Minggu, 23 Januari 2011

85. Spesies Ulat Grayak dan Musuh Alaminya pada Kedelai


Kartohardjono, A. dan M. Arifin. 2001. Spesies ulat grayak dan musuh alaminya pada kedelai, pp. 371-378. Dalam E. Soenarjo et al. (Eds.). Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artopoda pada Sistem Produksi Pertanian. Cipayung, 16-18 Oktober 2000. PEI-KEHATI.

Arifin Kartohardjono1 dan Muhammad Arifin2
1Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi
2Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor

ABSTRAK

Pada agroekosistem sawah, jenis komoditas yang ditanam mengikuti pola tanam padi-padi-palawija (jagung atau kacang-kacangan). Selain jenis tanaman, organisme lain seperti serangga juga beraneka ragam. Pada pertanaman padi, spesies serangga dapat berstalus hama utama atau potensial. Hama potensial yang serangannya tiba-tiba pada areal yang luas dan dapat menggagalkan hasil panen adalah ulat grayak. Ulat grayak terdiri dari tiga spesies Mythimna sp. dan empat jenis Spodoptera sp. Ulat grayak memiliki berbagai jenis musuh alami, antara lain kelompok patogen (nuclear-polyhedrosis virus), Metharhizium anisopliae), parasitoid (telur, Telenomus spodopterae Dodd., larva, Apanteles spp., pupa, Brachimeria spp.), dan predator larva (Paederus fuscipes, Lycosa pseudoannulata, Selonopsis gemminata). Faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi ulart grayak adalah berubahnya keseimbangan alami, seperti tersedianya tanaman inang yang sesuai dan pengaruh insektisida terhadap musuh alami. Serangan ulat grayak dapat diatasi, antara lain dengan tindakan: 1) preventif melalui teknik budidaya, monitoring dan pelestarian musuh alami, 2) responsif melalui cara mekanis, fisik, dan kimiawi (insektisida botanis, biologis, dan sintetis). Dalam pertanian ramah lingkungan, serangan ulat grayak dianjurkan diatasi dengan nenggunakan insektisida botanik atau biotik berdasarkan ambang ekonomi.




Ekosistem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ekosistem alami dan ekosistem binaan. Ekosistem alami merupakan ekosistem yang pembentukan dan perkembangannya berlangsung secara alami, tanpa campur tangan manusia. Hutan tropis merrupakan salah satu contoh ekosistem alami. Ekosistem alami memiliki tingkat stabilitas yang tinggi, dicirikan oleh strukturnya yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan yang umumnya berumur panjang dan keanekaragaman biotik dan genetiknya yang tinggi.
Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia melakukan perubahan terhadap lingkungan sehingga tejadi ekosistem binaan. Agroekosistem merupakan contoh ekosistem binaan yang memiliki keanekaragaman biotik dan genetik yang rendah, bahkan cenderung seragam. Susunan jala makanannya sederhana, sehingga menjadi kurang stabil. Agroekosistem membutuhkan masukan tinggi antara lain dalam bentuk (1) pupuk, pestisida, zat pengatur tumbuh dan bahan kimia pertanian lainnya, (2) benih atau bibit, dan (3) air pengairan.
Tindakan manusia mengelola ekosistem untuk memenuhi kebutuhannya menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem, yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya peningkatan populasi organisme tertentu, misalnya serangga, yang dapat berstatus hama. Meskipun demikian, di agroekosistem yang sangat seragam, seperti persawahan, masih dapat dijumpai jaringan dan aliran makanan yang sangat kompleks dan dinamis. Berbagai jenis musuh alami yang mampu mengendalikan serangga hama banyak ditemukan, kadang-kadang populasinya tinggi.
Dengan mempelajari struktur ekosistem, antara lain tanaman, serangga hama dan musuh alami, serta interaksi satu dengan lainnya, manusia dapat mengelola agroekosistem sedemikian rupa, sehingga populasi hama dapat dikendalikan secara alami.

EKOSISTEM SAWAH

Di Pulau Jawa, luas lahan sawah tahun 1995 mencapai 4,5 juta ha. Lahan sawah irigasi umumnya dimanfaatkan untuk tanaman padi, kedelai dan jagung dalam suatu pola tanam padi-padi-palawija (Toha 1999). Lahan sampah yang ditanami kedelai selama periode 1989-1993 di Jawa Barat 96.246 ha/tahun, Jawa Tengah 189.019 ha/tahun, dan Jawa Timur 412.488 ha/tahun (Ahmad 2000).
Semakin banyak spesies organisme dalam suatu ekosistem, semakin kaya ekosistem ersebut. Satu ekosistem dapat terdiri dari dua, tiga atau lebih populasi spesies yang berinteraksi satu sama lain. Hasil pengamatan di Wonosari, Klaten menunjukkan kelimpahan serangga hama di lahan sawah 5,75% (MH 1994/95) dan 8,75% (MK 1995), dari seluruh spesies artropoda yang ada, meliputi ordo Lepidoptra, Homoptera, Hemiptera, dan Orthoptera. Kelimpahan predator pada MH 27,96% dan pada MK adalah 33,88%, meliputi ordo Araneae (laba-laba), Coleoptera, Orthoptera, Hemiptera, Dermaptera, dan Hymenoptera, sedangkan parasitoid meliputi ordo Hymenoptera dan Diptera (Mahrub 1997). Salah satu spesies hama padi potensial yang sering mengalami eksplosi adalah ulat grayak. Serangannya yang tiba-tiba dalam jumlah besar dapat menggagalkan hasil panen.

ULAT GRAYAK

Serangan ulat grayak pada tanaman padi hampir terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Dalam periode 1989-1997, areal yang diserang seluas 11.145 ha/tahun, serangan tersebut terjadi pada bulan Maret (1.094 ha) dan areal serangan terluas di Jawa Barat (2.244ha) (Anonim 1994, Anonim 1999). Pada tahun 1990, serangan ulat grayak di Jawa Barat hampir terjadi di semua kabupaten, paling luas di Kuningan dan Tasikmalaya, masing-masing 1.754 dan 1.233 ha (Arifin et al. 1991). Ulat grayak bersifat polifag, menyerang berbagai jenis tanaman sebagai inangnya. seperti padi, palawiia (jagung, kedelai, kacang-kacangan lainnya), kemiri, tembakau, kapas, dan rerumputan.
Spesies ulat grayak yang umum pada pertanaman padi adalah Mythimna separata (Wlk.), M. loreyi (Dup.) dan M. venelba (Moore), Spodoptera mauritia (Boisd) dan S. exempta (Wlk.) (Kalshoven 1981, Pathak & Khan 1994). Jenis yang dominan adalah M. separata (Arifin et al. 1991 & Kartohardjono et al. 2000). Pada tanaman kedelai, spesies ulat grayak yang sering ditemui adalah Spodoptera litura F., sedangkan pada tanaman jagung adalah M. separata. Hasil pengamatan pada tanaman jagung dan sorghum pada MH 1981/82 dan MH 1983/84 di Kebun Percobaan Cikeumeuh menunjukkan bahwa serangan ulat grayak Mythimna spp. menyebabkan defoliasi dan daun tinggal tulang daunnya saja (Ruhendi & Sukmana 1985). Pada tanaman kemiri spesies ulat grayak adalah S. litura (Mardiningsih & Baringbing 1997), dan pada bawang merah S. exigua (Supriyadi & Solahuddin 1997).
Pada ekosistem sawah, adanya berbagai spesies ulat gravak dan serangga lain, keanekaragaman ekosistem  itu dapat dinilai dengan menggunakan indeks Shannon-Weaver (Southwood 1978):

                                                si
lndeks Shannon-Weaver:    H = - ∑    pi loge pi
                                                                i=1
(pi = proporsi spesies i; Si = banyaknya spesies)

INTERAKSI SPESIES

Di setiap ekosistem ada tiga proses utama yang berlangsung, yaitu: 1) aliran energi, 2) daur biogeokimiawi, dan 3) suksesi ekologi. Aliran energi dalam suatu ekosistem berada dalam suatu rantai makanan (food chain) yang disebut tingkat trofik (thropic level). Ada beberapa tingkat trofik, yang pertama disebut produsen, yang selanjutnya disebut konsumen. Rantai makanan menunjukkan satu arah aliran energi, tetapi kenyataan di alam, tumbuh-tumbuhan atau binatang dimakan oleh beberapa jenis organisme lainnya. Jalinan hubungan antarspesies sangat rumit, sehingga disebut jaring makanan (food web). Dalam suksesi ekologi, sifat ekosistem tidak statis, selalu mengalami perubahan dari sederhana menjadi kompleks. Proses pergantian spesies berjalan secara terus-menerus, sehingga struktur ekosistem semakin kompleks dan stabil.
Pada suatu agroekosistem sawah, tingkat trofik pertama adalah pertanaman padi atau jenis tanaman lainnya, trofik kedua (konsumen tingkat l) dalam hal ini ulat grayak. Di samping itu, ditemui juga trofik ketiga (konsumen tingkat 2) berupa parasitoid dan predator. Keberadaan mereka saling beriteraksi membentuk suatu rantai makanan yang semakin lama semakin kompleks. Semakin tinggi keanekaragaman suatu ekosistem, semakin stabil ekosistem tersebut (Untung 1996).

Model atau bentuk

Pada suatu agroekosistem yang umumnya memiliki keanekaragaman rendah, populasi hama dan penyakit relatif mudah berkembang menjadi wabah. Hal tersebut mungkin disebabkan, antara lain oleh berkurangnva musuh alami, tanaman tidak memiliki daya tahan, pemupukan nitrogen terlalu banyak, dan jarak tanam terlalu rapat (Oka 1995). Naik turunnva populasi organisme ditentukan oleh dua kekuatan di dalam ekosistem, yaitu kemampuan hayati (potensi biotik) dan hambatan lingkungan. Potensi biotik merupakan kemampuan organisme untuk berkembang biak dalam keadaan optimal. Tanpa adanya hambatan, organisme tersebut akan berkembang biak secara cepat. Akan tetapi, keadaan di alam tidak demikian, karena adanya berbagai bentuk dan laktor penghambat yang disebuthambatan lingkungan (Untung 1996).

Faktor-faktor yang mempengaruhi

Faktor yang mempengaruhi serangan hama adalah berubahnya keseimbangan alami, seperti tersedianya tanaman inang yang sesuai dan pengaruh insektisida terhadap musuh alami. Penggunaan insektisida pada agroekosistem yang keanekaragamannya rendah pada das arnya makin menurunkan keanekaragaman tadi dengan matinya musuh alami dan biota lainnya (Oka 1995). Faktor yang diperkirakan menjadi penyebab terjadinya eksplosi ulat grayak pada tahun 1990 di Jawa Barat, antara lain karena kondisi lingkungan yang menguntungkan pada saat pergantian musim kemarau ke musim penghujan (waktu tanam bulan Desember atau Januari) dan penghentian pengairan yang cukup lama saat menjelang panen (Arifin et al. 1991). Sifat biologi ulat grayak yang menguntungkan adalah peletakan telur pada bagian bawah helai daun secara berkelompok, satu kelompok terdiri dari sekitar 100 butir, dan perkembangan telur sampai ngengat yang relatif pendek, yaitu sekitar 30-36 hari (Pathak & Khan 1994, Kalshoven 1981). Ulat grayak kedelai (S. litura) meletakkan telur pada malam hari selama 3 jam (Djuwarso et al. 1986). Dengan makanan daun kemiri, masa praoviposisi S. litura 1-2 hari dan Keperidian serangga 1.294-3.566 butir/ekor ngencat (Mardiningsih & Baringbing 1997). Pada kapas, pemupukan nitrogen mempengaruhi perkembangan S. litura. Makin tinggi dosis pupuk N (2,0 g N/tanaman), total daun yang dikonsumsi makin banyak (46 g), umur larva dan pupa makin pendek (3,7 dan 9,9 hari), umur imago 13,1 hari dan pupanya semakin berat (0,184 g) (Amir et al. 1997). Populasi ulat gravak (S. litura) dalam keadaan laboratorium memiliki nilai Ro= 68,8 (laju reproduksi bersih) dalam keadaan optimal dapat meningkat sampai 68,8 kali. Satu generasi berlangsung selama 34,5 hari (Arifin 1991). Populasi kedua predator (Orius sp dan Chrysopa sp.) di lapang akan menurun jika dilakukan aplikasi insektisida secara terus-menerus untuk mengendalikan S. litura (Arifin et al. 1988).

Mekanisme ledakan

Ekosistem merupakan salah satu bentuk sistem sibernetika yang memiliki semacam mekanisme umpan balik untuk mengatur dan mengendalikan dirinya (Untung 1996). Pada ekosistem sawah, pertanaman tidak pernah bebas dari serangga. Pada pertanaman yang diserang ulat grayak juga ada musuh alaminya. Sesuai dengan fungsi Shanon-Weaver, jika jenis serangga sedikit tetapi setiap jenis populasinya banyak (pi) akan berbeda keanekaragamannva dengan areal yang berjenis serangga banyak tetapi populasinya sedikit (Si). Jika jenis hama (ulat grayak) sedikit tetapi populasinya banyak, akan menempati sebagian besar arealnya, sehingga jenis serangga lainnya akan berkurang. Hal tersebut akan mempengaruhi keseimbangan stabilitas sehingga akan terjadi ledakan.

STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM

Kerapatan populasi ulat grayak diketahui dengan menggunakan lampu perangkap dan senyawa feromon. Pada tanaman padi, ngengat ulat grayak bersifat nokturnal. Hasil tangkapan mingguan dengan lampu perangkap di Jatiragas, Karawang pada tahun 2000 selama 1½ bulan diperoleh rerata 109 ekor/minggu. Jenis yang diperoleh adalah M. loreyi dan M. separata, yang terbanyak adalah M. loreyi (Kartohardjono 2000). Pada tanaman kedelai, populasi S. litura dipantau dengan menggunakan feromone seks. Hasil pemantauan pada MT 1982 dan 1983 di non sentra kedelai (Kabupaten Bogor) menunjukkan terjadinya  puncak populasi ngengat beberapa kali dengan rerata 5 minggu, sedangkan di sentra kedelai (kabupaten Jombang dan Brebes), populasinya tumpang tindih (lqbal 1987). Ngengat jantan S. litura tertarik feromon sintetik. Fluktuasi populasi ngengat yang tertangkap dipengaruhi oleh pola pertanaman kedelai, hasil tangkapan terbaik pada ketinggian 2 m dari permukaan tanah (Suharto et al. 1988). Untuk mengelola Ekosistem, perlu diupayakan agar jenis serangganya banyak dengan populasi yang rendah (Si) agar keseimbangan stabilitasnya tidak terlalu bergejolak. Batas ambang kendali atau nilai ambang ekonomi ulat S. litura pada kedelai adalah, 1 kelompok telur/57 tanaman, setara dengan 58 ekor ulat instar l, atau 32 ekor ulat instar II, atau l7 ekor ulat instar lll/12 tanaman (Arifin & Rizal 1989). Pada bawang merah, kepadatan populasi larva S. exigua 14,8 ekor/rumpun mengakibatkan kerusakan 100%. Jika dikendalilcan, bawang merah akan mampu bertahan sampai 2 minggu (Supriyadi & Solahuddin 1997). Pada pertanaman padi, serangan ulat grayak yang berat terjadi apabila ada 11-12 ekor larva atau pupa/rumpun; serangan sedang 2-3 ekor/rumpun dan serangan ringan kurang dari 1 ekor larva/rumpun (Kartohardjono et al. 2000).

Komponen

Komponen pengendalian terdiri dari beberapa aspelk yang diuraikan sebagai berikut. Musuh alami ulat grayak padi adala tiga spesies pemangsa, yaitu Lycosa pseudoannulata (memangsa 3 ekor larva instar awal), Paederus fuscipes (memangsa 5 ekor larva instar awal) (Kartohardjono et al. 2000) dan S. gemminata; empat spesies parasitoid (Braconidae, Encyrtidae. Pteromalidae, dan Tachinidae) dan tiga spesies patogen, yaitu Borrelinavirus (NPV), bakteri, dan jamur Moniliaceae (Metarhizium sp.) (Arifin et al. 1991, Kartohardjono et al. 2000). Jenis musuh alami S. litura pada kedelai yang efektif adalah predator Orius sp. (memangsa 23 larva instar pertama) dan Chrysopa sp. (memangsa 50 larva instar kedua) (Arifin et al. 1988). Gejala serangan NPV pada ulat grayak (S. litura) mulai terlihat pada hari
keempat setelah aplikasi dan laju kematian meningkat sampai hari kedelapan). Tingkat kematian larva instar kedua 40-93%, instar ketiga 31-82%, dan instar keempat 30-77% (Pramono 1997). NPV yang elektif mengendalikan S. litura pada tanaman kedelai adalah yang berformulasi SlNPV sebagai bahan aktif dan Tween 80 dan laktosum sebagai bahan pembawa. Formulasi NPV dengan ciosis 15 X 1011 PlBs/ha mampu menekan populasi ulat grayak 26% pada 3 msa dan meningkatkan hasil biji panen 12,5% (Bedjo 1997). Hasil penguiian di Bogor menunjukkan SlNPV dosis 9 X 108 PlBs/m2 yang diformulasikan dengan laktosum dapat nenyebabkan kematian ulat 81%; awal kematian ulat 80% terjadi pada 9 hsa dan tingkat kerusakan daun akibat infestasi ulat 5 ekor/rumpun setinggi 48% (Arifin et al. 1999). Campuran SlNPV dan Bt berinteraksi secara sinergetik. Pengamatan pada hari ke 0 kombinasi LC50 + LC50 mematikan larva 90% (Gothama et al. 1999) SlNPV dapat diperbanvak pada berbagai sumber pakan S. litura dengan konsentrasi SlNPV 1 X 108 PIBs/ml yang diintegrasikan dengan pakan buatan resep A. Pada konsentrasi tersebut, tingkat kematian ulat grayak 75% dan umur bertahan hidup ulat grayak 6,8 hari (Alwi & Arifin 1997). Di samping itu, B. bassiana dengan konsentrasi tinggi 2,5 g/100 ml atau setara dengan 42,7 X 106 konidial/ml menyebabkan timbulnya infeksi dan kematian larva tercepat, masing-masing 3 hsa dan 6,7 hsa serta tingkat infeksi dan kematian larva tertinggi, masing-masing, 44% dan 36% (Jauharlina & Chamzumi 1999). Pengendalian S. exigua pada bawang merah secara mekanis dengan menggunakan sungkup kain kasa lebih efektif menekan populasi telur dan larva serta intensitas kerusakan tanaman bila dibandingkan dengan penyemprotan insektisda (Supriyadi & Solahudin 1997).

Tindakan

Serangan ulat grayak dapat diatasi dengan tindakan prefentif. Tindakan prefentif dan kuratif, antara lain dengan teknik budidaya tanaman, monitoring, dan pelestarian musuh alami. Teknik budidaya tumpangsari kapas dengan kacang hijau lebih baik daripada kapas dengan kedelai dan jarak. Tanaman jarak yang ditumpangsarikan dengan kacang hijau dapat menghambat perkembangan populasi S. litura dibandingkan dengan yang ditumpangsarikan dengan kedelai (Sunarto & Subiyakto 1999). Teknik budidaya dengan menggunakan varietas kedelai MLG 3023 dan Dieng berpeluang sebagai tanaman perangkap ulat grayak, S. litura (Tengkano et al. 1997). Tindakan kuratif dilakukan secara mekanis, fisik, dan insektisida (botani. biologi, dan sintetik). Penggunaan inseklisida botani nimba (konsentrasi 150 g/l menyebabkan kematian S. litura 80%) benpotensi lebih baik terhadap S. litura dibanding dengan pahitan dan kenikir (Sutoyo & Wirioadmojo 1997). lnsektisida sintetik fenitrothion dan diazinon efektif menekan populasi ulat grayak pada tanaman padi (Laba & Sumpena 1986). Spodoptera pada jagung dan sorghum dapat dicegah dengan menggunakan karbofuran (Ruhendi & Sukmana 1985).

Kebijakan

Pelestarian ekosistem secara keseluruhan dengan memperhatikan fungsi ekosistem dinilai lebih penting dibandingkan dengan konservasi spesies secara individual karena akan lebih berperan dalam keberlanjutan dalam sistem produksi (Sumarno et al. 1999). Pada komoditas padi dan palawija, terutama kedelai pengembangan teknologi PHT diarahkan pada identifikasi sumber ketahanan dan perakitan varietas tahan, pengendalian secara kultur teknik melalui pemanfaatan tanaman perangkap, pengendalian biologi dengan parasitoid, patogen dan feromon seks, serta pengendalian secara kimiawi (Kusmayadi 1999). Pemerintah telah menetapkan PHT sebagai kebijakan bagi setiap program perlindungan tanaman. Dasar hukumnya adalah lnstruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Alternatif solusi

Upaya untuk mengatasi ledakan ulat grayak, antara lain dengan mengusahakan keseimbangan alami dan stabilitas ekosistem pertanaman secara berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan dengan meningkatkan interaksi antara ulat grayak dengan tanaman dengan penanaman komoditas atau varietas tanaman yang bervariasi, sedangkan interaksi antara ulat grayak dengan musuh alami dilakukan dengan mengkonservasi musuh. Jika hasil monitoring ulat grayak menunjukkan angka yang tinggi, maka pengendaliannya agar menggunakan insektisida biologi atau botani.

SIMPULAN DAN SARAN

Agroekosistem pertanaman padi sawah memiliki tingkat keanekaragaman mudah berubah, antara lain karena musim kemarau panjang atau karena aplikasi insektisida, sehingga mempengaruhi stabilitasnya. Hai tersebut menyebabkan terjadinya serangan ulat grayak. Serangan ulat grayak dapat dikendalikan dengan menstabilkan agroekosistem melalui penganekaragaman tanaman dan serangga. Penganekaragaman tanaman dilaksanakan dengan menentukan pola tanam, tanaman tahan hama atau tumpangsari, sedangkan penganekaragaman serangga dengan melakukan pemantauan ulat grayak, konservasi musuh alami dengan menggunakan insektisida biologi atau botani.

PUSTAKA

Ahmad, S.S. 2000. Produktifitas padi sawah di Propinsi Jawa Barat, Keragaan, Dipertan. Prop Jabar. 10 hlm.
Alwi, A. & M. Arifin. 1997. Teknik perbanyakan Spodoptera litura nuclear polyhedrosis virus pada berbagai sumber pakan ulat grayak, Spodoptera litura (F.). Abstrak Seminar Tantangan Entomologi pada Abad XX. Bogor 8 Januari 1997: hlm. 37.
Amir, A.M., M.M. Machfud & Soebandrijo. 1997. Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap perkembangan Spodoptera litura F. pada kapas, pp. 358-360. Prosiding Kongras PEl V dan Simposium Entomologi. Bandung, 24-26 Juni 1997.
Anonim. 1994. Evaluasi serangan organisme pengganggu tanaman padi selama 5 tahun (1989-1993). Dir. Bina Perlintan. Dit. Tanaman Pangan dan Hortikultura, Deptan, Jakarta. 29 hlm.
Anonim. 1999. Evaluasi serangan organisme pengganggu tanaman padi selama 5 tahun (1993-1997). Dir. Bina Perlintan. Dit. Tanaman Pangan dan Hortikultura, Deptan, Jakareptan, Jakarta. 49 hlm.
Arifin, M. & A. Rizal. 1989. Ambang ekonomi ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai varietas Orba. Penelitian Pertanian. 9(2): 71-77.
Arifin, M. 1991. Pertumbuhan intrinsik ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai. Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus, Badan Litbang Pertanian, Deptan: 453-464.
Arifin, M., Rochman & J. Soejitno. 1991. Serangan ulat grayak padi pada MT 1989/90 di beberapa kabupaten di Jawa Barat. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Balittan Bogor, 19-20 Februari: 206-215.
Arifin, M., A. Alwi & I. Villayanti. 1999. Keefektifan SlNPV pada berbagai bahan formulasi terhadap ulat grayak, Spodoptera litura (F.) pada kedelai. Abstrak Seminar Peranan Entomologi. Bogor, 16 Februari 1999: hlm 12.
Bedjo. 1997. Pengendalian hayati Helicoverpa armigera dan Spodoptera litura pada kedelai dengan nuclear polyhedrosis virus. Abstrak Kongres PEl V dan Simposium Entomologi. Bandung, 24-26 Juni 1997: hlm. 291  
Djuwarso, T., A. Naito, H. Matsuura & A. Kikuchi. 1988. Tingkah laku ngengat Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae) pada malam hari. Buletin Penelitian Balittan Bogor. 3: 35-43.
Gothama, A.A.A., H. Diyah, G.A.A. lndrayani. 1999. Interaksi antara Spodoptera litura nuclear polyhedrosis virus dan Bacillus thuringiensis pada larva S. litura (Lepidoptera, Noctuidae). Abstrak Seminar Peranan Entomologi. Bogor, 16 Februari 1999: hlm. 69.
Iqbal, A. I987. Hasil tangkapan ngengat Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera: Noctuidae) dengan menggunakan kurungan sex pheromone. Abstrak Kongres Entomologi III. Jakarta, 30 September – 2 Oktober 1987: hlm. 20.
Jauharlina & T. Chamzurni. 1999. Potensi Beauveria bassiana sebagai cendawaan entomopatogen pada hama ulat grayak (Spodoptera litura F.). Abstrak Seminar Peranan Entomologi. Bogor, 16 Februari 1999: hlm. 8.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in lndonesia. PT. lchtiar Baru – van Hoeve, Jakarta. 701 p.
Kartohardjono, A., Baehaki S.E. & Trisnaningsih. 2000. Perbaikan cara pengendalian ulat grayak Mythimna separata, Puslitbangtan. 28 hlm.
Kusmayadi, A. 1999. Proram Nasional Pengendalian Hama Terpadu. Proyek Pengendalian Hama Terpadu. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Deptan. 17 p.
Laba, I W. & T. Sumpena. 1986. Mortalitas berbagai instar larva ulat grayak (Mythimna separata Walker) karena perlakuan insektisida pada tanaman padi. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balittan Bogor, 17-18 Desember: 174-178.
Mahrub, E. 1997. Struktur komunitas arthropoda pada ekosistem padi tanpa perlakuan insektisida. Prosiding Kongres PEI V dan Simposium Entomologi: 131-138.
Mardiningsih, T.L. & B. Baringbing. 1997. Biologi Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera, Noctuidae) pada tanaman kemiri (Aleurites mollucana). Abstrak Seminar Tantangan Entomologi pada Abad XX. Bogor 8 Januari 1997: hlm. 41.
Oka, I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada Univ. Press. 255 hlm.
Pathak, M.D. & Z.R. Khan. 1994. Insect Pests of Rice. The lRRI-ICIPE, Los Banos, Philippines: 65-70.
Pramono, S. 1997. Gejala infeksi nuclear polyhedrosis virus pada larva ulat grayak (Spodoptera litura) dan tingkat mortalitasnya. Prosiding III, Seminar Nasional Biologi, Bandar lampung, 24-26 Juli 1997: 1227-1229.
Ruhendi & C. Sukmana. 1985. Hasil observasi dan pengendalian hama jagung. Seminar Balittan Bogor Tahun 1985. Padi-Palawija: 33-41.
Saleh, R.M. 1997. Konsumsi makan dan perkembangan larva Spodoptera litura F. pada kedelai dan kacang tanah di Laboratorium. Abstrak Kongres PEI V dan Simposium Entomologi. Bandung 24-26 Juni 1997: hlm. 121.
Santosa, T. 1987. Hubungan antara pemupukan tanaman dan kerentanan Spodoptera littorolis Boisd. (Lepidoptera, Noctuidae) terhadap Bacillus thuringiensis Berl. Abstrak Kongres Entomologi III. Jakarta, 30 September 1987. 2: 10-28.
Southwood, T.R.E. 1978. Ecological Methods. Chapman and Hall. 524 p.
Suharto, H, Indah N.P., & Abdillah. 1988. The evaluation of the synthetic sex pheromone of Spodoptera litura F. for monitoring armyworm population. Proceedings of The Symposium on Pest Ecology and Pest Management, Bogor, 9-11 April 1985. Biotrop. Special Publication. 32: 217-222.
Sumarno, I.G. lsmail &. S. Partoatmojo. 1999. Konsep usahatani ramah lingkungan. Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV, Bogor, 22-24 Nov. 27 hlm.
Sunarto, D.A. & Subiyakto. 1999. Laju pertumbuhan Spodoptera litura F. pada tanaman kapas, kacang hijau, jarak, dan kedelai. Abstrak Seminar Nasional menuju Milenium III.  Yogyakarta, 20 November 1999.
Supriyadi & Solahuddin. 1997. Evaluasi pengendalian mekanik dengan sungkup sebagai alternatif pengendalian non kimia ulat Spodoptera exigua pada bawang merah. Prosiding Kongres PEI V dan Simposium Entomologi. Bandung, 24-26 Juni: 336-339.
Sutoyo & B. Wiroadmojo. 1997. Uji insektisida botani daun nimba (Azadirachta indica), daun pahitan (Eupatorium inulifolium) dan daun kenikir (Tagetes spp.) terhadap kematian larva Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera: Noctuidae) pada tanaman tembakau. Prosiding Kongres V dan Simposium Entomologi. Bandung, 24-26 Juni: 317-324.
Tengkano, W., Matadjib, D. Kilin & M. Iman. 1997. ldentifikasi jenis tanaman inang yang paling menarik bagi imago Ophiomyia phaseoli Tr. dan Spodoptera litura F. Abstrak Seminar Tantangan Entomologi pada Abad XX. Bogor, 8 Januari: hlm. 41.
Toha, H.M. 1999. Pengembangan teknologi tepat guna dalam pengelolaan lahan kering. Makalah disampaikan pada Seminar Apresiasi Hasil Penelitian. Sukamandi, 18-19 Februari 1999. 18 hlm.
Untung, K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada Univ. Press. 273 hlm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar