Sabtu, 29 Januari 2011

26. Daya Tahan Hidup Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) setelah Aplikasi Insektisida pada Kedelai


Arifin, M. 1991. Daya tahan hidup ulat grayak (Spodoptera litura F.) setelah aplikasi insektisida pada kedelai, pp. 141-148. Dalam S. Hardjosumadi et al. (Eds.). Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balittan Bogor, 21-22 Februari 1990. Volume 1.

Muhammad Arifin
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor


ABSTRACT

Survival Rate Common Cutworm (Spodoptera litura F.) after Application Insecticides on Soybean. An experiment was conducted to evaluate the after effect of insecticide application on the survival rate of the common cutworm in a soybean field. The experiment used a Randomized Completely Block Design with 3 replications. The treatments were: spraying plants by an insecticide and caging; spraying without caging, and unspraying and uncaging. The survival rate of cutworm in the sprayed plots were higher than that of in the unsprayed plots. Four species of predators were found in the soybean field, namely Selenopsis geminata, Lycosa pseudoannulata, Paederus fuscipes, and Oxyopes javanus. Their feeding abilities were 6, 5, 14, and 7 larvae of first to third instar per day, respectively. Parasitoid Snellenius sp. was also found in the that soybean field with the parasitism of 40%. It is suggested Paederus and Snellenius were used for controlling the cutworm larvae in the soybean field.



Untuk menyelamatkan kehilangan hasil panen kedelai akibat ulat grayak, Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae), petani kadang-kadang menggunakin insektisida dengan frekuensi seminggu 2 kali tanpa memperhitungkan populasi hama di lapang (7). Cara yang tidak bijaksana tersebut dapat menimbulkan kerugian, antara lain musnahnya musuh alami.
Hasil survai di 13 propinsi di Indonesia pada tahun 1987/88 menunjukkan bahwa musuh alami ulat grayak terdiri atas 4 jenis parasitoid, 1 jenis virus patogen dan puluhan jenis predator (5). Beberapa jenis musuh alami tersebut berpotensi dalam pengendalian ulat grayak. Oleh karena itu, usaha mengendalikan ulat grayak dengan insektisida harus memperhatikan keberadaan musuh alami di lapang.
Keterangan tentang laju daya tahan hidup pertanaman keclelai belum banyak diungkapkan. Hal tersebut berkaitan erat dengan peranan musuh alami dalam menurunkan populasi hama. Diduga bahwa laju daya tahan hidup ulat grayak setelah aplikasi insektisida pada pertanaman kedeiai tanpa musuh alami lebih tinggi dibanding dengan pertanaman kedeiai yang ada musuh alaminya.
Penelitian ini bertujuan menilai pengaruh setelah aplikasi insektisida pada pertanaman kedelai terhadap laju daya tahan hidup ulat grayak. Di samping itu, beberapa jenis musuh alami yang banyak dijumpai di lapangan diuji kemampuannya dalam menurunkan populasi ulat grayak.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada musim kemarau 1988 di Kebun Percobaiin Sub-Balai Penelitian Tanaman Pangan Mojosari Jawa Timur.
Ulat grayak diperoleh dari hasil koleksi di daerah Mojosari kemudian dipelihara secara alamiah di lapang dengan tanaman kedelai di pot berdiameter 2l cm yang disungkup dengan kurungan plastik tembus cahaya berdiameter 21 cm dan tinggi 100 cm. Kurungan dilengkapi dengan 3 buah lubang dinding dan sebuah lubang atap yang ditutup kain kasa untuk ventilasi. Penggantian pakan dilakukan dengan memindahkan ulat ke tanaman sehat sebelum daun kedelai habis. Kepompong yang terjadi dikoleksi dalam kotak plastik berukuran 18 x 13 x 8 cm yang berisi pasir. Ngengat yang muncul dipasangkan dalam kotak plastik yang dilapisi kertas filter untuk ngengat meletakkan telur. Larutan madu 10% dimasukkan ke dalam kotak sebagai pakan dan diganti setiap hari. Kelompok telur dikoleksi untuk bahan peneltian.
Benih kedelai varietas Wilis ditanam di lapang pada 9 buah petak berukuran 10 x 10 m2. Jarak tanam 40 cm x 20 cm dengan 2 tamanan per rumpun. Pupuk diberikan pada saat tanam sebanyak 50 kg N, 75kg P2O5 dan 50 kg K2O per hektar.

Laju Daya Tahan Hidup

Percobaan dilakukan di lapang dengan Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan terdiri atas 3 macam, yaitu (1) petak A, tanaman disemprot insektisida dan dikurung, (2) petak B, tanaman disemprot insektisida, tetapi tidak dikurung dan (3) petak C, tanaman tidak disernp.ot insektisida dan tidak dikurung . Tiap perlakuan diulang 3 kali.
Tanaman stadium pembentukan polong (R3-R4) pada petak A dan B disemprot insektisida monokrotofos dengan dosis rekomendasi sedangkan petak C tidak. Seminggu setelah penyemprotan, di semua petak ditentukan 3 unit contoh. Di tiap unit contoh pada petak B dan C diletakkan 1 kelompok telur (300-500 butir/kelompok) dan pada petak A diletakkan 7 kelompok telur. Peletakan telur dilakukan dipermukaan bawah helaian daun. Setelah telur diletakkan, tanaman pada petak A disungkap kurungan kain kasa berdiameter 21 cm dan tinggi 60 cm. Bagian bawah kurungan yang terbuka diikatkan ke batang tanaman. Tanaman pada petak B dan C diikat di bagian tengah tanaman.
Pengamatan meliputi jumlah telur yang menetas dan jumlah ulat tiap instar. Khusus di petak A, pengamatan dilakukan dengan membuka salah satu kurungan pada setiap waktu pengamatan dan setelah pengamatan, ulat dimatikan.

Peranan Musuh Alami

Percobaan terdiri atas 3 unit, yaitu (1) survai musuh alami di lapang, (2) daya mangsa predator di laboratorium dan (3) daya parasitisme parasit di lapang.
Survai musuh alami dilakukan di 2 petak percobaan, yaitu petak yang disemprot dan yang tidak disemprot insektisida. Pada tiap petak ditentukan 6 buah petak kecil berukuran 1 X 1 m2 secara acak sebagai ulangan. Pengamatan dilakukan di petak kecil, meliputi jumlah jenis musuh alami dan jumlah individu per jenis musuh alam. Data di kedua petak percobaan dibandingkan dengan analisis t-student.
Percobaan daya mangsa predator dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok yang disusun secara faktorial. Perlakuan faktor pertama terdiri atas 4 jenis predator, yaitu Solenopsis, Paederus, Lycosa dan Oxyopes, perlakuan faktor kedua terdiri atas 3 tingkat umur ulat, yaitu instar I, II dan III. Tiap perlakuan diulang 3 kali. Seekor predator dihadapkan kepada 50 ekor ulat gayak pada berbagai instar dalam kotak plastik. Ke dalam kotak dimasukkan daun kedelai untuk pakan ulat. Pengujian dilakukan 3 hari berturut-turut.
Setiap hari diamati jumlah ulat yang dimangsa predator dan setelah pengamatan, jumlah ulat yang dimangsa dan yang berganti kulit diganti. Sebagai kontrol, ulat pada berbagai instar dipelihara dalam kotak tanpa predator. Sebelum dianalisis, data dihitung dengan formula Abbott (1).
Percobaan daya parasitisme dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan terdiri atas 4 macam, yaitu telur, ulat instar I, II dan III. Tiap perlakuan diulang 3 kali. Beberapa kelompok telur dan ulat instar I, II dan III dikoleksi dari petak percobaan yang tidak disemprot insektisida. Kelompok telur dan ulat yang dikoleksi dipelihara di laboratorium. Parasitoid yang muncul dari telur maupun ulat dihitung kemudian diidentifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Laju daya tahan hidup ulat grayak pada tanaman yang disemprot insektisida dan dikurung (perlakuan A), yang disempror, tetapi tidak dikurung (perlakuan B) dan yang tidak disemprot dan tidak dikurung (perlakuan C) disajikan pada Gambar 1. Hasil analisis perbandingan ketiga macam perlakuan tersebut pada tiap instar disajikan pada Tabel 1.


Laju daya tahan hidup instar I pada ketiga perlakuan di atas relatif sama, yaitu berkisar antara 98,7 - 99,6%. Tetapi untuk uiat instar II-VI pada ketiga perlakuan tersebut berbebeda yaitu perlakuan A lebih tinggi daripada B dan C. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan peranan musuh alami pada kedua perlakuan tersebut. Tanaman pada perlakuan A disungkup sedangkan tanaman pada B dan C tidak disungkap kurungan sehingga peluang musuh alami untuk menyerang ulat pada perlakuan B dan C lebih besar.


Laju daya tahan hidup ulat instar II-VI pada perlakuan B tidak berbeda nyata, tetapi lebih tinggi daripada C. Perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh aplikasi insektisida terhadap keberadaan musuh alami di lapang. Apabila tanaman disemprot insektisida, musuh alami sebagai faktor pengendali populasi hama akan berkurang sehingga populasi hama tersebut akan tumbuh lebih baik daripada kalau tanaman tidak disemprot insektisida (Gambar 1).
Hasil survai jenis-jenis musuh alami pada pertanaman kedelai yang disemprot dan yang tidak disemprot insektisida disajikan pada Tabel 2. Jumlah jenis musuh alami pada 3 hari setelah aplikasi insektisida pada perlakuan tanpa insektisida lebih banyak daripada petak insektisida, tetapi jumlah jenis musuh alami total dari 13 kali pengamatan pada kedua petak, tidak berbeda nyata. Jumlah individu musuh alami pada 3 hari setelah aplikasi insektisida dan jumlah individu musuh alami total 13 kali pengamatan pada petak tanpa insektisida lebih banyak daripada yang pada petak insektisida. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa aplikasi insektisida berpengaruh merugikan terhadap kehadiran musuh alami. Oleh karena itu, sebelum dilakukan tindakan pengendalian dengan insektisida, di samping populasi hama, keberadaan musuh alami harus diketahui dan diperhitungkan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar dalam mengendalikan hama tidak timbul masalah lain yang menuntut ketergantungan yang semakin besar terhadap insektisida sebagai akibat musnahnya musuh alami. Jenis-jenis musuh alami yang banyak ditemukan di lapang, berturut-turut: semut api Solenopsis geminata Fabr. (Hymenoptera, Formicidae), lebah Snellenius sp. (Hymenoptera, Braconidae), laba-laba Lycosa pseudoannulata Boes. et Str. (Araneae, Lycosidae), kumbang Paederus fuscipes Curt. (Coleoptera, Stapilinidae), laba-laba Oxyopes javanus Thorell (Araneae, Oxyopidae). Keberadaan kelima jenis musuh alami tersebut di lapang disajikan pada Gambar 2.

Semut api Solenopsis berwarna coklat, mempunyai sengat yang menyakitkan. Antenna tersusun atas 10 ruas dengan 2 ruas ujung yang melebar. Semut betina berukuran panjang 8-9 mm. Semut ini menghuni ruang-ruang di dalam tanah di pematang sawah dan selokan. Semut api merupakan predator penting karena menyerang ulat yang sedang beristirahat di dalam tanah (4).
Lebah Snellenius merupakan parasitoid ulat grayak yang penting. Lebah ini bersifat endoparasitoid, membentuk kokon pada bagian luar tubuh ulat berumur sedang. Parasitoid ini mempunyai daya cari yang tinggi meskipun inangnya bersembunyi di tempat-tempat terlindung (4, 5).
Laba-laba Lycosa mempunyai susunan mata yang khas, yaitu 4 mata kecil pada deretan anterior, 2 mata besar pada deretan tengah dan 2 mata sedang pada deretan posterior. Tubuh laba-laba ini berukuran panjang 7,8 - 8,5 mm dan berwarna coklat tua. Hidupnya di permukaan tanah, tidak membuat jaring (2, 3).
Kumbang Paederus berbentuk ramping dengan ujung abdomen yang meruncing. Elytranya yang sangat pendek, hanya menutupi ruas abdomen I-III. Tubuhiya berwarna merah-hitam, mandibulanya panjang, ramping, tajam dan melintang di depan kepala (4).
Laba-laba Oxyopes mempunyai abdomen yang meruncing pada bagian posterior, mata tersusun atas 2 deretan, 2 mata kecil di bagian anterior dan 4 mata sedang di bagian posterior yang tersusun melengkung. Tubuh laba-laba ini berukuran panjang 6,8 – 9,2 mm dan berwarna kuning. Hidupnya di dedaunan dan tidak membuat jaring(2,3).
Hasil pengujian daya mangsa keempat jenis predator tersebut terhadap ulat instar I-III di laboratorium di sajikan pada Tabel 3. Di antara keempat jenis predator tersebut, daya mangsa Paederus tertinggi, yaitu 14 ekor/hari kemudian diikuti oleh Oxyopes, Solenopsis dan Lycosa, masing-masing sebesar 7, 6 dan 5 ekor/hari. Di antara ketiga instar ulat, yang paling disukai oleh empat predator tersebut adalah instar I kemudian diikuti oleh instar II dan III.
Hasil pengujian daya parasitisme Snellenius terhadap telur, ulat instar I, II, dan III di lapang disajikan pada Tabel 4. Parasitoid Snellenius dijumpai menyerang ulat instar I-III, tetapi tidak menyerang telur. Tingkat parasitisme ulat instar I dan II, masing-masig 40% dan 36%.
Berdasarkan hasil pengujian daya mangsa dan parasitisme, nyatalah bahwa kelima jenis musuh alami tersebut berperaaan dalam menurunkan populasi ulat grayak. Kelima jenis musuh alami tersebut, terutama Paederus dan Snellenius patut diperhitungkan sebagai salah satu komponen pengendalian ulat grayak. Sehubungan dengan itu, karena tindakan pengendalian dengan insektisida terbukti menurunkan jumlah jenis musuh alami dan jumlah individu per jenis musuh alami, maka insektisida sebaiknya digunakan bilamana perlu, sebagai pilihan terakhir apabila populasi hama tersebut tidak dapat dikendalikan dengan cara lain yang lebih aman. Insektisida tersebut haruslah digunakan secara selektif, dalam hal penentuan tingkat dosis, formulasi yang digunakan dan waktu aplikasinya. Dengan cara demikian, pelestarian musuh alami dapat dijamin (6).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian daya tahan hidup ulat grayak setelah aplikasi insektisida
pada kedelai di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Laju daya tahan hidup ulat grayak pada pertanaman kedelai yang tidak disemprot lebih rendah daripada yang disemprot insektisida.
2. Jenis musuh alami dan jumlah individu musuh alami pada pertanaman kedelai yang tidak disemprot lebih banyak daripada yang disemprot insektisida.
3. Musuh alami ulat grayak yang penting adalah predator semut api Solenopsis geminata, laba-laba Lycosa pseudoannulata, kumbang Paederus fuscipes dan laba-laba Oxyopes javanus serta parasitoid lebah Snellenius sp. Daya mangsa keempat jenis predator tersebut terhadap ulat grayak instar I-III berturut- turut sebanyak 6, 5, 14 dan 7 ekor per hari, dan daya parasitisme Snellenius terhadap ulat instar I-III sebesar 40%.
4. Disarankan untuk memanfaatkan musuh alami, terutama Paederus dan Snellenius dalam mengendalikan ulat grayak.

PUSTAKA

1. Abbott, W.S. 1928. A method of computing the effectiveness of an insecticide. J. Econ. Entomol. 18: 265-267.
2. Barrion, A.T. dan J. A. Litsinger. 1981. The spider fauna of Philippine rice agroecosystems: I. Dryland. Philipp. Ent. 5(1): 139-166.
3. Borror, D.J. dan D.M. Delong. 1970. An Introduction to the study of insects. Holt Rinehart and Winston Inc., London. 812 p.
4. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of crops in Indonesia. Revised and translated by P.A. van der Laan. Ichtiar Baru - van Hoeve, Jakarta. 701 p.
5. Okada, T., W. Tengkano dan T. Djuwarso, 1988. An outline on soybean pests in Indonesia in faunistic aspects. Seminar BORIF, 6 Desember 1988. 37 p.
6. Stehr, F.W. 1975. Parasitoids and predators in pest management, pp. 147-188. Dalam R.L. Metcalf dan W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New york.
7. Untung, K 1988. Pengembangan paket pengendalian hama terpadu pada tanaman kedelai, pp. 1-15. Dalam Laporan Rapat Komisi Perlindungan Tanaman, Departemen Pertanian. Bogor, 25-26 Oktober 1988. Buku II: Kumpulaun Makalah. Sekretariat Komisi Perlindungan Tanaman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar