Kamis, 20 Januari 2011

87. Teknik Produksi dan Pemanfaatan Bioinsektisida NPV untuk Pengendalian Ulat Grayak Kedelai


Arifin, M. 2002. Teknik produksi dan pemanfaatan bioinsektisida NPV untuk pengendalian ulat grayak pada kedelai, p. 121-134. Dalam Sunihardi et al. (Eds.). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV: Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan, Komponen dan Paket Teknologi Produksi Palawija. Bogor, 22-24 November 1999. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.


Muhammad ,Arifin
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor

Nuclear-polyhedrosis virus (NPV) merupakan salah satu patogen yang menginfeksi hama ulat grayak pada kedelai. NPV telah direkomendasikan dalam program PHT karena ramah lingkungan, selektif, dan mampu mengendalikan hama tahan insektisida. Namun, pemanfaatannya masih terbatas. Makalah ini membahas sifat-sifat biologi, potensi dan kendala, teknik praduksi, dan pemanfaatan NPV. NPV memiliki potensi biotik tinggi, mudah diperbanyak dan diaplikasikan, sehingga layak dikembangkan sebagai bioinsektisida. Melalui kerja sama kemitraan dengan pihak swasta, Balitbio telah berhasil memproduksi bioinsektisida NPV berskala pilot dengan tiga tahap kegiatan, yaitu (a) pembiakan masal ulat grayak, (b) perbanyakan NPV secara invivo melalui inokulasi, koleksi ulat mati, ekstraksi, sentrifugasi, standardisasi, dan (c) pemformulasian NPV dalam bentuk tepung (wettable powder). Bioinsektisida ini berkonsentrasi 3 x 108 polihedra inclusion bodies (PIBs/g dan berbahan aktif polyhedra 0,3% (1 mg= 1 X 108 PlBs). Dosis aplikasinya 500 g/ha. Bioinsektisida NPV efektif terhadap ulat grayak pada kedelai. Dosis formulasi 500 g/ha yang diaplikasikan dua kali dalam selang seminggu (@ 250 g/ha) mampu menurunkan populasi ulat 88%, sedangkan insektisida dengan jenis dan dosis anjuran tidak mampu menurunkan, bahkan meningkatkan populasi ulat 27%. Dalam makalah ini juga dibahas (a) beberapa masalah dalam memanfaatkan bioinsektisida NPV, antara lain sifat NPV yang berdaya bunuh lambat dan peka sinar ultraviolet, dan (b) penelitian mendatang, terutama untuk menyempurnakan teknik formulasi dan menjadikan bioinsektisida NPV berspektrum luas, sesuai dengan keinginan pengguna. Diharapkan, bioinsektisida NPV dapat dikembangkan dalam skala komersia!, sehingga pemanfaatannya dapat menuntaskan masalah hama secara berkelanjutan, melestarikan lingkungan, dan meninghatkan pendapatan petani.

PENDAHULUAN

Ada 111 jenis serangga hama kedelai di Indonesia (Okada et al. 1988), beberapa di antaranya berstatus penting, antara lain hama daun ulat grayak, Spodoptera litura (F.). Hama ini selalu mengakibatkan kehilangan hasil panen yang relatif tinggi sepanjang tahun, bahkan sering dilaporkan mengalami eksplosi.
Umumnya, ulat grayak dikendalikan dengan insektisida yang diaplikasikan secara terjadwal, mulai tanaman berumur 3-9 minggu setelah tanam dengan frekuensi seminggu sekali atau lebih. Penggunaan insektisida menjadi berlebihan, sehingga seringkali tidak mengenai sasaran, bahkan dapat menimbulkan dampak negatif, baik terhadap pendapatan petani, maupun lingkungan, seperti musnahnya serangga berguna (parasitoid, predator, dan penyerbuk), dan munculnya gejala resurgensi dan resistensi hama terhadap insektisida. Cara tersebut dilakukan petani karena belum tersedia cara pengendalian lain yang efektif dan berwawasan lingkungan. Mengingat dampak negatif penggunaan insektisida, pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan tentang sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pelaksanaannya dengan menciptakan dan menerapkan teknologi pengendalian hama yang berwawasan lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan musuh alami.
Nuclear-polyhedrosis virus (NPV) merupakan salah satu patogen berstatus musuh alami yang menginfeksi ulat grayak. Patogen ini memiliki beberapa sifat menguntungkan, antara lain (a) memiliki inang spesifik, (b) tidak membahayakan serangga bukan sasaran, manusia, dan lingkungan, (c) dapat mengatasi masalah keresistensian ulat grayak terhadap insektisida, dan (d) kompatibel dengan komponen PHT lainnya, termasuk insektisida (Maddox 1975; Starnes et al. 1993).
Sejak ditemukannya NPV di beberapa sentra produksi kedelai, seperti Brebes dan Lampung Tengah pada tahun 1985 (Arifin dan Waskito 1986), penelitian untuk memanfaatkannya sebagai agensia pengendalian hayati ulat grayak terus dilakukan secara intensif. Makalah ini mendiskusikan sifat-sifat biologi, potensi dan kendala, teknik produksi, dan pemanfaatan NPV sebagai bioinsektisida untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai.

SIFAT-SIFAT BIOLOGIS

Deskripsi

NPV berbentuk batang dan terdapat di dalam inclusion bodies yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak dan terdapat di dalam inti sel yang rentan dari serangga inang, seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea. Polihedra berukuran 0,5-15 µm dan mengandung partikel virus yang disebut virion. Virion berbentuk batang, berukuran 40-70 nm X 250-400 nm, dan berisi nukleokapsid yang mengandung molekul deoxy-ribonucleic acid (DNA). Virion yang mengandung satu nucleokapsid disebut singly-enveloped NPV, sedangkan yang mengandung beberapa nukleokapsid disebut multiply-enveloped NPV (Payne and Kelly 1981). Morfologi polihedra dan virion dapat dilihat di bawah mikroskop elektron dengan pengecatan negatif atau dengan teknik irisan jaringan yang terinfeksi NPV.

Diagnosis

Ada beberapa macam teknik diagnosis NPV, tetapi yang umum adalah gel electrophoresis dan seroiogi. Teknik gel electrophoresis digunakan untuk membandingkan struktur polipeptida berbagai isolat NPV. Virion dibebaskan dari polihedra dengan larutan alkalis kemudian dimurnikan dengan teknik sucrose density gradient centrifugation. Polipeptida virus dianalisis dengan polyacrylamide gel dan diwarnai dengan coomassie brilliant blue. Berat molekul polipeptida ditentukan dengan membandingkan mobilitasnya pada gel dengan mobilitas marker polipeptida yang telah diketahui berat molekulnya (Sugimori et al. 1990).
Teknik serologi digunakan untuk membandingkan beberapa isolat NPV. Partikel virus yang diekstraksi dari polihedra digunakan sebagai antigen, sedangkan anti serum (serum yang mengandung antibodi) disiapkan dengan cara menginjeksikan antigen yang dicampur dengan adjuvant ke tubuh kelinci. Injeksi dilakukan 2-4 kali dengan selang 1-4 minggu. Antiserum dikoleksi dengan cara mengeluarkan darah kelinci pada 1-2 minggu setelah injeksi terakhir. Antigen pada berbagai isolat NPV dibandingkan dengan menggunakan uji immunodiffusion. Antigen dan antiserum ditempatkan secara terpisah dalam lobang gel. Setelah berdifusi selama 24-48 jam, gel dicuci dalam larutan NaCl kemudian dikeringkan dan diwarnai dengan Amino Schwats B. Reaksi serologi antara antigen dan antiserumnya menghasiikan lapisan (band) yang spesifik pada gel (Scott and Young 1973).
Kelly et al. (dalam Payne and Kelly 1981) mengembangkan teknik ELISA (enzym-linked immunosorbent assay) untuk mendiagnosis NPV. Teknik ini lebih cepat, lebih peka, dan lebih sederhana bila dibandingkan dengan teknik serologi lainnya. Dengan menggunakan metode antibodi tak langsung dan antiserum yang disiapkan untuk bereaksi dengan antigen virion, sebanyak 1ng/ml antigen virion dapat dideteksi. Hasilnya dapat dibaca dengan menggunakan spektrofotometer. Dengan teknik ini, virion dari beberapa jenis NPV dapat dibedakan antara yang satu dengan lainnya.

Proses dan Gejala Infeksi

Proses infeksi NPV dimulai dari tertelannya polihedra oleh ulat bersama pakan. Di dalam saluran pencernaan yang bersuasana alkaiis (pH 9,0 - 10,5), selubung polihedra larut, sehingga membebaskan virion. Virion menembus dinding saluran pencernaan untuk masuk ke rongga tubuh, kemudian menginfeksi sel-sel yang rentan. Replikasi virion terjadi di daiam inti sel. Dalam waktu 1-2 hari setelah polihedra tertelan, hemolimfa yang semula jernih berubah menjadi keruh. Ulat tampak berminyak, disertai dengan membran integumen yang membengkak dan perubahan warna tubuh menjadi pucat-kemerahan, terutama pada bagian perut. Kemampuan makannya menurun, sehingga pertumbuhannya lambat. Ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman kemudian mati menggantung dengan posisi terbalik dengan tungkai semu bagian akhir pada tanaman. Integumen ulat yang mati mengalami lisis dan disintegrasi, sehingga sangat rapuh. Apabila integumen robek, dari dalam tubuh ulat keluar cairan hemolimfa berwarna putih-kecoklatan yang mengandung polihedra. Ulat muda (instar l-lll) mati dalam 2 hari, sedangkan ulat tua (instar IV-VI) dalam 4-9 hari setelah polihedra tertelan (lgnoffo and Couch 1981; Tanada and Kaya 1993).

Persistensi

NPV dapat bertahan lama di dalam tanah. Okada (1977) melaporkan bahwa NPV yang menginfeksi ulat grayak dapat bertahan di dalam tanah selama 3 tahun. Selanjutnya dikemukakan bahwa daun dapat terkontaminasi NPV melalui percikan air hujan yang jatuh ke tanah. Umumnya, makin jauh jarak daun ke permukaan tanah, makin menurun persistensinya.
Pengaruh hujan terhadap aktivitas NPV telah diteliti oleh Okada (1977). Tanaman kedelai yang telah diaplikasi NPV diberi hujan buatan selama 3-4 jam dengan curah hujan 50 mm/jam kemudian ulat instar II diinfestasikan ke tanaman. Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas residu NPV yang disemprotkan ke daun tidak dipengaruhi secara nyata oleh adanya hujan.
Persistensi NPV pada daun dipengaruhi oleh macam dan tekstur daun. NPV dapat bertahan lebih lama pada daun tomat dan kedelai daripada daun kapas karena adanya rambut-rambut daun dan bentuk daun yang keriting. Persistensi NPV dapat juga dipengaruhi oleh bagian tanaman. NPV dapat bertahan lebih lama pada permukaan bawah daun daripada permukaan atas daun (lgnoffo and Cough l98l).

POTENSI DAN KENDALA

Potensi

Potensi NPV ditunjukkan oleh nilai LC50 (=konsentrasi yang mematikan 50% populasi serangga). Nilai LC50 diperoleh dengan cara menyemprot atau mengoleskan suspensi polihedra ke daun kemudian memberikannya ke ulat sebagai pakan. Cara lain adalah dengan mencelupkan daun ke suspensi polihedra atau mencampurkan suspensi polihedra ke pakan buatan. Data kematian ulat diproses dengan analisis probit menurut metode Finney (1981).
Hasil percobaan di Bogor (Arifin dan Waskito 1986) menunjukkan bahwa LC50 NPV untuk ulat grayak instar III sebesar 5,4 X 103 polyhedra inclusion bodies (PIBs/ml). Kerentanan ulat grayak terhadap NPV menurun dengan bertambahnya umur. LC50 untuk ulat muda (instar l-lll) lebih rendah, sehingga lebih rentan daripada ulat tua (instar IV-V). Ulat instar I 100 kali lebih rentan daripada ulat instar V. Nilai LC50 tersebut sama dengan hasil percobaan Okada (1977) di Jepang, yaitu 6 X 103 PIBs/ml, tetapi lebih rendah daripada hasil percobaan Hwang dan Ding (dalam Hussey and Tinsley 1981) di Cina, yaitu 2 X 105 PIBs/ml.

Kendala

Daya Bunuh

NPV memiliki daya bunuh lambat. Kematian ulat biasanya terjadi pada 4-11 hari setelah aplikasi, sehingga masih memungkinkan ulat merusak tanaman. Untuk mempercepat daya bunuh, ada empat cara yang dapat ditempuh, yaitu (a) mengaplikasikan NPV pada saat ulat masih muda (Okada 1977), (b) mendapatkan strain NPV yang lebih virulen, (c) mengkombinasikan NPV dengan insektisida, dan (d) mengembangkan NPV rekombinan yang memiliki daya bunuh 2-3 hari. Teknik DNA rekombinan dilakukan dengan cara menyisipkan gen spesifik ke dalam genom NPV. Protein yang dapat meracuni atau mengganggu perkembangan ulat, antara lain Bacillus thuringiensis, juvenil hormon estarase, PTTH, melittin, trehalase, racun kalajengking, dan racun tungau, dapat dilibatkan (Starnes et al. 1993).

Pengaruh Sinar Ultraviolet (UV)

Sinar UV dengan panjang gelombang lebih dari 290 nm merupakan salah satu faktor penyebab inaktivasi NPV. Menurut lgnoffo dan Couch (1981), umur paruh (half life) NPV pada kedelai terjadi setelah 2 hari dan inaktivasi total terjadi setelah l4 hari paparan sinar surya. Okada (1977) juga mengemukakan bahwa aktivitas NPV menurun 50% bila diaplikasikan pada permukaan atas daun selama 3 jam dan menjadi inaktif selama l5 jam. Aktivitas NPV yang diaplikasikan pada permukaan bawah daun masih terpelihara 50% dari aktivitas aslinya setelah 20 jam. Oleh karena itu disarankan untuk mengaplikasikan NPV pada permukaan bawah daun.
Untuk mengurangi inaktivasi, NPV harus diperkaya dengan bahan pelindung sinar surya. Bahan tersebut, antara lain sunscreen, seperti ethyl hexyl salicylate, cinnamic acid, p-aminobenzoic acid, dan benzilidine sulfonic acid (Shapiro et al. 1983). Demikian juga adjuvant, seperti India ink, charcoal, yeast extract, peptonized milk, dan soy hydrolyzate (Jaques 1971).
Inaktivasi NPV dapat juga diatasi dengan seleksi strain NPV toleran terhadap sinar UV (Shapiro and Bell 1984). NPV diradiasi UV selama 60 menit kemudian diinfeksikan ke ulat. Progeni NPV yang diradiasi dilakukan hal yang sama, demikian seterusnya hingga tahapan seleksi ke-10. Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas NPV pada lima tahapan seleksi pertama menurun 4,5 kali, dari tingkat kematian 92% menjadi 22%, tetapi progeninya menurun secara tidak nyata 0,64 kali, dari LC56= 2,75 X 103 menjadi 4,32 X 103 PIBs/ml. Disimpulkan bahwa meskipun tingkat toleransi NPV yang diradiasi sinar UV menurun, tetapi progeni NPV yang terseleksi menjadi lebih virulen. Kesimpulan tersebut didukung oleh Brassel dan Benz (1979) bahwa virus yang terseleksi, dua kali lebih virulen daripada virus yang tidak terseleksi.

Pengaruh Suhu

NPV relatif tahan terhadap suhu tinggi. Suspensi NPV pada suhu 65O C selama 20 menit tidak menurun aktivitasnya. Aktivitas NPV mulai menurun pada suhu 70O C dan menjadi inaktif pada suhu 85O C setelah 5 menit. Suhu lapang (<45O C) tidak berpengaruh terhadap stabilitas NPV. Meskipun demikian, replikasi virus mulai dihambat pada suhu 40O C (MacFarlane and Keeley dalam Ignoffo and Couch 1981).
NPV sebaiknya disimpan pada suhu rendah. Aktivitas suspensi NPV yang disimpan pada suhu -20O dan 5O C sangat stabil dan tidak menurun setelah 15 tahun. NPV yang disimpan pada suhu kamar (23-27O C) mulai inaktif setelah 5 tahun dan menjadi inaktif total setelah 15 tahun. NPV yang disimpan pada suhu 37O C selama 4 minggu masih menunjukkan aktivitasnya (lgnoffo and Garcia dalam lgnoffo and Couch 198l).

Pengaruh Bahan Kimia

Suasana asam atau alkalis mengganggu aktivitas NPV. Ignoffo dan Garcia (dalam lgnoffo dan Couch 1981) mengemukakan bahwa aktivitas NPV tidak menurun pada pH 7,0, tetapi sedikit menurun (< 15%) pada pH 4,0 dan 9,0, dan menurun secara nyata (> 95%) pada pH 1,2 dan 12,4. Untuk mencegah terjadinya inaktivasi NPV, umumnya peneliti menggunakan fosfat penyangga.
NPV dapat diaplikasikan bersama dengan pestisida (secara terpisah atau dalam campuran) untuk sekaligus mengendalikan penyakit, gulma, dan serangga hama. NPV yang dikombinasikan dengan pestisida mungkin tidak selalu bersifat additive. Pengaruhnya mungkin bersifat sinergistik atau juga antagonistik, bergantung pada macam campuran NPV dengan pestisida. Mohamed et al. (1983) melaporkan bahwa campuran NPV dengan benomyl (fungisida) atau chlordimeform (insektisida-akarisida) bersifat sinergistik, sedangkan dengan chlorothalonil (fungisida), methoprene (insect growth regulator), atau fentin hydroxide (fungisida) bersifat antagonistik. Ignoffo dan Montoya (1966) melaporkan bahwa sebagian besar insektisida dan adjuvant kompatibel dengan NPV kecuali metil paration. Formalin dan natrium hipoklorit merusak NPV sehingga umum digunakan sebagai disinfektan (lgnoffo and Garcia dalam lgnoffo and Couch 1981).

TEKNIK PRODUKSI

Umumnya, NPV diperbanyak secara in vivo dalam tubuh ulat yang menjadi inangnya. NPV dapat juga diperbanyak secara in vitro dalam kultur jaringan. Cara in vitro lebih unggul bila dibandingkan dengan in vivo karena dapat mencegah terjadinya penyimpangan genetik dan kontaminasi, dan menghemat tenaga. Sebaliknya, cara in vitro memiliki kelemahan karena membutuhkan fasilitas fermentasi yang mahal, tidak praktis, dan produktivitasnya rendah (Starnes et al. 1993). Di antara kedua cara tersebut, cara in vivo lebih cocok untuk diterapkan di Indonesia. Hal yang sama juga berlaku di Jepang. Menurut Aizawa (dalam Aizawa 1987), cara in vitro telah dicoba di Jepang sejak tahun 1950an dengan kultur sel ulat sutera, tetapi karena sulit, mahal, dan tidak praktis, cara tersebut ditinggalkan. Saat ini, ada lima produk bioinsektisida NPV yang telah terdaftar di Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat dengan nama dagang dan serangga sasaran: Elcar (Heliothis spp.), Biotrol-1 (Orgyia pseudotsugata), Gyp-Check (Lymantria dispar), SAN 404 (Autographa californica), dan Neo Check-S (Neodiprion sertifer) (Shieh l986).
Produksi bioinsektisida NPV dilakukan dalam empat ruang terpisah, yaitu (1) ruang pembuatan dan penyimpanan pakan buatan, (2) ruang dengan unit untuk pembiakan massal serangga dan unit lain untuk pemeliharaan ulat yang akan diinfeksi NPV, (3) ruang perbanyakan NPV, dan (4) ruang recovery dan formulasi NPV. Fungsi produksi lainnya seperti quality control, bioassay, dan karakterisasi produk dilakukan di laboratorium (lgnoffo and Couch 1981). Ada tiga tahap kegiatan dalam proses produksi bioinsektisida NPV di Balitbio, yaitu (a) pembiakan massal ulat grayak, (b) perbanyakan dan standardisasi NPV dan (c) pemformulasian NPV (Gambar 1).

Pembiakan Massal Ulat Grayak

Ulat hasil pembiakan massal di laboratorium atau hasil koleksi dari lapang dipelihara dengan pakan buatan (Tabel 1) hingga terbentuk kepompong. Teknik pemeliharaannya disajikan dalam Tabel 2. Selama instar I dan II, ulat diberi seiris pakan (panjang 6 cm, lebar 1,5 cm, dan tebal 1,5 cm)/500 ekor dalam petridis. Selama instar III dan IV, ulat diberi lima iris pakan/500 ekor dalam wadah A. Ulat instar V diberi lima iris pakan/l00 ekor dalam wadah B. Ulat instar Vl diberi sembilan iris pakan/50 ekor dalam wadah B hingga terbentuk kepompong. Ngengat yang muncul dipasangkan dalam wadah yang bagian dalamnya dilapisi kertas filter untuk peletakan telur. Pakannya berupa larutan madu 10%. Massa teiur dikoleksi setiap hari. Sehari sebelum menetas, tiap kelompok telur ditempatkan dalam petridis.

                           

Perbanyakan dan Standardisasi NPV

Perbanyakan NPV didasarkan atas metode Okada dan Arifin (1982), sedangkan standardisasi NPV didasarkan atas metode Okada (1977). Irisan pakan buatan (± 10 g) dimasukkan ke dalam vial plastik kemudian ditetesi dengan suspensi polihedra berkonsentrasi lebih kurang l07 PiBs/ml. Selanjutnya ulat instar V dimasukkan ke daiam vial secara individual. Ulat mati atau menjelang mati dikoleksi kemudian diekstraksi dengan menggunakan penyaring berukuran 100 mesh. Suspensi polihedra kasar dimurnikan dengan menggunakan sentrifus berkecepatan 3500 putaran/menit selama 15 menit. Endapan yang dihasilkan dari beberapa kali pemurnian dijadikan suspensi polihedra stok dan disimpan di dalam lemari es pada suhu 0O C.
Suspensi polihedra stok (100) diencerkan dengan air suling secara berturut-turut sehingga diperoleh seri suspensi 10-1 – 10-5. Konsentrasi suspensi polihedra stok distandardisasi dengan menggunakan haemacytometer melalui penghitungan banyaknya PIBs/ml pada suspensi 10-5. Umumnya, konsentrasi suspensi polihedra stok lebih kurang 109 PIBs/ml. dan rata-rata seekor ulat instar VI mati terinfeksi NPV mengandung 8 x 109 (4 x 109 – 2 x 1010) PIBs.

Pemformulasian NFV

NPV diformulasikan dengan bahan pembawa dalam bentuk tepung (wettable powder) (Tanada dan Kaya 1993). Bahan pembawa diperkaya dengan bahan additive yang kompatibel untuk meningkatkan persistensi serta mengoptimalkan lapisan penyemprotan (droplet) dan pelingkupan (coverage). Bahan additive terdiri atas bahan (a) pembasah untuk meningkatkan daya basah dan daya sebar, (b) perekat untuk mencegah pencucian air hujan, (c) penebal untuk mengurangi evaporasi dan kehilangan lapisan penyemprotan, (d) pelembab untuk memperlambat proses pengeringan selama penyemprotan, (e) perangsang makan untuk memperbanyak virus yang tertelan, (f) pelindung sinar UV untuk meningkatkan stabilitas terhadap sinar surya, dan (g) kadang-kadang enzim, seperti chitinase untuk meningkatkan aktivitas virus (Johnstone; Smirnoff dalam Couch and lgnoffo 198l). Tujuan memformulasikan bioinsektisida antara lain untuk (1) meningkatkan persistensi virus selama mungkin, dan (2) menempatkan virus agar kontak dengan inangnya sehingga tercapai infeksi maksimum (Maddox 1975).
Pemformulasian NPV di Balitbio dilakukan dengan cara sebagai berikut: 100 ml suspensi polihedra stok berkonsentrasi 3 X 109 PiBs/ml dicampur dengan tepung talk dan bahan-bahan additive, seperti perata, perekat, pelindung sinar UV, dan perangsang makan hingga mencapai bobot 100 g. Dengan caa tersebut, konsentrasinya ditentukan sebesar 3 X 109 PIBs/g. Bahan aktif bioinsektisida ini sebesar 0,3% (1 mg= 1 x 109 PlBs). Bioinsektisida NPV sebanyak 500 g siap diaplikasikan ke pertanaman seluas 1 ha.

Produksi Skala Pilot

Pada T.A. 1998/99, melalui kerja sama penelitian dengan pihak swasta (PT Mastalin Mandiri), Balitbio memproduksi bioinsektisida NPV dalam skala pilot. Metode produksi bioinsektisida NPV skala laboratorium dikembangkan dengan beberapa modifikasi pada alat dan bahan sehingga lebih efisien. Dari kegiatan tersebut, telah dihasilkan produk bioinsektisida NPV sebanyak 125 kg dengan skala luasan aplikasi 250 ha. Biaya produksi untuk skala luasan 1 ha sebanyak Rp 67.000 dengan rincian: (a) bahan untuk pakan buatan, formulasi, dan kemasan Rp 25.000, (b) upah pembiakan massal ulat grayak, perbanyakan NPV dan pemformulasian NPV Rp 40.000 dan (c) biaya lain-lain Rp 2.000. Karena bobot netto produk dalam kemasan ditentukan 500 g untuk skala luasan 1 ha, maka biaya produksi per kemasan juga sebanyak Rp 67.000/500 g atau Rp 134.000/kg. Bila dibandingkan dengan harga insektisida yang direkomendasikan, biaya produksi bioinsektisida NPV sekitar 50% lebih murah.
Karakteristik produk bioinsektisida NPV tersebut adalah sebagai berikut: bahan aktif NPV 0,3%, formulasi tepung talk yang diperkaya dengan beberapa macam bahan additive, konsentrasi 3 X 109 PIBs/g, kemasan alumunium foil, berat netto per kemasan 500 g, efektif terhadap ulat grayak, dosis aplikasi 500 g/ha, dan biaya produksi per kemasan Rp 67.000.

PEMANFAATAN

Strategi Pemanfaatan

Ada empat strategi pemanfaatan bioinsektisida NPV, yaitu (1) mengaplikasikan NPV secara terbatas agar NPV dapat mengatur populasi hama secara permanen melalui pengendalian hayati klasik, (2) mengusahakan epizootik NPV melalui transmisi vertikal dan horizontal dengan kemungkinan mengaplikasikan NPV secara berulang, (3) mengkonservasi inokulum NPV dalam lingkungan dan mengaktifkan kembali melalui manipulasi lingkungan, dan (4) mengaplikasikan NPV secara berulang karena tidak adanya transmisi horizontal. Strategi pertama cocok untuk perkebunan, tetapi kurang cocok untuk tanaman semusim karena kurang toleran terhadap tingkat populasi ulat yang relatif tinggi. Strategi kedua cocok untuk kedelai karena NPV sering mengalami epizootik yang dapat mengurangi populasi ulat secara drastis. Strategi ketiga juga cocok untuk kedelai karena dengan menginfestasikan ulat ke tanaman akan terjadi epizootik lebih awal. Cara ini akan efektif bila ada inokulum NPV pada pertanaman tersebut, misalnya pada beberapa musim sebelumnya pernah terjadi epizootik. Strategi keempat mungkin paling cocok untuk kedelai karena ambang ekonomi ulat grayak yang didasarkan atas aplikasi NPV dapat ditentukan (Starnes et al. 1993).

Effektivitas

Bioinsektisida NPV yang spesifik terhadap ulat grayak telah diuji lapang pada kedeiai (Arifin et al. l995). Hasilnya menunjukkan bahwa NPV dengan dosis 500 g/ha (setara dengan 1,5 x 1011 PlBs/ha) yang diaplikasikan dua kali dalam selang seminggu, masing-masing dengan dosis 250 g/ha mampu menurunkan populasi ulat 88% (dari 2,25 ekor/rumpun menjadi 0,27 ekor/rumpun), sedangkan insektisida (monokrotofos) dosis anjuran tidak mampu menurunkan, bahkan meningkatkan populasi ulat 27% (dari 2,25 ekor/rumpun menjadi 2,85 ekor/rumpun).
Yamasuki dan Yoshioka (1987) mengaplikasikan NPV dosis 3 X 1012 PIBs/ha sebanyak dua kali dalam selang seminggu. Dua hari kemudian, ulat dikoleksi dan dipelihara dengan pakan buatan. Hasilnya menunjukkan bahwa kematian ulat yang dikoleksi setelah aplikasi pertama sebesar 66%, sedangkan yang dikoleksi setelah aplikasi kedua sebesar 89%.

Teknik Aplikasi

Bioinsektisida NPV diaplikasikan dengan menggunakan alat semprot yang umum digunakan untuk mengaplikasikan insektisida. Hasil terbaik dicapai bila NPV diaplikasikan selama awal stadium perkembangan serangga. Alasannya, ulat instar awal lebih rentan terhadap NPV daripada ulat instar akhir. Agar efektif, dosls, frekuensi, waktu, dan cara aplikasi harus tepat. Dosis aplikasi yang digunakan sebanyak 500 g/ha (setara dengan 1,5 X 1011 PlBs/ha). Apabila kepadatan populasi ulat grayak relatif tinggi, aplikasi sebaiknya diulang 1-2 minggu kemudian. Dasarnya, untuk mengantisipasi berkurangnya stabilitas NPV akibat paparan sinar surya.
Sinar surya mempengaruhi NPV Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, aplikasi harus dilakukan pada sore atau senja hari agar polihedra segera tertelan oleh ulat pada malam hari. Aplikasi pada pagi atau siang hari merusak polihedra sebelum tertelan oleh ulat. Kedua, aplikasi sebaiknya diarahkan ke permukaan bawah daun agar persistensi polihedra berlangsung lebih lama. NPV yang diaplikasikan ke permukaan atas daun menurun aktivitasnya hingga 50% setelah 3 jam dan menjadi inaktif setelah 15 jam, sedangkan yang diaplikasikan ke permukaan bawah daun menurun aktivitasnya hingga 50% setelah 20 jam (Okada 1977).

PENELITILAN LANJUTAN

Bioinsektisida NPV yang diproduksi di Balitbio memiiiki kelemahan, yaitu sifatnya yang spesies spesifik dan berdaya bunuh lambat, Kedua sifat NPV tersebut menjadikan bioinsektisida NPV kurang diminati oleh petani. Petani menginginkan bioinsektisida yang dapat mengendalikan beberapa jenis hama sekaligus secara cepat dalam sekali semprot. Untuk mendapatkan bioinsektisida NPV berspektrum luas dan berdaya bunuh cepat, perlu dilakukan kegiatan eksplorasi isolat NPV yang lebih virulen dan penelitian sinergisme beberapa jenis NPV.
Kemajuan penelitian teknik pembiakan ulat grayak, perbanyakan, pemurnian, dan formulasi NPV telah mendorong keberhasilan usaha memproduksi bioinsektisida NPV dalam skala pilot. Keberhasilan usaha tersebut belum sempurna karena masih dijumpai kendala, terutama dalam menyiasati sifat NPV yang peka terhadap sinar UV. Untuk mengatasi kendala tersebut, penelitian untuk menemukan bahan pelindung sinar UV yang dapat menstabilkan NPV dan strain NPV yang relatif tahan sinar UV, perlu dilakukan.
Untuk memenuhi kebutuhan pengguna, bioinsektisida NPV perlu didemonstrasikan ke pengguna, terutama petani untuk memperoleh informasi umpan balik kelayakan teknologi dan sosial ekonomi pemanfaatannya.

KESIMPULAN

Timbulnya dampak negatif penggunaan insektisida telah mendorong peneliti mengembangkan teknologi pengendalian alternatif. Sebagai agensia pengendalian hayati, NPV cocok untuk digunakan dalam program PHT karena sifatnya yang efektif dan ramah lingkungan. Virus tersebut telah berhasil dikembangkan sebagai bioinsektisida berskala pilot dengan tiga tahap kegiatan, yaitu (a) pembiakan massal ulat grayak dengan pakan buatan, (b) perbanyakan NPV secara in vivo melalui inokulasi, koleksi ulat mati, ekstraksi, sentrifugasi, dan standarisasi, dan (c) pemformulasian NPV dalam bentuk tepung yang diperkaya dengan bahan additive. Keefektifannya perlu didemonstrasikan, seiring dengan kegiatan menyempurnakan teknik formulasi dan aplikasi NPV. Terlaksananya beberapa kegiatan tersebut diharapkan dapat menjadi landasan utama dalam pengembangan bioinsektisida berskala komersial.

DAFTAR PUSTAKA

Aizawa, K. 1987. Biological pest control for field crops. Food & Fertilizer Technology Center. Ext. Bull. 257, Taiwan.
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto, dan A. Alwi. 1995. Keefektifan dan kompatibilitas SlNPV dengan insektisida terhadap ulat grayak pada kedelai. Seminar llmiah dan Kongres Nasional Biologi XI. Depok, 24-27 Juli 1995. 8 p.
Arifin, M. dan W.I.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap nuclear polyhedrosis virus. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Puslitbangtan. Sukamandi, 16-18 Januari 1986. 1 (Palawija): 74-78.
Brassel, J. dan G. Benz. 1979. Selection of a strain of the granulosis virus of the codling moth with improved resistance against artificial ultraviolet radiation and sunlight. J. Invertebr. Pathol. 33: 358-363.
Couch, T.L. and C.M. Ignoffo. 1981 . Formulation of insect pathogens, p. 621-634. In H.D. Burges (Ed.). Microbial Control of Pests and Plant Diseases 1970-1980. Academic Press, San Francisco.
Finney, D.J. 1971. Probit analysis. Cambridge Univ. Press, London.
Hussey, N.W. and T.W Tinsley. 1981. Impressions of insect pathology in The People's Republic of China, p. 285-795. In H.D. Burges (Ed.). Microbial Control of Pests and Plant Diseases 1970-1980. Academic Press, London.
Ignoffo, C.M. and T.L. Couch. 1981. The nucleopolyhedrosis virus of Heliothis species as a microbial insecticide, p. 329-362. In H.D. Burges (Ed.). Microbial Control of Pests and Plant Diseases 1970-1980. Academic Press. London.
lgnoffo, C.M. and E.L. Montoya. 1966. The effect of chemical insecticides and insecticidal adjuvants of a nuclear-polyhedrosis virus. J. Invertebr. Pathol. 8: 409-412.
Jacques, R.P. 1971. Tests on protectants for foliar deposits of a polyhedrosis virus. J. Invertebr. Pathol. 17: 9-16.
Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management, p. 184-233. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New York.
Mohamed, A.I., S.Y. Young, and W.C. Yearian. 1983. Susceptibility of Heliothis virescens (F.) (Lepidoptera: Noctuidae) larvae to microbial agent – chemical pesticide mixtures on cotton foliage. Environ. Entomol. 14(5): 1403-1405.
Okada, M. 1977. Studies on the utilization and mass production of SlNPV for control of the tobacco cutworm, Spodoptera litura F. Rev. Pl. Protec. Res. 10: 102-128.
Okada, M. and M. Arifin. 1982. Comparative rearing test of the common armyworm, Leucania separata Walker on artificial diet and host plants, and patogenicity of LsNPV to the common armyworm. Research Report of Japan-Indonesia Joint Agricultural Research Project. pp. 207-215.
Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuwarso. 1988. An outline on soybean pests in lndonesia in faunistic aspects. Seminar Dec. 6 1988. BORiF, Bogor. 37 p.
Payne, C.C. and D.C. Kelly. 1981. Identification of insect and mite viruses, p. 61-91. In H.D. Burges (Ed.). Microbial Control of Pests and Plant Diseases 1970-1980. Academic Press. London.
Scott, H.A. and S.Y. Young. 1973. Antigens associated with a nuclear polyhedrosis virus from cabbage looper larvae. J. Invertebr. Pathol. 21: 315-317.
Shapiro, M. and A.A. Bell. 1984. Selection of a UV-tolerant strain of the gypsy moth, Lymantria dispar (L.) (Lepidoptera: Lymantriidae), nucleopolyhedrosis virus. Environ. Entomol. l3(6): 1522-1526.
Shapiro, M., P.P Agin, and R.A. Bell. 1983. Ultraviolet protectants of the gypsy moth (Lepidoptera: Lymantriidae) nucleopolyhedrosis virus. Environ. Entomol. 12(3): 982-985.
Shieh, T.R. 1984. Industrial production on viral pesticides. Advances in Virus Research. 36: 315-343.
Starnes, R.L., C.L. Liu, and P.G. Marrone. 1993. History use, and future of microbial insecticides. American Entomologist. Summer: 83-91.
Sugimori, H., T. Nagamine, and M. Kobayashi. 1990. Analysis of structural polypeptides of Bombyx mori (Lepidoptera: Bombycidae) nuclear polyhedrosis virus. Appl. Ent. Zool. 25(1): 67-77 .
Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect pathology. Academic Press, Inc., Toronto.
Yamasaki, Y. and K. Yoshioka. 1987. The use of nuclear polyhedrosis virus for control of the tobacco cutworm, Spodoptera litura, in Echime Prefecture, Japan, p. 16-17. In K. Aizawa (Ed.). Biological Pest Control for Field Crops. Food & Fertilizer Technology Center. Ext. Bull. 257, Taiwan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar