Kamis, 27 Januari 2011

14. Penentuan Aras Luka Ekonomi Ulat Grayak Kedelai (Spodoptera litura F.) melalui Pendekatan Fisiologi


Arifin, M. 1988. Penentuan aras luka ekonomi ulat grayak kedelai (Spodoptera litura F.) melalui pendekatan fisiologi, pp. 41-52. Dalam S. Hardjosumadi et al. (Eds.). Seminar Balittan Bogor Tahun 1986. Vol. 1 (Palawija). Balittan Bogor.


Muhammad Arifin
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor


ABSTRACT

The Assessment of the Economic Injury Level of Soybean Armyworm (Spodoptera litura F.) through Physiological Approach. This paper indude the following five sections: bioecology of armyworm, the economic injury level (EIL) concept, assessment of the EIL, the respons of plants to defoliation, and the assessment of the EIL through physiological approach. Knowledge of the crop physiology, especially the techniques of plant growth analysis is useful for studying the respons of soybean plants to defoliation, and assessing the EIL of armyworm. The defoliation caused by armyworm determines leaf area index which is determines yield. Therefore, respons of plants to defoliation can be studied by calculating the relationship between leaf area index after defoliation and yield loss. Based on the above relationship, the EIL of armyworm can be determined.



Hama merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan produksi kedelai. Di Indonesia ditemukan 28 jenis serangga hama kedelai. Salah satu hama penting yang mengakibatkan kerusakan atau kehilangan hasil melalui pelukaan daun adalah ulat grayak (Spodoptera litura F.) (24). Kerusakan kedelai oleh hama ini dapat mencapai 50% (10).
Pengendalian ulat grayak sampai saat ini masih mengandalkan insektisida. Insektisida diaplikasikan pada tanaman berumur 20-65 hari setelah tabur dengan kekerapan 2 minggu sekali tanpa memperhatikan keadaan populasi hama di lapang (20). Dalam hal ini penggunaan insektisida menjadi berlebihan sehingga seringkali tidak mengenai sasaran dan menimbulkan pengaruh samping yang merugikan secara ekonomis dan ekologis.
Mengingat kelemahan pengendalian cara berjadwal tersebut, untuk mengendalikan ulat grayak harus digunakan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dalam PHT, insektisida harus digunakan sesedikit mungkin dan diperlukan apabila hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain. Tujuannya adalah menurunkan dan mempertahankan populasi hama di bawah aras (level) yang tidak merugikan tanaman.
Langkah pertama dalam PHT adalah menentukan aras luka ekonomi (ALE) atau economic injury level sebagai penentu keputusan saat pengendalian hama. ALE dapat ditentukan berdasarkan, antara lain melalui penelitian yang sistematik (26).
Makalah ini mengungkapkan cara penentuan ALE hama daun khususnya ulat grayak yang sistematik berdasarkan pendekatan fisiologi melalui “teknik analisis pertumbuhan".

BIOEKOLOGI ULAT GRAYAK

Ulat grayak memiliki ciri khas, yaitu terdapatnya dua buah bintik hitam yang bentuknya seperti bulan sabit pada ruas perut keempat dan kesepuluh. Bintik-bintik hitam ini membatasi alur-alur lateral dan dorsal berwarna kuning yang memanjang sepanjang badan (5).
Setelah telur menetas, ulat tinggal sementara di tempat telur diletakkan, dan beberapa hari kemudian ulat tersebut berpencaran. Ulat bersembunyi di dalam tanah pada siang hari dan giat menyerang tanaman pada malam hari. Ulat brkepompong di dalam tanah. Ngengat meletakkan telur di permukaan bawah daun secara berkelompok. Produksi telur total dapat mencapai 3000 butir per induk. Tiap kelompok telur rata-rata sebanyak 200 butir, Telur, ulat, kepompong dan ngengat masing-masing berumur 3, 15, 8 dan 9 hari (5,12).
Ulat grayak dapat hidup pada lebih dari 80 jenis tanaman. Serangga ini tersebar luas di berbagai negara Asia khususnya Jepang, Cina dan Asia Tenggara termasuk Indonesia (13). Di Jawa, sebaran populasi ulat grayak beragam dari waktu ke waktu tetapi selaiu ditemukan sepanjang tahun. Keragaman ini disebabkan oleh daya migrasinya yang tinggi dan sifatnya yang polifag sehingga mampu hidup pada berbagai tanaman inang (22).
Ulat grayak muda menyerang daun sehingga bagian daun yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulang saja. Ulat tua dapat merusak tulang-tulang daun, sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan pada daun (5).
Penelitian tentang kerusakan kedelai oleh ulat grayak di Sumatera bagian selatan selama musim tanam 1980/81 menunjukkan bahwa serangan ulat mulai terjadi sekitar 25 hari setelah tabur (hst). Serangan ulat makin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Serangan tertinggi terjadi sekitar 60 hst dan mengakibatkan kerusakan sebesar 27% (2).
Hasii peninjauan di beberapa daerah penghasil utama kedelai di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada Juni dan dan Oktober 1982 menunjukkan bahwa kerusakan kedeiai oleh ulat grayak mencapai 50% (10).
Uiat grayak memiliki daya makan yang besar. Selama periode ulat instar 5 (3-4 hari) seekor ulat mempunyai daya makan sebesar 107 cm2. Dari data tersebut diperkirakan bahwa 2 ekor ulat instar 5 mampu menghabiskan satu tanaman berumur 2 minggu (12).
Mengingat daya makan ulat grayak yang besar dan cepat, maka pengendaliannya harus dilakukan sedini mungkin yaitu pada ulat iustar muda. Oleh karena itu cara pengendalian yang sering dipilih adalah dengan insektisida karena mudah dilaksanakan dan cepat terlihat hasilnya (8).

KONSEP ALE

Dalam suatu ekosistem pertanian, hama sebagai salah satu komponen biotik berinteraksi intra dan interspesifik, juga dengan komponen fisik. Apabila komponen-komponen tersebut tidak mengalami penubahan yang nyata, maka populasi hama cenderung turun naik di sekitar aras populasi yang disebut keseimbangan umum (KU) atau general equilibrium. KU adalah kepadatan populasi hama rata-rata pada suatu periode panjang tanpa adanya pembahan lingkungan yang nyata (18).
Turun naiknya populasi hama pada KU diatur oleh faktor-faktor bertautan padat (FBP) atau density-dependen factors. FBP adalah faktor-faktor yang bekerjanya berubah-ubah menurut kepadatan populasi hama, misalnya pemangsa, parasit dan penyakit. FBP menekan populasi hama ketika populasinya meningkat dan mengendor ketika populasinya menurun (21).
Usaha manusia memanipulasi lingkungan, misalnya dengan membentuk sistem pertanaman monokultur secara terus-menerus berarti menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi peningkatan populasi hama. Apabila FBP yang ada di lingkungan tersebut tidak dapat bekerja menurunkan populasi hama ke KU, maka faktor-faktor tidak bertautan padat (density-independent factors), seperti iklim dan insektisida, dapat bertindak sebagai pengendali populasi hama (21).
Tujuan pengendalian hama bagi petani perorangan adalah meningkatkan keuntungan bersih, yang merupakan dasar dalam menentukan cara dan saat pengendalian hama. Tindakan pengendalian dilakukan apabila besarnya biaya yang dikeluarkan lebih kecil daripada nilai kehilangan hasil yang diselamatkan. Karena nilai kehilangan hasil yang diselamatkan ditentukan oleh besarnya populasi hama di lapang, maka ukuran penentuan keputusan saat pengendalian hama adalah kepadatan populasi hama (17).
Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu (Integrated Pest Control), tindakan pengendalian ditujukan untuk menurunkan dan mempertahankan popuiasi hama di bawah aras luka ekonomis (ALE) atau economic injury level. ALE adalah aras populasi hama terendah yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi (economic damage) pada tanaman. Kerusakan ekonomi adalah aras luka di mana pada aras tersebut pengeluaran biaya untuk pelaksanaan pengendalian hama dapat dibenarkan (18).
Berdasarkan pengertian tersebut, beberapa penulis menganggap bahwa tindakan pengendalian dapat dibenarkan apabila populasi hama telah mencapai ALE. Hal ini berarti, bahwa nilai kehilangan hasil yang akan diselamatkan pada aras populasi di atas/bawah ALE lebih besar/kecil daripada biaya pengendalian. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ALE adalah batas kritis pengendalian hama, karena pada aras tersebut keuntungan yang diperoleh darl tindakan pengendalian sama dengan biaya pengendalian. Prinsip impas (break-even) pengendalian hama pada ALE tersebut telah dikembangkan oleh para pakar entomologi sebagai ukuran penentuan keputusan saat pengendalian hama (9, 25).
Agar pelaksanaan pengendalian pada ALE tidak terlambat karena adanya selang waktu antara saat ditemukannya serangan hama yang mengancam dan saat aplikasi insektisida, maka perlu dilakukan tindakan pengendalian sebagai pengamanan terhadap populasi hama yang cenderung mengakibatkan kerusakan ekonomi pada tanaman. Tindakan pengamanan tersebut dimulai apabila populasi hama telah mencapai ambang ekonomi (AE) atau economic threshold. AE adalah aras populasi hama di mana pada aras tersebut harus dilakukan pengendalian untuk mencegah peningkatan populasi hama mencapai ALE. Jadi kedudukan AE lebih rendah daripada ALE (Gambar 1).
Oleh karena Stern et al. (18) tidak memberi batasan berapa jauh selisih antara ALE dan AE, maka banyak penulis, antara lain Headley (4), tidak membedakan kedua istilah tersebut. Dianggap bahwa saat ditemukannya serangan hama yang mengancam dan saat aplikasi insektisida terjadi pada waktu yang sama. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pengendalian hama dibutuhkan pengelola hama yang selalu memantau dan mengadakan tindakln secara cepat apabila populasi hama mencapai ALE (9).

PENENTUAN ALE

ALE dipengaruhi oleh komponen ekonomi, biologi dan ekoiogi. Pada Gambar 2 tampak bahwa ALE ditentukan oleh (a) pertimbangan risiko petani terhadap serangan hama; besarnya risiko ini beragam sesuai dengan pertimbangan sosial dan ekonomi petani, (b) hubungan antara populasi hama dan kehilangan hasil secara kuantitas dan kualitas, serta (c) hubungan antara populasi hama dan biaya pengendalian (14).
Hubungan antara populasi hama dan kehilangan hasil dipengaruhi oleh iklim dan tanggapan tanaman terhadap serangan hama. Tanggapan tanaman dipengaruhi oleh pupuk, tanah, varietas dan ketahanan terhadap hama serta stadium pertumbuhan hama dan tanaman. Hubungan antara populasi hama dan pengendalian dipengaruhi oleh nilai hasil tanaman dan biaya pengendalian (27).
Model hubungan antara populasi hama dan hasil dinyatakan dalam bentuk sigmoid (Gambar 3). Pada populasi rendah, pengaruhnya terhadap hasil diabaikan karena adanya daya kompensasi tanaman terhadap luka. Apabila populasi meningkat, pengaruhnya terhadap hasil berbanding lurus berkebalikan. Pada populasi tinggi, pengaruhnya terhadap hasil tetap karena adanya persaingan di antara individu hama (23).

Model hubungan antara populasi hama dan pengendalian disajikan pada Gambar 4. Tindakan pengendalian dilakukan apabila manfaat atau nilai kerusakan tanaman yang diselamatkan sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk mencegah kerusakan tersebut (4).
ALE dapat ditentukan berdasarkan (a) data empirik setempat mengenai aras populasi atau tingkat serangan hama yang masih dapat diterima, (b) ketentuan yang telah digunakan di tempat atau negara lain untuk jenis hama yang sama, dan (c) hasil penelitian yang sistematis (26).

TANGGAPAN TANAMAN TERHADAP PELUKAAN DAUN

Tanaman yang terserang sesuatu hama dapat mengakibatkan luka (injury). Luka adalah hasil kegiatan serangga pemakan tumbuhan, misalnya makan dan bertelur yang berpengaruh terhadap pertumbuhan inang. Luka berat mengakibatkan kerusakan (damage). Kerusakan adalah akibat yang ditimbulkan oleh sejumlah luka yang melampaui daya tahan tanaman (6).
Aras luka pada tanaman dipengaruhi oleh besarnya populasi hama, perilaku makan hama, stadium pertumbuhan dan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan hama dan tanaman (16). Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut dalam mempelajari tanggapan tanaman terhadap pelukaan pada daun dibutuhkan pengetahuan fisiologi tanaman melalui "teknik analisis pertumbuhan" (1).
Teknik analisis pertumbuhan didasarkan pada pertimbangan bahwa rata-rata kecepatan tumbuh tanaman (KTT) tergantung pada rata-rata indeks luas daun (ILD). KTT adalah kecepatan peningkatan berat kering tanaman per unit luas tanah. ILD adalah luas daun per unit luas tanah. Setiap perubahan luas daun, antara lain karena pelukaan menentukan keragaman berat kering tanaman (28).
Persamaan-persamaan dalam teknik analisis pertumbuhan berdasarkan Watson (28) adalah sebagai berikut:

KTT = KAB X ILD
KTT = (B2 – B1) / (W2 – W1)
            (B2 – B1) (Loge L2 – Loge L1)
KAB = -------------------------------------
                 (W2 – W1) (L2 – L1)
ILD = (L2 – L1) / (Loge L2 – Loge L1)

di mana:
KTT  = rata-rata kecepatan tumbuh tanaman (mean growth rate);
KAB  = rata-rata kecepatan asimilasi bersih (mean net assimilation rate);
ILD   = rata-rata indeks luas daun (mean leaf area index);
B      = berat kering tanaman per unit luas tanah;
L      = luas daun per unit luas tanah,
W     = waktu;
1 dan 2 = pengukuran pertama dan kedua.

Oleh karena kemungkinan usaha meningkatkan ILD lebih besar daripada KAB, misalnya dengan pemupukan, maka faktor utama penyebab keragaman berat kering tanaman adalah ILD (28).
Ulat grayak mengakibatkan luka pada daun kedelai. Oleh karena luka menentukan ILD, dan ILD menentukan berat kering tanaman, maka tanggapan kedelai terhadap pelukaan oleh ulat grayak dapat dipelajari melalui hubungan antara ILD dan berat kering tanaman.
Berdasarkan tipe pertumbuhannya, kedelai dibedakan menjadi 3 macam, yaitu determinit, indeterminit dan semideterminit. Pada tipe determinit, misalnya varietas Kerinci, pertumbuhan vegetatif berhenti setelah berbunga, sedangkan pada tipe indeterminit, misalnya varietas No. 29, pertumbuhan vegetatif berlanjut setelah berbunga. Varietas Orba termasuk dalam tipe semideterminit, yaitu tipe antara determinit dan indeteminit (3). Perbedaan tipe pertumbuhan tersebut mungkin dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan tanggapan kedelai terhadap pelukaan oleh ulat grayak.
Tanggapan kedelai terhadap pelukaan pada daun juga dipengaruhi oleh stadia pertumbuhan tanaman. Pada stadium vegetatif sampai awal pembentukan polong, semua hasil fotosintesis ditranslokasi ke batang dan daun untuk pertumbuhan tanaman. Pada stadia awal pembentukan polong dan pengisian polong, hasil fotosintesis disimpan sementara di batang kemudian dikirim ke polong. Apabila pada stadia ini terjadi pelukaan pada daun, hasil fotosintesis yang sedianya dikirim ke polong, diserap kembali untuk membentuk daun-daun baru sebagai kompensasi terhadap pelukaan. Setelah stadium pengisian polong, tidak ada hasil fotosintesis yang disimpan sementara di batang atau yang digunakan untuk mengganti daun yang hilang (15).
Berdasarkan dinamika hasil fotosintesis tersebut, stadium kritis terhadap pelukaan pada daun adalah pengisian polong. Pada stadium ini pelukaan pada daun akan menyebabkan berkurangnya hasil fotosintesis yang dikirim ke polong sehingga banyak polong hampa.

PENENTUAN ALE BERDASARKAN PENDEKATAN FISIOLOGI

Stone dan Pedigo (19) menentukan ALE hama daun kedelai berdasarkan prinsip impas pengendalian hama dari Stern et al. (18), yaitu nilai kehilangan hasil yang diselamatkan pada ALE sama dengan biaya pengendalian hama. ALE dihitung berdasarkan besarnya biaya pengendalian, harga kedelai, proyeksi hasil, daya makan serangga serta hubungan antara pelukaan daun dan kehilangan hasil.
Dalam menentukan kehilangan hasil, Stone dan Pedigo (19) membuat berbagai aras luka melalui pengguntingan daun. Hasil tanaman luka dibandingkan dengan yang sehat kemudian dicari hubungan antara aras luka dan persentase kehilangan hasil. Dengan cara tersebut data kehilangan hasil yang diperoleh lebih rendah daripada yang sesungguhnya karena dinamika proses pelukaan oleh hama daun dan kemampuan tanaman mengkompensasi luka tidak diperhitungkan (11). Di samping itu, penentuan aras luka secara visual kurang tepat karena hasil dan berat kering tanaman lebih ditentukan oleh luas daun yang tersisa daripada oleh luas daun yang hilang setelah pelukaan (7).
Mengingat kelemahan cara pelukaan tersebut, maka penentuan kehilangan hasil kedelai oleh ulat grayak dilakukan dengan membandingkan hasil tanaman sehat dengan yang diinokulasi serangga pada berbagai populasi dalam kurungan. Kehilangan hasil ditentukan melalui hubungan antara ILD setelah pelukaan oleh serangga dan persentase kehilangan hasil pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman dapat ditentukan dengan model kuadratik: Y = a + bX+ cX2, di mana Y= persentase kehilangan hasil; X= ILD setelah pelukaan pada daun.
Untuk mengkompensasi pengaruh kurungan terhadap lingkungan fisik dan pertumbuhan tanaman, dilakukan koreksi dengan mengalikan hasil tanaman perlakuan dengan nisbah hasil tanaman kontrol yang tidak dikurung dan yang dikurung.
Urutan langkah penentuan ALE ulat grayak hasil modifikasi cara Stone dan Pedigo (19) adalah sebagai berikut:
1. Penentuan ambang perolehan (AP) atau gain threshold, yaitu nilai kehilagan hasil kedelai yang diselamatkan dengan tindakan pengendalian hama.

                 Biaya pengendalian (Rp/ha)
      AP = -------------------------------------
                      Harga kedelai (Rp/kg)

2. Penentuan persentase kehilangan hasil (PKH) untuk menggambarkan AP (langkah 1).

                         AP (kg/ha)
      PKH = ----------------------------  X 100
                  Proyeksi hasil (kg/ha)

3. Penentuan ILD setelah pelukaan pada daun untuk menggambarkan PKH (langkah 2) yang diperoleh dari persamaan regresi hubungan antara ILD setelah pelukaan dan PKH pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman.
4. Penentuan pelukaan mutlak (PM) untuk menggambarkan PKH yang sebanding dengan AP.

      PM = Luas daun total - luas daun setelah pelukaan (langkah 3).

5. Penentuan ALE tanaman.

                                      PM (langkah 4)  (cm2)
      ALE tanaman = ------------------------------------------
                                Daya makan ulat (cm2/ekor ulat)

6. Penentuan ALE ulat grayak.

      ALE = ALE tanaman (langkah 5) x banyaknya tanaman/m baris

KESIMPULAN

1. Tanggapan tanaman kedelai akibat pelukaan oleh ulat grayak dapat dipelajari melalui hubungan antara ILD dan berat kering tanaman.
2. Berdasarkan pendekatan fisiologi, kehilangan hasil kedelai oleh ulat grayak dapat ditentukan dengan model regresi kuadratik: Y = a + bX + cX2, di mana Y = persentase kehilangan hasil; X = ILD setelah pelukaan,
3. ALE ulat grayak dapat ditentukan dengan urutan langkah perhitungan sebagai berikut: (a) ambang perolehan, (b) persentase kehilangan hasil, (c) ILD setelah pelukaan, (d) pelukaan mutlak, (e) ALE tanaman, dan (f) ALE ulat grayak (16).
PUSTAKA

1.   Bardner, R. and K.E. Flectcher. 1974. Bull. Ent. Res: 64: 141-160.
2.   Djafar, Z.R. dan R.M. Saleh. 1983. Kongres Entomologi II. Jakarta 24-26 Januari 1983, 11 p.
3.   Hanway, J.J. and H.E. Thompson. 1967. Iowa State Univ. Spec. Rep. 53. 18 p.
4.   Headley, J.C. 1975. Iowa State J. Res. 49: 623-628.
5.   Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of plant crop in Indonesia. Revised by P.A. van der Laan. Ichtiar Baru - van Hoeve, Jakarta. 701 p.
6.   Kogan, M. 1976. Proc. Conf. for Asia and Oceania. Univ. Illinois, Urbana (INTSOY ser. 10). pp. 114-121.
7.   Kogan, M. and S.G. Turnipseed. 1980. In M. Kogan and D.C. Herzog (Eds.). Sampling methods in soybean entomology. Springer-Verlag, New York. pp. 3-29.
8.   Metcalf, R.L. 1975. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to insect pest management. John Wiley and Sons, New York. pp. 235-273.
9.   Mumford, J.D. and G.A. Norton, 1984. Ann. Rev. Entomol. 29: 157-174.
10.  Naito, A., Harnoto, and A. Iqbal. 1983. Seminar CRIFC, Bogor, Oct. 14, 1983. 12 p.
11.  Newsom, L.D., M. Kogan, F.D. Miner, R.L. Rabb, S.G. Turnipseed, and W.H. Whitcomb. 1980. In C.B. Huffaker (Ed.). New technology of pest control. John Wiley and Sons, New York. pp. 51-97.
12. Noch, I.P., A. Rahayu, A. Wahyu, and O. Mochida. 1983. Kongres Entomologi II. Jakarta, 24-26 Januari 1983. 12 p.
13.  Okada, M. 1977. Rev. Plant Protec. Res. 10: 102-128.
14. Rabb, R.L., R.E. Stinner, and G.A. Carlson. 1974. Proc. Summer lns. Biol. Contr. of Plant lnsect and Dis. Univ. Press of Mississippi, Jackson. pp. 19 45.
I5.  Rudd, W.G., W.G. Ruesink, L.D. Newsom, D.C. Herzog, R.L. Jensen, and N.F. Marsolan. 1980. In C.B. Huffaker (Ed.). New technology of pest control. John Wiley and sons, New York. pp. 99-122.
16.  Ruesink, W.G. and M. Kogan. 1975. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to insect pest management. John Wiley and Sons, New York. pp. 309-351.
17.  Shoemaker, C.A. 1980. In C.B. Huffaker (Ed.). New technology of pest control. John Wiley and sons, New York. pp. 25-49.
18. Stern, V.M., R.F. Smith, R. van den Bosch, and K.S. Hagen. 1959. Hilgardia. 29: 81-101.
19.  Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1972. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.
20.  Sumarno dan Harnoto. 1983. Bull. Tek. Puslitbangtan. 6: 53 p.
21.  Sunjaya, P.I. 1970. Dasar-dasar ekologi serangga. IPB, Bogor, 138 p.
22.  Surjana, T. dan O. Mochida. 1983. Kongres Entomologi II. Jakarta, 24-26 Januari 1983. 6p.
23.  Tammes, P.M.L. 1961. Tijdschr. Plziekt. 67: 257-263.
24.  Tengkano, W. dan M. Soehardjan. 1985. Kedelai. Puslitbangtan, Bogor. Pp. 295-318.
25.  Untung, K. 1984. Pengantar analisis ekonomi pengendalian hama terpadu. Andi Offset, Yogjakarta. 92 p.
26.  Untung, K dan L. Setyobudi. 1982. Simposium Entomologi. Bandung, 25-27 Agustus 1982. 24 p.
27.  Walker, P.T. 1980. In H.C. Gouindu et al. (Eds.). Assessmen of crop losses due to pests and diseases. pp. 52-60.
28.  Watson, D.J. 1952. Advances in Agron. 4: 101-145.

1 komentar: