Jumat, 18 Februari 2011

22. Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Kedelai


Arifin, M. 1990. Teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai. Kongres Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indonesia (HPTI) I. Jakarta, 8-10 Pebruari 1990. 10 p.

Muhammad Arifin
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor



ABSTRAK

Suatu paket teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura F.) yang didasarkan atas konsep PHT pada tanaman kedelai diusulkan sebagai berikut: (1) kedelai ditanam secara serempak, sekali setahun setelah panen padi pada awal musim kemarau; (2) pemantauan ulat grayak dilakukan: (a) pertama kali pada awal stadium vegetatif tanaman, (b) kemudian tiap seminggu setelah pemantauan sebelumnya, jika tidak ada keputusan pengendalian, atau (c) seminggu setelah aplikasi insektisida, jika ada keputusan pengendalian, dan (d) terakhir kali pada pertengahan stadium pengisian polong; (3) contoh populasi ulat grayak diambil secara acak, sedikitnya 10 buah pada lahan yang luasnya tidak melebihi 8 ha dengan pengamatan langsung. Unit contoh yang diambil sama besarnya dengan unit tanaman dalam ketentuan ambang ekonomi; (4) jika dijumpai 1 kelompok telur/57 tanaman atau 5,5 m baris, pengendalian dengan insektisida dilakukan 6 hari kemudian. Jika dijumpai 58 ekor ulat instar I, 32 ekor ulat instar II atau 17 ekor ulat instar III/12 tanaman atau 1 m baris, pengendalian dengan insektisida dilakukan 2 hari kemudian; dan (5) pengendalian dengan insektisida yang didasarkan atas ambang ekonomi dilakukan dengan mempertimbangkan selektivitas fisiologis dan ekologis. Pengendalian tersebut dipadukan dengan cara menjumput kelompok telur dan ulat yang ditemukan.

PENDAHULUAN

Hama merupakan salah satu faktor kendala dalam usaha meningkatkan produksi kedelai. Serangga hama kedelai di Indonesia sebanyak 111 jenis (13), beberapa di antaranya berstatus hama penting. Salah satu hama daun penting yang mengakibatkan kehilangan hasil panen adalah ulat grayak, Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae). Serangan ulat grayak selama tahnn 1987 di 15 provinsi seluas lebih dari 26.000 ha dengan intensitas kerusakan rata-rata sebesar 22% per bulan (7).
Pengendalian ulat grayak sampai saat ini masih mengandalkan insektisida yang diaplikasikan secara berjadwal pada tanaman berumur 20-65 hari dengan frekuensi 2 minggu sekali, kadang-kadang seminggu dua kali tanpa memperhatikan keadaan populasi hama di lapang (15;19). Penggunaan insektisida menjadi berlebihan sehingga seringkali tidak mengenai sasaran dan menimbulkan pengaruh samping yang merugikan secara ekononis dan ekologis. Cara tersebut dilakukan karena belum ada rekomendasi pelaksanaan pengendalian yang berdasarkan populasi hama.
Mengingat kelemahan cara berjadwal tersebut, untuk mengendalikan ulat grayak harus digunakan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Tujuannya adalah untuk menurunkan populasi hama di bawah tingkatan yang tidak merugikan tanaman. Dalam konsep PHT tersebut, insektisida digunakan sebagai pilihan terakhir apabila hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain. Dengan demikian, penggunaan insektisida dapat dihemat, tepat mengenai sasaran dan tidak berakibat buruk terhadap lingkungan.
Tulisan ini menyajikan suatu gagasan penyusunan paket teknologi pengendalian ulat grayak secara terpadu pada tanaman kedelai berdasarkan hasil-hasil penelitian PHT ulat grayak pada kedelai yang diterbitkan sampai dengan tahun 1989. Dengan bertambahnya hasil-hasil penelitian di tahun mendatang, gagasan paket teknologi ini diharapkan dapat dikembangkan dan disempurnakan.

BIOEKOLOGI ULAT GRAYAK

Ulat grayak memiliki ciri khas, yaitu terdapatnya 2 bintik hitam berbentuk bulan sabit pada ruas abdomen ke 4 dan 10 yang dibatasi oleh alur-alur lateral dan dorsal berwarna kuning yang nemanjang sepanjang badan (10). Perkembangan ulat grayak bersifat metamorfosis sempurna, terdiri atas stadia ulat, kepompong, ngengat dan telur.
Setelah telur menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, ulat tersebut berpencaran. Ulat tua bersembunyi di dalam tanah pada siang hari dan giat nenyerang tanaman pada malam hari. Stadium ulat terdiri atas 6 instar yang berlangsung selama 14 hari. Ulat instar I, II dan III, masing-masing berlangsung sekitar 2 hari. Ulat berkepompong di dalam tanah. Stadia kepompong dan ngengat, masing-masing berlangsung selama 8 dan 9 hari. Ngengat meletakkan telur pada umur 2-6 hari. Telur diletakkan berkelompok dan ditutupi oleh bulu-bulu halus berwarna coklat-kemerahan. Produksi telur mencapai 3.000 butir per induk betina, tersusun atas 11 kelompok dengan rata-rata 200 butir per kelompok. Stadium telur berlangsung selam 3 hari (2;10;12).
Ulat muda menyerang daun hingga tertinggal epidermis atas dan tulang-tulang daun saja. Ulat tua merusak pertulangan daun hingga tampak lobang-lobang bekas gigitan ulat pada daun.
Ulat grayak mulai menyerang tanaman kedelai sejak stadium vegetatif awal. Populasi ulat ini kemudian tumbuh dan mencapai puncak pada tanaman berumur 38 hari. Populasi ulat meningkat lagi setelah tanaman berumur 73 hari (9).
Ulat grayak bersifat kosmopolitan sehingga penyebarannya sangat luas. Sebaran populasi ulat grayak di Pulau Jawa beragam dari waktu ke waktu, tetapi selalu ditemukan pada sepanjang tahun. Keragaman ini disebabkan oleh daya migrasinya yang tinggi dan sifatnya yang polipag pada berbagai tanaman pangan, sayuran dan industri sehingga mampu bertahan hidup pada berbagai tanaman (16).
Ulat grayak memiliki berbagai jenis musuh alami, tetapi yang penting dan banyak dijumpai di lapang, terdiri atas 4 jenis predator, yaitu semut api Solenopsis geminata, kunbang Paederus fuscipes, laba-laba Lycosa pseudoannulata dan Oxypes javanus, Euborellia stali (Dermaptera), 1 jenis parasit, yaitu Snellenius manilae dan 1 jenis patogen, yaitu nuclear-polyhedrosis virus (Borellinavirus litura)(3;6).

AMBANG EKONOMI ULAT GRAYAK

Di dalam konsep PHT, tindakan pengendalian hama ditujukan untuk menurunkan kemudian mempertahankan populasi hama di bawah ambang ekonomi, yaitu tingkat populasi hama yang pada tingkat tersebut harus dilakukan pengendalian untuk mencegah meningkatnya populasi hama mencapai tingkat yang membahayakan tanaman. Prinsip pengendalian hama pada ambang ekonomi telah dikembangkan oleh para ahli sebagai dasar dalam menentukan keputusan saat pengendalian hama dengan insektisida.
Nilai ambang ekonomi ulat grayak disajikan dalam Tabel 1. Pada keadaan tanaman diserang oleh kompleks hama daun, ambang ekonominya setara dengan kerusakan daun sebesar 12,5% (18).


TEKNIK PENGAMBILAN CONTOH ULAT GRAYAK

Pengambilan contoh populasi hama ditujukan untuk menentukan apakah populasi hama tersebut telah mencapai ambang ekonomi. Untuk maksud tersebut, informasi tentang populasi hama harus dikumpulkan dalam waktu singkat dengan biaya rendah dan dengan tingkat kepercayaan pendugaan tinggi. Informasi tersebut dianalisis berdasarkan model pengambilan contoh beruntun (squential sampling).
Prosedur pengambilan contoh untuk populasi ulat grayak pada saat ini sedang disusun oleh Balittan Bogor. Sebagai pedoman sementara, prosedurnya dengan mengambil contoh tanaman secara acak, minimum 10 buah pada lahan yang luasnya tidak melebihi 8 ha (14). Unit contoh untuk pendugaan populasi ditentukan sama banyaknya dengan unit tanaman pada ketentuan ambang ekonomi.
Pemantauan populasi hama dilakukan terhadap kelompok telur atau ulat instar I-III karena saat itu ulat belum berpencaran dan apabila dikendalikan dengan insektisida, keberhasilannya dapat dipastikan. Di samping itu, pemantauan secara intensif perlu dilakukan pada saat tanaman mencapai stadia pembentukan polong hingga awal pengisian biji yang merupakan periode kritis tanaman dari gangguan ulat grayak.

KOMPONEN PENGENDALIAN ULAT GRAYAK

Pengendalian ulat grayak dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dapat dipadukan, yaitu:

1. Pangaturan cara bercocok tanam
Cara ini dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi ulat grayak untuk bertahan hidup, tumbuh dan bereproduksi. Pengendalian dengan cara ini biasanya tidak memberikan hasil yang memuaskan karena sifatnya hanya mengurangi populasi ulat. Meskipun demikian, cara ini menguntungkan apabila diterapkan dalam program PHT karena menciptakan lingkungan yang relatif stabil dan tidak memberikan hasil pengendalian yang beragam, seperti yang dihasilkan bila mengandalkan insektisida saja. Pengaturan cara bercocok tanam, antara lain meliputi pengaturan pergiliran tanaman yang disertai bertanam serempak dan bertanam dengan sistem tumpang sari.
Penanaman kedelai sebaiknya dilakukan sekali setahun pada akhir musim hujan, setelah panen padi. Kedelai yang ditanam pada waktu tersebut relatif terlindung dari serangan ulat grayak karena selama musim tanam padi, pakan tidak tersedia dengan cukup sehingga populasi ulat jauh berkurang. Apabila kedelai ditanam untuk kedua kalinya pada pertengahan musim kemarau, umumnya terserang oleh ulat grayak karena selama musim tanam kedelai pertama, pakan tersedia dengan cukup sehingga peluang ulat grayak untuk tumbuh dan bereproduksi lebih besar.

2. Cara fisik dan mekanis
Pengendalian fisik dan mekanis merupakan cara yang langsung atau tidak langsung mematikan serangga, mengganggu fisiologi serangga dengan cara yang berbeda dengan insektisida, atau merubah lingkungan nenjadi tidak menguntungkan bagi serangga hama. Cara ini kurang populer karena informasi tentang bioekologi serangga tidak cukup tersedia. Oleh karena itu, peranannya di dalam PHT relatif kecil dan harus dipadukan dengan cara lain. Cara fisik dan mekanis yang dianjurkan dalam mengendalikan ulat grayak adalah dengan memungut dan memusnahkan kelompok telur yang ditemukan.

3. Pemanfaatan musuh alami
Untuk memanfaatkan musuh alami ulat grayak, dilakukan usaha konservasi yang tujuannya adalah untuk meningkatkan efektivitas musuh alami tersebut di lapang. Misalnya, dalam usaha memanipulasi lingkungan untuk mengejar hasil panen yang tinggi, insektisida harus digunakan secara selektif terhadap hama sasaran demikian pula caranya, harus dengan dosis, formulasi, waktu dan frekuensi aplikasi yang cocok.
Saat ini Balittan Bogor sedang meneliti pemanfaatan nuclear polyhadrosis virus (NPV) untuk mengendalikan ulat grayak. Usaha pemanfaatan NPV ini didasarkan atas kenyataan bahwa pada tahun 1985 di Lampung Tengah dan Brebes (Jawa Tengah) dijumpai ulat grayak yang mati terserang NPV. Setelah dilakulkan pengujian LC50 di laboratorium, terbukti bahwa ulat grayak rentan terhadap NPV (6). Hasil pengujian lanjutan di rumah kaca menunjukkan bahwa konsentrasi NPV sebesar 2,3 X 107 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml yang diaplikasikan sebanyak 50 ml/m2 efektif untuk mengendalikan ulat grayak instar I-III (1). Kenyataan tersebut membuka peluang baru bagi terciptanya pengendalian hayati ulat grayak dengan NPV, terutama untuk daerah-daerah yang ulat grayaknya tahan terhadap insektisida.

4. Penggunaan insektisida
Insektisida harus digunakan secara selektif, sebagai pilihan terakhir apabila populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan apabila telah mencapai ambang ekonomi. Aplikasi insektisida harus dilakukan sedini mungkin pada saat ulat mencapai instar I-III yang relatif rentan terhadap insektisida (11). Apabila aplikasi dilakukan pada saat ulat telah mencapai instar IV-VI, pengendaliannya kemungkinan besar tidak mengenai sasaran karena selain relatif tahan terhadap insektisida, ulat biasanya bersembunyi di dalam tanah selama siang hari. Di samping itu, dengan daya makan ulat yang besar dan cepat, maka tindakan pengendalian terhadap ulat instar IV-VI dikhawatirkan terlambat karena tanaman telah mengalami kerusakan berat.
Jenis-jenis insektisida yang direkomendasikan untuk mengendalikan ulat grayak adalah triflumuron, permetrin, klorfluazuron, monokrotofos, diazinon, kuinalfos, karbaril, sipermetrin, decametrin, endosulfan, pentoat, thiazofos, isosaktion, metonil, tiodikarb dan metamidofos (8).

SAAT PEMANTAUAN DAN APLIKASI INSEKTISIDA

Saat aplikasi insektisida ditentukan oleh instar ulat yang layak dikendalikan, lama stadia serangga dan stadium atau umur serangga yang ditemukan. Ulat instar I-III relatif rentan sedangkan instar IV-VI relatif tahan terhadap insektisida (11). Oleh karena itu, tindakan pengendaliannya paling lambat dilakukan pada saat ulat mencapai instar awal. Telur, ulat instar I, II dan III, berturut-turut berlangsung selama 3; 2,4; 2,0 dan 2,1 hari (2).
Apabila ditemukan kelompok telur yang baru diletakkan (t1), pengendaliannya (A), 7 hari kemudian, tetapi apabila yang ditemukan adalah kelompok telur yang akan menetas (t2), pengendaliannya, 5 hari kemudian. Jadi, apabila ditemukan kelompok telur, tindakan pengendalian harus dilakukan, paling lambat 6 hari kemudian. Apabila ditemukan ulat instar I yang baru muncul (u1), pengendaliannya 4 hari kemudian, tetapi apabila yangg ditemukan adalah ulat yang akan menjadi instar III (u2), pengendaliannya pada hari itu juga. Jadi apabila ditemukan ulat instar I atau II, tindakan pengendalian harus dilakukan, paling lambat 2 hari kemudian (Gambar 1).


Lalat kacang merupakan hama penting yang menyerang bibit kedelai. Untuk mengendalikan hama ini, aplikasi insektisida dilakukan pada tanaman berumur 8 hari (17). Apabila masa efektif residu insektisida monokrotofos terhadap ulat grayak selama seminggu (5), maka pada tanaman berumur 15 hari dimulai kegiatan pemantauan (P1).
Setelah pemantauan P1, ada 2 kemungkinan, yaitu (1) tidak diputuskan dan (2) diputuskan pengendalian. Apabila tidak diputuskan pengendalian, pengamatan berikutnya dilakukan seminggu kemudian (P2). Selama selang waktu tersebut, tanaman akan aman karena apabila ditemukan kelompok telur sehari kemudian (t), telur akan nenjadi ulat (u) yang dapat dikendalikan (A) pada saat penantauan P2. Apabila diputuskan pengendalian (2), pelaksanaannya 6 hari kemudian karena pada saat pemantauan ditemukan kelompok telur, atau sehari kemudian karena ditemukan ulat. Pengamatan berikutnya (P3) dilakukan seminggu setelah aplikasi insektisida (Gambar 2), saat residu insektisida monokrotofos terhadap ulat grayak tidak efektif lagi (5). Pada pengamatan kedua dan seterusnya, diputuskan tidaknya pengendalian, sama dengan pada pemantauan pertama. Pengamatan terakhir dilakukan setelah tanaman mencapai stadium sebelum pengisian polong.


PUSTAKA

1.   Arifin, M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan volume nuclear polyhedrosis virus terhadap kematian ulat grayak kedelai (Spodoptera litura). Penelitian Pertanian. 8(1): 12-4.
2.   Arifin, M. 1989. Daya makan dan perkembangan ulat grayak (Spodoptera litura) pada tanaman kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balittan Bogor, 17-18 Desember 1988. 2 (Palawija): 181-8.
3.   Arifin, M. 1990. Daya tahan hidup ulat grayak (Spodoptera litura F.) setelah aplikasi insektisida pada kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balittan Bogor, Pebruari 1990. 15 p.
4.   Arifin, M. dan A. Rizal. 1989. Ambang ekononi ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai varietas Orba. Penelitian Pertanian. 9(2): 71-7.
5.   Arifin, M., F. Djapri dan I M. Samudra. 1986. Kematian, perkembangan dan daya rusak ulat grayak, Spodoptera litura F. akibat residu monokrotofos pada kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. 1 (Palawija): 69-73.
6.   Arifin, M. dan W.I.S. Waskito. 1996. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap nuclear polyhedrosis virus . Ibid. 1 (Palawija): 74-8.
7.   BPS. 1988. Survai pertanian: luas dan intensitas serangan jasad pengganggu padi dan palawija di Indonesia tahun 1987. Biro Pusat Statistik, Jakarta. 203 p.
8.   Ditlintan. 1987. Pestisida untuk pertanian dan kehutanan. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. 206 p.
9.   Djuwarso, T., B. Sugiarto dan J. Soejitno. 1988. Bioekologi hama kedelai pada stadium vegetatif. Simposium Penelitian Tanaman Pangan II. Ciloto, 21-23 Maret 1988. 32 p.
10. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of crops in Indonesia. Direvisi dan diterjemahkan oleh P.A. van der Laan. PT. Ichtiar Baru – van Hoeve, Jakarta. 701 p.
11. Laba, I W. dan D. Soekarna. 1986. Mortalitas larva ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada berbagai instar dan perlakuan insektisida pada kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. 1 (Palawija): 64-8.
12. Noch, I.P., A. Rahayu, A. Wahyu dan O. Mochida. 1983. Bionomi ulat grayak (Spodoptera litura F.) sebagai salah satu hama kacang-kacangan. Kongres Entomologi II. Jakarta, 24-26 Januari 1983. 12 p.
13. Okada, T., W. Tengkano dan T. Djuwarso. 1988. An outline on soybean pests in Indonesia in faunistic aspects. Seminar Balittan Bogor, 6 Desember 1988. 37 p.
14. Shepard, M. 1980. Sequential sampling plans for soybean arthropods, p. 79-93. In M. Kogan and D.C. Herzog (Ed.). Sampling methods in soybean entomology. Springer-Verlag, New York.
15. Sumarno dan Harnoto. 1983. Kedelal dan cara bercocok tanamnya. Puslitbangtan, Bogor. 53 p.
16. Surjana, T. dan O. Mochida. 1983. Distribusi populasi Spodoptera litura F. di Pulau Jawa. Kongres Entomologi II. Jakarta, 24-26 Januari 1983. 6 p.
17. Tengkano, W. dan M. Soehardjan. 1985. Jenis hama utama pada berbagai fase tumbuhan tanaman kedelai, p. 295-818. Dalam D. Somaatmadja dkk. (ed.). Kedelai. Puslitbangtan, Bogor.
18. Tengkano, W. and T. Sutarno. 1982. Influence of leaf attack at generative stage on yield of Orba soybean variety. Penelitian Pertanian. 2(2): 51-3.
19. Untung, K. 1988. Pengembangan paket pengendalian hama terpadu pada tanaman kedelai. Laporan Rapat Komisi Perlindungan Tanaman. Deptan. Bogor, 25-26 Oktober 1988. Buku II: 1-15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar