Laba, I W., Djatnika K., dan M. Arifin. 2001. Analisis keanekaragaman hayati musuh alami pada ekosistem padi sawah, p. 207-217. Dalam E. Soenarjo et al. (Eds.) Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian. Cipayung, 16-18 Oktober 2000. PEI – KEHATI.
I W. Laba1, Djatnika K.1, dan M Arifin2
1 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor
2 Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor
ABSTRAK
Upaya peningkatan produksi pertanian, khususnya tanaman padi dilakukan, antara lain dengan penggunaan varietas unggul. Penggunaan varietas unggul mempunyai konsekuensi terhadap peningkatan aplikasi pestisida karena populasi hama meningkat, keanekaragaman hayati menurun. Hal ini dapat mengancam sistem pertanian berkelanjutan. Kenyataan di lapangan menuniukkan bahwa hama tanaman padi memiliki berbagai jenis musuh alami. Di antara musuh alami tersebut, terdapat berbagai jenis artropoda sebagai parasitoid dan predator. Peranan peningkatan populasi musuh alami sangat diperlukan untuk mencapai sistem pertanian yang berkelanjutan. Keanekaragaman hayati sebelum pengendalian hama terpadu (PHT), khususnya di daerah pelaksanaan PHT lebih sederhana (sedikit) dibandingkan dengan sesudah PHT, khususnya agens hayati sebagai pengendali alami hama utama tanaman padi. Hama utama tanaman padi, antara lain wereng dan penggerek batang padi. Sebelum pelaksanaan PHT, musuh alami tidak mampu menekan kedua populasi hama tersebut. Sebaliknya setelah pelaksanaan PHT, musuh alami mampu menurunkan populasi hama. Musuh alami wereng yang utama antara lain: Lycosa pseudoannulata Boes. et Berg., Coccinella sp. Paederus sp., Ophionea sp., Cyrtorhinus lividipennis Reuter., Oligosita sp., Anagrus sp., dan Gonatocerus sp. Musuh alami penggerek batang padi, antara lain Trichogramma japonicum Ashm., Telenomus rowani Gah, dan Tetrastichus schoenobii Ferr. Potensi musuh alami, khususnya parasitoid dan predator cukup besar untuk menurunkan populasi hama, ditinjau dari laju pertumbuhan dan kemampuan memangsa. Untuk meningkatkan dan mempertahankan musuh alami, dilakukan dengan cara pelestarian agens hayati, pengelolaan gulma dan sisa tanaman serta penyediaan pakan buatan.
Telah diketahui berbagai jenis musuh alami yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu parasitoid, predator, dan patogen. Terdapat 79 jenis musuh alami hama wereng batang coklat (WBC), di antaranya 34 parasitoid, 37 predator, dan 8 patogen (Chiu 1979). Musuh alami yang potensial untuk penggerek batang padi (PBP) adalah parasitoid. Ada 3 jenis parasitoid PBP, yaitu: Tetrastichus schenobii Ferr., Telenomus rowani Gah., dan Trichogramma joponicum Ashm (Jepson 1954, Soehardjan 1976). Sampai saat ini telah diketahui 36 spesies jamur patogen serangga (JPS) pada tanaman padi (Carruthers & Hural 1990). Di antara patogen tersebut, Hirsutella citriformis, Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana mempunyai potensi untuk mengendalikan WBC. Parasitoid dan predator mampu menurunkan padat populasi hama, sedangkan infeksi JPS dapat mematikan dan mempengaruhi perkembangan hama, menurunkan kemampuan reproduksi, serta menurunkan ketahanan hama terhadap predator, parasitoid dan patogen lainnya (Wardojo 1986).
Ekosistem persawahan secara teoritis merupakan ekosistem yang tidak stabil. Kestabilan ekosistem persawahan tidak hanya ditentukan oleh keanekaragaman struktur komunitas, tetapi juga oleh sifat-sifat komponen serta interaksi antar komponen ekosistem. Hasil penelitian mengenai kajian habitat menunjukkan bahwa tidak kurang dari 700 serangga termasuk parasitoid dan predator ditemukan di ekosistem persawahan dalam kondisi tanaman tidak ada hama, khususnya WBC. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komunitas persawahan ternyata beranekaragam (Untung 1992). Apabila interaksi antarkomponen dapat dikelola secara tepat, kestabilan ekosistem pertanian dapat dipertahankan. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa pada ekosistem pertanian dapat tercipta keadaan yang stabil. Untuk mempertahankan ekosistem persawahan yang stabil, konsep PHT dapat diterapkan. Insektisida merupakan alternatif terakhir dan penggunaannya sangat selektif. Di persawahan, musuh alami jelas berfungsi, sehingga terjadi keseimbangan biologis (Baehaki 1991). Keseimbangan biologis ini kadang-kadang tercapai, tetapi bisa juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena faktor lain yang mempengaruhi, yaitu perlakuan agronomis dan penggunaan insektisida.
KEANEKARAGAMAN HAYATI ARTROPODA PADA PADI SAWAH
Ekosistem tanaman semusim bersifat kurang stabil yang dicirikan oleh rendahnya keragaman hayati. Susunan jaringan pakan pada ekosistem tanaman semusim yang bersifat sederhana mengakibatkan populasi hama berada dalam keadaan tidak seimbang, sehingga mudah terjadi ledakan populasi hama (Andrewartha & Birch 1982, Southwbod & Way 1980). Kestabilan ekosistem padi sawah atau tanaman semusim dapat dicapai dengan meningkatkan dan memantapkan keanekaragaman hayati pada ekosistem melalui pengelolaan ekosistem, antara lain dengan mengoptimalkan budidaya dan meningkatkan peranan musuh alami.
Menurut Settle et al. (1996), di Indonesia, ekosistem padi sawah yang subur bahan organik dan tidak tercemar oleh pestisida, kaya keanekaragaman hayati. Ekosistem padi sawah mengandung 765 spesies serangga dan artropoda kerabatnya. Keanekaragaman hayati tersebut terdiri dari kelompok detrivora dan pemakan plankton (larva Culicidae dan Chironomidae), herbivora (termasuk serangga hama), parasitoid, dan predator. Oleh Soenarjo (2000), komposisi keanekaragaman hayati fauna pada ekosistem sawah, berdasarkan temuan Settle et al. (1996) disederhanakan dalam bentuk tabel seperti disajikan di bawah ini:
Hasil pengamatan Arifin et al. (1997) pada ekosistem lahan sawah irigasi berpola tanam padi-padi-padi, tanpa perlakuan insektisida menunjukkan bahwa jenis musuh alami lebih banyak dibandingkan hama. Pada satuan sawah seluas 1 ha, ada 29 ienis musuh alami, 16 jenis hama, dan 11 jenis non status (Tabel 2.). Dalam, penelitian ini terungkap bahwa budidaya padi tanpa penggunaan pestisida, keanekaragaman hayati artropoda cukup tinggi.
Tanaman padi yang dibudidayakan tanpa pestisida dapat memberikan hasil yang tinggi (Untung 1992). Tanpa pestisida, keanekaragaman hayati ekosistem dapat ditingkatkan sehingga musuh alami yang ada di pertanaman dapat berperan maksimal dalam mengatur populasi hama. Pada umumnya petani membatasi serangan hama dengan tujuan pengendalian hama saja, tanpa memperhatikan keanekaragaman hayati pada ekosistem pertaniannya. Dengan menerapkan PHT diharapkan tercapai stabilitas ekosistem, sehingga pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dapat terwujud. Dampak implementasi PHT dapat dilihat jelas dari penggunaan pestisida. Petani yang sudah mengikuti Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) menggunakan pestisida lebih sedikit dibandingkan petani non-SLPHT (Tabel 3).
Pengurangan sampai dengan tanpa penggunaan pestisida dapat meningkatkan keanakaragaman hayati serangga dan peranan musuh alami. Pada pertanian yang tidak menggunakan pestisida, jenis dan populasi artropodanya lebih banyak daripada aplikasi pestisida. Kasus tersebut berlaku baik areal pada tanam serempak maupun tanam tidak serempak (Tabel 4).
Serangga hama WBC dan PBP setelah pelaksanaan PHT relatif lebih rendah dibandingkan sebelum pelaksanaan PHT. Hal ini diduga kuat berkaitan erat dengan menurunnya penggunaan pestisida setelah pelaksanaan PHT yang memberi kesempatan lebih baik bagi parasitoid dan predator untuk berkembang biak. Luas serangan WBC selama 1968-1989 berkisar antara 17.238 dan 713.185 ha, sedangkan selama 1990-1999 berkisar antara 2.112 dan 84.491 ha. Untuk hama PBP selama 1980-1989 berkisar antara 54.441 dan 276.460 ha, sedangkan selama 1990-1999 berkisar antara 21.746 dan 94.744 ha. Persentase penurunan serangan wereng coklat dan penggerek batang padi nrasing-masing berturut-turut 9,44 dan 31,9% (Tabel 5). Penurunan tingkat serangan wereng coklat dan penggerek karena kesadaran petani dalam menerapkan konsep PHT, sehingga penggunaan pestisida berkurang. Penurunan penggunaan insektisida diduga kuat meningkatkan keanekaragaman hayati atropoda pada padi sawah yang pada gilirannya menyebabkan penurunan hama WBC dan PBP.
PELESTARIAN PARASITOID DAN PREDATOR
Pengertian pelestarian atau konservasi parasitoid dan predator adalah mencegah berkurangnya populasi dan potensi parasitoid/predator yang telah ada, dengan mengembangbiakkan parasitoid dan predator secara alami dan meningkatkan perannya dalam mengendalikan hama. Upaya tersebut dilakukan pada areal pertanaman komoditas utama dengan memanipulasi faktor biotik dan abiotik di sekitar tanaman yang dapat membantu kelangsungan hidup atau keberadaan parasitoid dan predator. Tersedianya tanaman selain tanaman yang menjadi inang alternatif hama dapat membantu keberadaan parasitoid dan predator hama. Gulma atau rumput-rumputan dan tanaman yang menghasilkan tepung sari dapat dimanfaatkan untuk pelestarian parasitoid dan predator sebagai sumber pakan, tempat berlindung dan berkembang biak, sebelum inang utama hadir di pertanaman.
Inang Alternatif
Keberadaan inang alternatif sangat penting untuk mendukung kelestarian parasitoid dan predator. Parasitoid dan predator yang mempunyai sifat polifag atau oligofag dapat hidup dari serangga inang alternatif, jika serangga inang utama tidak ada. Efektivitas dan efisiensi parasitoid dan predator polifag tidak setinggi yang monofag, tetapi jika populasi inang utama tidak ada, parasitoid dan predator tersebut secara berkelanjutan lebih bermanfaat. Parasitoid PBP, Telenomus dignus Gahan mempunyai inang alternatif telur hort flies, Tabanus spp. Pengamatan telur Tabanus spp. yang dikumpulkan dari tanaman padi, jagung dan kelapa di 14 provinsi di Filipina menunjukkan urutan tingkat parasitasi T. dignus dari tinggi ke rendah adalah pada tanaman kelapa, jagung, dan padi. Telur Tabanus spp. dapat dimanfaatkan sebagai inang alternatif T. dignus di lapang pada populasi penggerek rendah (Barrion & Litsirnger 1984). Oleh karena itu, pergiliran tanaman setelah padi dengan tanaman jagung, akan membantu. Hama ganjur mempunyai inang alternatif padi liar (Oryza perennis Moench). Parasitoid ganjur, Platygaster oryzae (Cameron) dapat mempertahankan hidup pada hama ganjur yang menyerang tanaman padi liar. Keberadaan padi liar di sekitar tanaman bermanfaat untuk parasitoid ganjur untuk mempertahankan keberadaannya (Jena et al. 1985). Ganjur alang-alang juga diparasit oleh parasit ganjur padi, yaitu P. oryzae Cameron (Platigasteridae), Neanastus oryzae Ferrier (Eupelmidae), dan Propicroscytus mirificus Girault (Pteromalidae). Ganjur alang-alang mempunyai potensi sebagai inang pengganti ganjur padi dan oleh karena itu dapat mempertahankan keberadaan populasi parasitoid ganjur pada saat ganjur padi tidak ada di lapang (Soenarjo 1986).
Paederus sp. merupakan salah satu predator polifag yang memangsa, antara lain WBC, wereng punggung putih (WPP), wereng zigzag (WZZ), dan wereng hijau (WH). Pada awal musim tanam, yang lebih dulu hadir biasanya WPP atau WZZ, sehingga Paederus sp. sudah mendapatkan inang. WBC muncul mulai umur tanaman 40 hari setelah tanam, sedangkan WH bisa telah muncul pada awal pertanaman. Melihat kehadiran hama padi tersebut, keberadaan Paederus sp. dapat membantu menurunkan populasi beberapa hama tersebut. Verenia lineata Thumb. adalah jenis predator lain WBC, WPP, dan WH. V. lineata juga merupakan predator hama kedelai, jagung dan dapat mengurangi populasi kutu daun (Aphid spp ). Pergiliran tanaman dengan kedelai atau jagung setelah padi dapat membantu mempertahankan populasi predator tersebut (Kalshoven 1981).
Jenis predator lainnya adalah Cyrtorhinus lividipennis Reuter, yang merupakan predator utama WBC, WPP, dan WH. Nimfa dan imago memangsa semua stadia wereng (Chiu 1979). WPP dan WH merupakan inang alternatif.
Gulma dan Sisa Tanaman
Meskipun gulma yang tumbuh di sekitar tanaman utama umumnya dianggap mengganggu tanaman budidaya, tetapi beberapa jenis gulma bermanfaat bagi parasitoid dan predator, sebagai tempat berlindung serangga inang dan tempat bertelur bagi parasitoid dan predator. Pertanaman padi sawah yang ada azolla merupakan habitat yang disenangi oleh predator WBC, yaitu Microvelia douglasi atrolineata Bergroth (Veliidae), Paraplea sobrina Stal. (Pleidae), dan Lycosa pseudoannulata Boes et Str. (Lycosidae) karena azolla menjadi tempat berlindungnya predator tersebut. Beberapa jenis gulma, seperti Euchinochloa crusgalli, Cyperus diffusus, dan Brachiaria mutica, merupakan inang alternatif wereng, sehingga predator C. lividipennis dapat berkembang biak pada rumput-rumputan tersebut (Sivapragasam, 1983). Tumpukan jerami di sawah dengan ukuran 10 x 7 m dengan ketebalan 30 cm dapat berfungsi sebagai media konservasi musuh alami, tempat berlindung dan berkembang biak musuh alami, karena di sana masih terdapat hama sebagai inang musuh alami. Pada tumpukan jerami dapat ditemukan berbagai jenis musuh alami hama padi, antara lain Microspis sp., Ophionea sp., Telenomus sp., semut, Anagrus sp., Oligosita sp., Mimarid, Bracon, Elasmus, dan Lycosa sp. (Shepard et al. 1989). Leersia sp. adalah inang alternatif WBC. Anagrus sp. dan Gonotocerus sp. kedua parasitoid WBC, dapat berkembang b_iak pada rumput tersebut dan mampu menurunkan populasi telur WBC sampai 50% (Kartohardjono 1992). Selain itu, Anagrus sp. dan Gonatocerus sp. juga dapat berkembang biak pada Paspalum vaginatum dan Digitoria sp. (Tabel 6).
Rumput-rumputan (Leersia sp., Paspalum vaginatum dan Digitaria sp.) merupakan inang alternatif WBC dan WH sekaligus tempat berlindung dan berkembang biak bagi parasitoid Anagrus sp. dan Gonatocerus sp. Gulma jenis kayu apu (Pistia stratiotes) dan Salvinia molesta merupakan tempat berlindung dan tempat mencari mangsa bagi L. pseudoannulata (Supriyadi et al. 1992).
Singgang tanaman padi berfungsi untuk peletakkan telur penggerek batang padi sekaligus untuk kelangsungan hidup parasitoid Tetrastichus schoenobii Ferr., T. rowani Gah., dan T. japonicum Ashm. Telur terparasit pada singgang berkisar antara 40-100%, sedangkan di persemaian dan pada tanaman umur 3 bulan, masing-masing 10-83,3 dan 33,3-58% (Laba 1998).
Pemakaian Insektisida secara Terbatas dan Selektif
Penggunaan insektisida untuk pengendalian hama tanaman mestinya dilakukan sesuai rekomendasi. Insektisida dapat digunakan jika komponen PHT lainnya belum tersedia atau tidak mampu memulihkan populasi hama. Salah satu kriterianya adalah insektisida tersebut tidak merugikan parasitoid, predator, dan serangga penyerbuk.
Pengaruh negatif insektisida, khususnya dari golongan organofosfat dan karbamat terhadap musuh alami WBC dan penggerek batang telah umum diketahui. Musuh alami hama padi yang dimaksud adalah Lycosa sp., Cyrtorhinus sp., Coccinella sp., Paederus sp., Ophionea sp., Anagrus sp. dan parasitoid penggerek batang padi (Kilin et al. 1993, Untung et al. 1988, Marsudiyono 1989, Rahayu 1986, Soekarna 1979).
Pakan Buatan
Parasitoid dan predator dewasa umumnya makan madu, senyawa gula lainnya dan tepung sari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tersedianya pakan dapat meningkatkan populasi parasitoid dan predator. Pakan tersebut dapat disediakan dengan pemberian langsung (menyemprotkan makanan buatan). Aplikasi ekstrak WBC di lapang meningkatkan parasitisasi Anagrus sp., sedangkan aplikasi cairan gula meningkatkan persentase parasitisasi Oligosita sp. (Kartohardjono & Atmadja 1997). Aplikasi cairan gula dan ekstrak WBC juga dapat meningkatkan populasi Cyrtorhinus sp., Ophionea sp., Lycosa sp., Coccinella sp., dan Paederus sp. (Kartohardjono & Marzuki 1997). Penggunaan larutan gula 5% dapat meningkatkan populasi parasitoid penggerek batang padi (Laba et al. 1995).
SIMPULAN
Berbagai jenis artropoda terdapat dalam ekosistem padi sawah turut berperan dalam keseimbangan hayati untuk mencapai pengendalian hama yang ramah lingkungan menuju pertanian berkelanjutan. Potensi berbagai jenis musuh alami, khususnya parasitoid dan predator hama wereng coklat dan penggerek batang padi serta cara-cara pelestariannya dapat dijadikan sebagai studi kasus agens hayati untuk pengendalian hama agens tanaman padi lainnya.
PUSTAKA
Adrewartha, H.G. & L.C. Birch. 1984. The ecological. The University of Chicago. 505 p.
Arifin, M, I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto & A. Alwi. 1997. Diversitas artropoda pada berbagai teknik budidaya padi di Pemalang, Jawa Tengah. Penelitian Pertanian Puslitbangtan. 15 (2): 5-12.
Atmaja, W.R. 1989. Parasitisme Anagrus sp. dan Gonatocerus sp. terhadap telur tiga jenis wereng pada pertanaman padi dan rerumputan. Hlm. 722-729. Dalam Soeprapto et al. (eds.). Prosiding Hasil Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Vol. 3. Bogor, 29 Februari - 2 Maret 1992. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor.
Baehaki S.E. 1991. Peranan musuh alami mengendalikan wereng coklat. Prosiding Seminar Sehari Tingkat Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Sudirman. Hlm. 1-9.
Barrion, A.T. & J.A. Litsinger. 1984. Tabanus spp. (Diptera: Tabanidae) eggs and alternative host of rice stemborer egg parasit parasitoid Telenomus dignus Gahan (Hymenoptera; Scelionidae). IRRN. 9(6): 19.
Biro Pusat Statistik. 1970-1999. Luas dan intensitas serangan jasad pengganggu padi dan palawiia di lndonesia, Jakarta.
Carruthers, R.I. & K. Hural. 1990. Fungi as naturally occuring entomophatogens, pp. 115-138. In R.R. Baker and P.E. Dunn (eds.). New Directions in Biological Control; Alternative for suppressing agricultural pests and diseases. Alan R. Liss, Inc.
Chiu, S.C. 1979. Biological control of the brown planthopper, Nilaparvata lugens Stal. pp. 335-356. In Brown Planthopper Threat to Rice Production in Asia. IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines.
Darmawan, D & Y. Yusdja. 1992. Efisiensi biaya pestisida pada tanaman padi dengan program pengendalian hama terpadu, hlm. 1007-1022. Dalam M. Syam et al. (red). Kineria Penelitian Tanaman Pangan, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Jepson, W.F. 1954. A critical review of the world literature on the Lepidopterous Stalk borers of tropical gramminaceous crops. Commonws. Int. Entomol, London. 127 hlm.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The pest of crops in Indonesia (Revised and translated by P.A. van der Laan). PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
Kartohardjono, A. 1992. Pengaruh parasitoid telur Anagrus sp. dan Gonatocerus sp. terhadap wereng coklat pada dua jenis tanaman inang. Kumpulan Abstrak Kongres Entomologi IV, Yogyakarta, 28-30 Januari 1992. hlm. 93.
Kartohardjono, A. & A.R. Marzuki. 1997. Pelestarian predator dan wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal) dengan menyemprotkan ekstrak inang dan gula. Kumpulan Abstrak Kongres Entomologi V dan Simposium. Bandung, 23-26 Juni 1997. Hlm. 41.
Kartohardjono, A. & W.R. Atmadja. 1997. Pelestarian parasitoid (Anagrus sp. dan Oligosita sp.) pada wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.) dengan menyemrprotkan ekstrak inang dan gula. Prosiding III, Seminar Nasional Biologi XV. PBI Cabang Lampung dan Unila.
Laba, I.W. 1995a. Aspek biologi Paederus fuscifes Curt. sebagai predator wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) (Homoptera; Delphacidae). Disampaikan pada Seminar Nasional Biologi Menuju Millenium III. Yogyakarta, 20 Nopember 1999. Fak. Biologi UGM. 12 hlm.
Laba, I.W. 1995b. Laju pertumbuhan intrinsik Cyrtorhinus lividipennis Reuter sebagai predator wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) (Homoptera; Delphacidae). Jurnal Penelitian Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas lslam Sumatera Utara 14(2): 69-74.
Laba, I.W., D. Kilin & B. Nurbaeti. 1995. Metode perbanyakan parasitoid penggerek batang padi. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. 15 hlm.
Marsudiyono. 1989. Pengaruh residu insektisida terhadap Anagrus sp. parasit telur wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Skripsi Fakultas Biologi, Universitas Nasional, Jakarta. 56 hlm.
Rahayu, A. 1986. Toksisitas karbaril, karbofuran, diazinon dan quinalfos terhadap N. lugens dan C. lividipennis. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi, Puslitbangtan, Bogor Vol. 2: 333-338.
Settle, W.H., H. Ariawan, E. Tri Astuti, W. Cahyono, A.L. Hakim, D. Hidayana, A. S. Lestari & Pajarningsih. 1996. Managing tropical rice pest through concervation of generalist natural enemics and alternative prey. Ecology. 77(7): 1975-1988.
Shepard, B.M., A.T. Barrion & J.A. Litsinger. 1977. Friend of the rice farmer. Helpful insects, spider and pathogen. IRRI, Los Banos, Philippines.
Shepard, B.M., H.R. Rapusas & D.B. Estano. 1989. Using rice straw bundles to conserve beneficial arthropod communities in rice fields. Int. Rice. Res. Newwl. 14(5): 30-31.
Sivapragasam, A. 1983. Weed host for Cyrtorhinus lividipennis (Reuter), a brown planthopper predator. IRRN. 8(6): 19.
Soehardjan, M. 1976. Dinamika populasi penggerek padi kuning, Tryporyza incertulas (Walker) (Pyralidae; Lepidoptera). Disertasi ITB.
Soekarna, D. 1979. Pengaruh pestisida bentuk EC dan WP terhadap beberapa predator wereng coklat, Nilaparvata lugens Stal. Kongres Entomologi I. Jakarta, 9-11 Januari 1979. 17 hlm.
Soenarjo, E. 2000. Analisis ledakan dan pengendalian hama wereng coklat di wilayah endemik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 60 hal.
Soenarjo, E. 1986. Keberadaan parasit ganjur padi, Orseolia oryzae (Wordmason) pada ganjur alang-alang, Orseolia javanica Kieffer. hlm. 352-356. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan di Sukamandi, l6-18 Januari 1986. Vol. 2.
Southwood, T.R.E. & M.J. Way. 1980. Ecological background to pest management. In R.L. Rabb & F.E. Guthrie (eds.). Concept of Pest Management. North Caroline State University. Releight, North Caroline.
Supriyadi, S. Mangundihardjo & E. Mahrub. 1992. Kajian ekologi laba-laba srigala, Lycosa pseudoannulata Boes. et Str. pada lahan padi. Kumpulan Abstrak Kongres Entomologi IV. Yogyakarta, 28-30 Januari. hlm 91.
Untung, K. 1992. Konsep dan strategi pengendalian hama terpadu. Makalah Simposium Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung. Sukamandi, 3-4 September 1992. 17 hlm.
Untung, K. & M. Sudomo. 1997. Pengelolaan serangga secara berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Simposium Entomologi Indonesia. Bandung, 24-26 Juni 1997. 13 hlm.
Wardojo, S. 1986. Penggunaan serangga mandul, patogen, hormon dan feromon dalam pengelolaan hama tanaman. Aspek-aspek pestisida di lndonesia. Bogor. hlm. 252-259.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar