Arifin, M. dan Bedjo. 2007. Keefektifan beberapa isolat SlNPV dan kombinasinya dalam pengendalian ulat grayak pada kedelai. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Pertanian dan Peternakan dalam Sistem Usahatani Lahan Kering. Kupang, 7-8 Desember 2007. Buku 1: 222-228.
Muhammad Arifin1 dan Bedjo2
1 Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor
2 Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang
ABSTRAK
Ulat grayak, Spodoptera litura (F.) merupakan hama penting pada kedelai yang dapat dikendalikan dengan memanfaatkan sejenis virus patogen serangga yang dikenal sebagai nuclear-polyhedrosis virus (NPV). Suatu percobaan telah dilaksanakan di lapang untuk menentukan keefektifan beberapa isolat Spodoptera litura NPV (SlNPV) dan kombinasinya dalam pengendalian ulatgrayak pada kedelai. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 13 perlakuan kombinasi isolat SlNPV dan 4 ulangan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa isolat SlNPV B01 dan SlNPV B02 dosis 1,5 X 1012 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ha memiliki tingkat keefektifan tinggi karena mampu menurunkan populasi ulat grayak antara 90% – 94% pada 6 hari setelah aplikasi dan mampu mempertahankan hasil panen hingga 1,87 – 1,88 t/ha. Kedua isolat SlNPV tersebut dapat menggantikan peran insektisida sihalotrin untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai.
Kata kunci: Kedelai, SlNPV, ulat grayak, Spodoptera litura.
PENDAHULUAN
Salah satu faktor penyebab rendahnya hasil kedelai di Indonesia adalah serangan hama. Lebih dari 20 jenis serangga berstatus hama penting pada kedelai, di antaranya yang menyerang daun adalah ulat grayak, Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera, Noctuidae). Sampai saat ini, pengendalian hama oleh sebagian besar petani didasarkan atas ada-tidaknya hama atau serangan hama, dan satu-satunya bahan pengendali yang tersedia dan siap pakai adalah insektisida. Pengendalian dengan insektisida dilakukan secara berkala mulai tanaman muda hingga menjelang panen dengan selang waktu 2 minggu, dan dengan dosis sesuai rekomendasi yang tertera pada kemasan (Marwoto, 1992). Cara ini sering menimbulkan dampak negatif, antara lain terbunuhnya serangga bukan sasaran (parasit dan predator) dan terjadinya resistensi hama terhadap insektisida. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, perlu ditemukan alternatif cara pengendalian hama yang ramah lingkungan. Salah satunya adalah pengendalian hayati dengan patogen serangga.
Nuclear-polyhedrosis virus (NPV) merupakan salah satu jenis virus patogen yang menginfeksi beberapa jenis serangga hama, khususnya yang termasuk keluarga Noctuidae. Patogen ini memiliki ciri khas, yakni adanya inclusion bodies seperti kristal bersegi banyak yang disebut polyhedra di dalam inti sel yang rentan dari serangga inang, terutama badan lemak (fat body), hipodermis, matriks trakhea, dan sel-sel darah (haemocyt) (Tanada dan Kaya, 1993). Salah satu jenis NPV adalah Spodoptera litura NPV (SINPV) yang bernama ilmiah Borrelinavirus litura (Virales, Borrelinaceae). SINPV memiliki inang spesifik, yakni ulat grayak yang menyerang kedelai dan kacang-kacangan lainnya.
Hasil percobaan laboratorium menunjukkan bahwa SlNPV memiliki potensi biotik tinggi, ditunjukkan oleh tingkat patogenisitasnya yang dinyatakan dengan nilai LC50 (= konsentrasi yang mematikan 50% populasi). LC50 SlNPV untuk ulat grayak sebesar 5,4 X 103 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml (Arifin dan Waskito, 1986). Hasil penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa SlNPV efektif membunuh ulat grayak dengan tingkat mortalitas 80%, namun menurun keefektifannya menjadi 35-40% apabila diaplikasikan di lapang (Arifin, 1988; Bedjo, 1997). Salah satu penyebabnya adalah karena menurunnya virulensi SlNPV akibat paparan sinar surya. Untuk mendapatkan SlNPV yang lebih virulen, Maddox (1975) menyarankan untuk mendapatkan beberapa isolat SlNPV yang lebih efektif dan mengkombinasikan beberapa isolat SlNPV yang umumnya bersifat sinergis.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan isolat SlNPV yang virulen dan mengkombinasikan beberapa isolat tersebut untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai.
BAHAN DAN METODE
Pembiakan Ulat Grayak
Ulat grayak dikoleksi dari lapang di daerah Malang kemudian dipelihara secara massal dalam kotak plastik dengan pakan daun talas. Kepompong yang terjadi dipelihara dalam kotak plastik yang bagian dasarnya diisi dengan serbuk gergaji atau tanah hingga terbentuk ngengat. Ngengat sebanyak 5-10 pasang dipelihara dalam stoples plastik yang bagian dalamnya dilapisi kertas untuk peletakan telur. Ngengat diberi pakan larutan madu 10% yang diresapkan pada kapas. Telur yang dihasilkan dipelihara dalam kotak plastik hingga menetas menjadi ulat.
Perbanyakan SlNPV
Beberapa isolat SlNPV yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari hasil koleksi ulat grayak mati terinfeksi oleh SlNPV dari desa Srono (kabupaten Banyuwangi), desa Pungging (kabupaten Mojokerto), desa Jenu (kabupaten Tuban), dan desa Tembelan (kabupaten Jombang). Keempat isolat SlNPV tersebut, berturut-turut diberi kode B01, B02, B03, dan B04. SlNPV diperbanyak dan diformulasikan dengan metode seperti yang dikemukakan oleh Arifin (2002) sebagai berikut: ulat instar IV hasil pembiakan di laboratorium diberi pakan buatan yang telah dioleskan suspensi SlNPV berkonsentrasi 1 X 107 PIBs/ml (konsentrasi yang mematikan populasi 100%). Ulat-ulat mati terinfeksi SlNPV dicampur dengan air suling kemudian disaring dengan menggunakan kasa nilon berukuran 100 mala jala (mesh). Suspensi polyhedra kasar dimurnikan dengan menggunakan sentrifus berkecepatan 3500 putaran/menit selama 15 menit. Endapan yang terjadi disuspensikan dengan menambahkan beberapa tetes air suling. Konsentrasi suspensi ini ditentukan dengan menggunakan haemacytometer. Selanjutnya, suspensi diencerkan hingga diperoleh konsentrasi baru 3 X 109 PIBs/ml.
SlNPV diformulasikan dengan cara sebagai berikut: 100 ml suspensi polihedra stok berkonsentrasi 3 X 109 PIBs/ml dicampur dengan tepung talk dan bahan-bahan additive, seperti perata, perekat, pelindung sinar UV, dan perangsang makan hingga mencapai bobot 100 g. Dengan cara tersebut, konsentrasinya ditentukan sebesar 3 X 109 PIBs/g. Bahan aktif bioinsektisida ini sebesar 0,3% (1 mg= 1 X 109 PIBs). Bioinsektisida SlNPV sebanyak 500 g siap diaplikasikan ke pertanaman seluas 1 ha.
Percobaan Lapang
Percobaan lapang dilakukan pada MK 2005 di daerah Ponorogo, Jawa Timur. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 13 perlakuan kombinasi isolat SlNPV (Tabel 1). Tiap perlakuan diulang 4 kali.
Benih kedelai varietas Wilis ditanam dalam petak-petak percobaan berukuran 8 m x 5 m dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm; 2 biji/lubang. Tanaman dipupuk dengan urea 50 kg/ha, SP-36 100 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha pada saat tanam.
Tanaman kedelai dalam petak-petak percobaan disemprot suspensi SlNPV pada berbagai macam perlakuan kombinasi isolat, masing-masing dengan dosis 1,5 X 1012 PIBs/ha dan volume semprot 500 l/ha. Sebagai pembanding digunakan perlakuan insektisida sihalotrin sesuai rekomendasi dan kontrol (tanpa perlakuan).
Pengamatan meliputi populasi ulat grayak dan hasil panen. Populasi ulat grayak dihitung secara acak pada 15 rumpun tanaman pada saat sebelum perlakuan (35 hari setelah tanam; HST) dan pada 6 dan 12 hari setelah aplikasi (HSA). Hasil panen (bobot biji dalam t/ha) dicatat pada saat panen (90 HST).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Ulat Grayak
Data hasil pengamatan populasi ulat grayak setelah diaplikasi dengan beberapa isolat SlNPV dan kombinasinya disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Penurunan populasi ulat grayak setelah diaplikasi dengan beberapa isolat SlNPV dan kombinasinya pada tanaman kedelai di Ponorogo MK 2005.
Perlakuan | Populasi ulat (ekor/15 rumpun) pada | Penurunan populasi (%) pada | Hasil (t/ha) | |||
0 HSA | 6 HSA | 12 HSA | 6 HSA | 12 HSA | ||
1. SlNPV B01 | 40 | 4 bc | 0 c | 90,0 | 100,0 | 1,88 a |
2. SlNPV B02 | 49 | 3 bc | 0 c | 93,9 | 100,0 | 1,87 a |
3. SlNPV B03 | 43 | 18 b | 5 bc | 58,1 | 88,4 | 1,79 a |
4. SlNPV B04 | 58 | 16 b | 6 bc | 72,4 | 89,7 | 1,78 a |
5. SlNPV B01+B02 | 43 | 0 c | 0 c | 100,0 | 100,0 | 1,77 a |
6. SlNPV B01+B03 | 48 | 8 bc | 3 bc | 83,3 | 93,8 | 1,76 a |
7. SlNPV B01+B04 | 42 | 7 bc | 2 bc | 83,3 | 95,2 | 1,74 a |
8. SlNPV B02+B03 | 49 | 16 b | 7 b | 67,3 | 85,7 | 1,80 a |
9. SlNPV B02+B04 | 44 | 6 bc | 3 bc | 86,4 | 93,2 | 1,74 a |
10. SlNPV B03+B04 | 40 | 13 bc | 4 bc | 67,5 | 90,0 | 1,80 a |
11. SlNPV B01+B02+B03+B04 | 41 | 10 bc | 0 c | 75,6 | 100,0 | 1,87 a |
12. Insektisida | 45 | 4 bc | 4 bc | 91,1 | 91,1 | 1,79 a |
13. Kontrol (tanpa perlakuan) | 47 | 46 a | 44 a | 2,1 | 6,4 | 1,43 b |
KK (%) | 46,5 | 6,6 | 8,3 | |||
BNT (5%) | tn | 1,423 | 0,806 | 0,287 |
Angka sekolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%; Analisis data dilakukan setelah ditransformasi √(x+0,5); HSA, hari setelah aplikasi; KK, koefisien keragaman; BNT, beda nyata terkecil; tn, tidak nyata
Data tersebut menunjukkan bahwa pada 6 HSA, tingkat penurunan populasi ulat grayak setelah diaplikasi SlNPV berkisar antara 58% – 100%, sedangkan pada 12 HSA berkisar antara 86% – 100%. Adanya perbedaan tingkat penurunan populasi ulat grayak di antara isolat-isolat tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan tingkat kerentanan dari isolat-isolat tersebut terhadap sinar matahari. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Ignoffo dan Montoya (1976) bahwa NPV sangat rentan terhadap pengaruh sinar ultra violet dari matahari. Di samping itu, perbedaan tingkat penurunan populasi ulat grayak juga dapat dipengaruhi oleh tingkat patogenisitas isolat SlNPV yang menginfeksi ulat grayak, seperti halnya yang dilaporkan oleh Maddox (1975) dan Starnes et al. (1993) bahwa keefektifan NPV bergantung pada strain virus yang mampu dalam waktu singkat membunuh serangga sasaran.
Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), usaha mencegah terjadinya kerusakan ekonomi (economic damage) pada tanaman akibat serangan hama lebih diutamakan daripada memusnahkan hama tersebut. Sehubungan dengan itu, beberapa penulis mengemukakan bahwa keefektifan suatu cara pengendalian ditunjukkan oleh kemampuannya menurunkan populasi hama sasaran ≥ 80% (Mumford dan Norton, 1984). Oleh karena itu, berdasarkan hasil pengamatan pada 6 HSA, ada 6 perlakuan yang dapat dinyatakan efektif, yakni SlNPV B01; SlNPV B02; SlNPV B01+B02; SlNPV B01+B03; SlNPV B01+B04; dan SlNPV B02+B04, sedangkan bila berdasarkan hasil pengamatan pada 12 HSA, semua perlakuan isolat SlNPV, baik secara tunggal maupun kombinasinya dapat dinyatakan efektif karena mampu menurunkan populasi ulat grayak ≥ 80%.
Dalam penelitian ini, perlakuan kombinasi isolat SlNPV yang efektif dipilih berdasarkan beberapa kriteria, antara lain: (a) tingkat kematian ulat grayak ≥ 80%, (b) waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat kematian ≥ 80% tersebut relatif singkat, dan (c) efisiensi penggunaan bahan (penggunaan isolat SlNPV secara tunggal lebih dipilih daripada kombinasinya). Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, di antara keenam perlakuan yang telah dinyatakan efektif, ada dua perlakuan yang dipilih, yakni SlNPV B01 dan SlNPV B02.
Kedua isolat SlNPV (B01 dan B02) mampu menurunkan populasi, masing-masing 90% dan 94% pada 6 HSA. Hal ini tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan insektisida sihalotrin yang mampu menurunkan populasi ulat grayak 91% pada waktu yang sama. Oleh karena itu, isolat SlNPV B01 dan SlNPV B02 dinyatakan layak sebagai pengganti peran insektisida sihalotrin untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai.
Hasil Panen
Data hasil pengamatan hasil panen kedelai setelah diaplikasi dengan beberapa isolat SlNPV dan kombinasinya disajikan dalam Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa hasil panen pada semua perlakuan kombinasi isolat SlNPV dan insektisida sihalotrin berkisar antara 1,74 – 1,88 t/ha, sedangkan hasil panen pada kontrol (tanpa perlakuan) sebesar 1,43 t/ha. Semua perlakuan kombinasi isolat SlNPV dan insektisida sihalotrin menunjukkan saling tidak berbeda nyata, tetapi semuanya berbeda nyata lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol. Data hasil panen tersebut memperjelas informasi bahwa apabila populasi ulat grayak diaplikasi dengan isolat SlNPV, baik secara tunggal maupun kombinasinya, pengaruhnya dapat menurunkan populasi ulat grayak hingga mencapai tingkat aman sehingga akan memberikan hasil panen yang relatif tinggi. Di samping itu, penggunaan SlNPV, baik secara tunggal maupun kombinasinya dapat menggantikan peran insektisida sihalotrin.
Pemanfaatan SlNPV sebagai Biopestisida
Umumnya, patogen serangga dan kelompok musuh alami lainnya dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama yang menjadi inangnya dengan dua pendekatan, yakni konservasi dan augmentasi. Pendekatan konservasi dilakukan dengan cara memanipulasi lingkungan dengan tujuan meningkatkan keefektifan musuh alami yang terjadi secara alamiah, sedangkan pendekatan augmentasi dilakukan dengan cara memperbanyak dan melepas musuh alami secara periodik untuk tujuan jangka panjang dalam program inokulasi atau tujuan jangka pendek dalam program inundasi. Khusus SlNPV untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai, pendekatan yang cocok adalah augmentasi untuk tujuan jangka pendek. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa SlNPV mudah inaktif karena sifatnya yang rentan terhadap paparan sinar matahari dan kurang persisten karena ekosistem pertanian tanaman pangan selalu berubah dari musim ke musim. Selain dapat digunakan secara tunggal, SlNPV juga dapat dipadukan dengan taktik pengendalian lain, misalnya perangkap massal serangga dewasa, dan varietas tanaman tahan hama.
Mengingat bahwa SlNPV harus tertelan oleh hama serangga agar pengendaliannya menjadi efektif, dua faktor harus diperhatikan. Pertama, SlNPV harus diaplikasikan pada daur hidup serangga hama atau tanaman seawal mungkin untuk meminimumkan kerusakan, dan kedua, hasil aplikasi harus konsisten dan seragam melindungi tanaman (Ignoffo, 1974). Di samping itu, aplikasi SlNPV sebaiknya dilakukan pada sore atau petang hari dan pada kondisi cuaca yang menguntungkan, mengingat sifatnya yang rentan terhadap paparan sinar matahari, khususnya sinar ultra-violet, dan perilaku ulat yang aktif pada petang dan malam hari (Tanada dan Kaya, 1993).
SlNPV diaplikasikan dengan menggunakan peralatan dan teknologi sebagaimana yang digunakan untuk insektisida. Untuk itu, dosis yang digunakan harus tepat untuk memperoleh hasil pengendalian yang efektif. Dalam hal ini dianjurkan untuk menggunakan isolat SlNPV B01 atau SlNPV B01. Demikian pula ukuran lobang penyemprot harus diusahakan sekecil mungkin, sebaiknya menggunakan penyemprot ultra low volume (ULV).
Mengingat bioinsektisida SlNPV merupakan agensia hayati yang efektif, ramah lingkungan, dan ekonomis, maka pemanfaatannya sesuai dengan tujuan PHT, yaitu: (a) menurunkan status hama, (b) menjamin keuntungan pendapatan petani, (c) melestarikan kualitas lingkungan, dan (d) menyelesaikan masalah hama secara berkelanjutan (Pedigo dan Higley 1992). Pemanfaatan bioinsektisida SlNPV diharapkan dapat melestarikan lingkungan, serta meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Oleh karena itu, pemanfaatan bioinsektisida SlNPV merupakan sumbangan yang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan berdampak sosial ekonomi yang positif.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Isolat SlNPV B01 dan SlNPV B02 dosis 1,5 X 1012 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ha memiliki tingkat keefektifan tinggi karena mampu menurunkan populasi ulat grayak antara 90,0 – 94% pada 6 hari setelah aplikasi dan mampu mempertahankan hasil panen hingga 1,87 – 1,88 t/ha.
2. Kedua isolat SlNPV tersebut dapat menggantikan peran insektisida sihalotrin untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan volume nuclear-polyhedrosis virus terhadap kematian ulat grayak kedelai (Spodoptera litura. F). Penelitian Pertanian 8(1): 12-14
Arifin, M. dan W.I.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap nuclear-polyhedrosis virus. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Puslitbangtan. Sukamandi, 16-18 Januari 1986. 1 (Palawija): 74-78.
Arifin, M. 2002. Teknik produksi dan pemanfaatan bioinsektisida NPV untuk pengendalian ulat grayak pada kedelai, p. 121-134. Dalam Sunihardi et al. (Penyunting). Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Bedjo. 1997. Uji keefektifan SlNPV dan HaNPV dengan bahan pembawa untuk pengendalian hama kedelai. Seminar Regional HPTI. Majalah Ilmiah Pembangunan UPN "Veteran" Surabaya. pp. 108-114.
Ignoffo, C.M. 1974. Microbial control of insects: viral pathogens, p. 541-557. In F.G. Maxwell and F.A. Harris (Eds.). Proc. Summer Institute on Biocontrol of Plant Insect and Dis. Univ. Press of Mississippi, Jackson.
Ignoffo, C.M. and E.L. Montoya. 1976. The effects of chemical insecticides and insecticidal adjuvants of a nuclear-polyhedrosis virus. J. Invertebr. Pathol. 8: 409-412.
Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management. p. 184-233. In R.L. Metcalf and W.H. Luckman (Eds). Introduction to Insect Pest Management. Jhon Wiley & Sons, New York.
Marwoto. 1992. Masalah pengendalian hama kedelai di tingkat petani, p. 37-43. Dalam Marwoto et al. (Penyunting). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balittan Malang.
Mumford, J.D. and G.A. Norton, 1984. Economics of decision making in pest management. Ann. Rev. Entomol. 29: 157-174.
Pedigo, L.P. and L.G. Higley. 1992. The economic injury level concept and environmental quality. American Entomologist. 38(1): 12-21.
Starnes, R.L., C.L. Liu, and P.G. Marrone. 1993. History, use, and future of microbial insecticides. American Entomologist. Summer. 83-91.
Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology. Academic Press, Inc, Toronto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar