman kedelai Orba terhadap serangan virus yang ditularkan oleh Bemisia tabaci Genn. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan 1: 89-96 (palawija). Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Tengkano, W., M. Iman dan A. M. Tohir. 1992. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pengisap dan penggerek polong kedelai. Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Tanaman Kedelai, Balittan Malang. pp. 117-153.
Watson, T.F., L. Moore, and G.W. Ware. 1976. Practical insect pest management: a self-instructuion manual. W.H. Freeman and Company, San Francisco.
Yamamoto, I. dan S. Sosromarsono. 1985. Ecological impact of pest management in Indonesia. Tokyo University of Agriculture. 84 p.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar