Sabtu, 08 Januari 2011

106. Penerapan Teknologi Olah Tanah Konservasi dalam Usahatani di Lahan Marjinal


Tjokrowardojo, A.S. dan M. Arifin. 2010.Penerapan Teknologi Olah Tanah Konservasi dalam Usahatani di Lahan Marjinal. Prosiding Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marjinal: Pemberdayaan dan Pengembangan Inovasi Teknologi di Lahan Marjinal Mendorong Tercapainya Petani Mandiri dan Tangguh. Badan Litbang Pertanian. pp. 437-447.

Agus Sudiman Tjokrowardojo 1 dan  Muhammad Arifin 2

1 Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
jl. Tentara Pelajar No.3 Bogor
2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian
 jl. Tentara Pelajar No.3A Bogor


ABSTRAK

Pengolahan tanah intensif yang selama ini menjadi tradisi dalam mengawali tindakan budidaya pertanian dengan tujuan membersihkan gulma dan menciptakan media tumbuh yang gembur (lahan kering), dan berlumpur (sawah), ternyata ikut berperan dalam menurunkan produktivitas lahan dan pelandaian produksi terutama tanaman pangan. Program ”revolusi hijau” yang bertumpu pada mekanisasi untuk pengolahan tanah, pemupukan dosis tinggi dan bertanam cenderung monokultur perlu dikaji ulang. Olah tanah konservasi (OTK) pada hakekatnya menyiapkan lahan tanam  yang bertumpu pada pendaur ulangan sumberdaya internal dengan memanipulasi gulma dan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa. Hasil penelitian jangka panjang pertanaman jagung di Lampung (1987-2000) memberikan gambaran bahwa OTK mampu menghemat tenaga kerja 30%, energi bahan bakar minyak 33 l/ha, waktu 69 jam/minggu atau 2250 jam/tahun dan biaya produksi 39% dibandingkan dengan cara konvensional olah tanah intensif. Hasil penelitian jangka panjang (1997-2000) penerapan OTK pada sawah tadah hujan di Purworejo mampu meningkatkan intensitas penanaman dari Padi-padi-bera menjadi padi-padi-jagung/kedelai atau padi–jagung-kedelai sehingga terjadi peningkatan pendapatan petani sekitar 20-25% dibandingkan sebelumnya. Untuk lahan sawah tadah hujan, OTK merupakan teknologi tepat guna  untuk penyiapan lahan tanam karena dapat menghemat kebutuhan air sekitar 30% dibandingkan dengan pelumpuran. Introduksi teknologi OTK untuk reklamasi  lahan Bonorowo menjadi persawahan kabupaten Purworejo pada tahun 1997, dapat menghemat biaya penyiapan lahan 53,2 % dengan hasil meningkat sebesar 3,81% dibandingkan dengan  olah tanah intensif yang memerlukan biaya sebesar Rp 994 000,-/ha dengan hasil panen 7,86 t/ha GKP. Teknologi OTK terbukti mampu menghambat laju erosi tanah, menghemat biaya penyiapan lahan, mempercepat waktu tanam, meningkatkan intensitas penanaman dan mewujudkan pertanaman serempak mendukung pengendalian hama terpadu (PHT).

Kata kunci: Lahan marjinal, Optimasi, Olah tanah konservasi




PENDAHULUAN

            Memasuki abad ke 21 visi pembangunan pertanian adalah terciptanya ketahanan pangan nasional dan agrisbisnis, sedangkan misinya memberdayakan petani untuk mengoptimalkan daya guna lahan dalam meningkatkan pendapatannya.
            Produktivitas agroekosistem sebagian besar tergantung pada kemampuan tanah untuk menanggapi cara pengelolaannya. Tanah menjadi media dan perantara berlangsungnya berbagai jenis proses biologi, biogeokimia dan reaksinya, yang merupakan dasar bagi berfungsinya agrogeokimia sehingga memberikan kebutuhan hakiki bagi pertumbuhan tanaman. Tanah merupakan komponen hidup yang kompleks dan dinamis dapat dimanipulasi sedemiian rupa untuk mempengaruhi dan menentukan tampilan tumbuh tanaman budidaya (Utomo, 1990). Kerusakan atau degradasi lahan akibat tekanan manusia secara berlebihan atau cara pengelolaan yang tidak tepat dan ceroboh dapat terjadi selama beberapa dasawarsa bahkan ratusan tahun, dan seringkali tidak dapat dipulihkan kembali (Greenland, 1975 dan Utomo, 1990).
Revolusi hijau yang bertumpu pada mekanisasi (traktorisasi) dan cenderung monokultur telah meningkatkan produksi yang nyata, namun keberhasilan ini tidak menjamin produktivitas yang terlanjutkan (sustainable productivity).
Menurut Bergeret (1977) pengelolaan lahan yang intensif, budidaya monokultur tanpa rotasi dan pendaur ulangan bahan organik terbukti mengakibatkan kelesuan lahan, hilangnya bahan organik tanah, degradasi tanah danpenurunan produktivitas lahan. Pemakaian pestisida terutama insektisida dan pupuk anorganik secara berlebihan juga merusak mikroflora dan mikrofauna tanah yang bermanfaat.
            Sistem produksi yang dirancang dan dikelola dalam suatu ekosistem sejauh mungkin menghindari hilangnya energi dan menjamin dikembalikannya residu-residu tanaman untuk dipakai lagi dalam sistem produksi serta memperbaiki  produktivitas tanah (pendaur ulangan residu tanaman). Terpadunya dua atau lebih komponen yang terpilih, menghemat masukan dari luar yang selalu mahal, dan sistem yang lebih tepat guna berpotensi mendukung pengembangan seluruh kegiatan secara sinergi, kemampuan dan fleksibilitas yang lebih besar seperti usahatani campuran. Dengan demikian terjadi perbaikan kualitas tanah dengan pemanfaatan lahan secara berkelanjutan (sustainable land use). Dalam hal demikian ini praktek pemugaran tanah sudah berinteraksi secara sinergi dengan pengelolaan lahan, perilaku petani dan kebijakan pemerintah.
            Pengelolaan usahatani terpadu ini harus berawal dengan pemilihan komoditi yang memiliki prospek pasar, dan pemilihan teknologi penggunaan lahan yang efisien menguntungkan dan berwawasan lingkungan. Polatanam berbasis pertanian berkelanjutan dikenal dengan istilah usahatani konservasi antara lain: rotasi tanaman, tumpangsari, tanaman sela pada perkebunan, tanaman sela pada tanaman hutan (wanatani), wanatani peternakan (sylvopastural agroforestry).
            Pengelolaan lahan yang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air dengan cara memanipulasi gulma, dan residu tanaman sedemikian rupa sebagai mulsa untuk menjamin pertumbuhan tanaman budidaya dan produktivitas optimal, dikenal dengan istilah olah tanah konservasi (OTK). Menurut Utomo (1990, 1999 dan 2000) yang termasuk katagori OTK adalah : 1). olah tanah konvensional bermulsa, 2). olah tanah minimum dan 3). tanpa olah tanah (TOT). Penerapan teknologi OTK di lahan marjinal diharapkan akan dapat menyelamatkan dan memelihara lahan yang bagi petani merupakan deposito dan titipan anak cucu, sehingga tingkat kesuburannya terpelihara melalui implementasi teknologi OTK yang berwawasan lingkungan.
Kebijakan pemerintah juga harus didasarkan atas bagaimana bentuk usahatani yang menguntungkan petani (menikatkan pendapatan), mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis sekaligus memelihara produktivitas sumberdaya lahan.  

Sistem Usahatani Konservasi
            Dalam uasahatani sebagian besar petani masih menerapkan polatanam padi-padi-bera untuk persawahan atau padi gogo-palawija-bera di lahan kering, dengan wktu tanam dan panen yang tidak sama. Hal ini berakibat koordinasi antar petani maupun kelompok tani dengan sistem pelayanan sarana produksi pertanian dan pemasaran hasil serta pembinaan lainnya menjadi sulit dilaksanakan dengan baik, sehingga timbul kesan bahwa petani berjalan sendiri-sendiri tanpa bimbingan dan pengarahan (Haerah, 1991).
            Perbaikan sistem usahatani melalui pengaturan polatanam harus memperhatikan kondisi agroekosistem spesifik lokasi, terutama sebaran curah hujan selama setahun dan pemilihan komoditi unggulan. Pada dasarnya penerapan atau pengalihan teknologi dari agroekosistem satu ke agroekosistem yang lain mungkin tidak selalu berhasil, namun prinsip ilmiah yang menjadi landasan praktek sistem usahatani yang baik selalu dapat dipindah-pindahkan dengan modifikasi sesuai dengan kondisi spesifik lokasi. Untuk mendapatkan sistem pertanian yang stabil dibutuhkan: 1). pengembalian hara ke dalam tanah, pengganti hara yang diambil oleh tanaman (panen), 2). pengawetan kondisi fisik yang sesuai dengan cara penggunaan lahan seperti pengembalian bahan organik (residu tanaman) ke dalam tanah, 3). pengendalian hama, penyakit dan gulma secara tepat,
4). pencegahan naiknya keasaman tanah yang menyebabkan naiknya jumlah unsur beracun seperti Al, dan 5). pengendalian erosi.

Olah Tanah Konservasi
            Berkembangnya teknologi mekanisasi yang didominasi oleh traktorisasi membuat pengolahan tanah menjadi lebih mudah dan cepat, sampai menjadi kebiasaan yang meninabobokan petani dalam kegiatan usahataninya. Dibanyak tempat petani belum turun ke sawah atau ladang apabila belum ada traktor yang masuk ke sawah/ladang tersebut. Namun, dibalik kemudahan dan keuntungan traktorisasi, sebenarnya timbul kerugian yang tersembunyi berupa menurunnya produktivitas lahan akibat hilangnya lapisan tanah bagian atas yang subur oleh proses erosi. Pengolahan tanah intensif yang selama ini menjadi pilar intensifikasi pertanian dalam arti luas (pangan, hortikultura, perkebunan, dan kehutanan) ternyata menjadi salah satu penyebab meluasnya lahan kritis akibat erosi dipercepat. Pengolahan tanah intensif yang bertujuan membersihkan gulma dan menciptakan lahan gembur di lahan kering, dan berlumpur untuk persawahan, tanpa disadari telah menabur biji-biji gulma secara merata keseluruh permukaan lahan tanam sebelum benih atau bibit ditanam. Akibatnya gulma sekunder tumbuh lebih awal dan lebih subur sehingga menang bersaing dengan tanaman pokok, diperlukan biaya tinggi untuk penyiangan. Menurut Lamid, dkk. (1998) penyiangan pada padi sawah, dan jagung lahan kering masing-masing memerlukan biaya sebesar 30-40% dan 50-60% dari total biaya produksi. Cara penyiapan lahan yang berwawasan lingkungan antara lain olah tanah konservasi (OTK).
            Olah tanah konservasi (OTK) pada hakekatnya adalah menyiapkan lahan tanam yang bertumpu pada pendaurulangan sumberdaya internal dengan memanipulasi gulma dan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa. Teknologi mulai diperkenalkan di Indonesia oleh segelintir peneliti pada tahun 1980an untuk lahan kering, kemudian mulai tahun 1990an pada lahan sawah dan persawahan pasang surut. Dalam dasawarsa terakhir terus berkembang terutama pada lahan-lahan marjinal.



Definisi olah tanah konservasi
            Olah tanah konservasi adalah cara mempersiapkan lahan yang bertumpu pada pendaurulangan sumber daya internal dengan memanipulasi gulma dan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa, bertujuan agar tanaman tumbuh dan berproduksi optimal dengan tetap memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air. Penerapan teknik OTK akan lebih berhasil pada tanah bertekstur ringan sampai sedang (jenis tanah: Regosol, Latosol, Podsolik, Podsolik Merah Kuning (berbahan aktif Glifosat), Ultisol, Oxisol, Aluvial dan Andosol), berdrainase baik, lahan kering bertopografi gelombang dan berbukit (Utomo, 1990). Untuk jenis tanah Grumusol tidak dianjurkan. Penerapan teknik OTK tidak lepas dari penggunaan herbisida untuk mematikan gulma maupun sisa tanaman yang masih hidup, yang selanjutnya dimanfaatkan sebagai mulsa. OTK meliputi: 1). olah tanah konvesnsional bermulsa (OTKB), 2). olah tanam minimal (OTM), dan 3). tanpa olah tanah (TOT). Pada OTKB dilakukan pengolahan tanah biasa dan diberi mulsa sisa-sisa tanam dan gulma minimal 30% menutupi areal (Lal,1989) dengan tujuan konservasi. Teknik OTM adalah tanah diolah seperlunya saja, sedangkan gulma yang dimatikan dengan aplikasi herbisida, dimanfaatkan sebagai mulsa. Pada teknik TOT tanah tidak diolah sama sekali, gulma dimatikan dengan aplikasi herbisida dan selanjutnya benih ditanam langsung menggunakan tugal.
             Usahatani OTK merupakan salah satu terobosan teknologi yang dirakit dan terbukti mampu mendukung terwujudnya peningkatan intensitas penanaman dari polatanam IP 200 – IP 300 pada lahan kering maupun sawah menuju pembangunan pertanian berkelanjutan (Utomo, 1995). Dalam hal ini terjadi percepatan waktu tanam dan penanaman serempak tanpa harus menunggu giliran traktor untuk mengolah tanah, yang selama ini selalu terjadi pada usahatani konvensional. Menurut Utomo (1994) dan Utomo dan Nazaruddin (1996) dikatakan bahwa bersawah TOT dapat mereduksi tenaga kerja untuk persiapan lahan 40%, menghemat kebutuhan air 30-60%, menghemat penyiangan 50%, mempercepat waktu tanam mewujudkan pertanaman serempak (merupakan salah satu komponen dalam pengendalian hama terpadu = PHT)



Kompatibilitas Olah tanah konservasi dengan pola usahatani di lahan marjinal           Teknologi OTK lahir dan dikembangkan dari konsep pertanian tradisi nenek moyang tebang - tebas- bakar - tanam yang disempurnakan dengan teknologi modern menggunakan herbisida ramah lingkungan. Menurut Utomo (2000) OTK sebagai pilar pembangunan pertanian berkelanjutan usahatani terpadu, layak terap pada lahan-lahan marjinal dalam rangka optimasi lahan dan peningkatan pendapatan petani. Dalam implementasinya antara lain: OTK - tumpangsari tanaman pangan/perkebunan/kehutanan dan lainnya.

1.      Olah tanah konservasi-tumpangsari/rotasi tanaman.
      Usahatani campuran atau rotasi tanaman sepanjang tahun, selain mampu mengurangi laju erosi tanah juga memberikan keuntungan berupa kelebihan hasil panen dibandingkan dengan penyiapan lahan tanpa olah tanah. Potensi penuh dari usaha tani campuran dengan TOT masih merupakan usahatani terpadu idaman yang belum terwujud (Greenland, 1975). Dalam kondisi demikian ini diharapkan keuntungan lebih besar karena selain mencegah laju erosi juga meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi tenaga kerja, waktu dan biaya produksi serta keanekaragaman hasil panen, yang berarti juga menambah gizi. Tabel 2 menunjukkan hasil usahatani tumpang sari kapri + jagung memberikan hasil lebih besar daripada tanaman kapri monokultur.

Tabel 2. Hasil Kapri dan Kapri + Jagung dengan Cara Penyiapan Lahan yang
              Berbeda

No.

Penyiapan Lahan
Hasil (Kg/ha)
Kapri monokultur
Tumpangsari
Jumlah
Kapri
Jagung
1
Bajak+Gulud (OTI)
1185
 665
1705
2370
2
Bajak tidak digulud (OTI)
1274
 725
1675
2400
3
Olah tanah lajur (OTM)
1538
1022
2337
3359
4
Tanpa Olah Tanah (TOT)
1649
 941
2809
3750
Sumber: Greenland, 1975
 OTI = Olah tanah intensif; OTM= olah tanah minimum; TOT= tanpa olah tanah

            Penelitian pengembangan jangka panjang MK I 1997 – MP 1999/2000, Tjokrowardojo, dkk. (2000) menguji olah tanah konservasi dengan perlakuan: Aplikasi herbisida Glifosat untuk mematikan gulma dan singgang padi - diglebeg - tanam bibit padi, dibandingkan dengan cara petani: tanah diolah intensif - pelumpuran - tanam bibit) pada sawah tadah hujan di kabupaten Purworejo. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penerapan TOT dapat mewujudkan polatanam Padi-padi-jagung/kedelai dengan bantuan air sumur pada musim kemarau untuk tanaman palwija (kedelai dan jagung), sementara petani tidak melakukan penanaman pada MK II (diberakan). Hasil panen padi TOT musim tanam (MT) I 5,96 t/ha relatif sama dengan padi olah tanah intensif (OTI) yaitu 5,98 t/ha, namun terjadi peningkatan pendapatan sebesar 6,74% (efisiensi atau penghematan biaya penyiapan lahan dan penyiangan). Adapun hasil palawija kedelai maupun jagung TOT belum optimal yaitu untuk kedelai 0,9 t/ha dan jagung 3,2 t/ha pipilan kering akibat terjadi serangan hama.sampai dengan hasil panen MT IX padi TOT memberikan hasil panen relatif sama dengan padi OTI (Tabel 3)
             


Tabel 3. Hasil Panen dan Peningkatan Pendapatan sistem Tanpa Olah 
                       Tanah pada Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Purworejo


No.

Tahun (MT ke..)
Hasil Panen (t/ha)
Hemat biaya (%)
Pendapatan meningkat (%)
Padi MP
Padi MK I
MK II
TOT
OTI
TOT
OTI
Kedelai
Jagung
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1997 (1)
1997 (2)
1997/98 (3)
1998 (4)
1998 (5)
1998/99 (6)
1999 (7)
1999 (8)
2000 (9)
-
-
6,25
-
-
4,713
-
-
6,20
-
-
6,30
-
-
4,179
-
-
6,25
5,96
-
-
3,10*
-
-
5,63
-
-
5,98
-
-
3,00*
-
-
5,93
-
-
-
0,9*
-
-
gagal**
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3,2*
-
28,01
-
24,61
21,60
-
10,46
12,70
-
24,60
6,74
100
6,37
15,29
-
13,71
7,49
100
6,36
*serangan tikus;  **.hujan turun lebih awal.
Sumber: Tjokrowardojo, dkk.(2000)


Sutaryo dan Tjokrowardojo (1998) mengemukakan bahwa dengan bantuan sumur dan pompanisasi di persawahan tadah hujan, penerapan teknologi OTK mampu mewujudkan polatanam IP.300 (padi – padi- kedelai/jagung) dari sebelumnya polatanam padi – padi – bera. Dengan demikian ini berarti terjadi peningkatan pendapatan bagi petani dari nol menjadi ada hasil panen palawija pada MK II.
Hasil penelitian Ardjasa, dkk. (1994) di Lampung menunjukkan bahwa Padi sawah tanpa olah tanah terjadi penghematan tenaga kerja sebesar 30,25% diikuti dengan pendapatan bersih meningkat 32,11 %, dan B/C ratio lebih tinggi dibandingkan dengan olah tanah intensif Tabel 4.
            Pada Gambar 1 memperlihatkan betapa tanaman jagung dari lahan TOT tetap memberikan hasil panen yang stabil, sedangkan jagung dari lahan diolah intensif menurun setelah tahun kedua pada polatanam dua kali setahun. Selanjutnya dikatakan oleh Couper (1979 dalam Wijewardene, 1980) tingkat keuntungan jagung TOT adalah dua kali lipat dibandingkan dengan jagung olah tanah intensif.



Tabel 4. Biaya Produksi dan Pendapatan Bersih Padi Sawah Tanpa Olah Tanah
No.
Uraian
Olah Tanah Intensif (Rp/ha)
Tanpa Olah Tanah (Rp/ha)
Perbedaan (%)
1
2
3
4
5
6
Tenaga kerja
Pupuk
Insektisida
Pendapat kotor
Pendapatan bersih
B/C ratio
605,000.00
190,000.00
175,000.00
1,884,240.00
914,240.00
1.40
422,000.00
190,000.00
175,000.00
1,994.760.00
1,207,760.00
2.53
30.25
-
-
5.87
32.11
-
    Sumber: Ardjasa, dkk.(1994)























Gambar 1.  Hasil Jagung/tahun yang dipanen 2 musim/tahun
tanpa Olah Tanah dan Olah  Tanah Intensif

Hasil penelitian Utomo (2000) penerapan OTK jangka panjang  pada tanaman jagung di Lampung memberikan hasil panen yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan olah tanah intensif (Tabel 5). Data dalam Tabel 5 memberikan gambaran bahwa olah tanah konservasi untuk tanaman jagung dapat dilakukan terus-menerus sampai pada MT ke 16, tanah diolah intensif karena tanah telah memadat dan diperlu diberi kapur karena pH tanah rendah. Kemudian pada MT berikutnya tanah tidak diolah sampai dengan MT ke 28 perlu pengolahan tanah kembali.

2.      Olah Tanah Konservasi tumpangsari tanaman perkebunan
      Penelitian OTK tanaman pangan (padi gogo, jagung dan kedelai) di gawangan tanaman karet muda atau tanaman belum menghasilkan (TBM) telah dimulai pada tahun 1987 di Palembang (Sudima, 1988; Sudiman dan Rosyid, 1988) dengan hasil pertumbuhan tanaman karet lebih cepat dan subur dibandingkan dengan tanaman karet tanpa tumpangsari, dan tidak berbeda nyata dengan tanaman karet berpenutup tanah leguminosa (Legum cover crops). Kemudian Wibawa, dkk. (2000) merekomendasikan bahwa OTK layak terap untuk tumpangsari tanaman semusim di gawangan karet muda, dengan polartanam: padi gogo- jagung-jagung/kedelai - kacang tunggak dalam jarak tanam yang serasi. Polatanam yang sama juga layak terap pada perkebunan kelapa sawit TBM.



Tabel 5. Hasil Jagung Penerapan OTK Jangka Panjang pola rotasi Serealia-Legum
Tahun (MT ke..)
Hasil jagung pipilan kering (t/ha)
0 kg N/ha
100 kg/ha
200 kg/ha
OTI
OTM
TOT
OTI
OTM
TOT
OTI
OTM
TOT
1987 (1)
1.7
1.3
1.3
3.8
3.9
0.6
4.8
5.1
5.7
1988 (4)
4.7
3.9
3.9
5.3
5.4
6.6
5.8
5.7
6.4
1989 (7)
5.5
4.9
4.9
6.1
6.6
6.1
6.4
6.9
6.8
1990 (10)
4.5
4.2
4.0
5.7
5.8
5.5
6.0
5.8
6.4
1991 (14)
1.4
1.1
1.6
4.3
3.3
3.3
6.3
4.2
4.6
1992 (16)*
1.9
1.1
1.4
3.7
2.4
3.0
6.4
4.2
4.2
1993 (17)**
5.3
5.8
5.6
6.7
6.7
6.7
5.0
6.6
2.6
1994 (19)
1.8
2.0
3.1
2.1
3.6
3.8
2.8
3.5
4.7
1995 (21)
1.6
1.9
1.6
3.2
2.9
3.2
4.1
4.5
5.1
1996 (23)
2.1
1.9
1.8
4.0
3.8
4.1
5.3
5.5
5.9
1997 (25)
4.5
4.0
4.3
5.6
5.2
6.3
6.6
6.8
7.1
1999 (28)*
2.4
2.5
2.2
2.6
2.8
2.4
3.3
3.3
3.0
Keterangan:*.permukaan lahan OTK sudah memadat,perlu diolah kembali dan tanah sudah masam, perlu pengapuran.**.setelah semua plot diolah kembali; OTI=olah tanah intensif; OTM=olah tanah minimum; TOT=tanpa olah tanah.
Sumber: Utomo (2000)


3.      Olah Tanah Konservasi Hutan Tanaman
      Hasil penelitian OTK pada tumpangsari - hutan tanaman (HT) oleh Mile dan Tjokrowardojo (1999) di PT.Inhutani V unit Lampung nmenunjukkan bahwa OTK dapat mereduksi biaya penyiapan lahan dan operasional pemeliharaan sekitar 25-30% . Disamping itu tanaman Eucalyptus urograndis dan Acasia mangium tumbuh lebih cepat dan subur dibandingkan dengan yang tanpa tanaman tumpangsari maupun tumpangsari - HT dengan pengolahan tanah intensif. Populasi gulma pada OTK tumpangsari - HT lebih rendah daripada OTI - HT, disamping itu tidak ada tanda-tanda terjadi erosi parit sebagaimana terjadi pada areal yang tanahnya diolah intensif. Keadaan yang sama juga dikemukakan oleh Sembodo dan Tjokrowardojo (2000) pada penelitian TOT tumpangsari Jagung - HT karet. Dari percobaan ini terjadi fenomena yang sangat menarik yaitu pada saat tanaman jagung berumur 70-80 HST terjadi serangan belalang Locusta migratoria. Belalang tersebut menyerang dan menghabiskan tanaman jagung pada areal yang tanahnya diolah intensif terlebih dahulu, sedangkan tanaman pada lahan TOT belum diserang sehingga dapat diamankan untuk dipanen (hasil 3 t/ha pipilan kering). Pengalaman PT. Musi Hutan Persada dalam menerapkan TOT tumpangsari Jagung - A. mangium dan Jagung –karet, selain diperoleh nilai tambah berupa panenan jagung sebanyak 5 t/ha pipilan kering, juga beberapa keuntungan lain seperti (1). tidak merusak struktur dan agregat tanah, (2). mereduksi biaya penyiangan sekitar 15-25 %, (3). jerami alang-alang dan gulma yang mati sebagai mulsa menekan pertumbuhan gulma sekunder, (4). tindakan konservasi tanah dan air yang praktis, efektif dan efisien, (5). terjadi percepatan waktu tanam jagung sehingga dapat menanam dua kali setahun, selama tiga tahun sejak awal pembangunan hutan tanaman (Ulum, 1999).
      Tjokrowardojo dan Pratiwi (2000) mencoba menganalisis finansial melalui pendekatan asumsi hasil penelitian dan realitas penalaran sehingga diperoleh gambaran bahwa penerapan TOT tumpangsari ubi kayu dengan E. urograndis maupun dengan A. Mangium dapat menghemat biaya sekitar Rp 170,000.00/ha, dan pendapatan meningkat sebesar 14,4% dibandingkan dengan sistem olah tanah konvensional (bajak dan garu).

4.      Penerapan OTK untuk mereklamasi lahan pasang surut Bonorowo
            Pembukaan lahan bonorowo padang gulma wlingi (Cyperus elatus) di kabupaten Purworejo biasa dilakukan oleh petani secara mekanis (gulma Wlingi ditebas, kumpulkan - bakar - olah tanah intensif – tanam bibit padi) pada musim penghujan (Januari – April) memerlukan waktu hampir dua bulan dengan hasil panen 7,86 t/ha GKP. Dengan kemampuan membuka lahan 700m2/KK.
            Hasil penelitian Tjokrowardojo, dkk. (1998) menunjukkan bahwa penerapan teknik OTK ( aplikasi herbisida glifosat - gulma wlingi mati diglebeg – tanpa olah tanah - tanam bibit padi), memerlukan waktu sekitar 3 minggu, dan memberikan hasil panen 8,16 t/ha GKP. Disamping mempercepat waktu tanam serta memperluas areal sawah yang ditanami, juga terjadi penghematan biaya sebesar 53,20% dibandingkan cara konvensional yang memerlukan biaya sebesar Rp 994.000,-/ha (Tabel 6).

Tabel 6. Biaya produksi dan hasil panen padi sawah pasang surut Bonorowo

Uraian
Cara petani (mekanisOTI)
Introduksi Olah Tanah Konservasi
I
II
III
Biaya (Rp/ha)
Biaya (Rp/ha)
Biaya (Rp/ha)
Biaya (Rp/ha)
Penyiapan Lahan
576.000,-
260.000,-
215.000,-
185.000,-
Sarana produksi
418.000,-
235.000,-
257,500,-
280.000,-
Total biaya
994.000,-
495.000,-
472.500,-
465.000,-
Hasil Panen (t/ha)
7,86
8,32
7,68
8,16
Sumber: Tjokrowardojo, dkk.(1977); OTI=Olah tanah intensif; TOT=Tanpa olah tanah
    I: aplikasi herbisida Glifosat – gulma wlingi mati-bakar - OTI – Tanam
  II: aplikasi Glifosat - wlingi mati ditebas-bakar – TOT – Tanam
 III: aplikasi Glifosat - wlingi mati diglebeg – TOT – Tanam


Pespektif Tenaga Kerja dalam Usahatani
            Kondisi tenaga kerja Nasional yang terkait dengan sektor pertanian menghadapi tantangan cukup berat, antara lainL1). Produktivitas rendah dibandingkan dengan tenaga kerja sektor industri, (2). keragaman kualitas sangat besar, (3). alokasi curahan tenaga kerja tidak sepenuhnya terfokus pada usaha pertanian, (4). Tingkat pendidikan semakin tinggi sehingga generasi muda untuk bekerja dibidang pertanian cenderung berkurang, (5). kesempatan kerja di sektor industri dan jasa lebih memiliki daya tarik, sehingga tenaga muda pedesaan keluar dari sektor pertanian.
            Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan mendukung pengembangan agribisnis, sudah barang tentu berbasis pada agribisnis pedesaan sehingga mampu bersaing di pasar regional maupun nasional. Disamping itu juga dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan sasaran aspek produksi, sosial ekonomi dan lingkungan melalui pendekatan pemberdayaan petani dan sumberdaya pedesaan.
            Teknologi OTK berorientasi pada aspek produksi, sosial ekonomi dan lingkungan kompatibel dengan teknik usaha tani konservasi, secara sinergi mewujudkan usahatani terpadu, efektif dan efisien menuju sistem produksi yang berkelanjutan dalam suatu wilayah pengembangan pertanian. OTK merupakan teknologi modern yang efektif dan efisien, sehingga memberikan wacana baru untuk menghapus image bahwa bertani merupakan pekerjaan kumuh, dan bersawah tidak harus berlumpur maupun berjemur sepanjang hari. Dengan menerapkan OTK- usahatani terpadu, generasi muda pedesaan akan mampu mengelola lahan secara optimal dan berlanjut tanpa khawatir akan merusak lingkungan dan produktivitas. Pada hakekatnya usahatani – OTK, berbagai jenis kegiatan
produktif lainnya dapat dilaksanakan secara keseluruhan dan sinergi dalam satu kesatuan waktu secara harmonis karena OTK mampu menghemat curahan tenaga kerja, waktu dan biaya produksi.
            Dibalik keuntungan dan keunggulan teknologi OTK, namun dalam pengembanganya di lapangan menghadapi beberapa kendala antara lain:
  1. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang olah tanah konservasi danupun usaha tani konservasi
  2. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman petani tentang herbisida baik jenis maupun kegunaannya
  3. Kebiasaan melakukan pengolahan tanah intensif setiap mengawali kegiatan usahatani, serta cenderung bertanaman monokultur
  4. Terbatasnya kemampuan dan daya beli petani untuk herbisida yang merupakan komponen utama dalam sistem OTK
  5. Motivasi dan gairah petani untuk beralih dari pertanian subsisten menuju pertanian komersial masih rendah
Kendala-kendala tersebut diatas tidak lepas dari mayoritas petani adalah berlahan sempit dengan kepemilikan berkisar antara 0,1 – 0,5 ha/KK.



PENUTUP

      Revolusi hijau yang bertumpu pada mekanisiasi untuk pengolahan tanah intensif mulai kehilangan semangat, karena dibalik kesuksesannya timbul kerugian tersembunyi berupa menurunnya produktivitas lahan akibat hilangnya bahan organik tanah, lapisan tanah atas oleh proses erosi yang dipercepat. Timbulnya gejala pelandaian produksi (tanaman pangan), bertambah luasnya lahan-lahan kritis merupakan akibat dari eksploitasi lahan secara berlebihan maupun pembalakan liar.
      Untuk membangun pertanian yang stabil perlu menerapkan teknologi yang berorientasi konservasi tanah dan air seperti usahatani konservasi (tumpangsari, rotasi tanaman, sistem tanam lorong) dan olah tanah konservasi (olah tanah minimum dan tanpa olah tanah)
      Keberhasilan suatu teknologi untuk diadopsi oleh pengguna (petani) perlu didukung melalui pembinaan kelompok tani, pengembangan kelembagaan secara holistik serta sarana penunjang yang tepat waktu dan terjadwal.

DAFTAR  PUSTAKA

Sutaryo, A. Dan A.S. Tjokrowardojo. 1998. Teknologi Tanpa Olah Tanah (TOT) suatu      Alternatif Mewujudkan Polatanam IP.300 di Kabupaten Purworejo. Balai     Informasi Penyuluhan Pertanian Purworejo.19 halaman

Ardjasa, W.S., Widyantoro, W. Hermawan and S. Asmono. 1994. Effect of No tillage        System with Polaris Herbicide (Glyphosate 24 % on Lowland Rice Production in            Irrigated Lowland Area. Conservation Tillage Discussion, 9 November 1994.           medan

Bergeret, A. 1977. Ecologically Viabble System of Production.
            Ecodevelopment New. 3 October 1977: 3-26.

Greenland, D.J. 1975. Bringing The Green Revolution to The Shifting Cultivatior.   Science, 20 November 1975. p. 841-844.

Haerah, A. 1991. Program Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Ditjen Tanaman       Pangan. Jakarta.

Lamid, Z., Harnel, Adlis dan W. Hermawan. 1998. Pengkajian Tanpa Olah Tanah            dengan            Herbisida Glifosat pada Budidaya Jagung di Lahan Kering.     Pros.Sem.Nas.VI        BDP-OTK. Padang.24-25 Maret 1998. p.497-500.
Sembodo, D.R.J. dan A.S.Tjokrowardojo. 2000. Penerapan Teknologi Tanpa Olah Tanah            pada Tumpangsari Jagung-Hutan Tanaman  di PT. Inhutani V Unit Lampung   Satuan Pemangku Hutan Muara Dua . 14 halaman.

Sudiman, A. 1988. Penggunaan Herbisida untuk Sistem Olah Tanah Minimal        pada    Perkebunan Karet Lahan PMK di Sumatera Selatan. Laporan Hasil      Penelitian Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi di Batumarta dan sembawa.        BPP Sembawa, p. 41-44.
------------, dan M.J. Rosyid. 1988. Pengendalian Alang-alang dengan         Herbisida        untuk Tanaman Pangan diantara Tanaman Karet Muda pada Lahan PMK.  Pros. Konf.IX HIGI di Bogor, 22-24 Maret 1988. Jilid I: 174- 187.

Tjokrowardojo, A.S., M. Arifin dan Soewardjo. 1998. Pengelolaan Lahan Bonorowo        Padang Gulma Wlingi (Cyperus elatus) melalui Sistem Tanpa Olah Tanah Padi      Sawah di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Prosid.Sem.Nas. VI BDP-OTK di     Padang 24-25 Maret 1998, p.351-355.

-------------------------, dan Pratiwi. 2000. Peluang dan Prospek Pola Tumpangsari Olah      Tanah Konservasi dalam Pembangunan Hutan Tanaman Berkelanjutan.         Pros.Sem.Nas.III. Pengembangan Wilayah Lahan Kering Unila, Bandarlampung.          3-4 Oktober 2000: 79-85.

Ulum, M.N. 1999. Pengalaman Teknologi Olah Tanah pada Areal Tumpangsari Hutan    Tanaman Industri, PT. Musi Hutan Persada. Makalah: Apresiasi dan Pelatihan        Aplikasi Teknologi TOT di areal HTI  PT.Inhutani V Unit Lampung; 13-14 Maret   1999. 5 halaman.

Utomo, M. 1990. Budidaya Olah Tanah Konservasi, Teknologi untuk Pertanian     Berkelanjutan. Dir.Prod.Padi dan Palawija Deptan. Jakarta

-------------.  1995. Sistem Olah Tanah Konservasi dan Pertanian Berkelanjutan.
            Sarasehan tentang Kebijakan Pertanian Berkelanjutan pada tanggal 9 Maret            1995 di Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Jakarta.

-------------.  1996. Bersawah Tanpa Olah Tanah.
            Panebar Swadaya Jakarta. 20 halaman

-------------. 1999. Pertanian dan Bimas Baru di Era Tahun 2000.
             Diskusi Panel Bimas Baru Tahun 2000. Deptan, Jakarta 4 Mei 1999.

-------------. 2000. Teknologi Olah Tanah Konservasi untuk Mendukung Pertanian   Berkelanjutan Berwawasan Agribisnis. Sem.Nas. VIII BDP-OTK Banjarmasin. 23-24 Agustus 2000: 10-24.

-------------. 2000. Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan.
            Pros. Sem. Nas. III.    Pengembangan Wilayah Lahan Kering, Bandarlampung,
            3-4 Oktober 2000: 8-22.

Wibawa, G., M.J. Rosyid dan A. Gunawan. 2000. Pola Tumpangsari pada Perkebunan    Karet. Puslit Karet. Balai Penelitian Sembawa. 39 halaman.

Wijewardene, R. 1980. Energy Conserving Farming System for The Humid Tropics           Agricultural Machanization in Asia. Spring: 47-53  

1 komentar:

  1. Terimakasih, artikel yang sangat bermanfaat, saatnya mengubah pola pikir petani.

    BalasHapus