Sabtu, 08 Januari 2011

108. Alternatif Teknologi Pengendalian Ulat Grayak pada Kedelai dengan Berbagai Jenis Insektisida Biorasional

Arifin, M. dan D. Koswanudin. 2010. Alternatif teknologi pengendalian ulat grayak pada kedelai dengan berbagai jenis insektisida biorasional, pp. 419-434. Dalam A. Kardinan et al. (Eds.) Prosiding Seminar Nasional VI, PEI. Peranan Entomologi dalam Mendukung Pengembangan Pertanian Ramah Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat. Bogor, 24 Juni 2010.


Muhammad Arifin dan Dodin Koswanudin
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian

ABSTRAK

Ulat grayak, Spodoptera litura merupakan salah satu serangga pemakan daun yang berstatus hama penting pada kedelai. Untuk mengatasi masalah hama secara berkelanjutan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang penggunaan produk dan teknologi pengendalian hama berwawasan lingkungan yang meminimalkan dampak negatif terhadap serangga berguna, khususnya musuh alami. Produk tersebut, antara lain insektisida biorasional, misalnya pestisida nabati, beberapa mikroba patogen serangga, yakni bakteri (Bacillus thuringiensis), cendawan (Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Nomuraea rileyi, dan Verticillium lecanii), virus (Borrelinavirus litura), nematoda (Steinernema dan Heterorhabditis), dan feromon serangga. Makalah ini membahas potensi beberapa jenis insektisida biorasional sebagai suatu inovasi teknologi pengendalian hama dan strategi pengembangannya sebagai produk berskala komersial. Melalui teknologi ini, persepsi petani tentang masalah hama dan kebergantungannya pada penggunaan insektisida kimiawi diharapkan dapat dikurangi sehingga tujuan pengembangan sistem pertanian berkelanjutan dapat tercapai, khususnya dalam mendukung swasembada kedelai.
Kata kunci: Kedelai, Ulat grayak, Spodoptera litura, Insektisida biorasional.



PENDAHULUAN

Upaya pemerintah mencanangkan swasembada kedelai tahun 2014 dihadapkan kepada beberapa masalah, antara lain kemungkinan terjadinya penurunan produksi akibat serangan hama. Ulat grayak merupakan salah satu serangga hama penting pada tanaman kedelai di Indonesia. Hama ini sering mengakibatkan kehilangan hasil panen yang relatif tinggi, bahkan puso apabila tidak dikendalikan. Luas serangan ulat grayak dari tahun 2002 hingga 2006 berkisar antara 1.316 hingga 2.902 ha (Ditlin, 2008).
Sampai saat ini, sebagian besar petani mengendalikan ulat grayak dengan mengandalkan insektisida yang diaplikasikan secara tidak menentu, bergantung kemampuan finansial petani sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif, baik terhadap pendapatan petani maupun lingkungan, seperti musnahnya musuh alami dan munculnya gejala resistensi hama terhadap insektisida. Mengingat dampak negatif penggunaan insektisida, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pelaksanaannya dengan menciptakan dan menerapkan teknologi pengendalian hama yang berwawasan lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan produk alami yang akhir-akhir ini dikatagorikan sebagai insektisida biorasional.
Makalah ini menyajikan suatu inovasi teknologi pengendalian ulat grayak dengan menggunakan beberapa jenis insektisida biorasional dalam rangka mendukung swasembada kedelai tahun 2014.

BIOEKOLOGI DAN DASAR PENGENDALIAN

Bioekologi
Ulat grayak memiliki ciri khas, yakni adanya dua bintik hitam berbentuk bulan sabit pada tiap ruas abdomen, terutama ruas keempat dan kesepuluh, yang dibatasi oleh garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur di sepanjang badan. Perkembangannya bersifat metamorfosis sempurna, terdiri atas stadia telur, ulat, kepompong, dan ngengat.
Ngengat mulai meletakkan telur pada pertanaman kedelai umur 3 minggu setelah tanam. Setelah telur menetas, ulat tinggal sementara di tempat telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, ulat berpencaran. Stadium ulat terdiri atas enam instar yang berlangsung 14 hari. Ulat tua bersembunyi di tanah pada siang hari dan giat menyerang tanaman pada malam hari. Ulat berkepompong di dalam tanah. Stadium kepompong dan ngengat masing-masing 8 dan 9 hari. Ngengat meletakkan telur secara berkelompok yang ditutupi bulu-bulu halus berwarna coklat-kemerahan. Produksi telur rata-rata 1.413 butir/ekor. Stadium telur berlangsung 3 hari. Daur hidup ulat grayak dari telur ke telur berlangsung 28 hari, sedangkan panjang hidup dari telur hingga ngengat mati berlangsung 36 hari (Arifin, 1994).
Ulat grayak bersifat polifag. Ulat muda memakan daun sehingga bagian daun yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulangnya saja. Ulat tua merusak pertulangan daun sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan pada daun. Selama periode ulat instar VI yang berlangsung 3-4 hari, 2 ekor ulat mampu menghabiskan sebatang tanaman stadium vegetatif akhir dan 10 ekor ulat mampu menghabiskan sebatang tanaman stadia pembentukan polong (Arifin, 1994).
Kerusakan dan kehilangan hasil karena ulat grayak ditentukan oleh populasi dan stadia serangga, stadia tanaman, dan tingkat kerentanan varietas kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara populasi ulat dan hasil kedelai pada berbagai stadia tanaman dinyatakan dengan kurva yang bersifat nonlinier asimptotik. Kurva tersebut memiliki tipe gabungan antara kompensasi, linieritas, dan desensitisasi. Ini berarti bahwa tanaman kedelai mampu mengkompensasi kerusakan daun. Kemampuan tersebut terjadi apabila tanaman stadia vegetatif akhir, pembungaan, awal pembentukan polong, dan pengisian polong, masing-masing diserang ulat grayak kurang dari 1,9; 4,1; 3,1; dan 6,8 ekor/rumpun (Arifin, 1994).

Dasar Pengendalian
Dalam konsep PHT, pengendalian hama dilakukan dengan cara menurunkan populasi hama kemudian mempertahankannya di bawah tingkat kerusakan ekonomi (TKE). Agar populasi hama tidak melampaui TKE, tindakan pengendalian harus dimulai saat populasi hama telah melampaui ambang ekonomi (AE). Menurut Mumford dan Norton (1984), konsep TKE tersebut didasarkan atas prinsip break-even point, yakni kesetaraan nilai manfaat kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dengan biaya pengendalian hama. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa TKE adalah batas kritis pengendalian hama.
Penghitungan TKE ulat grayak didasarkan atas prinsip break-even point pengendalian hama menggunakan rumus (Stone dan Pedigo, 1972):
BP
TKE = -----------------------------
    KH x PH x HK x E

BP= biaya pengendalian (Rp/ha); KH= kehilangan hasil panen (%);
PH= potensi hasil panen setempat (kg/ha); HK= harga kedelai (Rp/kg);
E= efektivitas pengendalian (%).

Nilai TKE ulat grayak instar III pada tanaman stadia vegetatif, pembungaan, pembentukan polong, dan pengisian polong, berturut-turut 1,94; 3,20; 3,24; dan 6,21 ekor/rumpun (Arifin, 1994). Karena kedudukan AE berada di bawah TKE, maka nilai AE ditentukan sebesar 90% dari nilai TKE.
Untuk menentukan apakah populasi hama telah melampaui AE, harus dilakukan pemantauan secara berkala agar hama tidak terlambat dikendalikan. Dalam kegiatan tersebut, kepadatan populasi hama yang dikatagorikan layak dikendalikan, ditentukan dengan teknik penarikan contoh beruntun berdasarkan pola sebaran populasi, data TKE, dan tingkat risiko kesalahan dalam pengambilan keputusan pengendalian (Shepard, 1980). Model penarikan contoh beruntun populasi ulat grayak disusun menurut metode Waters (1954) sebagai berikut:

d = a ± b n
d= banyaknya ulat kumulatif, a dan b= parameter dugaan regresi;
n= banyaknya contoh yang diperiksa,
+ = batas bahaya populasi yang harus segera dikendalikan, dan
– = batas aman populasi yang tidak perlu dikendalikan.

Penarikan contoh ulat grayak dilakukan secara beruntun pada tiap lahan seluas 0,1 ha, minimum dengan 7 rumpun contoh yang ditentukan secara acak berdasarkan garis diagonal lahan. Banyaknya ulat kumulatif dikatagorikan menjadi: a) yang harus dikendalikan karena populasi telah mencapai batas bahaya, b)  yang tidak perlu dikendalikan karena populasi belum mencapai batas aman, dan c) yang harus dilakukan penarikan contoh ulang karena populasi berada di antara batas aman dan batas bahaya (Arifin, 1994).
Model penarikan contoh beruntun populasi ulat grayak tersebut di atas ketepatannya relatif tinggi karena mengandung risiko kesalahan yang masih dalam batas yang ditoleransi, yakni α= β= 0,2. Selain itu, model tersebut sederhana sehingga mudah diterapkan sebagai pedoman bagi petani dalam melaksanakan kegiatan pemantauan dan pengambilan keputusan pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai di lahannya sendiri. Oleh karena itu model tersebut layak dijadikan sebagai salah satu komponen dalam menyusun paket teknologi pengendalian ulat grayak pada kedelai. 

STRATEGI dan TEKNIK PENGENDALIAN

Strategi Pengendalian
Ada empat strategi yang dapat dikembangkan untuk menurunkan populasi ulat grayak ke tingkat yang dapat ditoleransikan, yakni:
1. Strategi tanpa pengendalian
Dalam suatu ekosistem yang stabil, populasi hama berada di bawah AE karena diatur, antara lain oleh musuh alami. Oleh karena itu, strategi yang diterapkan adalah tidak melakukan tindakan pengendalian.
2. Strategi menurunkan populasi hama
Strategi ini diterapkan untuk dua situasi, yakni a) bila berdasarkan pengalaman, populasi ulat grayak akan melampaui AE, maka untuk tujuan preventif, sebelum tanam harus dilakukan rotasi tanaman, perubahan waktu tanam, atau tindakan lain yang merubah lingkungan menjadi tidak disukai ulat grayak, b) bila secara normal, populasi ulat grayak akan berada di atas AE sepanjang musim, maka untuk tujuan kuratif, harus disiapkan tindakan menurunkan populasi hama secara drastis, antara lain dengan insektisida kimia atau insektisida biorasional.


3. Strategi mengurangi kerentanan tanaman terhadap hama
Upaya mengurangi kerentanan tanaman terhadap hama dengan penanaman varietas tahan merupakan strategi yang efektif, ekonomis, dan aman lingkungan. Strategi ini tidak mengurangi populasi ulat grayak secara langsung, tetapi sangat berarti karena tanaman dapat menolak atau mentolerir ulat grayak. Upaya ini dapat disertai dengan meningkatkan vigor tanaman melalui pengairan tepat waktu dan pemupukan (Hein, 2003).
4.   Strategi kombinasi beberapa teknik pengendalian
Upaya mengkombinasikan beberapa teknik pengendalian yang cocok, misalnya upaya penurunan populasi hama dan kerentanan tanaman merupakan pendekatan yang menguntungkan karena jika satu teknik gagal, teknik lainnya dapat membantu mengendalikan hama.
Teknik Pengendalian Ulat Grayak
Ada beberapa teknik pengendalian yang dapat digunakan secara terpadu untuk menurunkan status hama ulat grayak.
1.    Pengendalian dengan teknik budidaya (cultural control)
Teknik pengendalian ini merupakan usaha memanipulasi agroekosistem untuk membuat lingkungan pertanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembang-biakan hama, serta menyediakan habitat bagi organisme menguntungkan. Beberapa teknik budidaya, antara lain:
a.    Pergiliran tanaman untuk memutus rantai makanan bagi hama. Misalnya, pergiliran tanaman kedelai dengan jagung atau padi yang dapat mengatasi masalah hama karena masing-masing memiliki kompleks hama berbeda.
b.    Penanaman dalam barisan (strip cropping). Misalnya, menanam kedelai dan jagung secara berselang-seling pada petak berbeda. Teknik ini dapat meningkatkan keragaman sehingga tanaman inang tersamarkan dari serangan hama. Selain itu, tanaman dapat berfungsi sebagai tempat berlindung dan sumber pakan bagi organisme berguna.
c.    Penanaman varietas tahan, misalnya varietas Ijen yang toleran terhadap serangan ulat grayak (Balitkabi, 2008). Menurut Adie (2008), ketahanan kedelai terhadap ulat grayak ditentukan oleh kepadatan trikoma daun yang berkorelasi negatif dengan intensitas kerusakan daun. Kepadatan trikoma dari pasangan persilangan ICH/Wilis, G100H/ICH, dan G100/Wilis berpotensi sebagai kriteria seleksi ketahanan terhadap ulat grayak.
d.    Penanaman tanaman perangkap, misalnya kedelai galur MLG3023 atau varietas Dieng yang ditanam dalam areal seluas 15% dari tanaman utama dapat digunakan sebagai perangkap bagi ulat grayak. Galur dan varietas tersebut disukai ngengat untuk meletakkan telurnya (Tengkano et al., 1997).
2.    Pengendalian hayati.
Pengendalian hayati dengan musuh alami dimaksudkan untuk mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang merugikan tanaman. Musuh alami ulat grayak dimanfaatkan melalui: a) konservasi, misalnya penggunaan insektisida yang kurang berbahaya bagi musuh alami, dan b) augmentasi melalui pembiakan/perbanyakan dan pelepasan musuh alami. Khusus parasitoid dan predator, pemanfaatan musuh alami melalui konservasi lebih efektif daripada augmentasi. Beberapa jenis musuh alami ulat grayak, antara lain parasitoid telur Telenomus sp., parasitoid ulat Snellenius manilae, predator Euborelia stali, virus patogen Borelinavirus litura, bakteri patogen Bacillus thuringiensis, dan cendawan patogen Nomuraea rileyi (Arifin, 1991).
3.    Pengendalian mekanis dan fisik
Teknik pengendalian ini bertujuan mengurangi populasi hama dengan cara mengganggu fisiologi serangga atau mengubah lingkungan menjadi kurang sesuai bagi hama. Contoh, mengumpulkan kemudian membinasakan kelompok telur dan ulat yang ada di pertanaman. Selain itu, menggenangi lahan pertanaman, terutama pada stadia vegetatif akhir dan pengisian polong untuk mematikan ulat grayak yang berdiam diri di dalam tanah pada siang hari.
4.    Insektisida
Insektisida kimia merupakan pilihan terakhir dalam usaha mengendalikan hama karena berpotensi menimbulkan dampak negatif. Insektisida harus digunakan sesuai kebutuhan, pada waktu spesifik dalam siklus hidup hama, dan bila cara lain, seperti pengendalian hayati atau teknik budidaya, gagal menjaga populasi hama pada tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi. Insektisida tersebut selain efektif, juga harus selektif terhadap satu atau beberapa jenis hama saja, dan residunya berumur pendek.

PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN INSEKTISIDA BIORASIONAL

Pemanfaatan Insektisida Biorasional
Insektisida biorasional merupakan salah satu tipe insektisida dari bahan alami yang rasional secara biologis. Tipe insektisida ini berkatagori nabati, mikroba (bakteri, virus, nematoda, cendawan, dan protozoa), feromon, atau pengatur pertumbuhan serangga. Insektisida biorasional memiliki target hama spesifik, umur residu pendek, persistensi singkat, aman terhadap lingkungan, termasuk musuh alami dan organisme bukan sasaran sehingga cocok untuk diterapkan dalam program PHT (Williamson, 1999).
Insektisida nabati adalah ekstrak tanaman yang mempunyai sifat-sifat insektisida. Azadirachtin yang diekstrak dari daun dan biji mimba (Azadirachta indica) merupakan salah satu metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif insektisida. Azadirachtin berperan sebagai penghambat pertumbuhan dan proses metamorfosis, penghalang kegiatan makan, penolak kehadiran serangga (repellent), dan pemandul serangga (sterillant) (Shetlar dan Hale, 2008). Insektisida nabati dengan bahan aktif azadirachtin efektif terhadap ulat grayak. Serbuk biji mimba (50 g/l air) mampu mematikan ulat instar III sebesar 67% - 83% (Indiati, 2009; Koswanudin, 2002). Insektisida ini memiliki sifat, antara lain persistensinya singkat sehingga diperlukan aplikasi berulang agar mencapai keefektifan maksimal (Indiati, 2009).
Bacillus thuringiensis (Bt) adalah bakteri gram positif yang berbentuk batang, bersifat aerobik, dan membentuk spora. Bakteri ini mengandung protein kristal (δ-endotoksin) dalam inclusion body yang menyebabkan paralysis pada usus sehingga serangga berhenti makan dan mengakibatkan kematian (Bahagiawati, 2002). Bt var kustaki mudah diproduksi dan efektif terhadap ulat grayak. Nilai LC50 dalam waktu 72 jam untuk ulat instar III sebesar 259,895 ppm (Nurramdhan, 2005). Bt memiliki daya racun rendah, residu rendah, degradasi lambat, dan aktivitas kontak terbatas. Keberhasilan Bt bergantung pada kegiatan monitoring dan aplikasi bila serangga dalam siklus hidup yang rentan (Williamson, 1999).
Metarhizium anisopliae adalah cendawan patogen pada berbagai jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah. Cendawan ini memiliki kapasitas reproduksi tinggi, siklus hidup pendek, dapat membentuk spora yang tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan tidak mengakibatkan resistensi (Hall, 1973). Spora (disebut juga konidia) yang kontak dengan tubuh serangga inang akan berkecambah kemudian mempenetrasi kutikula dan berkembang dalam tubuh serangga yang mengakibatkan kematian. Pengaruh mematikan ini dibantu oleh racun yang disebut destruxin. Kutikula ulat mati mengeras seperti mumi dan tumbuh spora berwarna putih yang kemudian menjadi hijau bila kelembaban cukup tinggi (Wikipedia, 2009). Cendawan patogen serangga ini mudah diperbanyak dan efektif terhadap ulat grayak. Konidia dengan konsentrasi 107/ml yang diaplikaskan satu kali mampu mematikan ulat grayak hingga 40% sedangkan yang diaplikasikan tiga kali meningkat menjadi 83% (Prayogo et al., 2005).
Nomuraea rileyi adalah cendawan patogen pada berbagai jenis serangga. Spora cendawan ini menempel pada tubuh serangga kemudian berkecambah dan mempenetrasi dinding tubuh. Di dalam tubuh ulat, cendawan ini merusak jaringan dengan menggunakan mikotoksin yang dihasilkannya. Akibatnya, metabolisme ulat terganggu, aktivitas makan menurun, dan akhirnya mati dengan tubuh seperti mumi. Sporulasi cendawan dimulai 1-2 hari setelah ulat mati (Deacon, 1983). Cendawan patogen serangga ini mudah diperbanyak dan efektif terhadap ulat grayak. Aplikasi dilakukan melalui penyemprotan spora dengan dosis 500 l/ha. Nilai LC50 cendawan ini untuk ulat grayak instar III sebesar 1,471 x 106 spora/ml (Suparjiyem et al., 2006).
Steinernema dan Heterorhabditis adalah nematoda yang mampu menginfeksi berbagai jenis serangga karena masing-masing bersimbiosis-mutualistik dengan bakteri patogen Xenorhabdatus dan Photorhabdus dalam saluran pencernakan (Kaya dan Gaugler, 1993). Stadia instar III yang disebut juvenil infektif (JI) hidup bebas di dalam tanah, masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang mulut, anus, atau spirakel dan membran antar ruas integumen (U Mass Extension, 2000) Di dalam rongga tubuh serangga, JI melepaskan bakteri simbionnya. Bakteri memperbanyak diri, membunuh serangga melalui proses peracunan darah serangga (septicaemia) dan menyediakan kondisi lingkungan hidup yang sesuai bagi pertumbuhan dan reproduksi nematoda. Setelah 1-2 minggu, JI baru yang terbentuk meninggalkan tubuh serangga mati dan mencari inang baru. Steinernema dan Heterorhabditis efektif terhadap ulat grayak. Pada dosis 500 JI/ekor ulat, kedua jenis nematoda tersebut mampu mematikan ulat grayak 98% (Chaerani dan Suryadi, 1999). Nematoda diaplikasikan di lapang dengan dosis 109 JI/ha (Biogen, 2004).
NPV (nuclear-polyhedrosis virus) adalah virus patogen serangga berbentuk batang dan terdapat di dalam inclusion body yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak, terdapat di dalam inti sel yang rentan dari serangga inang, seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea. NPV memiliki sifat menguntungkan, antara lain: a) inangnya spesifik, b) tidak membahayakan musuh alami, manusia, dan lingkungan, (c) dapat mengatasi masalah resistensi hama terhadap insektisida, dan (b) kompatibel dengan taktik PHT lainnya, termasuk insektisida kimiawi (Arifin et al., 1995).
Ulat grayak yang terinfeksi SlNPV (Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus) tampak berminyak, disertai dengan membran integumen yang membengkak dan perubahan warna tubuh menjadi pucat-kemerahan, terutama pada bagian perut. Ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan kaki semunya pada bagian tanaman. Bioinsektisida SlNPV dengan dosis 500 g/ha (setara dengan 1,5 x 1011 PIBs/ha) yang diaplikasikan dua kali dalam selang seminggu, masing-masing dengan dosis 250 g/ha, efektif terhadap ulatgrayak pada kedelai. Perlakuan SlNPV tersebut menurunkan populasi ulat 91% lebih rendah dan menyelamatkan kehilangan hasil 14% lebih tinggi daripada perlakuan insektisida (Arifin et al., 1995).
Feromon serangga adalah senyawa yang dihasilkan oleh serangga betina dan merupakan sarana komunikasi dengan serangga lain dari spesies sama. Feromon digunakan oleh serangga untuk daya tarik seksual, berkumpul, berpencar, peletakan telur, dan tanda peringatan. Khusus seks feromon, ada empat kegunaannya dalam program pengendalian hama, yakni sebagai bahan perangkap, monitoring penerbangan, deteksi dan monitoring populasi, serta pengganggu perkawinan bagi serangga jantan (Williamson, 1999). Umumnya senyawa ini tidak digunakan secara efektif untuk mengendalikan hama, tetapi digunakan sebagai bahan perangkap dalam kegiatan pemantauan populasi hama. Ilmuan telah mampu menganalisis kimia dari seks feromon dan memproduksinya secara sintetik di laboratorium (Suharto, 1996). Sebanyak tiga buah perangkap berisi seks feromon yang dipasang pada pertanaman kedelai umur 1-5 minggu mampu menarik ngengat ulat grayak sebanyak 417-615/ha (Chiu et al., 1993).
Faktor lingkungan, terutama sinar surya 290 hingga 400 nm, dapat menginaktivasi patogen serangga (bakteri, cendawan, virus, dan protozoa). Umur paruh berbagai tipe inokulum (konidia, spora, virion, dan toksin) yang disinari sinar surya tercapai dalam 1 jam untuk patogen serangga sensitif dan 96 jam untuk patogen serangga resisten (Ignoffo, 1992).
Secara umum, insektisida biorasional berfungsi sebagai: a) alternatif cara pengendalian hama yang efektif, ramah lingkungan, dan dapat menstabilkan populasi hama, dan menjamin pendapatan petani, dan b) teknik pengendalian yang kompatibel dengan teknik pengendalian lainnya, termasuk insektisida kimiawi. Manfaat lain dari insektisida biorasional, antara lain: a) mengatasi masalah keresistensian hama terhadap insektisida kimiawi, b) mengurangi kebergantungan cara pengendalian dengan insektisida kimiawi, dan c) mendukung pengembangan budidaya pertanian yang ramah lingkungan dan ekonomis. Di Indonesia, insektisida biorasional belum dimanfaatkan secara luas, meskipun telah diketahui potensi biotiknya tinggi, efektif, dan telah berhasil dikembangkan sebagai bioinsektisida dengan biaya relatif murah sehingga memiliki prospek untuk diproduksi dalam skala industri (komersial).
Pengembangan Insektisida Biorasional

Pengembangan insektisida biorasional membutuhkan beberapa keahlian yang bekerja dalam suatu program kerjasama antar lembaga mengenai (Dent, 1999):
1.   Eksplorasi, identifikasi, dan seleksi isolat patogen serangga berdasarkan virulensi dan stabilitasnya di lingkungan.
2.   Teknik produksi massal patogen serangga untuk dijadikan insektisida biorasional yang biayanya murah dan kualitasnya terjamin.
3.   Teknik formulasi yang dapat meningkatkan stabilitas insektisida biorasional dari pengaruh cekaman lingkungan (kelembaban, suhu, dan sinar ultra violet).  
4.   Teknik pengemasan dan penyimpanan insektisida biorasional yang dapat mempertahankan potensinya minimum setahun.
5.   Teknik aplikasi insektisida biorasional yang menjamin infeksi dan kematian serangga hama.   
6.   Studi ekologi interaksi serangga dengan patogennya mengenai perilaku makan serangga, perilaku serangga setelah infeksi, dan siklus sekunder dari agens hayati.  
7.   Uji toksikologi pada tikus (meliputi: uji oral, iritasi kulit, iritasi mata, injeksi intra-peritoneal, dan inhalasi), dan uji ekotoksikologi terhadap unggas, ikan, dan dephnia, lebah madu, cacing tanah, predator, dan parasitoid.
8.   Registrasi insektisida biorasional untuk mendapatkan ijin peredaran dari pemerintah.
9.   Proses komersialisasi oleh perusahaan yang sesuai.
Keberhasilan suatu program pengembangan insektisida biorasional dibutuhkan beberapa faktor pendukung, antara lain: a) kelembagaan kelompok tani yang kuat dengan jaringan pemerintah dan swasta yang mendukung kegiatan penelitian insektisida biorasional dan implementasinya, serta pengembangan kebijakan dan legislasi, b) sosialisasi pentingnya insektisida biorasional sebagai suatu komponen penting dari kegiatan penelitian serta penyuluhan dan pendidikan petani melalui sekolah lapang PHT, dan c) koordinasi antara peneliti, penyuluh, dan petani dalam merencanakan dan mengimplementasikan suatu program pemanfaatan insektisida biorasional, sesuai kebutuhan dan tujuan terkait dengan sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI kebijakan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.             Strategi pengendalian ulat grayak harus menggunakan pendekatan ekologi dengan tujuan mengurangi penggunaan insektisida kimiawi secara nyata, sementara pada waktu yang sama mengelola populasi hama pada tingkat yang dapat ditoleransikan. Selain itu, juga menggunakan pendekatan ekonomi dengan tujuan utama menjamin pendapatan petani melalui penerapan konsep AE hama.
2.      Ada beberapa teknik pengendalian yang cocok untuk ulat grayak. Pengendalian hayati dengan insektisida biorasional merupakan cara pengendalian yang dapat menggantikan peran sekaligus mengurangi kebergantungan terhadap insektisida kimiawi.
3.   Beberapa jenis insektisida biorasional yang efektif terhadap ulat grayak, antara lain azadirachtin dari daun dan biji mimba, entomopathogen bakteri Bacillus thuringiensis, cendawan Matarhizium anisopliae dan Nomuraea rileyi, virus SlNPV, nematoda Steinernema dan Heterorhabditis, serta seks feromon.
3.   Dalam upaya menerapkan teknologi pengendalian ulat grayak dengan insektisida biorasional, dibutuhkan beberapa faktor pendukung, antara lain: a) komitmen pemerintah dan pihak swasta yang memfasilitasi upaya memproduksi insektisida biorasional, b) sosialisasi pentingnya insektisida biorasional sebagai suatu komponen penting dari kegiatan penyuluhan dan pendidikan petani melalui sekolah lapang PHT, dan c) koordinasi antara peneliti, penyuluh, dan kelompok tani dalam merencanakan dan mengimplementasikan program PHT, sesuai kebutuhan dan tujuan yang terkait dengan sistem PTT.

DAFTAR PUSTAKA

Adie, M.M. 2008. Perbaikan Ketahanan Kedelai Terhadap Hama Ulat Grayak melalui Modifikasi Karakter Trikoma Daun. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Arifin, M. 1991. Peranan Musuh Alami Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Berbagai Kondisi Lingkungan Pertanaman Kedelai, p. 207-214. Dalam: Seminar Nasional Biologi Dasar II. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor.
Arifin, M. 1994. Economic Injury Level and Sequential Sampling Technique for The Common Cutworm, Spodoptera litura (F.) on Soybean. Contr. Central Research Institute Food Crops Bogor. 82: 13-37.
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto, dan A. Alwi. 1995. Keefektifan dan Kompatibilitas SlNPV dengan Insektisida terhadap Ulat Grayak pada Kedelai. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi XI. Depok, 24-27 Juli 1995. 8 p.
Balitkabi. 2008. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918-2008. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 70 p.
Bahagiawati, 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida. Buletin AgroBio. 5(1): 21-28.
Biogen. 2004. NPS, Biopestisida Unggulan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
Chaerani dan Suryadi, Y. 1999. Isolasi Nematoda Patogen Serangga Steinernema dan Heterorhabditis dari Daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah, p. 197-206. Dalam: Seminar Nasional PEI. Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor, 16 Februari 1999.
Chiu, C.C., M.L. Hseu, and L.S. Hsu. 1993. Field Observation on the Use of Sex Pheromone to Control Spodoptera litura on Soybean in Indonesia. Taichung DAIS. 41: 55-63.
Deacon, J.W. 1983. Microbial Control of Plant Pests and Diseases: Aspects of Microbiology. American Society for Microbiology, Washington, D.C. 88 p.
Dent, D.R. 1999. Development and Use of a Biopesticide, p. 29-34. In: Proceedings of the EMPRES Regional Workshop on Biological Control of Desert Locust, 27-29 August 1999, Cairo, Egypt. FAO, Rome, Italy.
Ditlin. 2008. Laporan Luas dan Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. 2008. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta.
Hall, T.M. 1973. Biological Control of Insect Pest and Weeds. Chapman and Hall Ltd., London.
Hein, G.L. 2003. Insect Management. High Plains Integrated Pest Management. http://wiki.bugwood.org/upload/IPM.pdf
Ignoffo, C.M. 1992. Environmental Factors Affecting Persistence of Entomopathogens. Florida Entomologist. 75(4): 516-525.
Indiati, S.W. 2009. Mimba Pestisida Nabati Ramah Lingkungan. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id/
Kaya, H.K. and R. Gaugler. 1993. Entomopathogenic Nematodes. Ann. Rev. Entomol. 38: 181-206.
Koswanudin, D., M. Arifin, dan Harnoto. 2002. Kompatibilitas SlNPV dengan Ekstrak Biji Mimba untuk Mengendalikan Ulat Grayak pada Kedelai, p. 343-347. Dalam: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Bogor, 26-27 Desember 2001. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
Mumford, J.D. and G.A. Norton. 1984. Economics of Decision Making in Pest Management. Ann. Rev. Entomol. 29: 157-74.
Nurramdhan, A. 2005. Pengujian Toksisitas Bacillus thuringiensis var kurstaki terhadap Mortalitas Larva Ulat Grayak Spodoptera litura F. Universitas Pendidikan Indonesia. http://digilib.upi.edu/pasca/ available/etd-0215106-143604/
Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura pada Kedelai. Jurnal Litbang Pertanian. 24(1): 19-26.
Shepard, B.M. 1980. Sequential Sampling Plans for Soybean Arthropods, 79-93. In: M. Sampling Methods in Soybean Entomology. Springer-Verlag, New York.
Shetlar, D.J. and F. Hale. 2008. Integrated Pest Management. http://wiki.bugwood.org/ Integrated_Pest_Management
Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1972. Development and Economic Injury Level of The Green Cloverworm on Soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.
Suharto, H. 1996. Seks Feromon Buatan dalam Pengendalian Ulat Grayak pada Kedelai, p. 202-208. Dalam: Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi, 23-25 Agustus 1995. Balai Penelitian Tanaman Padi.
Suparjiyem, Y.A Trisyono, dan Witjaksono. 2006. Patogenisitas Cendawan Nomuraea rileyi terhadap Larva Spodoptera litura. Jurnal Agrosains XIX(4).
Tengkano, W., Matadjib, D. Kilin, dan M. Iman. 1997. Identifikasi Jenis Tanaman Inang yang Paling Menarik bagi Imago Ophiomyia phaseoli Tr. dan Spodoptera litura F., p. 387-402. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI. PEI Cabang Bogor.
U Mass Extension. 2000. Integrated Pest Management Tools, Bio-Rational Pesticides. University of Massachusetts Amherst. http://www. umassgreeninfo.org/fact_sheets/ipmtools/biorationals.html
Waters, W.E. 1954. Sequential Sampling in Forest Insect Surveys. For. Sci. 1: 68-79.
Wikipedia. 2009. Metarhizium anisopliae. http://en.wikipedia.org/wiki/ Metarhizium_anisopliae
Williamson, R.C. 1999. Biorational Pesticides: What are they anyway? Alternatives Emerge for Regulated Chemical Products. http://www. gcsaa.org/gcm/1999/oct99/10biorational.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar