Selasa, 08 Februari 2011

11. Kematian, Perkembangan, dan Daya Rusak Ulat Grayak Spodoptera litura F. Akibat Residu monokrotofos pada Kedelai


Arifin, M1., F. Djapri2, dan I M. Samudra1. 1986. Kematian, perkembangan, dan daya rusak ulat grayak Spodoptera litura F. akibat residu monokrotofos pada kedelai, pp. 69-73. Dalam M. Syam dan Yuswadi (Eds.). Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Vol. 1 Palawija. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.


Muhammad Arifin1, Fauzy Djapri2, dan I M. Samudra1
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor
Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandar Lampung



ABSTRAK

Kematian, perkembangan, dan daya rusak ulat grayak Spodoptera litura akibat residu monokrorofos diteliti pada tanaman kedelai di Bogor dalam MK 1985. Dengan konsentrasi anjuran 5 ml bahan formulasi/l air atau 3 l bahan formulasi/ha, residu monokrotofos pada 2 minggu setelah aplikasi insektisida adalah 0,732 ppm. Residu monokrotofos pada waktu tersebut dapat menurunkan populasi ulat grayak sebesar 36% dan tidak berpengaruh terhadap perkembangan dan daya rusak ulat grayak. Oleh karena itu disarankan untuk segera melakukan pengendalian apabila populasi ulat grayak berada pada nilai ambang ekonomi pada 2 minggu setelah aplikasi.



Ulat grayak Spodoptera litura F. adalah salah satu hama penting yang dapat mengakibatkan kehilangan hasil melalui pelukaan pada daun kedelai (5). Pengendalian hama daun kedelai sampai saat ini masih mengandalkan insektisida yang diaplikasikan secara berjadwal dengan frekuensi empat kali atau lebih pada tanaman berumur 20 sampai 65 hari setelah tabur (4).
Di dalam Pengendalian Hama Terpadu, frekuensi aplikasi insektisida perlu diperhitungkan agar tindakan pengendalian tidak merugikan secara ekologi dan ekonomi. Oleh karena itu, pengendalian sesuatu hama selain didasarkan pada besarnya populasi hama di lapang perlu dipertimbangkan pula dampak residu insektisida hasil aplikasi sebelumnya terhadap hama sasaran.
Monokrorofos, 3-hydroxy-N-methylcis-crotonamide dimethyl phosphat, adalah salah satu jenis insektisida golongan organofosfat yang bekerja sebagai racun kontak dan sistemik. Insektisida ini efektif untuk mengendalikan ulat grayak (1).
Penelitian ini bertujuan menganalisis residu monokrotofos pada daun kedelai dan mengungkapkan pengaruhnya terhadap kematian, perkembangan, dan daya rusak ulat grayak.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor pada bulan Maret sampai dengan Juni 1985. Bahan utama yang digunakan adalah ulat grayak, kedelai Orba, dan insektisida monokrotofos.
Ulat grayak dikoleksi dari daerah Bogor. Ulat generasi ketiga dari lapang yang diberi pakan daun kedelai digunakan dalam penelitian. Benih kedelai ditanam dalam pot berdiameter 20 cm sebanyak dua batang per pot. Tanaman dipupuk dengan 330 mg urea, 560 mg TSP, dan 380 mg K2SO4 per pot.
Kedelai berumur 20, 27, 34, 41, dan 48 hari setelah tabur (hst) disemprot insektisida monokrotofos dalam formulasi Azodrin 15 WSC dengan konsentrasi 5 ml formulasi/l air atau setara dengan 3 l formulasi/ha (4). Dari perlakuan tersebut diperoleh residu berturut-turut: 4, 3, 2, 1, dan 0 minggu. Tanaman berumur 48 hst tanpa disemprot insektisida digunakan sebagai kontrol.

Analisis Residu

Contoh bahan yang dianalisis berupa daun kedelai yang mengandung residu berumur 0, 1, 2, 3, dan 4 minggu setelah aplikasi monokrotofos dengan unit contoh sebanyak 5 pot per perlakuan. Contoh diambil secala acak, dipotong-potong dengan gunting kemudian ditimbang seberat 10 g.
Residu monokrotofos dianalisis dengan metoda FDA (Food and Drug Administration) yang dimodifikasi oleh Samudra dan Sutrisno (3). Contoh daun diekstrak dengan aseton menggunakan homogenator. Zat ikutan yang terekstrak dipisahkan dengan teknik pemisahan cairan-cairan, yaitu dengan n-heksan – air distilasi dan diklorometan - air distilasi. Banyaknya residu ditetapkan dengan kromatografi gas yang dilengkapi dengan detektor nyala api (flame photometric detector). Urutan langkah dalam analisis residu disajikan pada Bagan 1.

               
Residu monokrotofos dihitung dengan persamaan berikut (2):
        Bc
R =  -----
         C
          Kc                 Vc
Bc =  -----  x  Bs  x  -----
          Ks                 Vi
R  = banyaknya residu monokrotofos, ppm;
Bc = berat monokrotofos dalam aseton, ng;
C  = berat contoh, mg;
Kc = tinggi kurva contoh;
Ks = tinggi kurva standar;
Bs = berat standar, ng;
Vc = volume contoh, ml;
Vi = volume injeksi contoh, µl.

Kematian

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Acak Lengkap dengan 9 perlakuan residu termasuk kontrol (Tabel 1). Percobaan diulang 5 kali. Unit contoh sebanyak 5 pot per perlakuan per ulangan. Setelah disemprot insektisida, ruas teratas tanaman diberi tanda dengan mengikatkan seutas tali untuk membedakan residu pada daun hasil penyemprotan langsung dan residu pada daun yang tumbuh setelah penyemprotan. Ulat instar 2 yang akan berganti kulit sebanyak 10 ekor per perlakuan dipelihara dalam kotak plastik berukuran 18 x 13 x 8 cm dengan pakan berupa helaian daun. Percobaan dihentikan apabila semua ulat telah menjadi pra-kepompong. Banyaknya ulat yang mati dicatat.


Perkembangan dan Daya Rusak Ulat

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Acak Lengkap dengan 6 perlakuan residu (Tabel 2). Percobaan diulang 10 kali. Tanaman diinokulasi seekor ulat instar 2 yang akan berganti kulit. Setelah inokulasi, tanaman disungkup dengan kurungan plastik berdiameter 20 cm dan tinggi 100 cm yang berventilasi kain kasa. Pengamatan perkembangan ulat meliputi (1) umur ulat, (2) berat maksimum ulat, dan (3) berat kepompong. Untuk menentukan daya rusak ulat, di samping pot tanaman yang diinokulasi ulat diletakkan pot tanaman yang disungkup dengan kurungan tetapi tidak diinokulasi ulat. Setelah semua ulat menjadi pra-kepompong, semua daun pada tanaman yang diinokulasi dan yang tidak diinokulasi dipetik kemudian diukur luasnya dengan alat pengukur elektronik. Daya rusak ulat dihitung sebagai berikut:

         Lk – Lp
D = ------------  x 100%
            Lk
D  = daya rusak ulat grayak;
Lk = luas daun kontrol;
Lp = luas daun perlakuan.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 menunjukkan bahwa residu monokrotofos berpengaruh nyata terhadap kematian ulat grayak. Di antara perlakuan umur residu 2, 3, dan 4 minggu tidak terdapat perbedaan yang nyata, tetapi masing-masing berbeda nyata dengan umur residu 0 dan 1 minggu.
Diasumsikan bahwa serangan ulat grayak di lapang terjadi pada 20 sampai 65 hst atau selama 6 minggu. Berdasarkan persamaan regresi pada Gambar 1 dan 2, pada 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 minggu setelah aplikasi insektisida, diperoleh residu berturut-turut sebesar 1,426; 0,732; 0,495; 0,375; 0,303; dan 0,254 ppm yang masing-masing dapat mengakibatkan kematian ulat sebesar 45,7; 36,0; 31,3; 28,4; 26,3; dan 24,7%.
Tabel 2 menunjukkan bahwa residu monokrotofos berpengaruh nyata terhadap perkembangan dan daya rusak ulat grayak. Umur ulat, berat maksimum ulat, berat kepompong dan daya rusak ulat pada perlakuan 2, 3, dan 4 minggu tidak berbeda nyata dengan kontrol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa residu monokrotofos pada 2 minggu setelah aplikasi atau lebih tidak mempengaruhi perkembangan dan daya rusak ulat grayak.



Berdasarkan hasil analisis residu dan bioasai dapat diungkapkan bahwa apabila dijumpai populasi ulat grayak pada 2 minggu setelah aplikasi insektisida, dapat diperkirakan bahwa ulat grayak dapat berkembang dengan baik dan dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman. Residu monokrotofos pada waktu tersebut dapat dinyatakan tidak efektif lagi sehingga apabila dijumpai populasi ulat grayak di ambang ekonomi, tindakan pengendalian harus segera dilakukan untuk mencegah kerusakan ekonomi pada tanaman.

KESIMPULAN

Dengan konsentrsi anjuran (5 ml bahan formulasi/l air atau setara dengan 3 l bahan formulasi/ha), residu monokrotofos pada 2 minggu setelah aplikasi insektisida adalah sebesar 0,732 ppm. Residu monokrotofos pada waktu tersebut dapat menurunkan populasi ulat grayak sebesar 36,0% dan tidak berpengaruh terhadap perkembangan dan daya rusak ulat grayak. Disarankan untuk segera melakukan pengendalian apabila dijumpai populasi ulat grayak di ambang ekonomi pada 2 minggu setelah aplikasi insektisida monokrotofos.

PUSTAKA

1. Agency for Agricultural Research and Development. 1981. 5 years of agricultural research and development for Indonesia 1976-1980. Jakarta. 128 p.
2. Food and Drug Administration. 1977. Pesticide analytical manual. Vol. II: Methods for individual pesticides residues. Washington, D.C. 14 p.
3. Samudra, I M. dan Sutrisno. 1985. Metode analisis monokrotofos pada daun dan biji beberapa tanaman pangan dan daging buah kelapa. Seminar Kelti Hama/Penyakit, Balittan, Bogor. 9 p.
4. Sumarno dan Harnoto. 1983. Kedelai dan cara bercocok tanamnya. Bull. Tek. No. 6. Puslitbangtan, Bogor. 53 p.
5. Tengkano, W. dan M. Soehardian. 1985. Jenis hama utama pada berbagai fase pertumbuhan tanaman kedelai, pp. 295-318. Dalam S. Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai. Puslitbangtan, Bogor.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar