Minggu, 30 Januari 2011

16. Tanggapan Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Varietas Orba terhadap Kehilangan Daun


Arifin, M. 1988. Tanggapan pertumbuhan dan hasil kedelai varietas Orba terhadap kehilangan daun, pp. 423-431. Dalam S. Hardjosumadi et al. (Eds.). Seminar Balittan Bogor Tahun 1986. Volume 2 (Padi Palawija).


Muhammad Arifin
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor


ABSTRACT

The Growth and Yield of Orba Soybean Variety in Response to Defoliation. Five levels of defoliation (0, 1/6, 2/6, 3/6, and 4/6) were created at the five stages of plant growth (V6, R2, R3, R4 and R5), and their effect. Orba soybean variety were studied. During the V6, R2, and R3 stages, defoliation decreased mean leaf area index, crop growth rate, pod number, seed number and yield. During the R4 stage, defoliation decreased mean leaf area index, seed number, and yield. During the R5 stage, defoliation decreased seed number, seed weight, and yield. The R3 stage was the critical stage because the effects of defoliation on plant growth and yield at this stage were greater than at the V6, R2, R4 and R5 stages. The economic damage was determined to be 6.3, 6.3, 5.8, 6.1 and 7.2% defoliation at the V6, R2, R3, R4 and R5 stages, respectively.



Ulat grayak (Spodoptera litura F.), ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites Esp.) dan belalang (Valanga nigricornis) adalah beberapa hama daun kedelai di Indonesia.
Serangan hama-hama daun di pertanaman sering bersamaan dan menimbulkan gejala kerusakan yang sama sehingga akibat yang ditimbulkan oleh masing-masing hama daun sukar diketahui. Oleh karena itu, penelitian tentang pengaruh hama daun terhadap pertumbuhan dan hasil banyak dilakukan secara tiruan dengan perompesan defoliasi melalui pengguntingan daun.
Untuk mempelajari akibat perompesan pada tanaman dilakukan pendekatan fisiologi melalui teknik analisis pertumbuhan. Teknik tersebut didasarkan pada perubahan luas dan bobot kering tanaman selama periode pertumbuhan tanaman (1).
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh perompesan buatan pada berbagai umur tanaman terhadap pertumbuhan dan hasil serta menentukan besarnya kerusakan ekonomi tanaman kedelai varietas Orba.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada bulan Januari - April 1986 di Kebun Percobaan (KP) Cikeumeuh Balittan, Bogor. Kedelai Orba ditanam pada 75 buah petak berukuran 220 cm x 170 cm. Antar barisan tanaman berjarak 40 cm, dan dalam barisan berjarak 20 cm dengan 2 tanaman per rumpun. Pupuk diberikan pada saat tanam dengan 45 kg N, 72 kg P2O, dan 50 kg K2O/ha.
Rancangan yang digunakan adalah petak terbagi. Petak utama terdiri dari 5 umur tanaman, yaitu 30, 38, 46, 54 dan 62 hari setelah tanaman atau stadia V6, R2, R3 dan R5. Anak petak terdiri dari 5 tingkat perompesar, yaitu 0, 1/6, 2/6, 3/6 dan 4/6 bagian dari seluruh luas daun per 15 rumpun.
Pengambilan contoh dilakukan pada 0 dan 7 hari setelah perompesan serta pada saat panen, masing-masing sebanyak 5 rumpun per barisan tanaman. Pengamatan meiiputi: (a) luas daun per rumpun yang diukur dengan pengukur daun elektronik, (b) bobot kering tanaman per rumpun di atas pangkal akar yang telah dikeringkan dalam oven pada 650 C selama 48 jam, (c) jumlah polong per rumpun, (d) jumlah biji per rumpun, (e) bobot 100 biji, dan (f) bobot biji per rumpun. Tolok ukur pertumbuhan tanaman meliputi: (a) rata-rata index luas daun (ILD), (b) laju asimilasi bersih (LAB) dan (c) laju pertumbuhan tanaman (LPT) dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

ILD = (L2-L1) / (logeL2 – logeL1)

            (B2 – B1) (logeL2 – logeL1)
LAB = -----------------------------------
                  (W2 - W1) (L2-L1)

LPT= (B2 - B1) / (W2 - W1)

dimana:
L  = luas daun per unit luas tanah;
B  = bobot kering tanaman per unit luas tanah;
W = waktu 1 dan 2 = pengukuran pertama dan kedua (4).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas Daun dan Bobot Kering Tanaman

Hubungan antara perompesan 0 sampai 4/6 bagian dari seluruh luas daun (0-4/6) dan luas daun serta bobot kering tanaman pada 7 hari setelah perompesan pada stadia V6, R2, R3, R4 dan R5 bersifat linier (Gambar 1 dan 2). Makin tinggi tingkat perompesan makin kurang luas daun dan bobot kering tanamannya. Berdasarkan kemiringan garis regresi linier tersebut, pengaruh perompesan pada R3 lebih besar daripada V6, R2, R4 dan R5.
Perbedaan pengaruh perompesan pada berbagai stadia karena pertumbuhan daun dan daya sembuh yang berlainan. Pada V6 dal R2, pertumbuhan daun masih berlanjut sehingga meskipun teriadi perompesan, tanaman akan membentuk daun-daun baru. Pada R4 dan R5, pertumbuhan daun sudah berakhir, tetapi tanaman mampu membentuk daun-daun baru atau memperlebar daun yang telah terbentuk dengan cara menyerap kembali hasil fotosintesis yang di simpan di batang. Pada R3, pertumbuhan daun masih berlanjut, tetapi tidak secepat V6 dan R2. Di samping itu, hasil fotosintesis yang disimpan sementara di batang belum cukup untuk membentuk daun-daun baru. Lambatnya pertumbuhan daun dan tidak adanya kompensasi terhadap perompesan menyebabkan lambatnya pertumbuhan bobot kering tanaman pada R3.

Tolok Ukur Pertumbuhan

ILD pada V6, R2, R3 dan R4 dipengaruhi oleh perompesan sedangkan pada R5, tidak. Hubungan antara perompesan 0-4/6 dan ILD pada V6, R2, R3 dan R4 bersifat linier (Gambar 3). Makin tinggi tingkat perompesan makin kurang ILD-nya. Rendahnya ILD pada tanaman yarg mengalami perompesan karena berkurangnya daun yang sedang tumbuh. Berdasarkan kemiringan garis regresi linier tersebut, pengaruh perompesan pada R3 lebih besar daripada V6, R2 dan R4. Perbedaan pengaruh perompesan ini karena pertumbuhan daun setelah perompesan pada V6 dan R2 lebih cepat dan daya sembuh tanaman akibat perompesan pada R4 lebih besar daripada R3. ILD pada R5 tidak dipengaruhi oleh perompesan karena daya sembuh tanaman sudah berkurang.
Hubungan antara perompesan 0-4/6 dan LAB pada berbagai stadia tanaman tidak nyata (Gambar 4). LAB adalah laju peningkatan bobot kering tanaman per unit luas daun per unit waktu, merupakan ukuran efisiensi penggunaan energi surya oleh tanaman. LAB ditentukan oleh laju fotosintesis dan laju respirasi. Apabila laju fotosintesis melebihi laju respirasi, maka LAB-nya meningkat. Sebaliknya, apabila laju respirasi melebihi laju fotosintesis, maka LAB-nya menurun. Berdasarkan mekanisme naik turunnya LAB di atas, perompesan seharusnya meningkatkan LAB, tetapi kenyataannya perompesan tidak mempengaruhi LAB. Hal ini karena efisiensi penggunaan energi surya oleh tanaman kontrol sama dengan yang mengalami perompesan, sehingga pengaruh perompesan terhadap LAB tidak nyata.
Nilai LAB tertinggi terjadi pada V6 dan terendah pada R3. Perbedaan LAB pada berbagai stadia tanaman tersebut karena ketebalan tajuk daun yang berlainan. Di antara stadia V6-R5, tajuk daun pada R3 paling tebal dan pada V6 paling tipis. Tajuk daun tebal menghambat penerimaan energi surya sehingga laju fotosintesis lebih rendah daripada laju respirasi. Akibatnya, LAB-nya rendah. Sebaliknya, pada tajuk daun tipis terjadi pengaruh saling menaungi di antara dedaunan.Laju fotosintesis lebih tinggi daripada laju respirasi sehingga LAB'nya tinggi.
LPT pada V6, R2 dan R3 dipengaruhi oleh perompesan sedangkan pada R5, tidak. Hubungan antara perompesan 0-4/6 dan LPT pada V6, R2 dan R3 bersifat linier (Gambar 5). Makin tinggi tingkat perompesan makin kurang LPT-nya.
LPT adalah laju peningkatan bobot kering tanaman per unit luas tanah per unit waktu, merupakan fungsi dari ILD dan LAB. Perompesan pada R5 tidak mempengaruhi ILD dan LAB sehingga tidak mempengaruhi LPT. Perompesan pada V6, R2 dan R3 mempengaruhi ILD sehingga mempengaruhi LPT.
Berdasarkan hubungan antara perompesan dan LPT pada berbagai stadia tanaman tersebut, nyatalah bahwa R3 merupakan stadium kritis terhadap perompesan.

Komponen Hasil dan Hasil

Jumlah polong pada V6, R2 dan R3 dipengaruhi oleh perompesan sedangkan pada R4 dan R5, tidak. Hubungan antara perompesan 0-4/6 dan jumlah polong bersifat linier(Gambar 6). Makin tinggi tingkat perompesan makin kurang jumlah polongnya. Perbedaan pengaruh perompesan pada berbagai stadia tanaman, ini disebabkan oleh respon tanaman terhadap gangguan pada proses pembentukan polong yang berlainan. Perompesan pada V6, R2 dan R3 menyebabkan bunga dan polong muda banyak yang gugur sehingga jumlah polong yang terbentuk menjadi kurang. Perompesan pada R4 dan R5 tidak menurunkan jumlah polong karena pembentukan bunga sudah berakhir dan polong yang terbentuk relatif tahan terhadap pengguguran.
Hubungan antara perompesan 0-4/6 dan jumlah biji pada berbagai stadia tanaman bersifat linier (Gambar 7). Makin tinggi tingkat perompesan makin kurang jumlah bijinya. Perompesan pada V6, R2 dan R3 menurunkan jumlah polong sehingga jumlah biji yang terbentuk menjadi kurang. Perompesan pada R4 dan R5 mengganggu proses pengiriman hasil fotosintesis untuk pembentukan biji sehingga banyak polong hampa. Akibatnya, jumlah biji menjadi kurang.
Bobot 100 biji pada R5 dipengaruhi oleh perompesan sedangkan pada V6, R2, R3 dan R4, tidak. Hubungan antara perompesan 0-4/6 dan bobot 100 biji pada R5 bersifat linier (Gambar 8). Makin tinggi tingkat perompesan makin kurang bobot 100 bijinya. Perbedaan pengaruh perompesan pada berbagai stadia tanaman, ini karena respon tanaman terhadap gangguan pada proses pertumbuhan biji yang berlainan. Perompesan pada R5 menyebabkan terganggunya proses pengiriman hasil fotosintesis untuk pembentukan biji sehingga bobot 100 biji menjadi kurang. Pada V6, R2, R3 dan R4 hasil fotosintesis masih digunakan untuk pertumbuhan vegetatif, bunga dan polong dan belum digunakan untuk pembentukan biji. Oleh karena itu, perompesan pada keempat stadia tersebut tidak mempengaruhi bobot 100 biji.
Hubungan antara perompesan 0-4/6 dan hasil (bobot biji/rumpun) pada berbagai stadia tanaman bersifat linier (Gambar 9). Makin tinggi tingkat perompesan makin kurang hasilnya. Di antara kelima perlakuan stadia tanaman, hasil terendah dijumpai pada R3 kemudian diikuti oleh R4, R2, V6 dan tertinggi pada R5. Perbedaan hasil ini ditentukan oleh jumlah biji.
Kerusakan Ekonomi Tanaman

Kerusakan ekonomi tanaman (KET) adalah tingkat luka yang pada tingkat tersebut pengeluaran biaya untuk pelaksanaan pengendalian hama dapat dibenarkan (2). Berdasarkan batasan tersebut, besarnya KET ditentukan dengan prinsip impas (break-even) pengendalian hama, yaitu nilai kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk tindakan tersebut. KET dihitung dengan metode Stone dan Pedigo (3) yang dimodifikasi sebagai berikut :
1. Ambang perolehan, yaitu kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama.

           Biaya pengendalian (Rp/ha)
     = --------------------------------------
               Harga kedelai (Rp/kg )

2. Persentase kehilangan hasil untuk ambang perolehan (langkah 1)

           Ambang perolehan (kg/ha)
     = -------------------------------------  X 100%
               Potensi hasil (kg/ha)

3. Hasil yang diperoleh setelah terjadi kehilangan hasil (langkah 2) = (100% - % kehilangan hasil) x nilai hasil pada kontrol.
4. KET diperoleh dengan memasukkan nilai hasil yang diperoleh setelah terjadi kehilangan hasil (langkah 3) ke dalam persamaan regresi hubungan antara perompesan dan hasil pada stadium tanaman tertentu.
Apabila biaya pengendalian untuk satu kali aplikasi insektisida monokrotofos 15 WSC sebesar Rp 20.000,-/ha harga kedelai Rp 550,-/kg dan potensi hasil sebesar 1500 kg/ha, maka ambang perolehannya sebesar 36,4 kg/ha dengan kehilangan hasil sebesar 2,4%. Hasil yang diperoleh setelah terjadi kehilangan hasil pada berbagai stadia tanaman sebesar 16,02 g/rumpun. KET pada stadia V6, R2. R3, R4 dan R5 berturut-turut sebesar 6,3; 6,3; 5,8; 6,1 dan7,2% perompesan.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil kedelai Orba dipengaruhi oleh perompesan. Besarnya pengaruh perompesan tersebut tergantung pada umur tanaman dan tingkat perompesan.
2. Perompesan pada V6, R2 dan R3 menurunkan ILD dan LPT, dan pada R4 menurunkan ILD. Perompesan pada V6-R5 tidak mempengaruhi LAB.
3. Perompesan pada V6, R2 dan R3 menurunkan jumlah polong, jumlah biji dan hasil, pada R4 menurunkan jumlah biji dan hasil, dan pada R5 menurunkan jumlah biji, bobot 100 biji dan hasil.
4. Stadium kritis terhadap perompesan adalah R3 karena pengaruh perompesan yang merugikan terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil pada R3 lebih besar daripada V6, R2, R4 dan R5.
5. Dengan mengasumsikan biaya pengendalian hama sebesar Rp 20.000,-/ha dan harga kedelai sebesar Rp 550,-/kg, maka KET kedelai Orba stadia V6, R2, R3, R4 dan R5 berturut-turut sebesar 6,3; 6,3; 5,8; 6,1 dan 7,2% perompesan.

PUSTAKA

1. Bardner, R. and K.E Fletcher. 19?4. Insect infestations, and their effects on the growth and yield of field crops: a review. Bull. Ent. Res. 64: 141-60.
2. Stern, V.M., R.F. Smith, R. van den Bosch, and K.S. Hagen. 1959. The integrated control concept. Hilgardia 29:81-101.
3. Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 19?2. Development and economic injury level of the green cloverworm on soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.
4. Watson, D.J. 1952. The physiological basis of variation in yield. Advances in Agron. 4: 101-145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar