Jumat, 28 Januari 2011

13. Kerusakan dan Hasil Kedelai Orba pada Berbagai Umur Tanaman dan Populasi Ulat Grayak (Spodoptera litura)


Arifin, M. 1988. Kerusakan dan hasil kedelai Orba pada berbagai umur tanaman dan populasi ulat grayak (Spodoptera litura), pp. 282-289. Dalam S. Hardjosumadi et al. (Eds). Seminar Balittan Bogor Tahun 1986. Vol. 1 (Palawija). Balittan Bogor.

Muhammad Arifin
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor


ABSTRACT

The Effect of Armyworm (Spodoptera litura) on the Yield of Orba Soybean Variety at Various Stages of Plant Growth. Five of plant growth, and their effect on plant damage, yield component, and yield of Orba soybean variety were studied. During the R2, R3, and R4 stages, plant damage due to armyworm decreased the pod number and yield, while during the R5 and R5-6 stages, the seed weight and yield decreased. During the R2 stage the yield
loss of soybean due to armyworm was higher than of the R5 and R5-6 stages but it was lower than that of the R3 and R4 stages. The economic injury level of armyworm at the R2, R3, R4, R5 and R5-6 stages was 2,2; 1,9; 1,9; 2,4 and 2,4 larvae per meter row, respectively.


Salah satu hama penting pada kedelai di Indonesia adalah ulat grayak, Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae). Hama ini menimbulkan kerusakan pada daun sehingga mengakibatkan kehilangan hasil.
Ulat grayak menyerang mulai pada pertanaman stadium vegetatif hingga pengisian biji. Kerusakan daun pada stadium pembungaan meningkatkan jumlah bunga yang gugur dan pada stadium pembentukan polong dan awal pengisian biji meningkatkan jumlah polong hampa (4).
Hubungan antara populasi hama dan hasil penting artinya dalam penentuan aras luka ekonomi (ALE) hama. Hubungan tersebut ditentukan oleh tingkat populasi hama, perilaku hama, stadium pertumbuhan tanaman dan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan hama dan tanaman (1).
Penelitian bertujuan mempelajari pengaruh inokulasi ulat grayak pada berbagai umur tanaman kedelai Orba terhadap kerusakan, komponen hasil dan hasil. Hasil penelitian digunakan untuk menentukan ALE ulat grayak.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada bulan Nopember 1985 - Maret 1986 di rumah kaca, Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Ulat grayak dari hasil koleksi di daerah Bogor, dipelihara secara alamiah dengan daun kedelai di laboratorium. Ulat generasi ke dua digunakan dalam penelitian ini.
Kedelai varietas Orba ditanam dalam pot berdiameter 21 cm dan tinggi 19 cm, sebanyak 2 batang per rumpun. Penanaman dilakukan 5 kali berturut-turut dengan interval 1 minggu. Tiap kali penanaman dibutuhkan 25 buah pot. Pupuk diberikan pada saat tanam sebanyak 330 mg urea, 560 mg TSP dan 380 mg ZK per rumpun.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah petak trrbagi. Petak utama adalah umur tanaman saat diinokulasi, yaitu 31, 38, 45, 52 dan 59 hari setelah tanam (hst) atau stadia tanaman saat diamati kerusakannya, yaitu R2, R3, R4, R5 dan R5-6. Anak petak adalah populasi ulat instar III sebanyak 0; 0,5; 1; 1,5 dan 2 ekor per tanaman. Tanaman disungkup dengan kurungan plastik tembus cahaya yang berventilasi kain kasa. Semua perlakuan diulang 5 kali. Pengamatan meliputi kerusakan tanaman, komponen hasil dan hasil.
Kerusakan tanaman dihitung setelah ulat nrenjadi prakepompong kira-kira 10 hari setelah inokulasi atau pada stadia R2, R3, R4, R5 dan R5-6. Penghitungan dengan metode McKinney (2) yang dimodifikasi sebagai berikut:
           k
           ∑  (ni X vi)
          i=1
P = ------------------  x 100 %
               ZN

di mana:
P  = tingkat kerusakan tanaman;
n  = jumlah daun pada skala ke-i;
Z  = nilai skala tertinggi;
N  = jumlah seluruh daun yang diamati

Nilai skala:
0  = tidak ada serangan;
1  = kerusakan <25%;
2  = kerusakan 25 – 50%;
3  = kerusakan 50 – 75%;
4  = kerusakan >75% dari luas daun yang diamati.

Komponen hasil dan hasil diamati segera setelah biji kedelai yang dipetik beratnya konstan. Pengamatan komponen hasil meliputi jumlah polong dan jumlah biji per tanaman serta berat 100 butir biji. Pengamatan hasil berupa berat biji lotal per tanaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kerusakan Tanaman

Hubungan antara populasi ulat grayak dan kerusakan tanaman pada R2, R3, R5 dan R5-6 dinyatakan dengan model regresi kuadratik (Gambar 1). Pada populasi antara 0-1,5 ekor per tanaman, kerusakan tanaman meningkat dengan makin tingginya tingkat populasi ulat. Pada populasi antara 1,5-2 ekor per tanaman, kerusakan tanaman mencapai maksimum karena adanya kompetisi di antara individu serangga.

Tingkat kerusakan tanaman pada stadia R2 dan R3 lebih tinggi daripada R4, R5 dan R5-6. Perbedaan tingkat kerusakan ini disebabkan oleh pertumbuhan daun yang berlainan. Pertumbuhan daun pada R2 dan R3 mendekati optimal, sedangkan pada R4, R5 dan R5--6 lewat optimal sehingga tingkat kerusakan pada R2 dan R3 lebih besar daripada R4, R5 dan R5-6.

Komponen Hasil

Jumlah polong dan jumlah biji pada R2, R3 dan R4 dipengaruhi oleh populasi ulat sedangkan pada R5 dan R5-6 tidak. Paela Rl, R3 dan R4, hubungan antara populasi 0-2 ekor ulat per tanaman dan jumlah polong serta jumlah biji, linier (Gambar 2 dan 3). Makin tinggi tingkat populasi ulat makin berkurang jumlah polong dan jumlah bijinya. Perbedaan pengaruh ulat pada berbagai umur tanaman ini disebabkan oleh respons tanaman terhadap gangguan pada proses pembentukan polong yang berlainan. Kerusakan daun pada R2, R3 dan R4 menyebabkan gugurnya bunga dan polong awal sehingga jumlah polong yang terbentuk menjadi berkurang. Akibatnya, jumlah biji yang terbentuk menjadi berkurang pula. Kerusakan daun pada R5 dan R5-6 tidak mengakibatkan berkurangnya jumlah polong dan biji karena pembentukan bunga sudah berakhir dan polong yang terbentuk relatif tahan terhadap pengguguran.
Bobot 100 butir biji pada R2, R3 tlan R4 tidak dipengaruhi oleh populasi ulat sedangkan pada R5 dan R5-6 dipengaruhi. Pada R5 dan R5-6, hubungan antara populasi 0-2 ekor ulat per tanaman dan berat 100 butir biji, linier. Makin tinggi tingkat populasi ulat makin kurang berat bijinya (Gambar 4). Perbedaan pengaruh ulat pada berbagai umur tanaman ini disebabkan oleh respon tanaman terhadap gangguan pada proses pertumbuhan biji yang berlainan. Kerusakan daun pada R5 dan R5-6 menyebabkan terganggunya proses pengiriman hasil fotosintesis untuk pembentukan biji sehingga berat biji menjadi berkurang. Pada R2, R3 dan R4 hasil fotosintesis masih digunakan untuk pertumbuhan bunga dan polong dan belum digunakan untuk pembentukan biji. Oleh karena itu, kerusakan daun pada ketiga stadia tersebut tidak mempengaruhi berat biji.

HASIL

Hubungan antara populasi 0-2 ekor ulat per tanaman dan hasil pada berbagai umur tanaman dinyatakan dengan model regresi linier (Gambar 5). Makin tinggi tingkat populasi ulat makin rendah hasilnya. Hasil pada R2 lebih tinggi daripada R3 dan R4, tetapi lebih rendah daripada R5 dan R5-6. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh respons tanaman terhadap gangguan pada proses pembentukan polong dan biji yang berlainan.
Kerusakan daun pada R2 meningkatkan jumlah bunga yang gugur sehingga menurunkan jumlah polong, jumlah biji dan hasil. Kerusakan daun pada R3, R5 dan R5-6 mengganggu ploses pengiriman hasil fotosintesis untuk pembentukan biji. Gangguan ini pada R3 dan R4 menurunkan jumlah polong isi, jumlah biji dan hasil sedangkan pada R5 dan R5-6 menurunkan berat biji dan hasil.

PENENTUAN ARAS LUKA EKONOMI

Aras luka ekonomi (ALE) ulat grayak ditentukan dengan prinsip impas (break-even) pengendalian hama, yaitu nilai kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk tindakan tersebut. ALE dihitung dengan metode Stone dan Pedigo (3) yang modikasi sebagai berikut:

1. Penentuan ambang perolehan, yaitu kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama, yang besarnya:

           Biaya pengendalian (Rp/ha)
     = --------------------------------------
               Harga kedelai (Rp/kg)

2. Penentuan persentase kehilangan hasil untuk ambang perolehan (langkah 1), yang besamya:

           Ambang perolehan (kg/ha)
     = -------------------------------------  X 100%
              Proyeksi hasil (kg/ha)

3. Penentuan hasil yang diperoleh setelah terjadi kehilangan hasil (langkah 2), yang besamya:

     = (100% - % kehilangan hasil) X nilai hasil pada kontrol.

4. Penentuan ALE ulat grayak yang diperoleh dengan memasukkan nilai hasil yang diperoleh setelah terjadi kehilangan hasil (langkah 3) ke dalam persamaan regresi 3) ke dalam persamaan regresi hubungan antara populasi ulat dan hasil pada stadium pertumbuhan tertentu.

Apabila biaya pengendalian untuk satu kali aplikasi insektisida monokrotofos 15 WSC sebesar Rp 20.000,-/ha (Tabel 1), harga kedelai Rp 550,-/kg dan proyeksi hasil sebesar 1.500 kg/ha, maka ambang perolehannya sebesar 36,4 kg/ha dengan kehilangan hasil sebesar 2,4%. Hasil yang diperoleh setelah terjadi kehilangan hasil pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman sebesar 4,84 g/tanaman. ALE ulat grayak pada R2, R3, R4, R5 dan R5-6 berturut-turut sebesar 0,184; 0,159; 0,159 0,202 dan 0,202 ekor ulat/tanaman, atau sebesar 2,2; 1,9 ; 1,9 ; 2,4 dan 2,4 ekor/meter baris tanaman ( 1 m baris= 12 tanaman).

Tabel 1. Perkiraan biaya pengendalian ulat grayak dengan insektisida monokrotofos 15 WSC. Bogor, MH 1985/86

Rincian
Jumlah (Rp/ha)
Insektisida (2,5 l)
8.750
Tenaga (9 orang)
6.750
Sewa alat semorot (9 buah)
4.500
Total biaya pengendalian
20.000

Penghitungan ALE tersebut bersifat statis yang hasilnya berlaku untuk situasi harga pasar tertentu. Dengan berubahnya harga pasar, maka ALE akan berubah pula. Untuk menentukan ALE ulat grayak di suatu saat, perlu diperoleh data sekunder mengenai besarnya biaya pengendalian dan harga kedelai pada saat itu. Dengan memasukkan komponen-komponen tersebut ke dalam langkah-langkah penentuan ALE di atas, ALE ulat grayak yang baru dapat ditentukan.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Tingkat kerusakan tanaman, komponen hasil dan hasil kedelai Orba dipengaruhi oleh umur tanaman dan tingkat populasi ulat grayak.
2. Kerusakan tanaman oleh ulat grayak pada R2. R3 dan R4 menurunkan jumlah polong dan hasil sedangkan pada R5 dan R5-6 menurunkan berat biji dan hasil.
3. Kehilangan hasil kedelai Orba oleh ulat grayak pada R2 lebih besar daripada R5 dan R5-6, tetapi lebih kecil daripada R3 dan R4.
4. Dengan mengasumsikan biaya pengendalian hama sebesar Rp 20.000,-/ha dan harga kedelai sebesar Rp 550,-/kg, maka ALE, ulat grayak pada kedelai Orba stadia R2, R3, R4, R5 dan R5 -6 berturut-turut sebesar 2,2; 1,9; 2,4 dan 2,4 ekor ulat/m baris tanaman.
5. Disarankan untuk melakukan penelitian serupa di lapangan dengan unit tanaman yang diperbesar dan menambah beberapa perlakuan antara 0-0,5 ekor ulat per tanaman agar respons tanaman terhadap serangan ulat grayak pada tingkat populasi rendah, tampak dan bias penelitian dapat diperkecil.

PUSTAKA

1. Bardner, R. and K.E. Fletcher. 1974. lnsect infestations and their effects on the growth and yield of field crops: a review. Bull. Ent. Res. 64: 141-60.
2. Horsfall, J.G. and A.E. Dimond. 1959. Plant pathology an advanced treatise. Academic Press, New York and London. 1: 99-142.
3. Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1972. Development and economic injury level of the green cloverworm on soybean in lowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.
4. Tengkano, W. and T. Sutarno. 1982. lnfluence of leaf attack at generative stage on yield of Orba soybean variety. Penelitian Pertanian. 2(2): 51-53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar