Senin, 10 Januari 2011

109. Bioinsektisida SlNPV untuk Mengendalikan Ulat Grayak Mendukung Swasembada Kedelai


Arifin, M. 2010. Bioinsektisida SlNPV untuk mengendalikan ulat grayak mendukung swasembada kedelai. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi (Hama dan Penyakit Tanaman) pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor, 6 September 2010. 54 p.


 
Dr. Muhammad Arifin, MS
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian

PRAKATA PENGUKUHAN

Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Assalamu’alaikum warakhmatullaahi wabarakaatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua.

Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,
Terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kita dapat berkumpul di ruangan ini dalam acara pengukuhan saya sebagai Profesor Riset dalam bidang Entomologi pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, ijinkanlah saya menyampaikan orasi ilmiah berjudul: "Bioinsektisida SlNPV untuk Mengendalikan Ulat Grayak Mendukung Swasembada Kedelai". Orasi ilmiah ini terdiri atas tujuh bab, yakni:
I.        Pendahuluan
II.       dinamika Perkembangan Ulat Grayak pada Sistem Produksi Kedelai
III.      Bioekologi Ulat Grayak dan Dasar Pengendaliannya
IV.     inovasi Teknologi Bioinsektisida SlNPV
V.      arah dan Strategi Pengembangan Teknologi Bioinsektisida SlNPV
VI.     Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
VII.    Penutup


I.     PENDAHULUAN

Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,
Kedelai merupakan komoditas pangan utama setelah padi dan jagung. Berdasarkan posisi produksi kedelai pada tahun 2009 sebesar 1 juta ton, pemerintah mencanangkan swasembada kedelai 2014 dengan target produksi 2,7 juta ton atau meningkat rata-rata 20,05% per tahun1.

Perkedelaian di Indonesia menghadapi permasalahan utama, antara lain: a) meningkatnya impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan nasional; b) lebarnya senjang produktivitas di tingkat petani dengan potensi genetik kedelai karena sebagian besar petani belum menggunakan varietas unggul baru yang toleran cekaman biotik dan abiotik, serta teknik pengelolaan lahan, air, tanaman, dan organisme pengganggu; c) menurunnya produksi karena berkurangnya areal tanam kedelai akibat persaingan penggunaan lahan dengan jagung; dan d) nilai kompetititif kedelai dalam negeri semakin merosot karena membanjirnya kedelai impor yang harganya lebih murah.
Peluang tercapainya swasembada kedelai cukup besar, antara lain karena: a) petani mulai bergairah kembali bertanam kedelai; b) adanya dukungan pemerintah yang tercermin dari program swasembada kedelai 2014 melalui perluasan lahan 2 juta ha dan penyediaan pupuk sesuai kebutuhan; c) tersedianya teknologi tepat guna, termasuk 64 varietas unggul baru kedelai dengan produktivitas 2,0-2,5 ton/ha; dan d) tersedianya lahan potensial untuk perluasan areal tanam.
Salah satu masalah dalam upaya peningkatan produksi kedelai adalah serangan hama. Ada 111 jenis serangga hama kedelai di Indonesia2, di antaranya ulat grayak Spodoptera litura. Hama pemakan daun ini berstatus penting karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 80%, bahkan tanaman puso bila tidak dikendalikan3. Luas serangan ulat grayak dalam periode 2002 - 2006 berkisar antara 1.316 - 2.902 ha4.
Sampai saat ini, sebagian besar petani mengendalikan ulat grayak dengan mengandalkan insektisida yang diaplikasikan dengan dosis yang cenderung berlebihan sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan arah kebijakan peningkatan keseimbangan ekosistem dan pengendalian hama terpadu (PHT) dengan menerapkan teknologi pengendalian hama berwawasan lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan patogen serangga1.
Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus (SlNPV) merupakan salah satu virus patogen yang menginfeksi ulat grayak. SlNPV ditemukan oleh Arifin5 dari hasil pengamatan terhadap ulat grayak mati terinfeksi patogen di sentra produksi kedelai di Brebes dan Lampung Tengah pada tahun 1984. SlNPV efektif mengendalikan ulat grayak dan berpeluang untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida dalam skala komersial.
Orasi ilmiah ini menyajikan inovasi teknologi bioinsektisida SlNPV untuk mengendalikan ulat grayak dalam rangka mendukung swasembada kedelai 2014.

II.  DINAMIKA PERKEMBANGAN Ulat Grayak PADA SISTEM PRODUKSI KEDELAI

Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,
Dinamika perkembangan ulat grayak pada sistem produksi kedelai dapat diklasifikasikan ke dalam lima fase, yakni:
1.   Fase subsisten
Sebelum tahun 1940an, petani jarang menggunakan insektisida sehingga populasi ulat grayak dan hama lainnya berada dalam keadaan seimbang karena diatur oleh faktor pengendali alamiah (fisik dan biologis). Untuk mencegah serangan hama, petani memanfaatan teknik budidaya dan cara mekanis (pengumpulan serangga hama).
2.   Fase eksploitasi
Pada tahun 1950an, insektisida golongan organoklorin, organofosfat, dan karbamat mulai diintroduksikan di Indonesia. Program perlindungan tanaman dikembangkan dengan mengaplikasikan insektisida tersebut untuk mengatasi berbagai jenis hama. Program ini terbukti efektif dan memberikan hasil panen yang memuaskan. Oleh karena itu, petani cenderung mengeksploitasi insektisida secara maksimal dan berjadwal.
3.   Fase krisis dan bencana
Setelah fase eksploitasi berlangsung beberapa tahun, dimana petani cenderung mengaplikasikan insektisida secara berlebihan, muncul masalah resistensi ulat grayak terhadap insektisida6, resurgensi hama7, perubahan status hama sekunder menjadi hama utama, dan residu insektisida pada tanaman8. Hal tersebut disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan petani tentang sifat-sifat dasar insektisida kimia dan kemungkinan terjadinya dampak negatif yang ditimbulkannya.
4.   Fase pengendalian terpadu
Mengingat dampak negatif insektisida, pada tahun 1970an pemerintah mulai memikirkan program pengendalian ulat grayak berdasarkan prinsip ekologis dan ekonomis. Program yang dikenal dengan PHT ini memadukan secara serasi beberapat teknik pengendalian yang cocok. Tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan insektisida dan mengelola populasi hama pada tingkat yang tidak merugikan tanaman secara ekonomis.
5.   Fase pertanian organik
Memasuki abad ke-21, masyarakat mulai menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian pupuk anorganik, insektisida kimia, dan hormon tumbuh. Program pengendalian ulat grayak dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan alami, seperti insektisida nabati dan patogen serangga (bakteri, virus, cendawan, dan nematoda)9. Tujuannya adalah untuk menjamin kedelai aman dikonsumsi (food safety), ramah lingkungan (eco-labelling), dan mengandung nutrisi tinggi.

III.  BIOEKOLOGI Ulat Grayak Dan dasar PENGENDALIANNYA
              
3.1.   Bioekologi
Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,
Perkembangan ulat grayak bersifat metamorfosis sempurna. Setelah telur menetas, ulat tinggal sementara di tempat telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, ulat berpencar. Stadium ulat terdiri atas enam instar yang berlangsung 14 hari. Ulat berkepompong di dalam tanah. Ngengat meletakkan telur secara berkelompok. Produksi telur rata-rata 1.413 butir/ekor. Daur hidup dari telur ke telur 28 hari, sedangkan panjang hidup dari telur hingga ngengat mati 36 hari10,11.
Ulat grayak bersifat polifag dari berbagai jenis tanaman pangan,   tanaman   industri, dan hortikultura.   Kemampuan makannya besar. Selama periode ulat instar VI yang berlangsung 3-4 hari, dua ekor ulat mampu menghabiskan sebatang tanaman stadium vegetatif akhir dan 10 ekor ulat mampu menghabiskan sebatang tanaman stadium pembentukan polong11,12.
Kerusakan dan kehilangan hasil karena ulat grayak ditentukan oleh populasi, stadia serangga, stadia tanaman, dan tingkat kerentanan varietas kedelai. Hubungan antara populasi ulat dan kehilangan hasil dinyatakan dengan kurva nonlinier asimptotik13. Kurva tersebut memiliki tipe gabungan kompensasi, linieritas, dan desensitisasi. Ini berarti tanaman kedelai mampu mengkompensasi kerusakan daun14.
3.2.   Ambang Ekonomi
Sampai saat ini, sebagian petani mengendalikan ulat grayak dan hama pada umumnya berdasarkan pengalaman praktis. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya informasi tentang ambang ekonomi (AE) hama. Dasar pengendalian hama menurut petani ini kurang akurat, namun lebih maju bila dibandingkan dengan dasar pengendalian secara berjadwal.
Penentuan AE dimulai dengan penghitungan nilai tingkat kerusakan ekonomi (TKE) berdasarkan prinsip break-even point, yakni kesetaraan antara nilai manfaat kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dan biaya pengendalian hama15,16. Prinsip tersebut telah diterapkan untuk pengendalian ulat grayak13,17, kepik coklat (Riptortus linearis)18, dan kepik punggung bergaris (Piezodorus hybneri)19.
Khusus ulat grayak, nilai TKE ulat instar III pada tanaman stadia vegetatif, pembungaan, pembentukan polong, dan pengisian polong berturut-turut 1,94; 3,20; 3,24; dan 6,21 ekor/ rumpun13. Karena kedudukan AE berada di bawah TKE, maka nilai  AE  ulat grayak  pada  keempat  stadia  tanaman tersebut berturut-turut 1,7; 2,9; 2,9; dan 5,6 ekor/rumpun atau 90% dari nilai TKE. 
Dengan telah ditentukannya nilai AE ulat grayak, penggunaan insektisida kimia menjadi lebih rasional sehingga dapat mengurangi biaya produksi dan dampak yang tidak diinginkan. Di masa yang akan datang, dasar pengendalian harus lebih dinamis dengan mempertimbangkan peranan musuh alami.
3.3.   Teknik Sampling
Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,
Teknik pemantauan populasi untuk pengambilan keputusan pengendalian berbagai jenis hama telah diinformasikan ke petani. Teknik ini dilakukan dengan penarikan contoh terhadap 10 rumpun tanaman yang ditentukan secara sistematik-diagonal dalam petak alami20. Teknik ini memiliki kelemahan karena tidak didasarkan atas pola sebaran populasi, data AE hama spesifik, dan risiko kesalahan dalam pengambilan keputusan pengendalian21.
Untuk memperoleh hasil pemantauan yang lebih akurat, khususnya untuk ulat grayak, telah digunakan teknik penarikan contoh beruntun (sequential sampling) pada beberapa unit lahan seluas 0,1 ha, minimal tujuh rumpun contoh yang ditentukan secara acak berdasarkan garis diagonal lahan13. Hasil penghitungan populasi dikatagorikan menjadi: a) yang harus dikendalikan karena populasi telah mencapai batas bahaya (outbreak level); b) yang tidak perlu dikendalikan karena populasi belum mencapai batas aman (endemic level); dan c) yang harus dilakukan penarikan contoh ulang karena populasi berada di antara batas aman dan batas bahaya. Di masa yang akan datang, teknik penarikan contoh beruntun perlu dikembangkan untuk berbagai jenis hama.
3.4.    Dasar Pengendalian
Untuk memperoleh hasil pemantauan yang lebih akurat, khususnya untuk ulat grayak, telah digunakan teknik penarikan contoh beruntun (sequential sampling) pada beberapa unit lahan seluas 0,1 ha, minimal tujuh rumpun contoh yang ditentukan secara acak berdasarkan garis diagonal lahan13. Hasil penghitungan populasi dikatagorikan menjadi: a) yang harus dikendalikan karena populasi telah mencapai batas bahaya (outbreak level); b) yang tidak perlu dikendalikan karena populasi belum mencapai batas aman (endemic level); dan c) yang harus dilakukan penarikan contoh ulang karena populasi berada di antara batas aman dan batas bahaya. Di masa yang akan datang, teknik penarikan contoh beruntun perlu dikembangkan untuk berbagai jenis hama.
Dalam konsep PHT, pengendalian hama dilakukan dengan berbagai cara yang dipadukan secara serasi untuk menurunkan populasi hama, kemudian mempertahankannya pada tingkat yang dapat ditoleransikan. Tujuannya adalah untuk menurunkan status hama, menjamin pendapatan petani, melestarikan lingkungan, dan menyelesaikan masalah hama secara berkelanjutan22. Karena status hama ditentukan oleh serangga dan tanaman, maka strategi pengendalian hama ditekankan pada modifikasi salah satu atau keduanya, yakni23:
1.   Strategi tanpa pengendalian
Strategi ini diterapkan pada kondisi agroekosistem stabil karena populasi hama berada di bawah AE.
2.   Strategi menurunkan populasi hama
Strategi ini diterapkan untuk dua situasi. Pertama, bila berdasarkan pengalaman, populasi hama akan melampaui AE, maka untuk tujuan preventif, sebelum tanam harus dilakukan upaya mengubah lingkungan menjadi tidak disukai hama. Kedua, bila dalam kondisi normal, populasi hama akan berada di atas AE sepanjang musim, maka untuk tujuan kuratif harus disiapkan tindakan pengendalian.
3.   Strategi mengurangi kerentanan tanaman
Strategi pemanfaatan varietas tahan ini tidak mengurangi populasi hama secara langsung, tetapi sangat berarti karena tanaman dapat menolak atau mentoleransi hama. Strategi ini dapat disertai dengan meningkatkan vigor tanaman melalui pengaturan pengairan dan pemupukan24
4.   Strategi kombinasi
Strategi yang mengkombinasikan upaya penurunan populasi hama dan kerentanan tanaman ini menguntungkan karena jika  satu teknik gagal,  teknik lainnya  dapat membantu mengendalikan hama. Selain itu, efektivitas suatu teknik pengendalian dapat ditingkatkan jika digunakan secara bersama dengan teknik lainnya.
Ada beberapa teknik pengendalian yang dapat digunakan secara terpadu untuk menurunkan status hama ulat grayak, yakni:
1.    Pengendalian dengan teknik budidaya, misalnya: a) menggilir tanaman kedelai dengan jagung atau padi25; b) menanam kedelai dan jagung secara berselang-seling pada petak berbeda25; c) menanam kedelai varietas Ijen yang toleran terhadap serangan ulat grayak26; dan d) menanam varietas Dieng sebagai tanaman perangkap27.
2.    Pengendalian hayati, misalnya a) mengkonservasi parasitoid Snellenius manilae28 dan predator Lycosa pseudoannulata29; dan b) memperbanyak dan melepas patogen serangga (virus Borelinavirus litura30, bakteri Bacillus thuringiensis31, cendawan Metarhizium anisopliae32, dan nematoda Steinernema capsocapsae33.
3.    Pengendalian mekanis dan fisik, misalnya a) mengumpulkan dan membinasakan kelompok telur dan ulat; dan b) menggenangi lahan untuk mematikan ulat grayak yang ada dalam tanah.
4.    Pengendalian dengan insektisida kimia sebagai pilihan terakhir apabila populasi ulat grayak telah melampaui AE.

IV.  INOVASI TEKNOLOGI BIOINSEKTISIDA SlNPV

Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,
Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus (SlNPV) merupakan  salah  satu  agensia  hayati   yang  telah  berhasil dikembangkan sebagai bioinsektisida. Virus patogen serangga ini memiliki beberapa sifat menguntungkan, antara lain: a) memiliki inang spesifik, yakni ulat grayak; b) tidak membahayakan organisme bukan sasaran dan lingkungan; c) dapat mengatasi masalah keresistensian ulat grayak terhadap insektisida; dan d) kompatibel dengan komponen pengendalian lainnya30.
4.1. Sifat-sifat Biologis
Virion NPV berbentuk batang, berada dalam inclusion bodies yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak, berada dalam inti sel dari hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea34. Virion dapat didiagnosis dengan teknik gel electrophoresis35 dan teknik serologi untuk membandingkan beberapa isolat SlNPV36
Ulat yang menelan polihedra tampak berminyak dengan warna tubuh pucat kemerahan, kemudian mati menggantung dalam posisi terbalik dengan tungkai semu bagian akhir pada tanaman. Ulat muda (instar I-III) mati dalam 2 hari, sedangkan ulat tua (instar IV-VI) dalam 4-9 hari setelah polihedra tertelan30.
4.2. Potensi dan Kendala
Potensi SlNPV ditunjukkan oleh nilai LC50 (konsentrasi yang mematikan 50% populasi serangga) untuk ulat instar III sebesar 5,4 X 103 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml5. SlNPV memiliki daya bunuh lambat. Kematian ulat terjadi pada 4-11 hari setelah aplikasi sehingga masih mampu merusak tanaman37. Ada empat cara untuk mempercepat daya bunuh, yakni: a) mengaplikasikan SlNPV pada saat ulat masih muda5; b) menggunakan strain SlNPV yang lebih virulen38; c) mengkombinasikan SlNPV dengan insektisida kimia atau biologis39,40;   dan   d)  mengembangkan   SlNPV   rekombinan dengan cara menyisipkan gen spesifik yang bersifat racun ke dalam genom SlNPV41,42.
Sinar ultra violet (UV) dengan panjang gelombang lebih dari 290 nm merupakan salah satu faktor penyebab inaktivasi SlNPV43. Untuk mengurangi inaktivasi, ada dua cara yang dapat dilakukan, yakni: a) memperkaya SlNPV dengan sunscreen44 dan adjuvant45; dan b) menseleksi strain SlNPV yang toleran sinar UV46.
4.3. Teknik Produksi
Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,
Umumnya, SlNPV diperbanyak secara in vivo dalam tubuh ulat yang menjadi inangnya. SlNPV juga dapat diperbanyak secara in vitro dalam kultur jaringan. Cara in vitro dapat mencegah terjadinya penyimpangan genetik dan kontaminasi serta menghemat tenaga. Namun, cara ini memiliki kelemahan karena membutuhkan fasiltas fermentasi yang mahal, tidak praktis, dan produktivitasnya rendah42.
Pada prinsipnya, ada tiga tahap kegiatan dalam proses produksi bioinsektisida SlNPV47,48,49, yakni: a) pembiakan masal ulat grayak dengan pakan buatan; b) perbanyakan secara in vivo dan standarisasi SlNPV; dan c) pemformulasian SlNPV. Bahan dasar untuk pakan buatan adalah dedak kacang buncis, dedak gandum, yeast, vitamin C, methyl p-hydroxy benzoat, sorbic acid, sodium propionate, agar, dan air. Bahan dasar untuk formulasi SlNPV adalah tepung talk, sunscreen, dan beberapa bahan additive lainnya.
Karakteristik produk bioinsektisida SlNPV adalah: bahan aktif SlNPV 0,3%, formulasi tepung (wettable powder) yang diperkaya dengan beberapa macam bahan additive, konsentrasi  3 X 109 PIBs/g,  kemasan  alumunium  foil, berat netto per kemasan 500 g, efektif terhadap ulat grayak, dan dosis aplikasi 500 g/ha30.
4.4. Efektivitas dan Aplikasi
Sampai saat ini, SlNPV belum dimanfaatkan secara luas, meskipun telah diketahui potensi biotiknya yang tinggi dan efektif, serta telah berhasil dikembangkan sebagai bioinsektisida dengan biaya relatif murah sehingga memiliki prospek untuk diproduksi dalam skala komersial30.
Efektivitas SlNPV terhadap ulat grayak telah diuji pada tanaman kedelai di lapangan39,50,51. SlNPV dengan dosis 250 g/ha (setara dengan 7,5 x 1010 PIBs/ha), yang diaplikasikan dua kali dalam selang seminggu, mampu menurunkan populasi ulat 88% dan menyelamatkan kehilangan hasil 14% lebih tinggi daripada aplikasi insektisida kimia yang dianjurkan39.
Agar berspektrum luas dan virulen terhadap berbagai jenis hama Lepidoptera, SlNPV dapat dipadukan dengan HaNPV untuk mengendalikan ulat pemakan polong (Helicoverpa armigera) pada kedelai. Nilai LC50 SlNPV untuk ulat grayak dan HaNPV untuk ulat pemakan polong tidak berbeda nyata dengan standar52.
Bioinsektisida SlNPV diaplikasikan dengan alat semprot yang umum digunakan untuk mengaplikasikan insektisida. Apabila kepadatan populasi ulat grayak relatif tinggi, aplikasi sebaiknya diulang 1-2 minggu kemudian30.
Untuk mengantisipasi berkurangnya stabilitas SlNPV akibat paparan sinar UV, aplikasi harus dilakukan pada sore hari agar polihedra segera tertelan oleh ulat pada malam hari. Selain itu, aplikasi sebaiknya diarahkan ke permukaan bawah daun agar persistensi polihedra berlangsung lebih lama53.
Di masa yang akan datang, efektivitas SlNPV perlu ditingkatkan melalui upaya eksplorasi dan seleksi isolat yang lebih virulen dan tahan sinar UV. Selain itu, perlu diperoleh bahan penstabil yang dapat memperpanjang masa simpan SlNPV.

V.  arah dan Strategi PengeMBANGAN TEKNOLOGI Bioinsektisida SlNPV

Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,
5.1.   Arah Pengembangan
Pengembangan teknologi bioinsektisida SlNPV diarahkan kepada upaya produksi bioinsektisida SlNPV yang lebih virulen, tahan sinar UV, bermasa simpan lebih dari setahun, murah dan mudah dilakukan oleh balai proteksi, bahkan kelompok tani.
5.2.   Strategi Pemanfaatan
SlNPV dapat dimanfaatkan dalam program PHT dengan tiga strategi, yakni:
1.   Strategi epizootik
Strategi ini dilakukan dengan cara mengusahakan epizootik SlNPV melalui transmisi vertikal dari satu generasi ke generasi berikutnya dan transmisi horizontal dari individu terinfeksi ke individu sehat dalam satu generasi atau generasi tumpang tindih dalam satu musim dengan kemungkinan mengaplikasikan SlNPV secara berulang32,53.
2.   Strategi konservasi
Strategi ini dilakukan dengan cara menginfestasikan ulat grayak   untuk    tujuan konservasi inokulum SlNPV pada pertanaman yang pernah terjadi epizootik pada beberapa musim sebelumnya42.
3.    Strategi aplikasi berulang 
Strategi ini dilakukan dengan cara mengaplikasikan SlNPV secara berulang untuk tujuan jangka pendek karena tidak ada transmisi horizontal. Strategi ini paling cocok untuk kedelai karena AE ulat grayak telah ditentukan13,42.
5.3.   Strategi Pengembangan
Pengembangan teknologi bioinsektisida SlNPV dapat ditempuh melalui empat strategi, yakni:
1.    Memperbaiki teknologi dengan cara mengatasi sifat SlNPV yang berdaya bunuh lambat dan peka sinar UV.
2.    Mengefisienkan biaya produksi agar harga bioinsektisida SlNPV mampu bersaing dengan insektisida kimia.
3.    Mendorong pihak pemerintah untuk berinvestasi dalam memproduksi bioinsektisida SlNPV sebagai salah satu komponen paket progam swasembada kedelai 2014.
4.    Mensosialisasikan pentingnya bioinsektisida SlNPV dalam kegiatan penyuluhan dan pendidikan petani melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) kedelai.

VI.     KESIMPULAN DAN IMPLIKASI kebijakan

Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,
6.1.   Kesimpulan
1.  Dinamika perkembangan ulat grayak pada sistem produksi kedelai ditentukan oleh program perlindungan tanaman. Program pelindungan yang memanfaatkan faktor pengendali alamiah disertai dengan  penerapan teknik pengendalian non-kimiawi dan penggunaan insektisida kimia secara terbatas dapat membatasi laju perkembangan ulat grayak.
2.   Program pengendalian ulat grayak ditekankan pada upaya mengubah lingkungan agar tidak disukai ulat grayak. Tindakan pengendalian diberlakukan apabila populasinya telah melampaui AE berdasarkan teknik penarikan contoh beruntun.
3.   Penerapan strategi pengendalian ulat grayak harus  didasarkan atas pendekatan ekologi dengan tujuan mengurangi penggunaan insektisida kimia dan pendekatan ekonomi dengan tujuan menjamin pendapatan petani.
4.   SlNPV dapat mengatasi masalah hama ulat grayak, terutama yang terindikasi resisten terhadap insektisida kimia. Kelemahan SlNPV antara lain daya bunuh lambat dan peka sinar UV, merupakan tantangan yang dapat diatasi melalui rekayasa genetik.   
5.   Pengembangan teknologi bioinsektisida SlNPV diarahkan kepada upaya produksi SlNPV yang lebih virulen, tahan sinar UV, dan bermasa simpan lebih dari setahun. Upaya tersebut ditempuh melalui perbaikan teknologi, efisiensi produksi, dukungan investasi, dan sosialisasi bioinsektisida SlNPV.
6.2.   Implikasi Kebijakan
Pengembangan dan penerapan teknologi bioinsektisida SlNPV sejalan dengan arah kebijakan  pemerintah  dalam meningkatkan keseimbangan ekosistem dan PHT. Oleh karena itu perlu mendapat dukungan pemerintah dalam: a) memfasilitasi lembaga proteksi tanaman untuk upaya produksi; b) meningkatkan kapasitas penyuluh dalam sosialisasi dan pendampingan teknologi; c) memberikan prioritas kepada peneliti dalam kegiatan eksplorasi, identifikasi, dan seleksi isolat patogen serangga; d) mendorong pihak swasta untuk menjalin kemitraan dalam memproduksi skala komersial; dan e) meningkatkan kegiatan SL-PTT kedelai dengan penekanan pada praktek PHT.

VI.      PENUTUP

Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,
Berbagai teknik pengendalian ulat grayak telah tersedia, namun petani masih bertumpu pada insektisida kimia. Untuk itu, teknologi bioinsektisida SlNPV diharapkan dapat dikembangkan dan diintegrasikan dalam kegiatan SL-PTT kedelai sehingga implementasinya dapat mengurangi kebergantungan terhadap insektisida kimia dan tercapainya tujuan PHT secara berkelanjutan, khususnya dalam mendukung swasembada kedelai 2014.

UCAPAN TERIMA KASIH

Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan hadirin yang saya hormati,
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala karunia yang diberikan-Nya sehingga saya dapat mencapai jenjang karier seperti saat ini. Selanjutnya, perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih kepada:
 *     Ayahanda H. Amiroeddin Daeng Malewa (alm.) dan ibunda Raden Ajeng Hj. Zainah yang telah mendidik, mendorong, mengingatkan, dan mendoakan saya agar saya menjadi pribadi yang tabah dalam menghadapi tantangan dalam mewujudkan cita-cita, serta bapak mertua Kanjeng Raden Tumenggung H. Reksoprodjo (alm.) yang selalu memberikan nasehat, dorongan, dan doa, terutama saat saya mulai meniti karier.
 *   Istri tercinta Ir. Djunainah, MS dan anak-anak Muhammad Ihwan Fahrurrazi SP, Lutfia Nurrahmi Fahruahsani SH, dan Muhammad Farhan Fahrurahman STP, serta menantu Rosa Delima SP, MSi, juga para saudara kandung dan saudara ipar yang selalu memberikan dorongan dan doa untuk kesuksesan saya.
 *    Para guru/pembimbing selama saya menyelesaikan pendidikan mulai sekolah rakyat sampai perguruan tinggi, khususnya Prof. Dr. Ida Nyoman Oka, Prof. Dr. Kasumbogo Untung (alm.), Prof. Dr. Soeprapto Mangoendihardjo, Ir. Samino Wirjosuhardjo (alm.), dan Dra. Santianawati yang telah memberikan bimbingan dan dorongan selama saya mengikuti program pendidikan di UGM. Demikian juga kepada Dr. Muneo Okada yang telah memberikan pengetahuan tentang NPV.
 *      Peneliti senior saya, Dr. Prabowo Tjitropranoto, Dr. M. Suhardjan, Prof. Dr. J. Soejitno (alm.), Dr. I Dewa Made Tantera, dan Ir. Wedanimbi Tengkano, MS yang telah memberikan dorongan dan motivasi.
 *     Prof. Dr. Elna Karmawati dan Prof. Dr. Arifin Kartohardjono selaku Tim Evaluator Naskah Orasi di tingkat BB Biogen; Prof. Dr. Irsal Las, Prof. Dr. Elna Karmawati, Prof. Dr. Made Oka Adnyana, dan Prof. Dr. Subandriyo selaku Tim Evaluator Naskah Orasi di tingkat Badan Litbang Pertanian; serta Prof. Dr. Endang Sukara, Prof. Dr. Irsal Las, dan Prof. Dr. Elna Karmawati selaku Tim Evaluator Naskah Orasi di tingkat LIPI; yang telah memberikan saran dan koreksi terhadap naskah orasi ilmiah ini.
 *     Menteri Pertanian, Kepala Badan Litbang Pertanian, Sekretaris Badan Litbang Pertanian, dan Kepala BB Biogen yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas dalam meniti karier sebagai peneliti.
 *    Kepala LIPI, Ketua dan para anggota Majelis Pengukuhan Profesor Riset LIPI, Kepala Pusbindiklat Peneliti LIPI, Ketua TP3I LIPI, dan Ketua TP2I Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan dalam penyampaian orasi ilmiah ini.
 *    Teman-teman peneliti, pustakawan, teknisi, serta karyawan dan karyawati lingkup Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan bantuan, kritik, dan saran selama saya menekuni karier sebagai peneliti.
 *      Panitia penyelenggara orasi ilmiah dan seluruh hadirin atas kesediaan waktu dan perhatian dalam acara ini.
Akhir kata, saya mohon maaf apabila dalam penyampaian orasi ilmiah ini terdapat kekhilafan dan kekurangan. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Amiin.
Billahitaufiq wal hidayah,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

DAFTAR PUSTAKA

1   Kementerian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian. 184 hal.
2   Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuwarso. 1988. An outline on soybean pests in Indonesia in faunistic aspects. Prosiding Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, 6 Desember 1988. 37 p.
3   Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal Litbang Pertanian. 27(4): 131-136.
4   Ditlintan. 2008. Laporan Luas dan Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia 2008. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta.
5   Arifin, M. dan W.I.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap nuclear-polyhedrosis virus. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Puslitbangtan. Sukamandi, 16-18 Januari 1986. Buku 1 (Palawija): 74-78.
6   Endo, S., Sutrisno, I M. Samudra, A. Nugraha, J. Soejitno, and T. Okada. 1989. Insecticide susceptibility of Spodoptera litura (Fabricius) larvae collected from three locations in Indonesia. Appl. Ent. Zool. 24(3): 309-313.
7    Hardin, M.R., B. Benrey, M. Coll, W.O. Lamp, G.K. Roderick, and P. Barbosa. 1995. Arthropod pest resurgence: an overview of potential mechanism. Crop Protection. 14(1): 3-18.
8    Arifin, M., F. Djapri, dan I M. Samudra. 1986. Kematian, perkembangan   dan   daya   rusak  ulat grayak, Spodoptera litura (F.) akibat residu monokrotofos pada kedelai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Puslitbangtan. Sukamandi, 16-18 Januari 1986. Buku 1 (Palawija): 69-73.
9    Arifin, M. dan D. Koswanudin. 2010. Alternatif teknologi pengendalian ulat grayak pada kedelai dengan berbagai jenis insektisida biorasional. Seminar Nasional VI PEI Cabang Bogor, 24 Juni 2010. 16 hal.
10  Arifin, M. 1992. Pertumbuhan intrinsik ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai. Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus 1991. AARP Badan Litbang Pertanian – Ditjen Perguruan Tinggi. Cisarua, Bogor, 13-15 Mei 1991. Hlm 453-464.
11  Arifin, M. 1993. Pengambilan keputusan pengendalian ulat grayak Spodoptera litura (F.) berdasarkan ambang ekonomi dan teknik penarikan contoh pada kedelai. Risalah Seminar Puslitbang Tanaman Pangan April 1992 – Maret 1993, Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Hlm 49-84.
12  Arifin, M. 1989. Daya makan dan perkembangan ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balittan Bogor, 17-18 Desember 1986 Buku 2 (Palawija): 181-188.
13  Arifin, M. 1994. Economic injury level and sequential sampling technique for the common cutworm, Spodoptera litura (F.) on soybean. Contr. Central Research Institute Food Crops Bogor. 82: 13-37.
14  Pedigo, L.P., S.H. Hutchins, and L.G. Higley. 1986. Economic injury levels in theory and practice. Ann. Rev. Entomol. 31: 341-68.
15  Mumford, J.D. and G.A. Norton. 1984. Economics of decision making in pest management. Ann. Rev. Entomol. 29: 157-74.
16  Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1972. Development and economic injury level of the green cloverworm on soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.
17  Arifin, M. dan A. Rizal. 1989. Ambang ekonomi ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai varietas Orba. Penelitian Pertanian. 9(2): 71-77.
18  Arifin, M. dan W. Tengkano. 2008. Tingkat kerusakan ekonomi hama kepik coklat pada kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 27(1): 47-53.
19  Arifin, M. dan W. Tengkano. 2010. Tingkat kerusakan ekonomi hama kepik punggung bergaris, Piezodorus hybneri pada kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 29(1): 42-49.
20  Ditlintan. 1993. Pedoman Rekomendasi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Pangan. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Jakarta. 186 hal.
21  Shepard, B.M. 1980. Sequential sampling plans for soybean arthropods. Sampling Methods in Soybean Entomology. Springer-Verlag, New York. pp 79-93.
22  Pedigo, L.P. and L.G. Higley. 1992. The economic injury level concept and environmental quality. American Entomologist. 38(1): 12-21.
23  Pedigo, L.P. 1999. Entomology and Pest Management. Prentice Hall, Inc., New Jersey. 691 p.
24  Hein, G.L. 2003. Insect management. High Plains Integrated Pest Management. http://wiki.bugwood.org/ upload/IPM.pdf
25  Leslie, A.R. and G.W. Cuperus. 1993. Successful implementation of integrated pest management for agricultural crops. CRC Press, Boca Raton, Florida. 193 p.
26  Balitkabi. 2008. Deskripsi varietas unggul kedelai 1918-2008. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 70 hal.
27  Tengkano, W., Matadjib, D. Kilin, dan M. Iman. 1997. Identifikasi jenis tanaman inang yang paling menarik bagi imago Ophiomyia phaseoli Tr. dan Spodoptera litura F. Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI. PEI Cabang Bogor. Hlm 387-402.
28  Arifin, M. 1991. Peranan musuh alami ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada berbagai kondisi lingkungan pertanaman kedelai. Prosiding Seminar Nasional Biologi Dasar II. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor. Hlm 207-214.
29  Arifin, M. 2005. Lycosa pseudoannulata: laba-laba pemangsa serangga hama kedelai. Berita Puslitbangtan. 32: 8-9.
30  Arifin, M. 2002. Teknik produksi dan pemanfaatan bioinsektisida NPV untuk pengendalian ulat grayak pada kedelai. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV, Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Hlm 121-134.
31  Bahagiawati, 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida. Buletin AgroBio. 5(1): 21-28.
32  Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura pada Kedelai. Jurnal Litbang Pertanian. 24(1): 19-26.
33  Chaerani dan Y. Suryadi. 1999. Isolasi Nematoda Patogen Serangga  Steinernema dan Heterorhabditis dari  Daerah  di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional PEI, Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor, 16 Februari 1999. Hlm 197-206.
34  Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect pathology. Academic Press, Inc., Toronto.
35  Sugimori, H., T. Nagamine, and M. Kobayashi. 1990. Analysis of structural polypeptides of Bombyx mori (Lepidoptera: Bombycidae) nuclear polyhedrosis virus. Appl. Ent. Zool. 25(1): 67-77.
36  Scott, H.A. and S.Y. Young. 1973. Antigens associated with a nuclear polyhedrosis virus from cabbage looper larvae. J. Invertebr. Pathol. 21: 315-317.
37  Arifin, M. dan M. Iman. 1993. Daya makan dan daya rusak ulat grayak setelah aplikasi Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus pada kedelai. Buletin Penelitian. 8: 1-8.
38  Arifin, M. dan Bedjo. 2007. Keefektifan beberapa isolat SlNPV dan kombinasinya dalam pengendalian ulat grayak pada kedelai. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Pertanian dan Peternakan dalam Sistem Usahatani Lahan Kering. Kupang, 7-8 Desember 2007. Buku 1: 222-228.
39  Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto, dan A. Alwi. 1995. Keefektifan dan kompatibilitas SlNPV dengan insektisida terhadap ulat grayak pada kedelai. Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi XI. Depok, 24-27 Juli 1995. 8 hal.
40  Koswanudin, D., M. Arifin, dan Harnoto. 2002. Kompatibilitas SlNPV dengan ekstrak biji mimba untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Bogor, 26-27 Desember 2001. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Hlm 343-347.
41  McCutchen, B., L. Flexner, and G. Hollingshaus. 1997. A brief overview of biotechnology at DuPont Ag and a case study with recombinant baculoviruses. Cornell Community Conference on Biological Control, April 11-13,1996. http://www.nysaes.cornell.edu/ent/bcconf/talks/index.html
42  Starnes, R.L., C.L. Liu, and P.G. Marrone. 1993. History, use, and future of microbial insecticides. American Entomologist. Summer: 83-91.
43  Ignoffo, C.M. and T.L. Couch. 1981. The nucleopolyhedrosis virus of Heliothis species as a microbial insecticide. Microbial Control of Pests and Plant Diseases 1970-1980. Academic Press, London. pp 329-362.
44  Shaphiro, M., P.P. Agin, and R.A. Bell. 1983. Ultraviolet protectants of the gypsy moth (Lepidoptera: Lymantriidae) nucleopolyhedrosis virus. Environ. Entomol. 12(3): 982-985.
45  Jacques, R.P. 1971. Tests on protectants for foliar deposits of a polyhedrosis virus. J. Invetebr. Pathol. 17: 9-16.
46  Shapiro, M. and A.A. Bell. 1984. Selection of a UV-tolerant strain of the gypsy moth, Lymantria dispar (L.) (Lepidoptera: Lymantriidae), nucleopolyhedrosis virus. Environ. Entomol. 13(6): 1522-1526.
47  Arifin, M., I. Villayanti, dan A. Alwi. 1999. Keefektifan SlNPV pada berbagai bahan formulasi terhadap ulat grayak, Spodoptera litura (F.) pada kedelai. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor, 16 Februari 1999. Hlm 149-158.
48  Arifin, M., Suharto, dan Bedjo. 1999. Teknik pengemasan dan penyimpanan biopestisida NPV yang efektif terhadap ulat grayak kedelai. Jurnal Agrin Fakultas Pertanian Unsoed. 4(7): 1-4.
49  Arifin, M. dan D. Nuzulliati. 1999. Keefektifan bioinsektisida NPV pada berbagai macam bahan perangsang makan terhadap ulat grayak kedelai, Spodoptera litura (F.). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik, Fakultas Pertanian Universitas IBA. Palembang, 30 Oktober 1999. Hlm 63-70.
50  Arifin, M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan volume nuclear-polyhedrosis virus terhadap kematian ulat grayak kedelai (Spodoptera litura F.). Penelitian Pertanian 8(1): 12-14.
51  Arifin, M., E. Soenarjo, B. Soegito, dan Soebiyakto. 1993. Kemanjuran Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus  terhadap ulat grayak (Spodoptera litura) pada tanaman kedelai. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1992. Balittan Malang. Hlm 81-86.
52  Arifin, M. 2006. Kompatibilitas SlNPV dengan HaNPV dalam pengendalian ulat grayak dan ulat pemakan polong kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 25(1): 65-70.
53  Arifin, M. dan E. Sukardi. 1992. Saat aplikasi virus Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis dalam pengendalian ulat grayak. Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Prosiding Seminar Balittan Bogor, 29 Februari dan 2 Maret 1992. Buku 2: 298-304.
54  Zhou, M., X. Sun, X. Sun, J.M. Vlak, Z. Hu, and W. Van der Werf. Horizontal and vertical transmission of wild-type and recombinant Helicoverpa armigera single-nucleocapsid nucleopolyherovirus. J. Invertebr. Pathol. 89(2): 165-175.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar