Jumat, 21 Januari 2011

73. Keefektifan SlNPV pada Berbagai Bahan Formulasi terhadap Ulat Grayak, Spodoptera litura (F.) pada Kedelai


Arifin, M., I. Villayanti, dan A. Alwi. 1999. Keefektifan SlNPV pada berbagai bahan formulasi terhadap ulat grayak, Spodoptera litura (F.) pada kedelai, p. 149-158. Dalam I. Prasadja et al. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor, 16 Februari 1999. PEI Cabang Bogor.

Muhammad Arifin1, lrma Villayanti2, dan Asnimar Alwi3
1 Staf Peneliti Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor
2 Alumnus Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung
3 Staf Peneliti Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor

Abstrak

SlNPV memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai agensia pengendalian hayati ulat grayak. Sehubungan dengan itu, suatu percobaan telah dilaksanakan di rumah kaca untuk menilai keefektifan SlNPV pada berbagai bahan formulasi terhadap ulat grayak pada kedelai. Percoban menggunakan petak terbagi dalam rancangan acak kelompok dengan 7 ulangan. Petak utama terdiri atas 5 taraf dosis dan anak petak terdiri atas 4 macam bahan formulasi SlNPV. Hasil percobaan menunjukkan bahwa SlNPV dosis 9 X 108 PIBs/m2 yang diformulasikan dengan tepung laktosum atau talk bersifat efektif dan efisien sehingga cocok digunakan untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai. Pada kombinasi dosis dan bahan formulasi tersebut, tingkat kematian ulat setinggi 79-81%, awal kematian ulat 70% teryadi pada 9-10 hari setelah aplikasi, dan tingkat kerusakan daun akibat infestasi ulat 10 ekor/rumpun setinggi 45-48%.
Kata Kunci: Kedelai, Formulasi, SlNPV, Spodoptera litura

Pendahuluan

Nuclear polyhedrosis virus (NPV) adalah patogen pada berbagai jenis serangga khususnya yang termasuk keluarga Noctuidae. Patogen ini memiliki ciri khas, yakni adanya inclusion bodies seperti kistal bersegl banyak yang disebut polihedra di dalam inti sel yang rentan dari serangga inang, terutama badan lemak (fat body), hipodermis, matriks trakhea dan sel-sel darah (haemocyt) (Tanada dan Kaya, 1993). Salah satu jenis NPV adalah Spodoptera litura NPV (SlNPV) yang bernama ilmiah Borrelinavirus litura (Virales, Borrelinaceae). SlNPV memiliki inang spesifik, yakni ulat grayak kedelai, Spodoptera litura (Lepidoptera, Noctuidae).
Penelitian tentang pemanfaatan SlNPV untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai mulai dilakukan di Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan (Balitbio) Bogor sejak tahun 1985. Hasil penelitian yang telah dilaporkan antara lain patogenisitas, pengaruh aplikasi terhadap ulat merusak daun, metode perbanyakan metode aplikasi, persistensi, dan keefektifan SlNPV, baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan insektisida (Arifin, 1994). Penelitian-penelitian tersebut menggunakan SlNPV dalam bentuk suspensi, sehingga apabila dlaplikasikan di lapang, hasilnya kurang efektif dan penggunaannya kurang praktis. Kurang efektifnya SlNPV tersebut disebabkan oleh sifat SlNPV yang rentan terhadap paparan sinar surya. Oleh karena itu, SlNPV harus diformulasikan dalam bentuk tepung (wettable powder) dengan bahan yang mampu mempertahankan stabilitas SlNPV, murah dan mudah diperoleh di pasaran bebas.
Penelitian ini bertujuan menilai dan menentukan keefektifan SlNPV pada berbagal dosis dan bahan formulasi terhadap ulat grayak pada kedelai. Luaran yang diharapkan adalah insektisida mikroba SlNPV berfomulasi tepung yang efektif untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai. Dengan dihasilkannya insektisida mikroba tersebut, kebergantungan pada cara pengendalian ulat grayak dengan insektisida kimiawi, yang telah terbukti berdampak negatif terhadap lingkungan, dapat dikurangi.

Bahan dan Metode

Percobaan ini dilakukan mulai bulan Agustus sampai dengan November 1996 di rumah kaca, Balitbio, Bogor. Kedelai varietas Willis ditanam sebanyak 2 batang/rumpun di dalam pot plasik berukuran diameter 2l cm dan tinggi 19 cm. Tanaman dipelihara di lapang hingga mencapai stadium pembungaan, saat tanaman siap digunakan sebagai bahan percobaan. Ulat grayak diperoleh dari hasil koleksi di daerah Bogor kemudian dipelihara secara alamiah di laboratorium dengan bahan pakan berupa daun talas hingga menjadi kepompong. Ngengat yang muncul dikawinkan dan diberi pakan larutan madu 10% di dalam wadah yang bagian dalamnya dilapisi kertas filter untuk ngengat meletakkan telur. Telur yang dihasilkan dipelihara hingga menetas menjadi ulat. Ulat instar IV generasi ke dua digunakan sebagai bahan percobaan. SlNPV diperoleh dari hasil perbanyakan di laboratorium dengan cara menginfeksikan suspensi polyhedra standar yang disimpan di dalam almari pendingin, ke ulat sehat. Strain SlNPV tersebut berasal dari daerah Lampung Tengah yang dikoleksi pada tahun 1985.

Pembuatan formulasi SlNPV

Ulat yang mati terinfeksi oleh polyhedra dihomogenasi dengan air suling kemudian disaring dengan kasa nilon berukuran 100 mala jala (mesh). Suspensi polyhedra kasar dimurnikan dengan pemutar (centrifuge) selama 15 menit dengan kecepatan 3500 putaran/menit. Endapan yang dihasilkan dicuci dengan air suling dan dimurnikan kembali. Pencucian dan pemurnian dilakukan sebanyak 4 kali. Endapan hasil pencucian terakhir ditetapkan sebagai polyhedra standar.
Polyhedra standar (100) diencerkan 10 kali dengan air suling secara berturut-turut sehingga diperoleh seri suspensi 10-1 hingga 10-5. Konsentrasi suspensi 10-5 distandardisasi dengan haemacytometer melalui penghitungan banyaknya polyhedra inclusion bodies (PIBs/ml). Berdasarkan penghitungan tersebut, konsentrasi suspensi polyhedra standar ditentukan sebesar 4,8 X 109 PIBs/ml.
Suspensi polyhedra standar diencerkan 10 kali kemudian diformulasikan dalam bentuk tepung dengan bahan formulasi yang akan diuji, yakni kaolin, laktosum, dan talk. Caranya, suspensi sebanyak 25 ml ditetesi dengan agensia 0,1% Triton x-100 untuk mempertahankan stabilitas dan persistensi SlNPV. kemudian dicampur dengan tepung sebanyak 100 gr secara bertahap sambil diaduk sampai rata. Dengan cara tersebut diperoleh sediaan polyhedra berformulisi tepung dengan konsentrasi 1.2 X 108 PIBs/g.

Pelaksanaan percobaan

Percobaan menggunakan petak terbagi (split plot) dalam rancangan acak kelompok. Petak utama terdiri atas 5 taraf dosis SlNPV, yakni 1,8 X 107, 9 X 107, 1,8 X 108, 9 X 108, dan 1,8 X 109 PIBs/m2, serta kontrol. Dosis tersebut berturut-turut setara dengan konsentrasi 3,6 X 105, 1,8 X 106, 3,6 X 106, 1.8 X 107, dan 3,6 X 107 PIBs/ml, masing-masing dengan volume semprot 50 ml/m2. Anak petak terdiri atas 4 macam bahan formulasi, yakni kaolin. Laktosum, talk, dan suspensi (tanpa bahan formulasi). Tiap perlakuan diulang 7 kali.
Rumpun tanaman disemprot dengan SlNPV pada berbagai perlakuan dosis dan bahan formuiasi. Ulat instar IV sebanyak 10 ekor per perlakuan diinfestasikan ke tanaman kemudian disungkup dengan kurungan plastik milar tembus cahaya yang berukuran diameter 21 cm dan tinggi 100 cm. Kurungan dilengkapi dengan 3 buah lubang dinding dan sebuah lubang atap yang ditutup dengan kain kasa untuk ventilasi udara. Semua tanaman yang telah disungkup, dipelihara di dalam rumah kaca.
Pengamatan meliputi (a) tingkat kematian ulat, (b) awal kematian ulat, (c) saat kematian ulat 70%, dan (d) tingkat kerusakan daun. Ulat yang mati dicatat setiap hari dan ditentukan sebab kematiannya di bawah mikroskop cahaya perbesaran 600 kali. Pengamatan dihentikan apabila semua ulat telah mati atau menjadi kepompong. Kematian ulat karena terinfeksi oleh polyhedra untuk masing-masmg perlakuan dikoreksi dengan rumus Abbott (1925) sebagai berikut:
 sedangkan tingkat kerusakan daun dihitung dengan rumus umum sebagai berikut:

Hasil dan Pembahasan

Tingkat kematian ulat

Data tingkat kematian ulat setelah diaplikasi dengan SlNPV pada berbagai perlakuan dosis dan bahan formulasi SlNPV disajikan dalam Tabel 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kematian ulat dipengaruhi oleh dosis dan bahan formulasi, tetapi tidak dipengaruhi oleh interaksi keduanya. Tingkat kematian ulat tertinggi terjadi pada perlakuan dosis 1,8 X 109 PIBs/m2, kemudian menurun dengan berkurangnya dosis, dan yang terendah pada dosis 1,8 X 107 PIB/m2. Pengaruh bahan formulasi terhadap kematian ulat yang terbesar terjadi pada kaolin kemudian diikuti oleh laktosum dan talk dan yang terkecil pada suspensi.

Waktu kematian ulat

Hasil pengamatan harian tingkat kematian ulat setelah diaplikasi dengan SlNPV pada berbagai perlakuan dosis dan bahan formulasi disajikan pada Gambar 1. Awal kematian ulat terjadi pada 4 hari setelah aplikasi (hsa). Hal ini berlaku untuk semua perlakuan bahan formulasi, tetapi tidak berlaku untuk semua perlakuan dosis. Kematian ulat pada dosis tinggi relatif lebih cepat daripada dosis rendah. Tingkat kematian ulat 70% terjadi pada semua perlakuan bahan formulasi, tetapi tidak terjadi pada semua perlakuan dosis. Di antara perlakuan-perlakuan yang diuji, tingkat kematian ulat 70% paling cepat terjadi pada dosis 9 X 108 PIBs/m2 yang berformulasi kaolin, yakni 7 hsa.


 Tingkat kerusakan daun

Data kerusakan daun akibat infestasi ulat setelah diaplikasi dengan SlNPV pada berbagai dosis dan bahan formulasi disajikan dalam Tabel 2. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kerusakan daun dipengaruhi oleh dosis, bahan fcrmulasi, dan interaksi keduanya. Secara umum dapat dikemukakan bahwa tingkat kerusakan daun pada dosis rendah lebih tinggi daripada dosis tinggi, dan pada bahan formulasi kaolin lebih rendah daripada laktosum, talk, dan srspensi.

Penilaian tingkat keefektifan SlNPV

Penilaian keefektifan SlNPV pada berbagai dosis dan bahan formulasi terhadap ulat grayak pada kedelai didasarkan atas hasil pengamatan tingkat kematian ulat, waktu kematian ulat, dan tingkat kerusakan daun akibat infestasi ulat setelah diaplikasi dengan SlNPV. Secara umum dapat dikemukakan bahwa pada kisaran dosis 1,8 X 107 hingga 1,8 X 109 PIBs/m2, kematian ulat meningkat dengan bertambahnya dosis SlNPV (Tabel 1). Menurut Maddox (1975), tingkat kematian ulat karena NPV dipengaruhi oleh banyaknya polyhedra yang tertelan oleh ulat. Semakin tinggi dosis NPV yang diaplikasikan berarti butiran polyhedra yang terlapiskan pada tanaman semakin tebal sehingga yang tertelan ulat semakin banyak pula. Semakin banyak polyhedra yang tertelan, peluang terjadinya infeksi sel-sel jaringan tubuh yang rentan akan semakin besar, sehingga tingkat kematian ulat semakin tinggi.
Tingkat kematian ulat bervariasi menurut bahan formulasi SlNPV (Tabel 1). Variasi tersebut mungkin disebabkan oleh berbedanya daya adsorpsi ketiga bahan formulasi terhadap polyhedra. Daya adsopsi kaolin lebih besar jika dibandingkan dengan laktosum dan talk. Dengan demikran, polyhedra lebih mudah bercampur secara merata dengan kaolin sehingga peluang terinfeksinya ulatgayak menjadi lebih besar.
SlNPV yang tidak diformulasikan bersifat kurang efektif jika dibandingkan dengan yang diformulasikan. Menurut beberapa penulis, antara lain Tanada dan Kaya (1993), hal ini disebabkan oleh berkurangnya viabilitas, stabilitas, dan patogenisitas NPV yang tidak diformulasikan setelah mendapat paparan sinar surya.
Di dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), usaha mencegah terjadinya kerusakan ekonomi (economic damage) pada tanaman akibat serangan hama lebih diutamakan daripada memusnahkan hama tersebut. Sehubungan dengan hal itu, beberapa penulis mengemukakan bahwa keefektifan suatu cara pengendalian ditunjukkan oleh kemampuannya menurunkan populasi hama 70-80% (Mumford dan Norton, 1984; Reynolds et al., 1975). Berdasarkan ketentuan tersebut di dalam penelitian ini ada 9 kombinasi perlakuan dosis dan bahan formulasi SlNPV yang dinyatakan efektif, yakni dosis 9 X 107 dan 1,8 X 108 PlBs/m2 dengan bahan formulasi kaolin, dosis 9 X 108 PIBs/m2 dengan bahan formulasi kaolin, laktosum, dan talk serta dosis 1,8 X 108 PIBs/m2 dengan bahan formulasi kaolin, laktosum, talk, dan suspensi (Tabel 1).
Umumnya awal kematian ulat pada kesembilan kombinasi perlakuan tersebut terjadi pada 4 hsa dan tingkat kematian ulat 70% paling cepat terjadi pada 7 hsa (Gambar 1). Hasil percobaan ini sesuai dengan pendapat Maddox (1975) dan Starnes et al. (1993) bahwa kematian ulat akibat NPV mulai terjadi pada 3-4 hari setelah aplikasi, bergantung pada strain virus, jenis inang, stadia inang, banyaknya polyhedra, dan suhu.
Adanya kenyataan bahwa SlNPV berdaya bunuh lambat membawa konsekuensi kemungkinan terjadinya kerusakan daun. Hal ini tampak dalam Tabel 2, ulat grayak yang diaplikasi dengan SlNPV pada semua perlakuan kombinasi dosis dan bahan formulasi masih mampu mengakibatkan kerusakan daun. Menurut Tanada dan Kaya (1993), tingkat kerusakan daun ditentukan oleh kemampuan makan, waktu kematian, dan banyaknya ulat yang mati. Semakin tinggi dosis aplikasi, semakin banvak polyhedra yang tertelan ulat semakin besar peluang terjadinya infeksi, dan semakin cepat ulat mati. Apabila tingkat kematian ulat tinggi, maka total luas daun yang dimakan ulat berkurang, sehingga kerusakan daun menjadi rendah.
Terjadinya kerusakan daun akibat serangan ulat yang telah diaplikasi dengan SlNPV dapat dimengerti karena kematian ulat akibat SlNPV tidak terjadi seketika sebagaimana halnya dengan insektisida kimiawi. Hal ini karena di dalam tubuh ulat berlangsung proses biologis yang membutuhkan waktu beberapa hari, mulai SlNPV menginfeksi hingga ulat mati. Menurut Starnes et al. (1993), sifat NPV yang berdaya bunuh lambat ini dapat diatasi, antara lain dengan (a) menyisipkan gen-gen spesifik, misalnya gen dari Bacillus thuringiensis ke dalam genom NPV dengan teknik rekombinasi DNA, dan (b) menggunakan strain NPV yang lebih virulen. Apabila salah satu dari kedua cara tersebut dapat dilakukan, upaya mempercepat kematian ulat akan bergantung pada kualitas pemformulasian dan teknik pengaplikasian NPV. Kendala sifat NPV yang berdaya bunuh lambat tersebut dapat juga diatasi dalam jangka pendek dengan mengkombinasikan NPV dan insektisida yang kompatibel.

Penentuan dosis dan bahan formulasi efektif dan efisien

Di dalam penelitian ini, dosis dan bahan formulasi SlNPV yang efektif dan efisien ditentukan berdasarkan kriteria: (a) tingkat kematian ulat minimal yang dicapai 70%, (b) waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat kematian 70% relatif singkat, (c) tingkat kerusakan daun yang diakibatkan oleh ulat yang bertahan hidup relatif rendah, (d) dosis yang diperlukan cukup ekonomis, dan (e) bahan formulasi yang digunakan mudah diaplikasikan.
Ada dua kelompok perlakuan yang dapat dipilih, yakni dosis 9 X 107 dan 1,8 X 108 PIBs/m2 yang berformulasi kaolin dan dosis 9 x 108 PIBs/m2 yang berformulasi laktosum dan talk. Apabila kedua kelompok perlakuan tersebut diperbandingkan, tampak bahwa dosis 9 x 107 dan 1,8 x 108 PIBs/m2 yang berformulasi kaolin memiliki keunggulan relatif, yakni tingkat kerusakan daun yang lebih rendah dan dosis yang digunakan lebih efisien. Sebaliknya, dosis 9 x 108 PIBs/m2 yang berformulasi laktosum dan talk juga memiliki keunggulan relatif, yakni sifat laktosum yang mudah larut dalam air, sehingga tidak mengendap di dasar tangki dan menyumbat lobang penyemprot (nozzle). Berdasarkan kelima kriteria tersebut di atas, SlNPV dosis 9 X 108 PIBs/m2 yang berformulasi laktosum atau talk lebih cocok digunakan untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai.

Pemanfaatan SlNPV sebagai insektisida mikroba

Umumnya, musuh alami dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama yang menjadi inangnya dengan dua pendekatan, yakni konservasi dan augmentasi. Pendekatan konservasi dilakukan dengan memanipulasi lingkungan dengan tujuan meningkatkan keefektifan musuh alami yang terjadi secara alamiah, sedangkan pendekatan augmentasi dilakukan dengan memperbanyak dan melepas musuh alami secara periodik untuk tujuan jangka panjang dalam program inokulasi atau jangka pendek dalam program inundasi. Khusus SlNPV untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai, pendekatan yang cocok adalah augmentasi untuk tujuen jangka pendek. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa SlNPV mudah inaktif karena sifatnya yang rentan terhadap paparan sinar surya dan kurang persisten pada ekosistem pertanian tanaman pangan yang selalu berubah dari musim ke musim. Selain dapat digunakan secara tunggal, SlNPV juga dapat dipadukan dengan taktik pengendalian lain, misalnya perangkap massal serangga dewasa dan varietas tanaman tahan hama.
Mengingat bahwa SlNPV harus tertelan oleh serangga agar pengendalian hama menjadi efektif, dua faktor perlu diperhatikan. Pertama, SlNPV harus diaplikasikan pada daur hidup hama atau tanaman seawal mungkin untuk meminimumkan kerusakan, dan kedua, hasil aplikasi harus konsisten dan seragam melindungi tanaman (Ignoffo, 1974). Di samping itu, aplikasi SlNPV sebaiknya dilakukan pada sore atau petang hari dan pada kondisi cuaca yang menguntungkan, mengingat sifatnya yang rentan terhadap paparan sinar surya, khususnya sinar ultra-violet, dan perilaku ulat yang aktif pada petang dan malam hari (Tanada dan Kaya, 1993).
SlNPV diaplikasikan dengan menggunakan peralatan dan teknologi sebagaimana yang digunakan untuk insektisida. Untuk itu, dosis yang digunakan harus tepat untuk memperoleh hasil pengendalian yang efektif. Demikian pula ukuran lubang penyemprot harus diusahakan sekecil mungkin, sebaiknya menggunakan penyemprot ultra low volume (ULV), sehingga peluang SlNPV tertelan ulat menjadi besar.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa SlNPV dosis 9 X 108 PIBs/m2 yang berformulasi laktosum atau talk bersifat efektif dan efisien, sehingga cocok digunakan untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai. Aplikasi SlNPV pada kombinasi dosis dan bahan formulasi tersebut mengakibatkan tingkat kematian ulat setinggi 79-81%, saat kematian ulat 70% terjadi pada 9-10 hsa, dan tingkat kerusakan daun akibat infestasi ulat 10 ekor/rumpun setinggi 48%.
Kajian eksplorasi strain SlNPV yang lebih virulen perlu dilakukan dalam upaya mempercepat waktu kematian ulat. Demikian pula penelitian tentang teknik perbanyakan, pemformulasian dan pengaplikasian SlNPV yang mudah, murah, dan efektif pertu terus dilanjutkan.

Daftar Pustaka

Abbott, W.S. 1925. A methrod of computing the effectiveness of an insecticide. J. Econ. Entomol. 18: 265-267.
Arifin, M. 1994. Perkembangan penelitian pengendalian ulat grayak, Spodoptera litura (F.) dengan SlNPV pada kedelai. Prosiding Makalah Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12-13 Oktober 1993. pp. 171-183.
Ignoffo, C.M. 1974. Microbial control of lnsects: viral pathogens, p. 541-557. In F.G. Maxwell and F.A. Farris (Eds.). Proc. Summer Institute on Biocontrol of Planf Insect and Dis. Univ. Press of Mississippi, Jackson.
Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management, p. 184-233. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New York.
Mumford, J.D. and G.A. Norton. 1984. Economics of decision making in pest management. Annu. Rev. Entomol. 29: 157 - 174.
Reynolds, H.T., P.L. Adkisson, and R.F. Smith. 1975. Cotton insect pest management, p. 379-443. In F.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New York.
Starnes, R.L., C.L. Liu, and P.G. Marrone. 1993. History, use, and future of microbial insecticides. Amer. Entomol. Summer: 83-91.
Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect pathology. Academic Press, lnc., Toronto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar