Sabtu, 19 Februari 2011

75. Olah Tanah Konservasi dalam Tumpangsari Hutan Tanaman Industri: Suatu Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan


Tjokrowardojo, A.S.,  M.Y. Mile, dan M. Arifin. 1999. Olah tanah konservasi dalam tumpangsari hutan tanaman industri: suatu alternatif pemberdayaan masyarakat desa hutan, p. 217-223. Dalam K. Delita et al. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik. Fakultas Pertanian Universitas IBA. Palembang, 30 Oktober 1999. Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang.

Agus S. Tjokrowardojo1, M. Yamin Mile2, dan Muhammad Arifin3
1 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat-obatan, Bogor
2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Konservasi Alam, Bogor
3 Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor



ABSTRACT

Management of an industrial plant forest (IPF) intercropped with food crop gives added values, such as increase in farmer income and better grows of IPF plants. The management without considering soil conservation, however, can decrease soil fertility. A financial analysis of a land management system known as conservation tillage has been conducted in an area of IPF intercropped with cassava at PT. Inhutani V Unit Lampung. The land preparation cost for intercropping plants with the intensification tillage system (twice flowing and once harrowing) was Rp 350,000/ha whereas, with the conservation tillage system (using an herbicide of glyphosate 24% at a rate of 8 l/ha) was Rp 296,000/ha or less 15% than the intensification tillage system. The conservation tillage system is one of alternative technologies able to exert forest village farmers. Therefore, it is suitable to be developed in IPF areas. Besides increasing land productivity and farmer income, the conservation tillage system conserves land resources, so that supports sustainable agroforestry development programs.
Key word: intercropping, industrial plant forest, conservation tillage.


ABSTRAK

Pengelolaan hutan tanaman industri (HTI) yang ditumpangsarikan dengan tanaman pangan memberikan nilai tambah berupa meningkatnya pendapatan petani dan terpeliharanya tanaman HTI secara lebih baik. Akan tetapi, pengeloiaan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah. Suatu analisis finansial sistem pengelolaan lahan yang dikenal dengan olah tanah konservasi (OTK) telah dilakukan di areal HTI milik PT. Inhutani V Unit Lampung dengan pola tanam tumpangsari ubi kayu. Penyiapan lahan tanam tumpangsari sistem olah tanah sempurna (OTS) dengan dua kali bajak dan sekali garu menghabiskan biaya Rp 350.000/ha sedangkan dengan sistem OTK menggunakan herbisida glifosat 24% dosis 8 l/ha menghabiskan biaya Rp 296.000/ha atau menghemat 15% bila dibandingkan dengan sistem OTS. Sistem OTK merupakan salah satu teknologi alternatif yang mampu memberdayakan masyarakat desa hutan sehingga layak dikembangkan di areal HTI. Selain meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani, sistem OTK melestarikan sumberdaya lahan, sehingga menunjang program pembangunan kehutanan berkelanjutan.
Kata kunci : tumpangsari, hutan tanaman industri, olah tanah konservasi.

PENDAHULUAN

Ssaat ini, persediaan hasil hutan untuk bahan baku industri pulp, kertas dan kayu pertukangan cenderung menurun akibat menipisnva standing stock dan merosotnya produktivitas lahan hutan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang tertuang dalam PP No. 7 Tahun 1989. Operasionalisasi kebijakan tersebut diatur dalam dalam SK Menhutbun No. 206/KPTS-II/95 tanggal 11 April 1995. Pada prinsipnya. pembangunan HTI ditujukan untuk (1) meningkatkan potensi hutan dalam rangka pemenuhan bahan baku industri hasil hutan, dan (2) melaksanakan upaya rehabilitasi lahan hutan tidak produktif, penyediaan lapangan kerja, dan kesempatan berusaha.
HTI merupakan upaya merubah lahan hutan semak belukar, atau alang-alang yang tidak produktif menjadi lahan produktif. Pembukaan hutan dilakukan dengan menggunakan buldozer disertai pengolahan lahan secara intensif dengan menggunakan bajak traktor dua kali kemudian digaru. Setelah itu, lahan ditanami HTI secara monokultur atau ditumpangsarikan dengan tanaman pangan. Budidaya tanaman pangan dilakukan secara konvensional dengan pengolahan tanah secara intensif pula.
Pengelolaan HTI yang ditumpangsarikan dengan tanaman pangan telah terbukti memberikan nilai tambah berupa meningkatnya pendapatan petani dan terpeliharanya tanaman HTI secara lebih baik (Munawawi dan Suhadi, 1999, komunikasi pribadi). Akan tetapi, karena umumnya HTI dikembangkan di lahan marginal dengan jenis tanah ordo oxisols dan ultisols yang mempunyai sifat fisik maupun kimia jelek (Siregar dan Pratiwi, 1999), maka cara pembukaan dan pengolahan lahan HTI seperti di atas sering menyebabkan menurunnya produktivitas lahan (Barus et al., 1981; Siregar dan Pratiwi, 1999), di samping biayanya mahal untuk mengatasi masalah tersebut, akhir-akhir ini muncul gagasan untuk menerapkan teknologi OTK pada areal HTI. Teknologi yang berwawasan lingkungan dan agribisnis tersebut telah berhasil diterapkan di lahan pertanian tanaman pangan sehingga berpotensi besar untuk diterapkan pula di areal HTI.
Di dalam makalah ini dibahas beberapa hal, antara lain mengenai konsep HTI tumpangsari, dampak pengolahan tanah secara intensif di areal HTI tumpangsari, teknologi OTK di areal HTI tumpangsari, dan analisis finansial HTI tumpangsari sistem OTK. Diharapkan penerapan teknologi OTK di areal HTI tumpangsari dapat merupakan alternatif dalam upaya memotivasi dan memberdayakan pstani/masyarakat desa hutan.

KONSEP HTI TUMPANGSARI

Sejak dicanangkannya kebijakan pemerintah mengenai HTI, penanaman tanaman pangan di areal HTI dengan pola tumpangsari telah menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan HTI. Ada tiga komponen jenis tanaman di areal HTI tumpangsari, yaitu (a) jenis tanaman berumur panjang (tahunan) yang menghasilkan kayu, seperti mahoni, jati. sengon sungkai, gmelina, dan akasia, (b) jenis tanaman berumur sedang, seperti pisang dan keladi, dan (c) jenis tanaman semusim, seperti padi gogo, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, melon, dan semangka. Umumnya, jenis tanaman berumur sedang dan/atau semusim ditumpang-sarikan secara serasi di antara gawangan tanaman hutan (Mile, 1999).
Pentingaya HTI tumpangsari didasarkan, antara lain oleh adanya permasalahan bahwa di areal HTI monokultur, produktivitas tanaman masih rendah, lahan belum termanfaatkan secara optimal, teknologi anjuran belum teradopsi dengan bark, dan keanekaragaman hayati relatif rendah, sehingga memungkinkan terjadinya serangan hama dan penyakit. Oleh karena itu, HTI tumpangsari diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut, sekaligus memberikan nilai tambah berupa meningkatnya pendapatan petani dan terpeliharanya tanaman HTI secara lebih baik.
Nilai tambah dari HTI tumpangsari dibuktikan oleh hasil penelitian Kaat dan Darwis (dalam Damanik, 1998) yang menunjukkan bahwa tanaman sela (padi gogo, kedelai, dan bawang merah) di antara tegakan tanaman kelapa dapat memberikan hasil kelapa lebih banyak bila dibandingkan dengan tanaman kelapa monokultur tanpa tanaman sela. Demikian juga hasil penelitian Bangun et al. (1998) yang menunjukkan bahwa padi gogo yang ditanam di bawah tegakan sengon memberikan hasil rata-rata 3,68 t/ha, sedangkan hasil penelitian Sudradjat et al. (1998) memberikan hasil padi gogo 3,3 t/ha gabah kering giling. Meningkatnya hasil tanaman HTI mungkin disebabkan, antara lain oleh dampak kegiatan pemupukan tanaman pangan terhadap tanaman HTi dan terhambatnya pertumbuhan gulma oleh tanaman tumpangsari, sehingga tanaman HTI tumbuh lebih baik.
Hasil pengamatan lapang yang dilakukan oleh Tjokrowardojo dan Mile (1999) di areal HTI tumpangsari, Satuan Pemangku Hutan (SPH) Way Hanakau dan SPH Muara Dua, PT. Inhutani V Unit Lampung juga membuktikan bahwa pertumbuhan tanaman HTI (kemiri, mahoni, sunghai, dan gmelina berumur 1-2 tahun) yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim (ubi kayu, cabe, dan semangka) lebih baik bila dibandingkan dengan yang tanpa ditumpangsarikan. Pertumbuhan tanaman HTI tanpa tumpangsari tersebut dihambat oleh gulma seperti alang-alang, kirinyuh (Chromolaena odorata), harendong (Melastoma affine), dan tembelekan (Lantana camara).
Di samping nilai tambah tersebut, HTI tumpangsari juga memberikan dampak sosial yang positif, antara lain dengan adanya tanaman pangan, petani menjadi rajin pergi ke ladang HTI, sehingga secara tidak langsung tanaman HTI ikut terpelihara pula.

DAMPAK PENGOLAHAN TANAH DI AREAL HTI TUMPANGSARI

Umumnya budidaya HTI tumpangsari dilakukan secara konvensional, antara lain dengan tanah secara intensif (dibajak dua kali kemudian digaru) dan penyiangan secara manual. Cara tersebut membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya yang banyak sehingga merupakan masalah bagi petani, mengingat kemampuan petani dalam mengelola lahan HTI tumpangsari sangat terbatas, yaitu sekitar antara 0,5 – 1,0 ha/KK. Di samping itu, cara pengolahan tanah secara intensif tidak memperhatikan kaidah konservasi, sehingga dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah secara cepat (Siregar dan Pratiwi, 1999).
Cara pengolahan tanah di areal HTI tumpangsari yang tidak memperhatikan kaidah konservasi dapat merusak sifat fisik kimia dan biologi tanah. Tanah mudah mengalami erosi dan kadar bahan organik menurun, sehingga tingkat kesuburan dan produktivitas tanahpun menurun pula. Akibatnya tanaman HTI tumpangsari tidak tumbuh dengan baik (Sudjadi dan Satari, 1986). Timbul dugaan bahwa cara pgolahan tanah seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab kurang berhasilnya program HTI selama ini.
Lebih lanjut, Suwardjo dan Sukmana (1986) mengemukakan bahwa ada lima faktor peyebab hilangnya bahan organik tanh, yaitu (1) sering terbukanya lahan sehingga memungkinkan terjadinya erosi berlebihan yang menyebabkan suhu tanah meningkat dan mempercepat proses dekomposisi, (2) pengolahan tanah yang terlalu sering, (3) kebiasaan petani membakar, mengangkut, dan membuang sisa tanaman setelah panen, (4) cara pembukaan lahan yang tidak bijaksana, seperti penggunaan buldozer yang menggusur lapisaa tanah atas, dan (5) erosi parit.

TEKNOLOGI OLAH TANAH KONSERVASI DI AREAL HTI TUMPANGSARI

Sebagai alternatif penyelesaian masalah kerusakan sumberdaya lahan dan kerusakan lingkungan akibat diterapkannya cara pengolahan tanah secara intensif, beberapa tahun terakhir ini, para pakar mengembangkan sistem usahatani ekologis veng dikenal dengan ekofarming. Ekofarming merupakan konsep pertanian yang memperhatikan dasar-dasar ekologi dan kondisi lahan pertanian. Ekofarming memerlukan pengembangan bentuk pengelolaan yang dapat memelihara dan memperbaiki kondisi lahan pertanian dan melestarikan tingkat kesuburannya.
Olah tanah konservasi (OTK) adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan memprioritaskan aspek kelestarian sumberdaya lahan, aspek produksi, dan aspek sosial ekonomi. Dalam menerapkan teknologi OTK, selain perlu memperhatikan kelayakan fisik, seperti persyaratan mulsa di permukaan tanah harus lebih dari 30% (Lal, 1989), juga perlu memperhatikan kelayakan sosial ekonominya.
Pada dasarnya, OTK memanipulasi gulma sedemikian rupa sehingga berperan sebagai mulsa pada budidaya. Dengan demikian, aliran permukaan tanah dan erosi dapat terkendali. Sementara itu, perakaran gulma dan tanaman awal yang mati dan membusuk akan menciptakan ruang kapiler/pori di dalam tanah, sehingga kondisi aerasi baik dan struktur tanah remah tidak memadat meskipun tanah tidak diolah. Kondisi demikian akan mempertahankan aktivitas mikroorganisme aerob dan anaerob, sehingga kesuburan tanah relatif dapat dipertahankan. Phillips dan Philiips (1984) berpendapat bahwa sistem OTK dapat mendukung pelestarian lingkungan sesuai dengan prinsip konservasi tanah dan air, menekan lalu erosi, dan meningkatkan produktivitas tanah. Di samprng itu juga dapat menghemat biaya dan tenaga dalam budidaya tanaman HTI-tumpangsari. Budidaya HTl-tumpangsari pada umumnva dilaksanakan di lahan yang rawan erosi, sehingga teknologi OTK merupakan teknologi alternatif untuk mewujudkan pola tanam HTI-tumpangsari berkelanjutan.
Bila dikaitkan dengan pembangunan HTI, tidak tertutup kemungkinan diterapkannya polaranam dua atau tiga kali setahun sebagai tumpangsari. Hasil penelitian Sudradjat et al. (1998) menunjukkan bahwa penanaman padi gogo di bawah tegakan Acasia mangium mulai persiapan lahan, tanam, sampai panen memerlukan waktu 6 bulan. Dengan menerapkan teknologi OTK maka periode tanaman padi gogo dapat dipercepat menjadi 3,5-4 bulan sehingga dalam setahun dapat diupayakan penanaman tumpangsari 2-3 kali tanpa menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan tanah dan lingkungan. Upaya penanaman tumpangsari HTI seyogyanya dimulai dari awal pembangunan sampai tanaman HTI berumur 3 tahun setelah tanam, sehingga dalam periode ini akan dipanen tanaman tumpangsari 6-9 kali, bergantung jenis tanamannya. Dengan demikian nilai tambah HTI tumpangsari dapat dijamin, di samping optimalisasi dan dukung lahan tercapai. Tidak kalah pentingnva adalah bahwa penerapan teknologi OTK di areal HTI tumpangsari akan memperluas kesempatan berusaha serta menciptakan peluang kerja bagi petani/masyarakat desa hutan karena teknologi ini dapat menghemat biaya, waktu, dan tenaga. Menurut Mile (1999), penerapan TOT pada pola tumpangsari HTI secara keseluruhan dapat mereduksi biaya sekitar 49,6% dari pagu kredit Rp 3000.000/ha.

ANALISIS FINANSIAL HTI TUMPANGSARI SISTEM OTK

Sampai sekarang, belum diperoleh data hasil analisis finansial usahatani penerapan OTK pada HTI tumpangsari karena peneiitian OTK di areal HTI jarang dilakukan. Namun demikian, dapat dilakukan pendekatan perhitungan dari pagu kredit HTI sebesar Rp 3.000.000/ha. Dengan asumsi bahwa 30-40% adalah biaya untuk pengolahan tanah, maka reduksi biaya pengelolaan HTI cukup besar. Dengan demikian terjadi penghematan.
Biaya penyiapan lahan tanam tumpangsari di areal HTI yang dilaksanakan oleh PT. Inhutani V Unit Lampung (bajak dua kali + garu) lebih kurang Rp 350.000/ha (Malik, 1999, komunikasi pribadi), kemudian biaya penyiapan lahan TOT menggunakan herbisida glifosat 24% dosis 8 l/ha lebih kurang Rp 296.000/ha (Tjokrowardojo dan Mile, 1999). Dengan demikian penerapan sistem TOT dalam usahatani tumpangsari di areal HTI akan dapat mereduksi biaya penyiapan lahan tanam sebesar Rp 350.000 – Rp 296.000 = Rp 54.000/ha atau menghemat 15,4%.
Dilihat dari penghitungan pendekatan analisis finansial, sistem TOT mempunyai prospek yang baik untuk diterapkan dalam pembangunan HTI tumpangsari. Implikasi penerapan sistem TOT dalam pola HTI tumpangsari tanaman pangan, antara lain: (1) membangkitkan motivasi petani untuk terlibat aktif dalam program HTI tumpangsari karena akan menghemat tenaga, biaya, dan waktu, (2) memperluas lahan yang mampu digarap oleh petani untuk tumpangsari, (3) pemberdavaan petanl desa hutan dapat terwujudkan, (4) tanaman HTI ikut terpelihara dengan baik, (5) erosi tanah permukaan dapat diperkecil dan kerusakan agregat tanah dapat dihindari, sehingga tingkat kesuburan tanah dapat dipertahankan.

KESIMPULAN

Pengelolaan HTI maupun HTI yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim (tanaman pangan) yang selama ini masih dilakukan secara intensif (buldozer, bajak, garu) dapat mempercepat proses menurunnva produktivitas lahan akibat erosi. Penanaman tumpangsari tanaman semusim di areal HTI dapat memberikan nilai tambah peningkatan persediaan pangan dan pertumbuhan tanaman HTI yang lebih baik. Pola tanam tumpangsari HTI banyak melibatkan partisipasi petani masyarakat desa hutan, sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan motivasi dan gairah kerja petani karena akan memperoleh penghasilan tambahan. OTK dapat menjawab permasalahan yang muncul dalam praktek pembangunan HTI tumpangsari, sehingga akan mewujudkan pembangunan kehutanaman berkelanjutan. Penerapan teknologi OTK dalam pembangunan HTI tumpangsari dapat meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola lahan lebih luas karena terjadi penghematan waktu, tenaga kerja, dan biaya.

SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian mengenai teknologi OTK di kawasan HTI dalam berbagai aspek (budidaya, konservasi tanah dan air, sosiai ekonomi dan lingkuungan).
2. Guna mengantisipasi terjadinya kerusakan lahan yang lebih parah akibat pengelolaan lahan secara intensif dalam pembangunan HTI tumpangsari, uji terap teknologi OTK dalam skala luas di berbagai kondisi lahan (hutan rawang. semak belukar, dan alang-alang) perlu dilakukan untuk mendapatkan suatu rakitan teknologi tepat guna dan berhasil guna.

DAFTAR PUSTAKA

Bangun, P., A. Pirngadi, Pakim, dan H.M. Toha. 1998. Pengaruh persiapan tanam dan sistem pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil gabah kering padi gogo pada tegakan tanaman sengon dan kelapa sawit. Seminar Nasionai VI BDP-OTK di Padang, 24-25 Maret 1998.
Damanik, S. 1998. Potensi pengembangan pola usahatani kelapa dan pemberdayaan ekonomi keluarga di Lampung. Sylva Trropika FERDA. 16: 1-4.
Lal, R. 1989. Conservation tillage for sustainable agriculture tropics versus temperate environment. Advance in Agronomy. 42: 85-197.
Mile, M.Y. 1999. Sistem penanaman TOT dan aplikasinya dalam kegiatan HTI pola tumpangsari. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Pengusahaan Hutan. Bogor, 11 Februari 1998. p. 19-33.
Phillips, R.E. and S.H. Phillips. 1984. No tillage agriculture. Reinhold Co., New York.
Siregar, C.A. dan Pratiwi. 1999. Pemanfaatan bahan organik dengan teknik mulsa vertikal untuk meningkatkan kesuburan tanah pada HTI. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Pengusahaan Hutan. Bogor, 11 Februari 1998. p. 11-17.
Sudjadi, M. dan A.M. Satari. 1986. Pengelolaan lahan kering bermasalah untuk pertanian. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Agronomi. Kongres ke 14 Peragi dan Seminar Nasional Agronomi. Jakarta, 16-18 Januari 1986. p. 327-344.
Sudradjat, D. Wasono, dan D. Irianto. 1998. Uji coba tumpangsari padi gogo di lahan hutan tanaman industri Acasia mangium. Silva Tropika FERDA 15: 9-11.
Suwardjo dan S. Sukmana 1986. Penelitian teknis konservasi dan pencegahan erosi untuk pengelolaan lahan kering. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Agronomi. Kongres ke 14 Peragi dan Seminar Nasional Agronomi. Jakarta, 16-18 Januari 1986. p. 371-400.
Tjokrowardojo, A.S. dan M.Y. Mile. 1999. Penelitian uji coba teknologi OTK di areal HTl-tumpangsari (belum dipublikasikan).
Utomo, M. 1990. Budidaya pertanian TOT, teknologi untuk pertanian berkelanjutan. Dir. Produksi Padi dan Palawija, Deptan, Jakarta.
Utomo, M., I.S. Banuwa, A. Niswati, S. Yusnani. I.A. Asnuri. and I.G. Suase. 1997. Long-term conservation tillage effect on earthworm and soil agregate. International workshop on Biological Management of Soil Fertility on Acid Upland Soils in The Humid Tropics. Malang, 28-31 Juli 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar