Sabtu, 08 Januari 2011

105. Adopsi Teknologi beberapa Kegiatan Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Pertanian di Kabupaten Temanggung

M. Arifin, A.S. Tjokrowardojo, dan Isbandi. 2010. Adopsi teknologi beberapa kegiatan penelitian, pengkajian, dan pengembangan pertanian di kabupaten Temanggung. Prosiding Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marjinal. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Hlm 407-427.


M. Arifin1, A.S. Tjokrowardojo2 , dan Isbandi3
1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
2Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
3Balai Penelitian Ternak



ABSTRAK

Suatu kajian untuk memperoleh informasi tingkat adopsi teknologi beberapa kegiatan penelitian, pengkajian, dan pengembangan pertanian berikut manfaat dan masalahnya telah dilakukan pada bulan Oktober-November 2009 di beberapa desa dalam wilayah kabupaten Temanggung. Kajian dilakukan melalui pendekatan focus group discussion dengan melibatkan para petani mantan kooperator beberapa kegiatan tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa teknologi yang diadopsi petani, antara lain sistem usahatani konservasi, varietas tembakau tahan penyakit (Kemloko 2 dan Kemloko 3), teknik sambung pucuk pada kopi, bibit-bibit kopi Robusta klonal dari kombinasi tiga klon batang bawah (BP308, BP409, dan Exelsa lokal yang toleran kekeringan dan nematoda parasit) dengan empat klon batang atas (BP409, BP534, BP936, dan BP939), budidaya kentang olahan varietas Atlantik dan Margahayu di dataran medium, sistem tanam tumpangsari, dan teknik produksi kambing perah. Teknologi yang belum diadopsi petani, antara lain teknik pengawetan dan pengemasan buah kelengkeng, pengendalian hayati penyakit lincat tembakau, dan teknik irigasi tetes. Teknologi yang telah diadopsi perlu disosialisasikan dan dikembangkan ke desa/daerah lain yang memiliki sumberdaya alam relatif sama melalui dukungan BPTP Jawa Tengah dan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Temanggung. Permasalahan dalam penerapan teknologi perlu ditindak-lanjuti oleh Balit/Puslit terkait.
Kata Kunci: Teknologi pertanian, Adopsi teknologi, P4MI


PENDAHULUAN

Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi (P4MI) bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan marjinal dan pendapatan keluarga petani miskin melalui pemberdayaan petani serta inovasi pertanian, mulai dari tahap produksi sampai pemasaran hasil. Upaya menerapkan inovasi pertanian dilakukan secara partisipatif dan didasarkan atas kebutuhan dan karakteristik petani serta sesuai dengan kondisi biofisik, latar belakang sosial ekonomi dan budaya petani lahan marjinal. Pengembangan inovasinya diprioritaskan pada teknologi pertanian yang mampu menghasilkan nilai tambah bagi petani. 
Mulai tahun 2004 hingga 2009, P4MI telah melaksanakan berbagai kegiatan penelitian, pengkajian, dan pengembangan inovasi pertanian di bawah koordinasi Puslitbang komoditas secara multidisiplin di lima kabupaten dalam wilayah kerja P4MI, yakni Temanggung, Blora, Lombok Timur, Ende, dan Donggala. Khusus kabupaten Temanggung, ada 11 kegiatan yang dilaksanakan oleh Puslit/Balit, meliputi berbagai macam teknologi yang dikelompokkan dalam: sistem usahatani integrasi tanaman-ternak, konservasi lahan dan air, budidaya tanaman, budidaya ternak, pasca panen, dan kelembagaan. Berbagai macam teknologi tersebut perlu dikaji tingkat adopsinya di tingkat petani, manfaatnya bagi petani, dan masalah yang dihadapi petani.      
Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat adopsi, manfaat, dan masalah dalam penerapan teknologi inovasi pertanian yang telah diintroduksikan oleh Puslit/Balit pada tahun 2004-2008 di kabupaten Temanggung. Melalui kegiatan ini diharapkan, teknologi yang telah diadopsi oleh petani dapat dikembangkan dan didesiminasikan lebih luas oleh institusi lokal, sedangkan masalah yang berkaitan dengan belum diadopsinya teknologi dapat ditindak-lanjuti oleh Puslit/Balit yang bersangkutan.


METODOLOGI

Kajian dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2009 di beberapa desa dalam wilayah kabupaten Temanggung melalui pendekatan focus group discussion dengan melibatkan para petani mantan kooperator dalam kegiatan penelitian, pengkajian, dan pengembangan yang telah dilaksanakan. Materi kajian meliputi 11 kegiatan penelitian, pengkajian, dan pengembangan yang didanai oleh Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi (P4MI), Badan Litbang Pertanian pada TA 2004-2008 (Tabel 1).
Topik diskusi untuk setiap kegiatan penelitian meliputi: a) identifikasi teknologi yang diintroduksikan, b) penerapan teknologi oleh petani, c) manfaat dan penyebaran teknologi, d) masalah dalam penerapan teknologi, dan e) cara petani menyelesaikan masalah. Untuk mempermudah pembahasan dalam diskusi, berbagai macam teknologi dikelompokkan menjadi: a) sistem usahatani (SUT) konservasi, b) teknik budidaya tanaman, c) teknik budidaya ternak, d) pasca panen, dan e) kelembagaan.
Pada kajian ini dikumpulkan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dari hasil survai dengan beberapa orang petani kooperator sebagai responden contoh, sedangkan data sekunder dikumpulkan dari Project Implementation Unit (PIU) P4MI Kabupaten Temanggung serta Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Temanggung. Analisis data yang digunakan dalam kajian ini bersifat kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif berupa penghitungan data rata-rata dan disajikan dalam bentuk tabel. Analisis kualitatif dimaksudkan untuk mendukung atau menjelaskan hasil penelitian secara deskriptif kualitatif dari hasil kajian.


Tabel 1.   Judul-judul kegiatan penelitian dan pengembangan pada TA 2004-2008 di Kabupaten Temanggung

Kegiatan
Judul (TA)
Desa/
Kecamatan
Pustaka
A
Pengembangan sistem usahatani berbasis tanaman sayuran/pangan–ternak berwawasan konservasi (2004)
Canggal/
Kledung
Purnomo et al. (2004)
B
Perbaikan teknologi pasca panen buah kelengkeng untuk meningkatkan mutu dan daya simpan (2006)
Pagergunung/
Pringsurat
Setyabudi et al. (2006)
C
Introduksi varietas tahan dan mikroba antagonis untuk mengendalikan penyakit lincat pada tembakau (2006)
Kemloko/
Tembarak
Rochman et al. (2006)
D
Rekayasa kelembagaan pemasaran komoditas sayuran unggulan pada wilayah P4MI (2006)
Banjarsari/
Kandangan
Agustian et al. (2006)
E
Integrasi teknologi inovatif pada budidaya kentang di lahan kering dalam upaya menunjang sistem pertanian berkelanjutan (2006)
Sunggingsari/
Parakan
Sutarya et al. (2006)
F
Pengembangan teknologi pengendalian hama/penyakit terpadu dan irigasi tetes pada budidaya kentang di lahan marjinal dataran medium (2007)
Sunggingsari/
Parakan
Sutarya et al. (2007)

G
Konservasi tanah untuk lahan usahatani berbasis tanaman sayuran (2006-2007)
Kledung dan Batursari/
Kledung
Suganda et al. (2007)
H
Eskalasi sistem permodalan anggota kelembagaan kelompok agribisnis ternak-sayuran (SPAKKATS) (2006-2007)
Canggal/
Kledung
Kusnadi et al. (2007)

I
Introduksi teknologi produksi kambing perah sebagai komponen agribisnis di lahan marginal (2007)
Jombor/
Jumo
Sutama et al. (2007)

J
Integrasi klon kopi harapan dengan budidaya dan pengelolaan yang sesuai untuk lahan marjinal terhadap produksi dan kualitas biji (2005-2008)
Soborejo dan Wonokerso/
Pringsurat
Prawoto et al. (2008)

K
Pengembangan teknologi budidaya kentang olahan yang ramah lingkungan menunjang agribisnis (2008)
Tuksari/
Kledung
Sutapradja et al. (2008)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.   Sistem usahatani konservasi
a.   Gambaran umum kegiatan
Kegiatan yang termasuk kelompok ini berjudul: a) Pengembangan SUT Berbasis Tanaman Sayuran/Pangan-Ternak Berwawasan Konservasi (Kegiatan A), dan b) Konservasi Tanah untuk Lahan Usahatani Berbasis Tanaman Sayuran (Kegiatan G). Kegiatan A dilaksanakan pada TA 2004 di desa Canggal, kecamatan Kledung dengan tujuan mengembangkan teknologi inovasi tanaman ganda cabe-kubis dan monokultur kentang di lahan konservasi. Petani kooperator sebanyak 12 orang yang a) mempunyai kemauan dan kemampuan memelihara ternak domba, b) memiliki lahan dengan kemiringan 30-40%, dan c) bersedia menanam hijauan pakan ternak. Petani kooperator mendapat 40 ekor domba. Teknologi yang diintroduksikan adalah: a) konservasi lahan (teras bangku, gulud searah kontur, dan penguat teras), b) budidaya tanaman (komposisi tanam pola sistem ganda, mulsa plastik, kompos, dan pupuk berimbang), c) budidaya ternak (pengelompokan ternak dalam kandang panggung, penyapihan anak umur ideal, perkawinan ternak, dan pengendalian penyakit).
Kegiatan G dilaksanakan pada TA 2006-2007 di desa Kledung dan Batursari, kecamatan Kledung. Pada TA 2006, petani kooperator yang terlibat di desa Kledung sebanyak 11 orang pada lahan 2,36 ha. Teknologi konservasi dikenalkan dengan membuat teras dengan tanaman penguat jenis Arachis pintoii, rumput Paspalum sp., rumput Setaria, dan rumput gajah untuk pakan ternak. Kegiatan TA 2007 bertujuan mengintroduksi: a) teknik konservasi tanah untuk usahatani integrasi sayuran-ternak, b) teknik pemupukan, dan c) budidaya ternak domba. Petani kooperator di desa Kledung dan Batursari dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama membuat demplot pada lahan yang sudah menerapkan teknologi konservasi tanah tetapi belum sempurna, dengan menanam penguat teras dan mengatur arah bedengan. Kelompok kedua membuat demplot pada areal yang belum menerapkan teknologi konservasi, dengan membuat gulud searah kontur di antara bedengan searah lereng dan mengatur bedengan searah kontur. Luas lahan untuk kedua demplot, masing-masing 2,5 ha dengan petani kooperator, masing-masing 10 orang. Petani kooperator membentuk Kelompok Tani Konservasi (KTK) Puji Lestari di desa Kledung, dan KTK Sumbing Lestari di desa Batursari. Masing-masing petani kooperator mendapat bantuan seekor domba betina dan setiap kelompok mendapat seekor domba pejantan.

b. Hasil kajian

Hasil kajian (Tabel 2) menunjukkan bahwa sebagian besar teknologi SUT konservasi telah diadopsi oleh petani di desa Canggal, Kledung, dan Batursari. Teknologi pembuatan pupuk kompos di desa Canggal sulit diadopsi karena harga bahan fermentasi dirasa mahal. Jumlah petani pengadopsi bertambah; di ketiga desa berkisar antara 74% hingga 115%. Teknologi SUT konservasi juga diadopsi di desa Kruwisan dan Jambu, kecamatan Kledung.


Tabel 2.   Adopsi dan penyebaran teknologi SUT konservasi di beberapa desa, kabupaten Temanggung

Macam Teknologi
Jumlah Kooperator
(orang)
Tingkat Adopsi Teknologi
(%)
Jumlah
Adopter
(orang)
Desa Canggal:



1.          Teknologi konservasi
2.          Budidaya tanaman
20
86
43
3.          Budidaya ternak
16
100
30
Desa Kledung dan Batursari:



1.          Teknologi konservasi
2.          Teknik pemupukan
3.          Introduksi ternak domba
23
(10 di Kledung,      13 di Batursari)
100%
40
(25 di Kledung, 15 di Batursari)


Berdasarkan kondisi lapang (Tabel 3), ada beberapa manfaat yang diperoleh petani dalam mengadopsi teknologi SUT konservasi, antara lain: a) mengurangi terjadinya erosi, b) meningkatkan intensitas penanaman sayuran, c) meningkatkan produktivitas sayuran, misalnya untuk kobis, semula 5-6 ons/batang menjadi 1-1,2 kg/batang, d) mengurangi risiko gagal panen atau jatuhnya harga komoditas tertentu, e) menambah sumber pakan ternak, dan f) menambah ketersediaan pupuk kandang. Lahan yang sudah diperbaiki terasnya oleh petani pemilik mulai bertambah; di desa Kledung seluas 3 ha dan di desa Batursari seluas 3,1 ha. Ternak domba di kedua desa juga berkembang cukup pesat; di desa Keledung semula 9 ekor, sekarang sudah menjadi 26 ekor, dan di desa Batursari semula 13 ekor sudah menjadi 24 ekor. Ternak domba dipelihara oleh petani, tiap petani memperoleh 1 ekor domba betina. Setelah domba tersebut beranak, anak domba berumur 4 bulan disetor ke KT untuk digulirkan ke petani lain, sedangkan induknya menjadi milik petani.


Tabel 3.   Kondisi lapang sebelum dan sesudah diterapkannya teknologi SUT integrasi sayuran-ternak berwawasan konservasi di beberapa desa, kabupaten Temanggung

Macam teknologi
Kondisi lapang
Sebelum kegiatan
Sesudah kegiatan
Desa Canggal:


a.   Pembuatan teras
Bidang miring
Bidang datar
b.   Pembuatan gulud
Tidak searah kontur
Searah kontur
c.   Penanaman penguat teras
Tidak ada, sering erosi
Ada, erosi berkurang, menambah sumber pakan
d.   Pengaturan komposisi tanam
Tidak ada
Teratur, tanam sistem ganda, tanam sayuran meningkat
e.   Penggunaan mulsa
Tidak ada mulsa
Ada mulsa plastik
f.      Pembuatan kompos dari kotoran ternak.      
Alami, tanpa fermentasi
Alami, tanpa fermentasi
g.   Pemupukan anorganik
Dengan urea/ZA dan TSP
Dengan urea, TSP/SP36 dan KCl berimbang, produktivitas sayuran meningkat
h.   Perkandangan kelompok
Kandang lemprak
Kandang panggung
i.      Penyapihan anak
Umur tidak tentu
Umur 3 bulan
j.      Pengaturan perkawinan ternak
Tidak tahu masa birahi
Tahu masa birahi ternak
k.   Pengendalian penyakit
Tidak ada
Ada
Desa Kledung dan Batursari:


a.   Pembuatan teras
Bidang miring
Bidang datar
b.   Pembuatan gulud
Tidak searah kontur
Searah kontur
c.   Penanaman penguat teras
Tidak ada, sering erosi
Ada, erosi berkurang, menambah sumber pakan
d.   Pemupukan (cara dan dosis)
Waktu aplikasi tidak teratur, pupuk tidak berimbang
Waktu aplikasi teratur, ber-imbang antara urea, SP36 dan KCl, produktivitas meningkat
e.   Perkandangan
Kandang lemprak
Kandang panggung


Untuk mendorong semangat petani sekaligus menjamin kontinuitas penerapan teknologi SUT konservasi, BPTP Jawa Tengah dengan dana P4MI TA 2009 memberikan penghargaan kepada petani pengadopsi teknologi berupa domba sebanyak 2 paket (1 paket terdiri atas 8 ekor betina dan 1 ekor pejantan), berikut bantuan kandang kelompok sebanyak 2 unit senilai Rp 1 juta/unit. Petani yang mendapat penghargaan tersebut sebanyak 17 orang (15 orang di desa Kledung dan 2 orang di desa Batursari).
Secara umum, teknologi SUT konservasi yang diintroduksikan sesuai kondisi sosial-ekonomi dan kebutuhan petani dan teknologinya mudah diterapkan. Oleh karena itu, teknologi ini memiliki prospek yang baik untuk diterapkan pada kondisi lahan serupa di daerah lain. Namun demikian, ada beberapa permasalahan yang dihadapi petani, yakni a) kesulitan tenaga kerja dan biaya untuk membuat teras (Rp 2.500,-/m), b) ketersediaan air yang kurang saat MK dan berlebih saat MH, c) harga bahan untuk fermentasi pupuk organik yang tidak terjangkau oleh petani, d) sumber pakan ternak yang terbatas saat MK, sementara teknologi pengawetan pakan tidak tersedia, dan e) Kesibukan petani dalam mengelola lahan dan tanaman sehingga kurang waktu untuk mengelola domba.

1.   Teknik budidaya tanaman
a.   Gambaran umum kegiatan
Ada lima kegiatan yang termasuk kelompok teknik budidaya tanaman. Pertama, Introduksi Varietas Tahan dan Mikroba Antagonis untuk Mengendalikan Penyakit Lincat pada Tembakau (Kegiatan C). Kegiatan ini dilaksanakan pada TA 2006 di desa Kemloko, kecamatan Tembarak dengan tujuan: a) memperoleh formulasi mikroba antagonis untuk pengendalian penyakit lincat, dan b) mengenalkan kepada petani cara pengendalian hayati penyakit lincat dengan menggunakan varietas tahan dan mikroba antagonis. Teknologi tersebut dilatihkan kepada 40 orang dari tiga desa, yakni desa Kemloko dan Banaran (kecamatan Tembarak) dan desa Jetis (kecamatan Selopampang). Petani kooperator yang dilibatkan dalam kegiatan penelitian ini sebanyak 15 orang dari desa Kemloko. Biopestisida Aspergillus “MABA” telah berhasil diproduksi dengan formulasi padat berbasis bahan organik. Aspergillus yang diperbanyak pada media abu sekam dicampur dengan Bacillus yang diperbanyak pada media nutrient Broth. Tingkat keparahan penyakit layu pada tembakau pada 21 hari setelah aplikasi “MABA” menurun dari 67,5% menjadi 15%. Sosialisasi varietas tahan (Kemloko 2 dan Kemloko 3) dan “MABA” telah dilakukan di kecamatan Tembarak, Bansari dan Kedu.
Kedua, Integrasi Teknologi Inovatif pada Budidaya Kentang di Lahan Marjinal dalam Upaya Menunjang Sistem Pertanian Berkelanjutan (Kegiatan E). Kegiatan ini dilaksanakan pada TA 2006 di desa Sunggingsari, kecamatan Parakan dengan tujuan mengenalkan: a) bibit kentang varietas Granola bersertifikat, b) pembuatan kompos dengan menggunakan effective microorganism (EM), c) penggunaan pupuk berimbang, d) sistem tanam tumpangsari kentang+bawang daun, dan e) pengendalian hama penyakit menggunakan biopestisida dan perangkap. Kegiatan ini melibatkan 2 kelompok petani kooperator.
Ketiga, Pengembangan Teknologi Pengendalian Hama/penyakit Terpadu dan Irigasi Tetes pada Budidaya Kentang di Lahan Marjinal Dataran Medium (Kegiatan F). Kegiatan ini juga laksanakan di desa Sunggingsari pada TA 2007 dengan tujuan: a) membuktikan tanaman kentang dapat ditanam dan berproduksi dengan baik di dataran medium, b) meningkatkan pengetahuan petani tentang teknologi PHT (pengendalian hama terpadu) pada kentang, dan c) mengintroduksikan teknologi irigasi tetes untuk mengatasi kekurangan air di lahan kering. Kegiatan ini melibatkan 2 kelompok petani kooperator. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa a) tingkat pengetahuan petani meningkat dalam hal PHT dan irigasi tetes pada kentang, dan b) demplot budidaya kentang menghasilkan umbi kentang 525 g/tanaman untuk KT Sumber dan 488 g/tanaman untuk KT Maju. Rendahnya hasil panen umbi kentang disebabkan oleh serangan penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) karena lahan yang digunakan adalah bekas tanaman tembakau. Namun demikian, kegiatan ini berhasil membuktikan bahwa tanaman kentang dapat tumbuh dan berproduksi normal di dataran medium (900-110 m dpl).
Keempat, Integrasi Klon Kopi Harapan dengan Budidaya dan Pengelolaan yang Sesuai untuk Lahan Marjinal terhadap Produksi dan Kualitas Biji (Kegiatan J). Kegiatan ini dilaksanakan pada TA 2006-2008 dengan tujuan: a) memperoleh tanaman kopi klonal dari beberapa klon batang bawah dan klon batang atas unggul di desa Soborejo, kecamatan Pringsurat, dan b) membangun visitor plot rehabilitasi tanaman kopi di desa Wonokerso, kecamatan Pringsurat dengan menerapkan teknologi sambung pucuk. Teknologi yang diterapkan adalah pemupukan kopi Robusta klon BP308, BP534, BP936, BP939, BP409 dengan urea dosis 0, 30, dan 60 g/pohon, serta SP36 dosis 0, 15, dan 30 g/pohon. Telah dihasilkan beberapa bibit klonal yang layak dikembangkan. Bibit-bibit klonal tersebut merupakan kombinasi tiga klon batang bawah (BP308, BP409, dan Exelsa lokal yang toleran kekeringan dan nematoda parasit) dengan empat klon batang atas (BP409, BP534, BP936, dan BP939). Visitor plot tanaman kopi telah dibangun. Rehabilitasi tanaman kopi menggunakan metode sambung pucuk (top ent) pada tunas air dengan klon-klon batang atas BP409, BP534, BP936, dan BP939. Kegiatan ini berjalan cukup baik untuk pembelajaran budidaya kopi klonal. Petani dan petugas pertanian memberikan respons baik.
Kelima, Pengembangan Teknologi Budidaya Kentang Olahan yang Ramah Lingkungan Menunjang Agribisnis (Kegiatan K). Kegiatan ini dilaksanakan pada TA 2008 di desa Tuksari, kecamatan Kledung. Tujuannya untuk: a) meningkatkan pengetahuan dan wawasan petani dalam budidaya kentang olahan yang ramah lingkungan, dan b) mengembangkan dan menyebarluaskan teknologi inovatif budidaya kentang olahan kepada petani. Kegiatan yang telah dilaksanakan adalah: a) sosialisasi teknologi kentang olahan kepada KT Cahaya Tani dan KT Ngudi Rahayu, masing-masing 10 orang, b) diseminasi aplikasi teknologi inovatif kentang olahan melalui demplot. Teknologi yang dikembangkan meliputi: a) varietas kentang (Atlantik dan Margahayu), b) budidaya (pengolahan tanah minimum, penggunaan pupuk kandang ayam dosis 20 t/ha, dan teknik pengkomposan dengan mikroba dekomposer), c) sistem tanam tumpangsari kentang+bawang daun (dua baris tanaman kentang pada tiap bedengan dengan jarak tanam 80 cm x 40 cm; jarak tanam bawang daun di antara tanaman kentang, 20 cm x 20 cm), d) pengendalian OPT dengan biopestisida, dan e) penanganan dan pengolahan hasil (pembuatan keripik kentang dan potato chip). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tinggi tanaman kentang Atlantik pada 60 hari setelah tanam (HST) 83,3 cm dengan jumlah tunas 2,8 sedangkan kentang Margahayu 46,6 cm dengan jumlah tunas 3,1. Hama dan penyakit yang menyerang kentang Atlantik pada 60 HST adalah Phytopthora 5%, layu bakteri 2%, Lyromiza 5%, Bemisia 10%, Trip 5%, dan Pluzia 10%, sedangkan yang menyerang kentang Margahayu, adalah ayu bakteri 1%, Lyromiza 2%, Bemisia 6%, Trip 2%. Kentang Margahayu lebih tahan terhadap hama dan penyakit daripada kentang Atlantik. Panen dilakukan pada 85 HST. Hasil umbi kentang Atlantik 29,7 t/ha, sedangkan kentang Margahayu 19,2 t/ha. Kentang Atlantik diolah menjadi tepung, pati, keripik, dodol, dan donat oleh KWT Sari Tani, sedangkan kentang Margahayu untuk bibit baru.

b.  Hasil kajian

Hasil kegiatan C (Tabel 4) menunjukkan bahwa teknologi pengendalian penyakit lincat dengan mikroba antagonis semula diadopsi oleh petani kooperator, tetapi kemudian tidak diadopsi sama sekali, sedangkan yang dengan varietas tahan diadopsi oleh petani kooperator.
Pengendalian lincat dengan mikroba antagonis sangat efektif. Tembakau dapat tumbuh setelah tanah lincat diberi mikroba. Tidak dapat tumbuhnya tembakau karena sifat tanah lincat yang sangat keras dan retak pada MK, tetapi lengket dan licin pada MH menyebabkan akar mudah rusak saat bibit dicabut pada bedengan. Apabila diberi mikroba, tanah lincat menjadi gembur sehingga tidak merusak perakaran. Manfaat lainnya, harga tembakau kering rajangan pada tanah yang tidak mengandung lincat Rp 70.000,-/kg, sedangkan pada tanah lincat yang diberi mikroba Rp 110.000,- – 180.000,-/kg karena warna tembakau lebih cerah.
Tabel 4.   Adopsi dan penyebaran teknologi budidaya tanaman di beberapa desa, kabupaten Temanggung

Macam Teknologi
Jumlah
Kooperator
Tingkat Adopsi Teknologi
Jumlah
Adopter
Kegiatan C



§ Biopestisida “MABA”
§ Pengendalian penyakit lincat dengan biopestisida “MABA”
15 orang
Semula 100% kemudian menjadi 0%
15 orang (selanjutnya tidak ada
§ Varietas tembakau tahan penyakit lincat (Kemloko 2 dan Kemloko 3
100%
15 orang
Kegiatan E



§ Bibit kentang bersertifikat
§ Pembuatan kompos dengan EM
§ Pupuk berimbang
§ Tumpangsari kentang+bawang daun
§ Pengendalian hama/penyakit
3 orang
100%
20 orang
(selanjutnya tidak ada)
Kegiatan F



§ PHT pada kentang
§ Irigasi tetes
20 orang
0%
0 orang
Kegiatan J



§ Klon unggul batang atas dan bawah
§ Sambung pucuk klon batang bawah dengan klon batang atas unggul
§ Dosis pemupukan urea dan SP36
25 orang
100%
100 orang petani plasma dan 825 orang petani pengadopter
Kegiatan K



§ Varietas unggul
20 orang;   2 KT
100%
27 orang; 2 KT (sedang dalam persiapan tanam, belum diketahui adopternya)
§ Olah tanah minimum
0%
§ Penggunaan pupuk kandang
100%
§ Teknik pengkomposan
100%
§ Sistem tanam tumpangsari
100%
§ Pengendalian hama/penyakit
0%
§ Pengolahan hasil
100%
5 dusun


Secara umum, teknologi pengendalian penyakit lincat yang diintroduksikan sudah sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi dan kebutuhan petani di desa Kemloko. Selain itu, teknologinya mudah diterapkan. Oleh karena itu, teknologi ini berpeluang untuk diterapkan di daerah lain. Namun demikian, ada beberapa permasalahan yang dihadapi petani, yakni tidak adanya tindak lanjut penerapan teknologi oleh petani yang terbina. Mereka tidak memperoleh bahan aktif mikroba dan teknologi perbanyakannya dari peneliti yang bersangkutan. Atas inisiatif petugas PPL dan PHP, tanah lincat dilubangi kemudian diberi pupuk kandang yang telah difermentasi dengan EM4, selanjutnya pupuk kandang tersebut disemprot dengan suspensi jamur Trichoderma harzianum. Ternyata, efektivitasnya sama dengan biopestisida “MABA” buatan Balittas.
Tabel 5.   Kondisi lapang sebelum dan sesudah diterapkannya teknologi teknologi budidaya tanaman di beberapa desa, kabupaten Temanggung

Macam teknologi
Kondisi lapang
Sebelum kegiatan
Sesudah kegiatan
Kegiatan C


§  Biopestisida “MABA”
Tembakau tidak tumbuh pada tanah lincat; pada MK keras dan terbelah, pada MH lengket
Tanah lincat yang diberi mikroba, gembur, dapat ditanami tembakau
§  Pengendalian penyakit lincat dengan biopestisida “MABA”
§  Varietas tembakau tahan lincat (Kemloko 2 dan 3)
Tidak tersedia varietas tahan lincat
Tersedia varietas tahan lincat
Kegiatan E


§ Bibit kentang bersertifikat
Tidak tersedia
Tersedia dari Balitsa
§ Pembuatan kompos
Proses alami, tanpa fermentasi
Fermentasi dengan EM4
§ Penggunaan pupuk anorganik
Dengan urea/ZA dan SP36
Dengan urea, SP36 dan KCl, berimbang
§ Tumpangsari kentang+bawang daun
Tidak ada tanaman kentang
Muncul tanaman kentang
§ Pengendalian hama/penyakit
Tidak pernah dilakukan
Dengan pestisida botani
Kegiatan F


§ PHT pada kentang
Pengendalikan hama/penyakit dengan pestisida
Tidak dilakukan, tanaman terserang penyakit
§ Irigasi tetes untuk mengatasi kekurangan air di lahan kering.
Belum dilakukan, petani menyiram air yang lokasinya jauh
Pipa sudah dipasang, petani enggan mengambil air karena jauh
Kegiatan J


§ Klon unggul batang atas dan bawah
Tidak tersedia
Tersedia dari Puslit Koka, Jember
§ Sambung pucuk
Belum dikenal petani
Dikenal 3 klon batang bawah, 4 klon batang atas
§ Dosis pemupukan urea dan SP36
Dosis urea dan SP36 tidak tentu bergantung daya beli petani
Urea 30 g/pohon) dan SP36 15g/pohon
Kegiatan K


§ Varietas unggul
Granola
Atlantik dan Margahayu
§ Olah tanah minimum
Ada di lahan kering
Ada di lahan kering, tapi dirubah olah tanah sempurna di lahan sawah
§ Pupuk kandang ayam
Dosis bergantung ketersediaan
Dosis 20 t/ha
§ Teknik pengkomposan
Secara alami
Dengan dekomposer
§ Sistem tanam
Monokultur
Tumpangsari
§ Pengendalian hama/penyakit
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
§ Pengolahan hasil
Tidak ada
Keripik kentang dan potato chip


Hasil kegiatan E disajikan dalam Tabel 4. Kegiatan tersebut diadopsi sepenuhnya oleh petani. Jumlah petani kooperator yang dilibatkan sebanyak 3 orang dan yang mengadopsi sebanyak 20 orang. Meskipun petani pengadopsi teknologi bertambah, namun pada musim tanam berikutnya, petani tidak mau lagi bertanam kentang karena tidak tersedia bibit bersertifikat, sementara bibit hasil panen sebelumnya tidak sehat karena sudah terserang penyakit layu bakteri.
Berdasarkan kondisi lapang (Tabel 6), ada beberapa manfaat yang diperoleh petani dalam mengadopsi teknologi budidaya kentang, antara lain petani memperoleh bukti bahwa tanaman kentang varietas Granola mampu beradaptasi dan tumbuh baik di dataran medium dengan hasil 30 t/ha. Teknologi budidaya kentang yang diintroduksikan sudah sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi dan kebutuhan petani. Selain itu, teknologinya mudah diterapkan, sehingga teknologi ini berpeluang besar untuk diterapkan pada dataran medium di daerah lain. Namun demikian, ada beberapa permasalahan, yakni: a) ketersediaan air yang kurang untuk pertumbuhan tanaman kentang, terutama pada MK. Sumber air yang tersedia cukup jauh sehingga membutuhkan tambahan biaya yang cukup besar. Oleh karena itu banyak petani yang berpendapat bahwa budidaya kentang itu mahal, dan b) desa Sunggingsari merupakan daerah endemis beberapa penyakit, antara lain Pseudomonas solanacearum dan Phytoptora. Untuk mencegah serangan penyakit tersebut, petani harus menggunakan bibit bersertifikat dan bukan bibit yang berasal dari hasil panen sebelumnya. Selain itu, menghindari bertanam kentang di lokasi bekas tanaman Solanaceae, seperti tembakau, tomat, dan terong.
Hasil kegiatan F (Tabel 4) menunjukkan bahwa jumlah petani kooperator yang dilibatkan sebanyak 20 orang, tetapi tidak ada komponen teknologi yang diadopsi petani. Oleh karena itu, manfaat teknologi ini belum dirasakan petani. Permasalahan utama yang dihadapi petani, yakni: a) serangan penyakit Pseudomonas solanacearum dan Phytoptora. Kedua jenis penyakit tersebut bersifat endemis di desa Sunggingsari. Teknologi untuk mengatasinya harus diawali dengan pengaturan pola tanam, antara lain tidak bertanam kentang pada lahan bekas tembakau. Selain itu, bibit yang digunakan harus dijamin sehat, tidak mengandung penyakit, b) Ketersediaan air yang kurang untuk pertumbuhan tanaman kentang, terutama pada MK. Upaya menerapkan teknologi irigasi tetes tidak berhasil karena sumber air yang tersedia cukup jauh sehingga membutuhkan tambahan biaya untuk tenaga kerja yang cukup besar.
Hasil kegiatan J (Tabel 4) menunjukkan bahwa semua komponen teknologi diadopsi petani. Jumlah petani kooperator yang dilibatkan sebanyak 25 orang dan yang mengadopsi 825 orang. Selain desa Soborejo dan Wonokerso, teknologi sambung pucuk juga diadopsi oleh petani di desa sekitar. Kondisi lapang sebelum dan sesudah dilaksanakannya kegiatan ini disajikan dalam Tabel 5. Berdasarkan kondisi lapang tersebut, ada beberapa manfaat yang diperoleh petani dalam mengadopsi teknologi tersebut, antara lain: a) berkurangnya serangan hama/penyakit seperti nematoda perusak akar dan ulat perusak biji, b) penampilan tanaman setelah sambung pucuk lebih baik daripada varietas lokal, dengan diameter batang lebih lebar, dompolan buah lebih lebat, jarak antar dompolan lebih rapat, buah lebih besar, dan tahan kekeringan, c) hasil panen lebih banyak; hasil panen sambung pucuk dengan klon batang atas untuk sekali petik 10 kg/pohon, sedangkan varietas lokal 5-10 kg/pohon.
Teknologi integrasi klon kopi harapan dengan budidaya yang diintroduksikan sudah sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi dan kebutuhan petani. Selain itu, teknologinya mudah diterapkan. Oleh karena itu, teknologi tersebut berpeluang besar untuk diterapkan di daerah lain. Namun demikian, ada beberapa permasalahan yang dihadapi petani dalam menerapkan teknologi, yakni: a) cara pengendalian hama penggerek batang secara hayati (non-kimia), b) pemenuhan kebutuhan terhadap pupuk kandang, dan c) belum tersedianya alat dan teknologi pasca panen kopi.
Hasil kegiatan K (Tabel 4) menunjukkan bahwa semua komponen teknologi diadopsi petani. Dua komponen tidak jadi diterapkan, yakni olah tanah minimum karena berubahnya lokasi kegiatan (dari lahan kering ke lahan bekas sawah), dan pengendalian OPT dengan biopestisida karena tingkat serangan hama/penyakit rendah, tidak layak dikendalikan. Selain desa Tuksari, teknologi tersebut belum diadopsi di desa lain karena musim tanam belum tiba.
Berdasarkan kondisi lapang (Tabel 5), ada beberapa manfaat yang diperoleh petani dalam mengadopsi teknologi tersebut, antara lain: a) meningkatnya pendapatan petani. Semula, dengan sistem tanam monokultur, hasil panen kentang Granola 35 t/ha. Sekarang, dengan sistem tanam tumpang sari, meskipun hasil panen lebih rendah (kentang Atlantik 29 t/ha dan kentang Margahayu 23 t/ha), namun pendapatan lebih tinggi karena ditambah dengan hasil panen bawang daun, b) saat tidak tersedia cukup air pada lahan kering untuk “ngelep” (menggenangi lahan semalam), bertanam kentang sistem olah tanah sempurna pada lahan bekas sawah ternyata memberikan hasil yang lebih tinggi daripada bertanam sistem olah tanah minimum pada lahan kering. Oleh karena itu, setelah panen padi sawah, petani cenderung bertanam kentang daripada bertanam tembakau, c) mengurangi kebergantungan bertanam tembakau  secara terus-menerus, terutama saat harga tembakau menurun tajam, d) pembuatan dan penggunaan pupuk organik dapat mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik sehingga biaya produksi dapat ditekan, e) sistem tanam tumpangsari dapat meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan pendapatan petani per luasan area tanam, serta mengurangi risiko gagal panen atau jatuhnya harga komoditas tertentu, dan f) kentang Atlantik dan Margahayu dapat diolah menjadi kripik kentang dan potato chip sehingga membuka peluang usaha baru, yakni pengolahan hasil berbahan baku kentang, sedangkan kentang Granola hanya untuk sayur.
Teknologi budidaya kentang yang diintroduksikan sudah sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi, teknis, dan kebutuhan petani di desa Tuksari. Oleh karena itu, teknologi ini memiliki prospek yang baik untuk diterapkan di daerah lain. Namun demikian, ada beberapa permasalahan yang dihadapi petani dalam  menerapkan teknologi ini, yakni: a) kurangnya ketersediaan air pada saat MK dan berlebihan pada saat MH, namun masalah ini dapat diatasi dengan bertanam kentang di lahan bekas sawah (setelah panen padi), b) teknologi pembibitan kentang belum dikenal petani sementara bibit kentang Atlantik dan Margahayu sulit diperoleh dan mahal, dan c) pedagang dan konsumen belum mengenal/memahami bahwa kentang varietas Atlantik dan Margahayu adalah jenis kentang olahan non-sayur untuk makanan ringan, sehingga dijual murah dengan harga sama dengan kentang sayur Granola.

2.   Teknik budidaya ternak
a.   Gambaran umum kegiatan

Penelitian yang berjudul Introduksi Teknologi Produksi Kambing Perah sebagai Komponen Agribisnis di Lahan Marginal (Kegiatan I) ini dilaksanakan pada TA 2007 di desa Jombor, kecamatan Jumo dengan melibatkan 33 orang anggota KT Sidomulyo. Tiga ekor kambing pejantan peranakan etawah (PE) diberikan kepada tiga petani untuk dikawinkan dengan kambing betina lokal milik petani untuk meningkatkan kualitas bibit kambing lokal. Selain itu, satu unit freezer diberikan kepada KT untuk menampung susu dari petani sebelum dipasarkan. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa ternak kambing di lokasi tersebut cukup potensial untuk dikembangkan. Walaupun jumlah anak sekelahiran (LS) relatif tinggi (1,58), namun tingginya mortalitas anak hingga 20% menyebabkan produktivitas ternak ini relatif rendah. Dari hasil perhitungan, seekor induk kambing dapat menghasilkan anak 1,6 ekor/tahun atau setara dengan Rp 483.480,-/tahun. Dengan tingkat kepemilikan ternak induk sebanyak 5 ekor/petani dan kegagalan kebuntingan/kelahiran 10%, jumlah pendapatan petani baru mencapai Rp 183.000,-/bulan. Jumlah ini masih dapat ditingkatkan dengan perbaikan manajemen pemeliharaan. Demikian pula, introduksi teknologi budidaya kambing perah akan menambah sumber pendapatan baru yang berasal dari susu, atau paling tidak untuk konsumsi keluarga petani sendiri. Produksi rata-rata susu kambing perah di tingkat petani 0,4 l/ekor/hari atau 60 l/ekor/laktasi, masih jauh lebih rendah daripada potensi yang dimilikinya (136-253 l/laktasi). Oleh karena itu, peningkatan pendapatan petani melalui sentuhan teknologi adaptif sangat dimungkinkan. Perbaikan kandang telah dilakukan oleh 3 orang petani kooperator inti sebagai contoh model untuk ditiru oleh petani lainnya. Saat ini sudah ada 3 orang petani yang meniru dan membangun kandang panggung secara swadaya. Walaupun peran ternak kambing dalam hal kontribusinya terhadap pendapatan petani relatif kecil (Rp 327.000,-/tahun), namun petani masih optimis, kambing berperanan penting dalam menghadapi masa krisis (sebagai tabungan). Rendahnya pendapatan petani dari kambing ini tidak lepas dari tata kelola yang belum memenuhi standar usahatani berwawasan agribisnis, serta jumlah kepemilikan ternak yang relatif kecil (kegiatan sampingan). Bimbingan dan pendampingan secara berkelanjutan sangat diperlukan sampai usahatani kambing perah di desa ini benar-benar operasional sesuai yang direncanakan.

Tabel 6.   Adopsi dan penyebaran teknologi budidaya ternak kambing (Kegiatan I) di desa Jombor, kecamatan Jumo, kabupaten Temanggung

Macam Teknologi
Jumlah
Kooperator
Tingkat Adopsi Teknologi
Jumlah
Adopter
§ Perkawinan kambing PE pejantan dengan kambing lokal
§ Teknik produksi susu
§ Perbaikan kandang
33 orang
(5 orang tidak punya kambing)
100%
91 orang dari 5 desa sekitar


b.  Hasil kajian

Hasil kegiatan I (Tabel 6) menunjukkan bahwa semua komponen teknologi diadopsi oleh petani di desa Jombor dan tiga desa lainnya, yakni Ketitan, Giono, dan Kertosari, kecamatan Jumo. Berdasarkan kondisi lapang (Tabel 7), manfaat yang diperoleh petani dalam mengadopsi teknologi, antara lain: a) perkembangan ternak kambing meningkat pesat. Dari 9 orang petani, 23 ekor kambing betina lokal dikawinkan dengan pejantan PE pada bulan Oktober 2007, sekarang (November 2009) menjadi 109 ekor, termasuk kambing jantan yang dijual karena keterbatasan kemampuan memeliharanya, b) kualitas kambing hasil perkawinan meningkat. Harga kambing lokal umur 4 bulan Rp 500.000,-/ekor, sedangkan kambing hasil perkawinan Rp 800.000,- - 900.000,-/ekor, c) nilai gizi keluarga meningkat. Susu kambing belum dijual karena masih sedikit, tetapi dimanfaatkan untuk menambah gizi keluarga, d) menambah ketersediaan pupuk kandang, dan e) adanya sumber pendapatan baru bagi KT dalam memberikan jasa perkawinan kambing PE yang dipelihara oleh KT dengan kambing betina lokal milik petani. Biaya mengawinkan kambing untuk sekali kawin Rp 15.000,- (Rp 10.000,- untuk pemelihara kambing pejantan dan Rp 5.000,- untuk kas KT), sedangkan yang bukan anggota KT Rp 25.000,- (Rp 15.000,- untuk pemelihara kambing pejantan dan Rp 10.000,- untuk kas KT).

Tabel 7.   Kondisi lapang sebelum dan sesudah diterapkannya teknologi budidaya kambing (Kegiatan I) di desa Jombor, kecamatan Jumo, kabupaten Temanggung

Macam teknologi
Kondisi lapang
Sebelum kegiatan
Sesudah kegiatan
§ Perkawinan kambing PE pejantan dengan kambing lokal
Belum pernah dilakukan
Dilakukan
§ Teknik produksi susu
Belum pernah dilakukan
Dilakukan, untuk konsumsi keluarga
§ Perbaikan kandang
Kandang lemprak
Kandang panggung, kotoran kambing ditumpuk dipojok kandang


Secara umum, teknologi produksi kambing perah yang diintroduksikan sudah sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi dan kebutuhan petani. Selain itu, teknologinya mudah diterapkan. Oleh karena itu, teknologi produksi kambing perah berpeluang besar untuk diterapkan di daerah lain. Namun demikian, ada beberapa permasalahan yang dihadapi petani, yakni: a) keterbatasan modal bagi petani untuk pembuatan dan perluasan kandang, b) sumber pakan yang terbatas saat MK, sementara teknologi pengawetan pakan belum tersedia, c) tidak tersedia waktu cukup untuk mengelola kambing dengan baik karena prioritas petani pada usahatani kopi, d) pembangunan kandang kelompok belum terwujud karena tidak tersedia lahan, dan e) sulitnya mencari penggaduh karena hampir semua petani memelihara kambing.

3.   Pasca panen
a.   Gambaran umum kegiatan

Penelitian yang berjudul Perbaikan Teknologi Pasca Panen Buah Kelengkeng untuk Meningkatkan Mutu dan Daya Simpan (Kegiatan B) ini dilakukan pada tahun 2006 di desa Pagergunung, kecamatan Pringsurat dengan tujuan memperbaiki mutu dan daya simpan kelengkeng dengan teknologi pelilinan dan pengemasan buah. Dasar pertimbangannya adalah adanya permasalahan yang dihadapi petani dan pedagang pengumpul, yakni daya simpan kelengkeng yang singkat (2-4 hari). Teknologi pelilinan dilakukan dengan mencelupkan buah kelengkeng ke dalam larutan emulsi lilin 0,25% + fungisida 500 ppm selama 30 detik kemudian ditiris-anginkan dan disimpan pada suhu kamar. Pada hari ke-10 penyimpanan, buah memiliki kadar gula 23,73º Brix, total asam 0,072%, vitamin C 387,83 mg/100 g, warna daging putih bening, dan rasa manis (2,9). Teknologi pengemasan menggunakan kantong plastik polietilen berkapasitas 2 kg. Pada hari ke-10 penyimpanan pada suhu kamar, buah memiliki kadar gula 17,93º Brix, total asam 0,066%, vitamin C 423,95 mg/100 g, warna daging putih bening, dan rasa sangat manis (3,0). Teknologi pelilinan mampu memperpanjang daya simpan hingga 12 hari dengan susut bobot 28,75%. Teknologi pengemasan mampu memperpanjang daya simpan hingga 14 hari dengan susut bobot 8%. Teradopsinya teknologi pelilinan dan pengemasan dengan daya simpan lengkeng selama 12 hari memungkinkan distribusi dan jangkauan pemasaran lebih luas, posisi tawar buah lengkeng meningkat, sehingga terjadi peningkatan pendapatan petani.

b.  Hasil kajian

Hasil kajian Kegiatan B (Tabel 4) menunjukkan bahwa jumlah petani kooperator yang dilibatkan sebanyak 18 orang dari KT Ngudiraharjo dan yang mengadopsi tidak ada. Hal ini disebabkan oleh kurang efektifnya teknologi tersebut. Dengan teknologi pelilinan, buah membusuk setelah seminggu perlakuan, sedangkan yang tanpa teknologi, buah mengering pada 3 hari setelah panen dan membusuk pada 5-6 hari setelah panen. Oleh kerena itu, teknologi pascapanen buah kelengkeng yang diintroduksikan belum dirasakan manfaatnya bagi petani meskipun hasilnya dapat memperpanjang daya simpan buah, tetapi warna kulit buahnya pucat sehingga tidak disukai petani. Hal ini disebabkan oleh teknologi yang ditransfer tidak tuntas dalam arti belum sampai ke penyampaian teknologi mempertahankan warna kulit buah.

Tabel 6.   Adopsi dan penyebaran teknologi pasca panen buah kelengkeng (Kegiatan B) di desa Pagergunung, kecamatan Pringsurat, kabupaten Temanggung

Macam Teknologi
Jumlah
Kooperator
Tingkat Adopsi Teknologi
Jumlah
Adopter
§ Pelilinan dengan mencelupkan buah ke dalam larutan emulsi lilin + fungisida
§ Pengemasan buah menggunakan kantong plastik polietilen
18 orang
0%
0 orang

4.   Kelembagaan

Kegiatan yang termasuk kelompok ini berjudul: a) Rekayasa Kelembagaan Pemasaran Komoditas Sayuran Unggulan (Kegiatan D), dan b) Sistem Permodalan Anggota Kelembagaan Kelompok Agribisnis Ternak-Sayuran (SPAKKATS) (Kegiatan H). Kegiatan D dilaksanakan pada TA 2006 di desa Banjarsari, kecamatan Kandangan dengan tujuan menganalisis sistem pemasaran komoditas sayuran unggulan pada berbagai segmen pasar dengan metode survai, RRA, dan FGD. Cabe merah merupakan komoditas unggulan daerah Temanggung. Areal panen cabe pada tahun 2005 seluas 2.130 ha dengan produksi 9.282 t dan produktivitas 43,58 ku/ha. Harga cabe berfluktuasi dari Rp 5.688,-/kg hingga Rp 10.902,-/kg. Harga di tingkat pedagang pada saat hari besar antara Rp 11.000,-/kg - Rp 36.250,-/kg. Keuntungan usahatani cabe Rp 5.440.000,-/ha/musim dengan R/C 1,76.
Kelembagaan pendukung agribisnis sayuran antara lain KT, balai benih, KUD, terminal agribisnis, dan pasar. KUD dan KT belum terlihat peranannya sehingga pemasaran didominasi oleh bandar (pedagang pengumpul besar) dan tengkulak (pedagang kecil). Alur pemasaran cabe relatif pendek. Bandar langsung menjual cabe ke Jakarta. Margin keuntungan pemasaran yang diraih pedagang pengumpul besar Rp 225,-/kg. Disarankan agar petani dibangkitkan kesadarannya untuk meningkatkan posisi tawar dalam pemasaran hasil. Untuk itu, sebaiknya gabungan kelompok tani (Gapoktan) dapat menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, terutama dalam memasarkan hasil dan memperoleh kredit modal usaha.
SPAKKATS merupakan model lembaga keuangan mikro (LKM) yang dibangun dan dikembangkan secara partisipatif oleh anggota KT. Dalam model ini, petani didorong agar mampu berperan sebagai pengusaha dan pelaku agribisnis yang profesional dalam menunjang SUT. Ada dua tahap kegiatan, yaitu Tahap I (2006), pembentukan kelompok petani SUT dilanjutkan pembentukan SPAKKATS sebagai LKM. Tahap II (2007), pengembangan SPAKKATS menjadi suatu model kelembagaan petani di desa Canggal. Kegiatan tahun 2007 dilakukan di desa Canggal, kecamatan Kledung, melibatkan petani SUT tahun 2004-2005 sebanyak 20 orang yang telah mengadopsi teknologi SUT konservasi (Kegiatan A). Hasil kegiatan menunjukkan bahwa para petani di desa Canggal mampu memupuk modal untuk pengembangan usaha taninya. Ditinjau dari jumlah anggota yang bertambah menjadi 48 orang pada akhir kegiatan, petani sangat dinamis, terutama dalam usaha penyediaan pupuk. Dana kelompok yang dimiliki saat ini sebanyak Rp 39.700.000. Dana tersebut berasal dari pengembalian ternak domba Rp  8.000.000,-, usahatani sayuran Rp 13.000.000,-, usaha penyediaan pupuk kandang Rp 14.200.000,- dan tabungan petani Rp 4.500.000,-. Kemampuan petani dalam menghimpun dana investasi sebesar Rp 100.000,-/orang sebagai simpanan pokok dan Rp 10.000,- sebagai simpanan wajib bulanan.

a.    Hasil Kajian

Sesuai dengan tujuan kegiatan D, yakni menganalisis sistem pemasaran komoditas sayuran unggulan pada berbagai segmen pasar, demikian juga dengan tujuan kegiatan H, yakni mewujudkan LKM secara partisipatif di tingkat petani yang berorientasi agribisnis ternak dan tanaman di lahan marginal, maka kedua kegiatan ini tidak memuat teknologi yang akan diintroduksikan sehingga tidak dapat diadopsi oleh petani. Manfaat kegiatan D berupa masukan bagi petani dan stakeholders di daerah dalam pembangunan kelembagaan pemasaran. Manfaat kegiatan H adalah: a) terbangunnya LKM sebagai sumber keuangan (modal), dan b) terdorongnya petani sebagai pengusaha dan pelaku agribisnis yang profesional, khususnya dalam pengembangan SUT.

KESIMPULAN DAN SARAN

A.  Kesimpulan

1.    Ada 11 kegiatan penelitian, pengkajian, dan pengembangan yang dilaksanakan pada TA 2004-2009 oleh Balai/Puslit lingkup Badan Litbang Pertanian di Kabupaten Temanggung. Kegiatan tersebut meliputi teknologi budidaya hortikultura (sayuran dan buah-buahan), perkebunan, dan peternakan, serta teknologi konservasi tanah dan air, dan kelembagaan.
2.    Melalui berbagai kegiatan penelitian, pengkajian, dan pengembangan beberapa teknologi telah diadopsi dan dikembangkan oleh petani, antara lain: a) teknologi konservasi lahan dapat mengurangi erosi dan menambah hijauan pakan ternak, b) teknologi budidaya ternak (perkawinan kambing pejantan PE unggul dengan betina lokal) dapat meningkatkan kualitas keturunan sehingga harga jualnya meningkat, meningkatkan nilai gizi keluarga dari susu yang diproduksi, menambah ketersediaan pupuk organik, dan menambah usaha baru berupa jasa mengawinkan ternak, c) teknologi sambung pucuk tunas air menggunakan klon batang bawah yang tahan nematoda dan klon batang atas yang unggul dapat meningkatkan produktivitas kopi d) teknologi budidaya tanaman dapat meningkatkan intensitas penanaman, mengurangi kebergantungan bertanam tembakau yang harganya sangat fluktuatif, mengoptimalkan penggunaan lahan dengan bertanam multiple cropping, meningkatnya produktivitas tanaman, dan munculnya komoditas baru kentang olahan non sayur (varietas Atlantik dan Margahayu) di dataran medium.
3.    LKM secara partisipatif di tingkat petani yang diberi nama SPAKKATT di desa Canggal, kecamatan Kledung berhasil membantu petani dalam mengatasi permasalahan modal usahatani sekaligus  memotivasi petani sebagai pengusaha dan pelaku agribisnis yang profesional.
4.    Masalah yang dihadapi petani dalam menerapkan teknologi, antara lain: a) ketersediaan air yang kurang pada saat MK dan berlebih pada saat MH, b) ketersediaan sumber pakan yang terbatas saat MK, sementara teknologi pengawetan pakan tidak tersedia, c) ketersediaan bibit kentang yang tidak tertular penyakit, d) kurangnya tenaga dan modal untuk membuat teras dan kandang panggung, dan e) pemasaran kentang khusus varietas Atlantik dan Margahayu.
5.    Teknologi yang belum berhasil diterapkan oleh petani, antara lain: a) pengawetan dan pengemasan buah kelengkeng, b) perbanyakan mikroba untuk pengendalian penyakit lincat pada tembakau, c) perbanyakan bibit kentang tahan penyakit, dan d) irigasi tetes pada kentang.

B.  Saran

1.    Teknologi yang telah diadopsi oleh petani sebaiknya disosialisasikan dan dikembangkan ke desa/daerah lain yang mempunyai kondisi sumberdaya alam yang relatif sama. Untuk ini, diperlukan dukungan dari BPTP Jawa Tengah dan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Temanggung.
2.    Permasalahan dalam penerapan teknologi yang belum teratasi, demikian juga teknologi dari hasil kegiatan penelitian, pengkajian, dan pengembangan yang belum berhasil diterapkan oleh petani, perlu ditindak-lanjuti oleh Balit/Puslit terkait.

PUSTAKA

Agustian, A., Sunarsih, dan Ashari. 2006. Rekayasa kelembagaan pemasaran komoditas sayuran unggulan pada wilayah P4MI(kabupaten Temanggung dan Lombok Timur). Laporan Akhir Kegiatan P4MI. PASEKP. 151 p.
Kusnadi, U, Sumanto, E. Juarini, D. Pramono, Subiharta, B. Setiadi. 2007. Eskalasi sistem permodalan anggota kelembagaan kelompok agribisnis ternak-sayuran (SPAKKATS) di Temanggung. Laporan Akhir Kegiatan P4MI. Balitnak. 40 p.
Prawoto, A. 2008. Integrasi klon kopi harapan dengan budidaya dan pengelolaan yang sesuai untuk lahan marjinal terhadap produksi dan kualitas biji di Temanggung dan Ende. Laporan Akhir Penelitian P4MI. Puslit Koka. 40 p.
Purnomo, S., B. Marwoto, U. Kusnadi, W. Adiyoga, R.S. Basuki, Nikardi, A. Dariah, D. Purnomo, A. Thomas, W. Hartatik, D. Setyabudi, dan Suparlan. 2005. Pengembangan sistem usahatani berbasis tanaman sayuran/pangan–ternak berwawasan konservasi di kabupaten Temanggung. Laporan Akhir Kegiatan P4MI. Puslitbanghort.
Rochman, F., D. Soetopo, Mukani, A.S. Murdiyati, T. Yulianti, S. Basuki, S. Basuki, Suwarso, J. Budiharjo, N. Hidayah, D.A. Sunarto, Rustini, Saridi, E. Nurdjajati, dan E. Sunaryuni. 2006. Introduksi varietas tahan dan mikroba antagonis untuk mengendalikan penyakit lincat pada tembakau Temanggung. Laporan Akhir Penelitian Senjang Tematik P4MI. Balittas. 10 p.
Setyabudi, D.A., I. Agustinisari, E. Sukasih, R. Rachmat, R. Thahir, Yulianingsih, H. Setyanto, A.S. Somantri, S.M. Widayanti, N. Setyawan, dan M. Hadipernata. 2006. Perbaikan teknologi pasca panen buah kelengkeng (Euphoria longana) untuk meningkatkan mutu dan daya simpan di Temanggung. Laporan Akhir Kegiatan P4MI. B.B. Litbang Pascapanen Pertanian. 47 p.
Suganda, H., N.L. Nurida, A. Dariah, Isbandi, M.T. Sutriadi, T. Budhyastoro, T.R. Prastuti, dan Sarjana. 2007. Konservasi tanah untuk lahan usahatani berbasis tanaman sayuran di Temanggung. Laporan Akhir Kegiatan P4MI. Balittanah. 36 p.
Sutama, I K., I G.M. Budiarsana, W. Puastuti, Supriyati, T. Kostaman, Subiharta, dan M. Yani. 2007. Introduksi teknologi produksi kambing perah sebagai komponen agribisnis di lahan marginal di Temanggung. Laporan Akhir Kegiatan P4MI. Balitnak. 44 p.
Sutapradja, H., Y. Hilman, E. Sumiati, R. Sutarya, N. Sumarni, R. Rosliani, dan Nurhartuti. 2008. Pengembangan teknologi budidaya kentang olahan yang ramah lingkungan untuk menunjang agribisnis di kabupaten Temanggung. Laporan Akhir Kegiatan P4MI. Balitsa. 66 p.
Sutarya, R., A.L. Dibiyantoro, Subhan, R. Suherman, R.S. Basuki, dan N. Sumarni. 2006. Integrasi teknologi inovatif pada budidaya kentang di lahan kering dalam upaya menunjang sistem pertanian berkelanjutan di Temanggung. Laporan Akhir Kegiatan P4MI. Balitsa. 44 p.
Sutarya, R., Subhan, R. Suherman, M. Arifin, Sutoyo, dan Hariyanto. 2007. Pengembangan teknologi pengendalian hama/penyakit terpadu dan irigasi tetes pada budidaya kentang di lahan marjinal dataran medium di Temanggung. Laporan Akhir Kegiatan P4MI. Balitsa. 54 p.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar