Sabtu, 08 Januari 2011

107. Insektisida Biorasional untuk Mengendalikan Hama Kepik Coklat, Riptortus linearis pada Kedelai

Arifin, M., Y. Prayogo, dan D. Koswanudin. 2010. Insektisida biorasional untuk mengendalikan hama kepik coklat, Riptortus linearis pada kedelai. Seminar Nasional Kedelai pada tanggal 29 Juni 2010 di Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang



Muhammad Arifin1, Yusmani Parayogo2, dan Dodin Koswanudin1
1Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor
2Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang


ABSTRAK

Upaya pemerintah mencanangkan swasembada kedelai tahun 2014 dihadapkan kepada beberapa masalah, antara lain kemungkinan terjadinya penurunan produksi akibat serangan hama. Kepik coklat, Riptortus linearis merupakan salah satu serangga pengisap polong yang berstatus hama penting pada kedelai. Untuk mengatasi masalah hama secara berkelanjutan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang penggunaan produk dan teknologi pengendalian hama berwawasan lingkungan yang meminimalkan dampak negatif terhadap serangga berguna, khususnya musuh alami. Produk tersebut, antara lain insektisida biorasional, misalnya pestisida nabati serta beberapa jamur patogen serangga (Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, dan Verticillium lecanii). Makalah ini membahas bioekologi dan dasar pengendalian kepik coklat serta potensi dan pengembangan insektisida biorasional sebagai suatu inovasi teknologi pengendalian hama kepik coklat. Melalui teknologi ini, persepsi petani tentang masalah hama dan kebergantungannya pada penggunaan insektisida kimiawi, diharapkan dapat dikurangi sehingga tujuan pengembangan sistem pertanian berkelanjutan dapat tercapai, khususnya dalam mendukung swasembada kedelai.
Kata kunci: Kedelai, Riptortus linearis, Insektisida biorasional.


ABSTRACT

Biorational Insecticides for Control of The Pod Sucking Bug, Riptortus linearis on Soybean.  Government commitments in attempting to achieve for soybean self-sufficient in 2014 are faced with decreasing crop production due to pest infestations. Pod sucking bug, Riptortus linearis is one of the most important insect pests on soybean. To carry out long-term solutions to pest problems, the government emphasizes the use of selective products that provide control while preserving the ecological health of the farm and minimizing negative effects on beneficial insects that suppress pests. Among other things, by using biorational insecticides, e.g. botanical insecticides and several entomogenous fungi (Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, and Verticillium lecanii). The aim in this series of presentations is to discuss the bioecology and control basis of pod sucking bug, and potency and development of biorational insecticides as a technology innovation to control pod sucking bug. Through the technology, farmer’s perceptions of the pest problem and pest control relied on unnecessary chemical insecticide use can be reduced, and the goal of developing sustainable agricultural systems that are ecologically and economically sound can be reached, especially in supporting self-sufficient for soybean productions.
Key words: Soybean, Riptortus linearis, Biorational insecticide.



PENDAHULUAN

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama setelah padi dan jagung. Selama periode 2005-2008, produksi kedelai di Indonesia 593-808 ribu ton, sedangkan kebutuhan konsumsinya lebih-kurang 9 kg/kapita/tahun, sehingga pada tahun 2007 harus mengimpor 1,3 juta ton. Berdasarkan posisi produksi kedelai tahun 2009 lebih-kurang 1 juta ton, maka pada tahun 2014 pemerintah mencanangkan swasembada kedelai dengan target produksi 2,7 juta ton. Target swasembada kedelai ini berpotensi tercapai, antara lain karena a) petani mulai bergairah kembali bertanam kedelai, mengingat harga kedelai yang tinggi, Rp 6-8 ribu/kg, b) tersedianya teknologi tepat guna, termasuk 64 varietas unggul baru kedelai yang produktivitasnya 2,0-2,5 ton/ha, dan c) adanya dukungan pemerintah, terutama program perluasan lahan baru 2 juta ha dan penyediaan pupuk sesuai kebutuhan selama 5 tahun. Tercapainya target swasembada kedelai ini diharapkan dapat memenuhi permintaan dalam negeri dan mengurangi impor kedelai (Kementerian Pertanian, 2009). 
Salah satu masalah dalam upaya meningkatkan produksi kedelai adalah serangan hama. Ada 111 jenis serangga hama kedelai di Indonesia (Okada et al., 1988), salah satu di antaranya adalah kepik coklat, Riptortus linearis (F.) (Heteroptera: Alydidae). Hama pengisap polong ini berstatus penting karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 80%, bahkan puso bila tidak dikendalikan (Marwoto, 2006). Untuk mengatasi masalah hama, umumnya petani menggunakan insektisida secara berlebihan, sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif, antara lain musnahnya musuh alami dan munculnya gejala resistensi hama terhadap insektisida. Oleh karena itu, upaya pengendalian hama harus didasarkan atas konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Penggunaan insektisida dibenarkan bila dari segi ekonomi, manfaat yang diperoleh sekurang-kurangnya sama dengan biaya pengendalian hama, dan dari segi ekologi, bila komponen ekosistem, baik fisik maupun biologis, tidak mampu menekan populasi hama dan mempertahankannya pada tingkat keseimbangan rendah. Kedua dasar penggunaan insektisida tersebut melahirkan gagasan tentang konsep ambang ekonomi (economic threshold).
Ambang ekonomi adalah tingkat populasi hama yang harus segera dilakukan tindakan pengendalian untuk mencegah meningkatnya populasi hama mencapai tingkat kerusakan ekonomi (economic injury level) (Stern et al., 1959). Konsep tersebut telah dikembangkan oleh para pakar sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian hama, baik dengan insektisida kimiawi maupun insektisida biorasional, yakni suatu satu tipe insektisida dari bahan alami, antara lain berkatagori nabati dan mikroba (bakteri, virus, nematoda, jamur, dan protozoa).
Makalah ini mendiskusikan suatu inovasi teknologi insektisida biorasional untuk mengendalikan kepik coklat dalam rangka mendukung swasembada kedelai 2014. Dengan diterapkannya teknologi ini, diharapkan, insektisida biorasional dapat menjadi andalan masa depan untuk menggantikan peranan insektisida kimiawi sehingga kebergantungan petani kepada insektisida kimiawi dapat dikurangi.

BIOEKOLOGI Kepik coklat Dan PENGENDALIANNYA
Bioekologi
Imago kepik coklat memiliki bentuk seperti walang sangit dengan ciri khas, yakni adanya duri-duri (spiny) pada paha belakang dan garis putih-kekuningan pada bagian lateral dari tubuhnya. Panjang tubuh imago betina 13-14 mm dan imago jantan 11-13 mm. Abdomen imago betina membesar dan menggembung, sedangkan abdomen imago jantan meramping. Umur imago 4-47 hari. Seekor imago betina memproduksi telur rata-rata 70 butir dalam 14 hari. Telur berwarna coklat tua, berbentuk silindris dengan bagian tengah agak cekung. Telur diletakkan secara berkelompok dalam dua deretan pada permukaan bawah daun dengan 3-5 butir/kelompok. Telur menetas setelah berumur seminggu. Nimfa berlangsung 19 hari, terdiri atas lima instar. Nimfa muda (instar I-III) mirip semut. Nimfa instar I berwarna kemerah-merahan hingga coklat kekuning-kuningan, umurnya 1-3 hari dan panjang badannya 2,6 mm. Nimfa instar II berwarna coklat kekuning-kuningan hingga coklat tua, umurnya 2-4 hari dan panjang badannya 3,4 mm. Nimfa instar III berwarna kemerah-merahan hingga coklat, umurnya 2-6 hari dan panjang badannya 6,0 mm. Nimfa instar IV berwarna kemerah-merahan hingga hitam agak abu-abu, umurnya 5-8 hari dan panjang badannya 9,9 mm. Perkembangan dari telur sampai imago berlangsung 29 hari. Kepik coklat tersebar luas di Asia Tenggara. Selain kedelai, tanaman inang kepik coklat juga berbagai jenis kacang-kacangan, seperti Tephrosia spp, Acacia villosa, dadap, Desmodium spp., Solanaceae, Convolvulaceae, dan Crotalaria spp. (Kalshoven, 1981; Tengkano dan Soehardjan, 1985).
Imago dan nimfa merusak polong dan biji. Caranya dengan menusukkan stiletnya ke kulit polong hingga mencapai biji kemudian mengisap cairan biji tersebut. Serangan pada polong muda menyebabkan biji mengerut dan menyebabkan polong gugur. Serangan pada fase pembentukan dan pertumbuhan polong menyebabkan biji dan polong kempis kemudian mengering. Serangan pada fase pengisian biji menyebabkan biji hitam dan busuk, dan serangan pada polong tua dan biji-bijian telah mengisi penuh menyebabkan kualitas biji turun oleh adanya bintik-bintik hitam pada biji atau kulit biji menjadi keriput (Turnipseed dalam Tengkano dan Soehardjan, 1985).
Dasar Pengendalian
Sampai saat ini, sebagian petani mengendalikan kepik coklat dan hama pada umumnya berdasarkan pengalaman praktis. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya informasi tentang ambang ekonomi (AE) hama. Dasar pengendalian hama menurut petani ini kurang akurat, namun lebih maju bila dibandingkan dengan dasar pengendalian secara berjadwal.
Penentuan AE dimulai dengan penghitungan nilai tingkat kerusakan ekonomi (TKE) berdasarkan prinsip break-even point, yakni kesetaraan antara nilai manfaat kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dan biaya pengendalian hama (Stone dan Pedigo, 1972). Prinsip tersebut telah diterapkan untuk kepik coklat (Arifin dan Tengkano, 2008).
Penghitungan nilai TKE kepik coklat didasarkan atas data a) persamaan regresi y = - 0.007 + 1,746 x ; r = 0,998 ** [y= tingkat kehilangan hasil (%); x= populasi kepik coklat (ekor/10 rumpun) pada berbagai stadia serangga dan umur tanaman kedelai]; b) potensi hasil panen kedelai 2.731 kg/ha; c) harga kedelai di tingkat petani Rp 6.000/kg; d) harga insektisida dan biaya aplikasinya Rp 400.000,00/ha; dan e) efektivitas pengendalian hama 80%. Nilai TKE kepik coklat pada berbagai stadia kepik dan umur tanaman dinyatakan dengan persamaan regresi berganda y = 2,328 + 0,008 x1 – 0,717 x2 ; R2= 0,974** [y= nilai TKE kepik coklat (ekor/10 rumpun); x1= biaya pengendalian (X Rp 1.000/ha);  x2= harga kedelai (X Rp 1.000/kg)]. Apabila biaya pengendalian kepik coklat Rp 400.000/ha dan harga kedelai Rp 6.000/kg, maka nilai TKE kepik coklat sebesar 1,2 ekor/10 rumpun. Karena kedudukan AE berada di bawah TKE, maka nilai AE kepik coklat ditentukan sebesar 1,0 ekor/10 rumpun atau 80% dari nilai TKE. 
Untuk menentukan apakah populasi kepik coklat telah melampaui AE, kegiatan pemantauan harus dilakukan secara berkala agar populasi kepik coklat tidak terlambat dikendalikan. Umumnya, kepadatan populasi hama tidak ditentukan dengan cara menghitung banyaknya individu serangga hama secara keseluruhan, tetapi dengan cara penarikan contoh pada beberapa unit tanaman, baik secara acak maupun sistematik, bergantung pola sebaran populasi serangga (Ruesink 1980).
Hasil percobaan di Bogor menunjukkan bahwa pada tanaman umur 50, 56, 62, 68 dan 72 hari setelah tanam (HST), telur tersebar secara acak sehingga penarikan contohnya acak. Nimfa tersebar secara berkelompok sehingga penarikan contohnya dilakukan pada empat dari lima unit contoh berukuran 2 m x 1 m yang ditentukan secara acak di sepanjang dua garis diagonal lahan. Berdasarkan pola sebaran dan AE kepik coklat (1,0 ekor/rumpun), teknik penarikan contoh beruntun (sequential sampling) dapat disusun. Jika pada 50 HST, total populasi serangga melebihi batas bahaya (upper limit), insektisida harus diaplikasikan dua kali pada 50 and 70 HST. Jika total populasi kurang dari batas aman (lower limit), insektisida diaplikasikan sekali pada 50 atau 70 HST. Jika populasi di antara batas aman dan bahaya, insektisida harus diaplikasikan lebih awal, pada 50 HST (Tengkano dan Karmawati, 1989).
Strategi Pengendalian
Ada empat strategi yang dapat dikembangkan untuk menurunkan status hama kepik coklat ke tingkat yang dapat ditoleransikan, yakni (Hein, 2003):
1. Strategi tanpa pengendalian
Dalam suatu agroekosistem, apabila komponen penyusunnya tidak mengalami perubahan permanen, maka populasi hama cenderung berfluktuasi dalam keadaan seimbang karena diatur, antara lain oleh musuh alami. Dalam ekosistem yang seimbang tersebut, populasi hama berada jauh di bawah AE sehingga strategi yang diterapkan adalah tidak melakukan tindakan pengendalian.
2. Strategi menurunkan populasi hama
Strategi ini diterapkan untuk dua situasi. Pertama, bila berdasarkan pengalaman, populasi kepik coklat akan melampaui AE, maka untuk tujuan preventif, sebelum tanam harus dilakukan rotasi tanaman, pemusnahan inang alternatif, perubahan waktu tanam, atau tindakan lain yang merubah lingkungan menjadi tidak disukai kepik coklat. Kedua, bila secara normal, populasi kepik coklat akan berada di atas AE sepanjang musim, maka untuk tujuan kuratif, harus disiapkan tindakan menurunkan populasi hama secara drastis. Ini dapat dilakukan dengan cara a) mengganti lingkungan sehingga menjadi kurang menguntungkan bagi hama, b) melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian atau menghambat reproduksi, antara lain dengan insektisida kimia atau insektisida biorasional.
3. Strategi mengurangi kerentanan tanaman terhadap hama
Upaya mengurangi kerentanan tanaman terhadap hama merupakan strategi yang efektif, ekonomis, dan aman lingkungan. Strategi ini tidak mengurangi populasi hama secara langsung, tetapi sangat berarti karena tanaman dapat menolak atau mentolerir hama. Upaya ini dapat disertai dengan meningkatkan vigor tanaman melalui pengairan tepat waktu dan pemupukan. Sampai saat ini, varietas kedelai tahan kepik coklat belum ditemukan. Perakitan varietas tahan dengan tetua galur-galur IAC-100 dan IAC-80-596-2 (Suharsono, 2006) yang memiliki sifat antixenosis diharapkan dapat mengurangi kerentanan tanaman terhadap kepik coklat.
4.   Strategi kombinasi upaya penurunan populasi hama dan kerentanan tanaman
Upaya mengkombinasikan beberapa teknik yang cocok untuk mengendalikan hama merupakan pendekatan yang menguntungkan karena jika satu teknik gagal, teknik lainnya dapat membantu mengendalikan hama.
Teknik Pengendalian
Ada beberapa teknik pengendalian yang dapat digunakan secara terpadu untuk menurunkan status hama kepik coklat.
1.      Pengendalian dengan teknik budidaya (cultural control).
Teknik pengendalian ini adalah suatu usaha memanipulasi agroekosistem untuk membuat lingkungan pertanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembang-biakan hama, serta menyediakan habitat bagi organisme menguntungkan. Beberapa teknik budidaya, antara lain:
a.       Pergiliran tanaman untuk memutus rantai makanan bagi hama. Misalnya, pergiliran tanaman kedelai dengan jagung atau padi yang dapat mengatasi masalah hama karena masing-masing memiliki kompleks hama berbeda (Leslie dan Cuperus, 1993).
b.      Penanaman dalam barisan (strip cropping). Misalnya, menanam kedelai dan jagung secara berselang-seling pada petak berbeda (Leslie dan Cuperus, 1993). Teknik ini dapat meningkatkan keragaman sehingga tanaman inang tersamarkan dari serangan hama. Selain itu, tanaman dapat berfungsi sebagai tempat berlindung dan sumber pakan bagi organisme berguna.
c.       Penanaman varietas hasil perakitan galur-galur IAC-100 dan IAC-80-596-2 yang memiliki sifat antixenosis berupa ketebalan kulit polong dan kerapatan trikoma yang dapat mengurangi banyaknya luka tusukan stilet kepik coklat dan kepik pengisap polong lainnya (Suharsono, 2006).
d.      Penanaman tanaman perangkap, yakni kacang hijau varietas Merak dan Sesbania rostrata yang dikombinasikan dengan insektisida deltametrin untuk kepik coklat dan pengisap polong lainnya (Tengkano et al. 1994a).
2.      Pengendalian hayati.
Pengendalian hayati adalah penggunaan musuh alami (parasitoid, predator, dan patogen serangga) untuk mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang merugikan tanaman. Musuh alami akan bekerja baik dalam mengendalikan hama apabila ekosistem tidak terganggu, terutama oleh penggunaan pestisida secara berlebihan. Pemanfaatan musuh alami kepik coklat dapat dilakukan melalui dua cara, yakni a) konservasi musuh alami, misalnya parasitoid telur, Gryon nigricorne (Higuchi et al., 1999) serta predator telur, Dolichoderus sp., Solenopsis geminata, dan Paederus sp. (van den Berg et al., 1995), dan b) augmentasi melalui perbanyakan dan aplikasi beberapa jamur patogen serangga, seperti Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Nomuraea rileyi, dan Verticillium lecanii.
3.      Pengendalian mekanis dan fisik
Teknik pengendalian ini bertujuan mengurangi populasi hama dengan cara mengganggu fisiologi serangga atau mengubah lingkungan menjadi kurang sesuai bagi hama. Contoh, menjumputi kelompok telur serta menangkap nimfa dan imago dengan jaring serangga kemudian membinasakannya.
4.      Insektisida
Insektisida kimia merupakan pilihan terakhir dalam usaha mengendalikan hama karena berpotensi menimbulkan dampak negatif. Insektisida harus digunakan sesuai kebutuhan, pada waktu spesifik dalam siklus hidup hama, dan bila cara lain, seperti pengendalian hayati atau teknik budidaya, gagal menjaga populasi hama pada tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi. Insektisida tersebut selain efektif, juga harus selektif terhadap satu atau beberapa jenis hama saja, dan residunya berumur pendek. Beberapa jenis insektisida kimia yang dianjurkan untuk mengendalikan kepik coklat, antara lain deltametrin dan klorpirifos karena masing-masing mampu mempertahankan hasil panen 61,6% dan 45,3% (Tengkano et al., 1994b).

Potensi dan pENGEMBANGAN INSEKTISIDA BIORASIONAL

Potensi
Insektisida biorasional merupakan salah satu tipe insektisida dari bahan alami yang rasional secara biologis. Tipe insektisida ini berkatagori nabati, mikroba (bakteri, virus, nematoda, jamur, dan protozoa), feromon, atau pengatur pertumbuhan serangga. Insektisida biorasional memiliki target hama spesifik, umur residu pendek, persistensi singkat, aman terhadap lingkungan, termasuk musuh alami dan organisme bukan sasaran sehingga cocok untuk diterapkan dalam program PHT (Williamson, 1999).
Insektisida nabati adalah ekstrak tanaman yang mempunyai sifat-sifat insektisida. Azadirachtin yang diekstrak dari daun dan biji mimba (Azadirachta indica A. Juss) merupakan salah satu metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif insektisida. Azadirachtin berperan sebagai penghambat pertumbuhan dan proses metamorfosis, penghalang kegiatan makan, penolak kehadiran serangga (repellent), dan pemandul serangga (sterillant) (Shetlar dan Hale, 2008). Insektisida nabati dibuat dari daun mimba (60 g) + lengkuas (45 g) + sereh (45 g) + detergen (15 g) yang ditumbuk kemudian direndam dalam 150 ml air selama 24 jam setelah itu disaring. Larutan diencerkan dengan 45 l air. Konsentrasi larutan 300 ml/l air yang disemprotkan ke tanaman seluas 75 m2 pada 51, 58, 65, dan 72 HST efektif terhadap kepik coklat, masing-masing dengan tingkat serangan 27,5%, 22,5%, 10%, dan 5%. Hasil panen aplikasi ini sebesar 2,09 t/ha atau 53,7% lebih tinggi daripada kontrol, yakni 1,36 t/ha (Sinaga, 2009).   
Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. merupakan jamur patogen pada berbagai jenis serangga yang terdapat di dalam tanah sebagai jamur saprofit. Jamur ini menginfeksi tubuh serangga inang melalui kulit. Inokulum jamur yang menempel pada kulit akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah kemudian menembus kulit tubuh. Penembusan dilakukan secara mekanis dan/atau kimiawi melalui enzim atau toksin. Proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi dan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Serangga mati dengan tubuh mengeras seperti mumi berwarna putih. Setelah itu spora akan diproduksi untuk menginfeksi inang lainnya melalui transmisi horizontal (inter/intra generasi).
B. bassiana bersifat patogenik terhadap kepik coklat. Konsentrasi 2,2×108 konidia/ml dapat mematikan nimfa instar III, IV, dan V, serta imago, berturut-turut 52,1%, 78,2%, 70,2%, dan 32,1%. Nimfa instar IV dan V lebih rentan dibanding instar III dan imago. Dalam kisaran konsentrasi 4,5×103 hingga 4,5×108 konidia/ml, makin tinggi konsentrasi, makin tinggi pula kematian kepik coklat. Isolat yang berasal dari kepik coklat mati, virulen terhadap kepik coklat. Pada suhu ≥ 250 C, patogenisitas B. bassiana menurun dengan meningkatnya suhu. Ini karena pengaruh yang merugikan terhadap perkecambahan/sporulasi konidia. Konidia yang mendapat paparan sinar ultra-violet (UV) mereduksi patogenisitas B. bassiana terhadap kepik coklat (Hu et al., 1966).
Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sor. adalah jamur patogen pada berbagai jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah. Jamur ini memiliki kapasitas reproduksi tinggi, siklus hidup pendek, dapat membentuk spora yang tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan tidak terjadi resistensi (Hall, 1973). Spora (disebut juga konidia) yang kontak dengan tubuh serangga inang akan berkecambah kemudian mempenetrasi kutikula dan berkembang dalam tubuh serangga yang mengakibatkan kematian. Pengaruh mematikan ini dibantu oleh racun yang disebut destruxin kemudian menjadi hijau bila kelembaban cukup tinggi (Wikipedia, 2009). Jamur patogen serangga ini mampu menginfeksi serangga yang mempunyai tipe mulut menusuk dan mengisap, seperti kepik coklat (Sumartini, 2001). Selain itu, jamur ini mudah diperbanyak dan dapat mengakibatkan kematian nimfa 40-60% (Villacarlos et al., 2004). 

Verticillium lecanii (Zimm.) adalah sejenis jamur yang bersifat parasit, namun akan berubah menjadi saprofit bila kondisi tidak menguntungkan, misalnya dengan hidup pada serasah atau sisa-sisa hasil pertanian (Tanada dan Kaya 1993). Jamur mudah tumbuh pada berbagai media, terutama potato dextrose agar (PDA) dan beras dengan koloni berwarna putih pucat. Jamur ini memproduksi senyawa metabolit, seperti cyclodepsipeptide dan dipicolinic acid yang sangat virulen terhadap beberapa jenis serangga hama (Cloyd, 2003). Jamur dengan kerapatan konidia 107/ml atau setara dengan 200 g biakan jamur umur 2 minggu setelah inokulasi dalam 5 liter air yang diaplikasi pada sore hari efektif terhadap kepik coklat, khususnya nimfa instar I dan II dengan tingkat kematian 72-80%. Kematian nimfa instar lebih tua dan imago lebih-kurang 28% karena mobilitasnya lebih tinggi dan integumennya lebih keras sehingga konidia lebih sulit masuk ke dalam tubuh inang. Selain itu, jamur ini mampu menginfeksi telur dan menyebabkan telur yang tidak menetas mencapai 59%. Walaupun telur mampu menetas membentuk nimfa instar I, kelangsungan hidup nimfa hanya 21%  (Prayogo dan Suharsono, 2005).
Feromon serangga adalah senyawa yang dihasilkan oleh serangga betina dan merupakan sarana komunikasi dengan serangga lain dari spesies sama. Feromon digunakan oleh serangga untuk daya tarik seksual, berkumpul, berpencar, peletakan telur, dan tanda peringatan. Khusus seks feromon, ada empat kegunaannya dalam program pengendalian hama, yakni sebagai bahan perangkap, monitoring penerbangan, deteksi dan monitoring populasi, serta pengganggu perkawinan bagi serangga jantan (Williamson, 1999). Umumnya senyawa ini tidak digunakan secara efektif untuk mengendalikan hama, tetapi digunakan sebagai bahan perangkap dalam kegiatan pemantauan populasi hama. Hasil penelitian Mizutani (2006) mengemukakan bahwa ada tiga komponen feromon aggregasi dari kepik R. clavatus, yakni  (E)-2-hexenyl (E)-2-hexenoate, (E)-2-hexenyl (Z)-3-hexenoate (E2HZ3H), and tetradecyl isobutyrate.
Pengembangan
Secara umum, insektisida biorasional berfungsi sebagai: a) alternatif cara pengendalian hama yang efektif, ramah lingkungan, dapat menstabilkan populasi hama, dan menjamin pendapatan petani, b) teknik pengendalian yang kompatibel dengan teknik pengendalian lainnya, termasuk insektisida kimiawi, dan c) andalan masa depan untuk menggantikan peranan insektisida kimiawi dalam mengendalikan hama. Manfaat lain dari insektisida biorasional, antara lain: a) mengatasi masalah keresistensian hama terhadap insektisida kimiawi, b) mengurangi kebergantungan cara pengendalian dengan insektisida kimiawi, dan c) mendukung pengembangan budidaya pertanian yang ramah lingkungan dan ekonomis.
Di Indonesia, insektisida biorasional belum dimanfaatkan secara luas, meskipun telah diketahui potensi biotiknya tinggi, efektif, dan telah berhasil diperbanyak dengan biaya relatif murah sehingga memiliki prospek untuk diproduksi dalam skala industri (komersial). Untuk itu dibutuhkan beberapa keahlian yang bekerja dalam suatu program kerjasama antar lembaga mengenai (Dent, 2000): a) Eksplorasi, identifikasi, dan seleksi isolat patogen serangga berdasarkan virulensi dan stabilitasnya di lingkungan, b) Teknik produksi massal patogen serangga untuk dijadikan insektisida biorasional yang biayanya murah dan kualitasnya terjamin, c) Teknik formulasi yang dapat meningkatkan stabilitas insektisida biorasional dari pengaruh cekaman lingkungan (kelembaban, suhu, dan sinar ultra violet), d) Teknik pengemasan dan penyimpanan insektisida biorasional yang dapat mempertahankan potensinya, minimum setahun, e) Teknik aplikasi yang menjamin infeksi dan kematian serangga hama, f) Studi ekologi interaksi serangga dengan patogennya mengenai perilaku makan serangga, perilaku serangga setelah infeksi, dan siklus sekunder dari patogen serangga, g) Registrasi insektisida biorasional untuk mendapatkan ijin peredaran dari pemerintah, dan h) Proses komersialisasi oleh perusahaan yang sesuai.
Faktor Pendukung
Dalam upaya mengembangkan teknologi pengendalian kepik coklat dengan insektisida biorasional, dibutuhkan beberapa faktor pendukung, antara lain: a) komitmen pemerintah dan pihak swasta yang memfasilitasi upaya memproduksi insektisida biorasional, b) sosialisasi pentingnya insektisida biorasional sebagai suatu komponen penting dari kegiatan penyuluhan dan pendidikan petani melalui SLPTT, dan c) koordinasi antara peneliti, penyuluh, dan kelompok tani dalam merencanakan dan mengimplementasikan program PHT, sesuai kebutuhan dan tujuan terkait dengan sistem PHT.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa kepik coklat dinyatakan layak dikendalikan apabila berdasarkan hasil pemantauan, populasinya telah mencapai AE. Pada keadaan tersebut, strategi pengendaliannya harus ditujukan untuk menurunkan status hama, menjamin pendapatan, melestarikan lingkungan, dan menyelesaikan masalah hama secara berkelanjutan.
Berbagai teknik pengendalian yang tersedia dan sesuai kebutuhan petani telah digunakan secara terpadu untuk mengatasi masalah kepik coklat. Namun kenyataannya, petani masih saja bertumpu pada insektisida kimia. Hal ini disebabkan, antara lain oleh belum tersedianya produk atau teknik produksi insektisida biorasional di tingkat petani.
Dalam upaya mengembangkan teknologi pengendalian kepik coklat dengan insektisida biorasional, khususnya insektisida nabati dan jamur patogen serangga (B. bassiana, M. anisopliae dan V. lecanii), dibutuhkan serangkaian pengetahuan dan informasi, baik konseptual maupun teknis serta dukungan instansi pemerintah dan swasta agar mudah diadopsi petani. Harapannya, insektisida biorasional dapat menjadi andalan masa depan untuk menggantikan peranan insektisida kimiawi sehingga kebergantungan petani kepada insektisida kimiawi dapat dikurangi.



DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. dan W. Tengkano. 2008. Tingkat kerusakan ekonomi hama kepik coklat pada kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 27(1): 47-53.
Cloyd, R. 2003. The entomopathogen Verticillium lecanii. Midwest Biological Control News. University of Illinois. http://www.extension.umn.edu/ distribution/ horticulture/DG7373.html.
Dent, D. 2000. Development and Use of a Biopesticide. CABI Bioscience, Silwood Park, Ascol, UK SL5 7TA. 8 p.
Hall, T.M. 1973. Use of microorganisms in biological control, pp. 610-628. In: P. deBach (Ed.). Biological Control of Insect Pest and Weeds. Chapman and Hall Ltd., London.
Hein, G.L. 2003. Insect Management. High Plains Integrated Pest Management. http://wiki.bugwood.org/upload/IPM.pdf
Higuchi H, Nakamori H, and Mizutani N. 1999. Egg parasitoids of bean bug, Riptortus linearis (Fabricius) (Heteroptera: Alydidae) in Okinawa Island. J. Appl. Entomol. Zool. 43(2): 99-100.
Hu, W.J., R.F. Hou, and N.S. Talekar. 1996. Pathogenicity of Beauveria bassiana to Riptortus linearis (Hemiptera: Coreidae), a pest of soybean. J. Appl. Entomol. Zool. 31(2): 187-194.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Revised by P.A. Van der Laan. PT Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta. 701 p.
Kementerian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian. 184 p.
Leslie, A.R. and G.W. Cuperus. 1993. Successful Implementation of Integrated Pest Management for Agricultural Crops. CRC Press, Boca Raton, Florida. 193 p.
Marwoto. 2006. Status hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis dan cara pengendaliannya. Buletin Palawija. 12: 69-74.
Mizutani, N. 2006. Pheromones of male stink bugs and their attractiveness to their parasitoids. J. Appl. Entomol. Zool. 50(2): 87-99.
Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuwarso. 1988. An outline on soybean pests in Indonesia in faunistic aspects. Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, 6 Desember 1988. 37 p.
Prayogo, Y. dan Suharsono. 2005. Optimalisasi pengendalian hama pengisap polong kedelai (Riptortus linearis) dengan jamur entomopatogen Verticillium lecanii. Jurnal Litbang Pertanian. 24(4): 123-130.
Ruesink, W.G. 1980. Intoduction to sampling plans for soybean arthropods, p. 61-78. In: M. Kogan and D.C. Herzog (Eds.). Sampling Methods in Soybean Entomology. Springer-Verlag, New York.
Shetlar, D.J. and F. Hale. 2008. Integrated Pest Management. http://wiki.bugwood. org/ Integrated_Pest_Management
Sinaga, S.W. 2009. Pengaruh pemberian insektisida nabati terhadap serangan hama polong tanaman kedelai (Glycine max L. Merill) di lapangan. Skripsi Fakultas Pertanian USU. 64 p.
Stern, V.M., R.F. Smith, R. van den Bosch, and K.S. Hagen. 1959. The Integrated Control Concept. Hilgardia. 29: 81-101.

Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1972. Development and economic injury level of the green cloverworm on soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.

Suharsono. 2006. Antixenosis morfologis salah satu faktor ketahanan kedelai terhadap hama pemakan polong. Buletin Palawija. 11: 31-33.

Sumartini, Y. Prayogo, S.W. Indiati, dan S. Hardaningsih. 2001. Pemanfaatan jamur Metarhizium anisopliae untuk pengendalian pengisap polong (Riptortus linearis) pada kedelai, pp. 154-157. Dalam: S.E. Baehaki et al. (Eds). Simposium Pengendalian Hayati Serangga. Balittan Sukamandi, 14-15 Maret 2001.

Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology. Academic Press, Inc., San Diego. 666 p.

Tengkano, W. dan E. Karmawati. 1989. Dispersal pattern and sequential sampling of Riptortus linearis F. on soybean, pp. 338-347. Dalam: Hardjosumadi et al. (Eds.). Proceedings of The Seminar of Food Crops Research, Balittan Bogor, 13-14 February 1989.

Tengkano, W. dan M. Soehardjan. 1985. Jenis hama utama pada berbagai fase pertumbuhan tanaman kedelai, pp 295-318. Dalam: Somaatmadja et al. (Eds). Kedelai. Puslitbangtan, Bogor.

Tengkano, W., M. Iman., A.M. Tohir, and A. Naito. 1994. Trap crops control of soybean pod sucking bug: VII. Combination of Sesbania rostrata and mungbean for population management, pp. 101–108. In: I. Prasadja et al. (Eds.). Effective Use Agriculture Materials and Insect Pest Control on Soybean. Report on CRIFC-JICA Research Coorporation Program 1991-1994. Bogor Research Institute for Food Crops, Bogor.

Tengkano, W., Y. Baliadi, dan Purwantoro. 2007. Pengendalian pengisap polong kedelai Riptortus linearis L. dan Nezara viridula L. dengan insektisida kimia di lahan kering masam provinsi Lampung, pp. 363-370. Dalam: ....... (Eds.).  Inovasi teknologi kacang-kacangan dan umbi-umbian mendukung kemandirian pangan & kecukupan energi. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Tahun 2007.  
van den Berg, H., A. Bagus, K. Hassan, A. Muhammad, and S. Zega. 1995. Predation and parasitism on eggs of two pod-sucking bugs, Nezara viridula and Piezodorus hybneri in soybean. International Journal of Pest Management. 41(3): 134-142. 
Villacarlos, L..T., B.S. Mejia, and R. A. Patindol. 2004. Philippine entomopaphogenic fungi. II. Pathogenicity of common species to selected insect pests. Philipp. Agric. Scientist. 87: 266-275.
Wikipedia. 2009. Metarhizium anisopliae. http://en.wikipedia.org/wiki/ Metarhizium_anisopliae
Williamson, R.C. 1999. Biorational Pesticides: What are They Anyway? Alternatives Emerge for Regulated Chemical Products. http://www.gcsaa.org/gcm/1999/ oct99/10biorational.html.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar