Rabu, 02 Februari 2011

37. Serangan Ulat Grayak Padi pada MT 1989/90 di beberapa Kabupaten di Jawa Barat



Arifin, M., Rochman, dan J. Soejitno. 1992. Serangan Ulat Grayak Padi pada MT 1989/90 di beberapa Kabupaten di Jawa Barat, pp. 206-215. Dalam S. Hardjosumadi et al. (Eds.). Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balittan Bogor, 19-20 Pebruari 1991.

Muhammad Arifin, Rochman, dan J. Soejitno
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor


ABSTRACT

Armyworm Damages on Paddy Field in Several Districts of West Java during the Dry Season 1989/90. A survey was carried out to species armyworm and their natural enemies on rice field in Bandung, Cianjur, and Sukabumi districts and to find out the extent of plant damages due to the armyworms, from the Balai Proteksi Tanaman Pangan IV, Bandung. Data were collected to identify possible factors affecting explotion of the armyworms population. The survey included insect collection, interview with pest surveillance officers, and direct observation in the fields. Results of the survey indicated that there were 2 species of the armyworm, i.e. Mythimna separata and M. loreyi. M. separata was the more dominant species in the fields. It was also found that several natural enemies of the armyworms were present in the field, consisting of 3 species of predators, 4 species of parasites, and 3 species of pathogens. Plant damages caused by the armyworms occured in almost all districts in West Java, but the highest extent of damage occured in Kuningan (1,754 ha) and Tasikmalaya (1,233 ha). Factors that could affect the population explotion of armyworms were farmers knowledge on bioecology of the armyworm and favorable weather conditions (high temperature and humidity) in the fields. Serious damages occured on plants in December or January, and when the irrigation system was interrupted.



Ulatgrayak dilaporkan menyerang tanaman padi pada akhir MP 1989/90 di beberapa daerah di Jawa Barat. Serangan hama yang berstatus potensial ini diketahui secara mendadak dengan intensitas tinggi sehingga mengakibatkan kerugian besar bagi petani. Beberapa faktor yang diperkirakan menjadi penyebab terjadinya eksplosi populasi ulat grayak adalah tingginya potensi biotik ulat grayak, dan terciptanya kondisi lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan populasi ulat grayak. Apabila potensi biotik ulat grayak ini kurang dipahami dan diperhatikan, serta apabila kondisi lingkungan menguntungkan, maka peluang terjadinya eksplosi ulat grayak menjadi terbuka.
Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh serangan ulat grayak, terutama terhadap hasil panen, maka perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai aspek bioekologi dan pengendaliannya. Langkah awal penelitian adalah melaksanakan survai di beberapa daerah yang dilaporkan terserang ulat grayak.
Survai ini dilakukan untuk menentukan jenis ulat grayak dan musuh alaminya pada tanaman padi, mendapatkan data luas serangan ulat grayak, dan mengidentifikasi faktor yang mungkin mempengaruhi terjadinya eksplosi ulat grayak pada tanaman padi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada tanggal 8-10 Mei 1990 di 3 Kabupaten di Jawa Barat yang dilaporkan terserang ulat grayak, yakni Bandung, Cianjur, dan Sukabumi. Penelitian bertipe deskriptif dengan metode survai. Pengamatan dan keterangan yang dikumpulkan meliputi: (a) jenis ulat grayak dan musuh alaminya; (b) luas tanaman padi-terserang, dan (c) faktor yang diperkirakan mempengaruhi terjadinya eksplosi ulat grayak.
Untuk mengetahui jenis ulat grayak dan musuh alaminya, ulat dan kepompong di koleksi dari 2 tempat yang ditentukan secara acak dari lahan yang diduga terserang ulat grayak. Contoh tanaman diambil secara acak sebanyak kurang lebih 10 rumpun padi pada tiap tempat. Hasil koleksi dipelihara di laboratorium hingga muncul ngengat, parasit, atau penyakit. Jenis musuh alami diidentifikasi dengan kunci determinasi (3,4). Keterangan tentang luas tanaman padi terserang ulat grayak diperoleh dari Balai Proteksi Tanaman Pangan (BPTP) IV, Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) setempat. Faktor yang diperkirakan sebagai penyebab terjadinya eksplosi ulat grayak dianalisis berdasarkan hasil wawancara dengan para pengamat hama. Dalam wawancara tersebut pengenalan petani atau pengamat hama terhadap ulat grayak dan cara petani menanggulangi ulat grayak terutama dengan insektisida diungkapkan pula. Pengamatan langsung di lapang dilakukan untuk mengetahui stadia tanaman padi dan kondisi lingkungannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis ulat grayak dan musuh alaminya

Ada 2 jenis ulat grayak yang ditemukan pada tanaman padi di 3 kabupaten yang disurvai, yakni Mythimna separata Wlk. dan M. loreyi Dup. Di antara kedua jenis ulat grayak tersebut, yang dominan adalah M. separata (Tabel 1).

Wujud ulat M. separata dan M. loreyi, sulit dibedakan. Keduanya memiliki warna tubuh yang sama, yakni abu-abu muda atau tua, kadang-kadang coklat keabu-abuan dengan garis-garis yang memanjang pada kedua sisi sepanjang tubuhnya. M. separata memiliki ciri khas, yakni terdapatnya suatu gambaran menyerupai huruf A pada kepala bagian depan dan bintik berwarna gelap puda kaki semunya. Ulat M. loreyi memiliki ciri khas, yakni terdapatnya 4 buah garis pada kepala bagian depan, dan tidak dijumpai gambaran yang menyerupai huruf A (4).
Wujud ngengat M. separata dan M. loreyi mudah dibedakan karena sayap depan M. separata berwarna coklat keabu-abuan dengan sebuah rona melingkar, sedangkan sayap depan M. loreyi berwarna coklat muda dengan garis-garis halus yang memanjang pada sepanjang sayap.
Musuh alami ulat grayak terdiri atas pemangsa, parasit, dan penyakit. Pemangsa ulat yang banyak ditemukan adalah laba-laba Lycosa pseudoannulata Boes. et Str., kumbang Paederus fuscipes Curt., dan semut api Solenopsis gemminata Fabr. Di antara ketiga jenis pemangsa tersebut, yang dominan adalah L. pseudoannulata (Tabel 1). Parasit yang muncul dari ulat adalah Braconidae dan Encyrtidae, sedangkan yang muncul dari kepompong adalah Pteromalidae dan Tachinidae (Tabel 1). Jenis-jenis parasit tersebut diduga menyerang kedua jenis ulat grayak.
Penyakit yang menyerang ulat adalah Borrelinavirus atau nuclear polyhedrosis virus (NPV), bakteri, dan jamur Moniliaceae, sedangkan yang menyerang kepompong tidak ditemukan (Tabel 1).

Luas serangan ulat grayak

Data luas tanaman padi terserang ulat grayak selama bulan April 1990 di semua kabupaten di Jawa Barat disajikan pada Tabel 2. Serangan ulat grayak pada tanaman padi terjadi di hampir semua kabupaten di Jawa Barat, tetapi yang terluas terjadi di kabupaten Kuningan (1,754 ha) dan Tasikmalaya (1,233 ha).


Data luas dan intensitas serangan ulat grayak pada tanaman padi selama tahun 1987 di semua kabupaten di Jawa Barat disajikan pada Tabel 2. Serangan ulat grayak terluas terjadi di kabupaten Subang (1,546 ha) dengan intensitas serangan sebesar 9% (1).
Hasil pengamatan penulis utama pada bulan Maret 1980 di beberapa daerah di Jawa Barat terungkap bahwa serangan ulat grayak mengakibatkan puso pada tanaman padi di daerah Bekasi dan jagung di daerah Bogor, sedangkan di daerah Kuningan, Tasikmalaya, dan Subang, serangannya relatif ringan. Berdasarkan data tersebut di atas, nyatalah bahwa serangan ulat grayak terluas pada tanaman padi tidak selalu terjadi di kabupaten tertentu; pada tahun 1980 terjadi di Bekasi, tahun 1987 di Serang, dan tahun 1990 di Kuningan dan Tasikmalaya. Terjadinya perbedaan daerah serangan berat antara ketiga waktu yang berlainan tersebut tidak diketahui. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang dinamika populasi ulat grayak.
Hasil pengamatan penulis utama terhadap populasi ulat grayak pada tanaman jagung yang ditanam 6 kali setahun dengan selang waktu 2 bulan dari bulan Oktober 1979 hingga Nopember 1980 di daerah Bogor ditunjukkan pada Gambar 1. Pada Gambar tersebut tampak bahwa puncak populasi ulat terjadi 3 kali setahun, yakni pada akhir April, awal Agustus, dan akhir Nopember. Serangan yang terjadi pada penanaman bulan Pebruari dan Maret mengakibatkan tanaman puso.


Berdasarkan hasil pengamatan tersebut di atas dan data luas tanaman padi terserang ulat grayak di seluruh kabupaten di Jawa Barat (Tabel 2), maka kegiatan pemantauan populasi ulat grayak perlu diintensifkan, mulai bulan Maret hingga pertengahan Mei, terutama di daerah yang pernah terjadi ekplosi ulat grayak.

Analisis faktor penyebab eksplosi ulat grayak

Berdasarkan hasil pengamatan selama survai dan data yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya, diperkirakan, minimal ada 3 faktor yang mempengaruhi eksplosi ulat grayak, yakni: (a) pengenalan petani dan pengamat hama terhadap bioekologi ulat grayak, (b) kondisi lingkungan tanaman padi yang mencakup faktor iklim, waktu tanam, dan pengairan, serta (c) cara petani mengendalikan ulat grayak.

Pengenalan terhadap ulat grayak

Pengenalan terhadap serangga hama dan aspek bioekologi lainnya penting artinya dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT) karena merupakan salah satu elemen dasar PHT, di samping elemen lainnya, yakni pengetahuan tentang pengendalian alamiah, ambang ekonomi, dan teknik pengambilan contoh populasi hama (6).
Sampai saat ini dikenal 7 jenis ulat grayak di Indonesia, yakni M. separata, M. loreyi, M. venalba Moore, Spodoptera exempta Wlk., S. mauritia Boisd., S. litura F., dan S. exigua Hbn. Dari ketujuh jenis ulat grayak tersebut, yang menyerang tanaman padi adalah M. separata, M. loreyi, M. venalba, M. exempta, dan M. mauritia (4).
Petani dan pengamat hama umumnya telah mengenal morfologi dan mengetahui nilai ekonomi ulat grayak, tetapi kurang mengenal, baik jenis maupun aspek bio-ekologinya secara rinci. Hal ini disebabkan oleh statusnya sebagai hama potensial yang munculnya kadang-kadang saja sehingga keberadaannya di lapang kurang mendapatkan perhatian.
M. separata sering dirancukan dengan S. litura yang menyerang tanaman kacang-kacangan dan tidak pernah dilaporkan menyerang tanaman padi. Hal ini disebabkan oleh kesalahan dalam mengidentifikasi jenis ulat, mengingat wujud kedua jenis ulat tersebut relatif sama. Di samping itu, antara individu ulat satu dan lainnya dalam jenis yang sama sering dianggap sebagai jenis yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh warna tubuh ulat yang bermacam-macam, tergantung umur, juga oleh kualitas dan kuantitas, serta jenis pakannya. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi ulat grayak, wujud dan warna tubuh ulat tidak dapat dijadikan pedoman.
Ulat grayak mempunyai potensi biotik yang tinggi karena (a) daya adaptasinya tinggi sehingga mampu bertahan hidup pada berbagai jenis tanaman pangan, industri, sayuran, dan rerumputan, (b) kemampuan memencarnya tinggi sehingga mampu menjangkau kawasan yang relatif jauh, (c) kemampuan berbiaknya tinggi, dan (d) pertumbuhan dan perkembangannya berlangsung cepat.
Hasil penelitian di laboratorium tentang aspek bioekologi ulat grayak pada berbagai tanaman inang dan pakan buatan disajikan pada Tabel 3. Daur hidup ulat grayak dari telur ke telur berlangsung selama 26 hari. Stadia telur, ulat, kepompong, prapeneluran, dan ngengat, berturut-turut berlangsung selama 2, 14, 8, 2, dan 11 hari. Selama stadium ulat, daya makan ulat grayak dengan pakan daun padi sebanyak 166 cm2 dan daun jagung sebanyak 257 cm2/ekor. Banyaknya telur yang diproduksi dapat mencapai 1290 butir per ngengat betina (5).


Berdasarkan data tersebut, dapat dikemukakan bahwa ulat grayak memiliki potensi biotik yang tinggi. Apabila kondisi lingkungan menguntungkan, maka peluang populasi ulat grayak untuk tumbuh dan berkembang menjadi besar sehingga mampu mengakibatkan kerusakan berat pada tanaman.

Kondisi lingkungan tanaman padi

Iklim. Berdasarkan fluktuasi populasi ulat grayak sejak Oktober hingga Juni (Gambar 1), tampak bahwa pertumbuhannnya berlangsung cepat pada kedua musim peralihan atau tepatnya pada akhir Nopember dan akhir April. Hal ini sesuai dengan pendapat Kalshoven (4) bahwa eksplosi ulat grayak akan terjadi pada kedua musim peralihan, terutama jika musim kemarau dimulai lebih awal daripada biasanya atau adanya periode kering yang terjadi selama misim hujan.
Hubungan antara kondisi iklim pada kedua musim peralihan tersebut dan pertumbuhan ulat grayak, demikian pula faktor penyebab perbedaan pertumbuhan populasi ulat grayak pada kedua musim peralihan tersebut, sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Namun demikian, diduga bahwa temperatur dan kelembaban yang tinggi pada kedua musim peralihan tersebut memberikan andil dalam menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi ulal grayak untuk tumbuh dan berkembang biak.
Waktu tanam. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa pada tanaman padi stadium mejelang panen, dijumpai ulat grayak stadium kepompong berumur tua, sedangkan pada tanaman padi stadium vegetatif relatif tidak dijumpai. Berdasarkan daur hidup ulat grayak, diperkirakan bahwa serangan berat akan terjadi pada tanaman padi stadia masak susu dan awal malai. Kalau perkiraan tersebut benar, maka tanaman padi yang ditanam pada bulan Desember atau Januari berpeluang lebih besar untuk diserang ulat grayak jika dibandingkan dengan yang ditanam sebelum dan sesudahnya. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya serangan ulat grayak di masa mendatang, maka sebaiknya padi ditanam serempak sebelum bulan Desember dan/atau sesudah bulan Januari.
Pengairan. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa tanaman padi dengan pengairan yang cukup, relatif kurang terserang ulat grayak jika dibandingkan dengan yang tanpa pengairan atau dengan pengairan yang kurang. Hal ini disebabkan oleh terganggunya perikehidupan ulat grayak pada tanaman padi yang diberi pengairan cukup.
Kegiatan hidup ulat grayak umumnya berlangsung pada petang dan malam hari. Pada siang hari, ulat grayak cenderung berdiam diri pada pangkal batang padi. Apabila tanaman padi diberi pengairan cukup, ulat grayak cenderung naik ke bagian atas tanaman. Perilaku menghindarkan diri ini tidak menguntungkan, mengingat sifat ulat yang tidak tahan terhadap sengatan sinar surya.
Hasil wawancara dengan pengamat hama terungkap bahwa petani umumnya menghentikan pengairan terhadap tanaman padi kalau terjadi serangan hama tikus. Tindakan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk memudahkan usaha mengendalikan tikus dengan cara menciptakan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan bagi perikehidupan tikus. Akan tetapi, tanpa disadari, tindakan tersebut menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi ulat grayak untuk tempat berlindung dan memencar ke tanaman di sekitarnya.
Kenyataan tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa usaha pengairan terhadap tanaman padi merupakan komponen pengendalian ulat grayak secara mekanis. Tindakan menghentikan pengairan untuk mengendalikan hama tikus dapat dilakukan terhadap tanaman padi sebelum menjelang panen dalam tempo yang relatif tidak terlalu lama dan apabila populasi ulat grayak tidak melimpah. Dengan cara tersebut, kehadiran ulat grayak di lapang dapat dihambat, dan apabila pengairan dihentikan pada saat menjelang panen, peluang ulat grayak untuk menyerang tanaman padi dapat diperkecil.

Cara petani mengendalikan ulat grayak

Hasil wawancara dengan pengamat hama terungkap bahwa petani umumnya telah mengetahui bahwa untuk mengendalikan ulat grayak pada tanaman padi, insektisida yang dianjurkan adalah karboturan (Dharmafur 3 G) dan BPMC (Dharmabas 500 EC) (2). Akan tetapi, mengingat tersedianya kedua jenis insektisida tersebut di pasaran bebas tidak dapat dipastikan, dan adanya ketidakpastian terhadap pendugaan kehilangan hasil panen akibat serangan ulat grayak, serta pengalaman petani yang berhasil dalam mengatasi masalah ulatgrayak S. litura pada tanaman kacang-kacangan, maka petani cenderung menggunakan insektisida yang mudah diperoleh dengan meuganggap bahwa insektisida lersebut efektif terhadap ulat grayak, meskipun ada larangan untuk digunakan pada tanaman padi, sesuai dengan Inpres No. 3 tahun 1986, misalnya karbaril (Sevin 85 SP), permetrin (Decis 25 EC), fentoat (Elsan 60 EC), dan klorpirifos (Dursban 30 EC).
Untuk mengatasi penyimpangan tersebut di atas, perlu dicari alternatif pengendalian yang baru, antara lain dengan mengkaji efektivitas berbagai jenis insektisida yang diperbolehkan untuk digunakan pada tanaman padi terhadap ulat grayak.

Rekomendasi pengendalian ulat grayak

Sampai saat ini belum ada pembakuan terhadap rekomendasi pengendalian ulat grayak M. separata pada tanaman padi. Di dalam buku yang diterbitkan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (Anonim, 1989) disebutkan bahwa insektisida karbofuran dan BPMC direkomendasikan untuk mengendalikan ulat grayak Spodoptera sp. dan tidak disebutkan untuk M. separata. Mengingat kedua jenis ulat grayak tersebut berbeda aspek bioekologinya, maka diperkirakan bahwa tanggapannya terhadap insektisida juga berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian mengenai efektivitas kedua jenis insektisida tersebut terhadap M. separata.
Mengingat belum tersedianya rekomendasi pengendalian ulat grayak, maka cara mekanis dengan pembenaman singgang dan gulma, serta cara biologis dengan mengembalakan itik di sawah mungkin dapat diterapkan. Di samping iru, perlu dilakukan pengujian mengenai efektivitas berbagai jenis insektisida, dan penelitian terhadap berbagai aspek, antara lain bioekologi serangga, ambang ekonomi dengan mempertimbangkan kehadiran musuh alami di lapang, dan teknik pengambilan contoh untuk memantau populasi ulat grayak.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil survai terhadap serangan ulat grayak pada tanaman padi pada MH 1989/90 di beberapa kabupaten di Jawa Barat, dapat disimpulkan dan disarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Ulat grayak yang menyerang tanaman padi adalah M. separata dan M. loreyi. Antara kedua jenis tersebut, yang dominan adalah M. separata.
2. Musuh alami ulat grayak yang ditemukan adalah 3 jenis pemangsa, yakni laba-laba L. pseudoannulata, kumbang P. fuscipes, dan semut api S. gemminata, 4 jenis parasit, yakni Braconidae, Encyrtidae, Pteromalidae, dan Tachinidae, serta 3 jenis penyakit, yakni Borrelinavirus (NPV), bakteri, dan jamur Moniliaceae.
3. Serangan ulat grayak terjadi di hampir semua kabupaten di Jawa Barat, tetapi yang terluas terjadi di kabupaten Kuningan dan Tasikmalaya, masing-masing seluas 1.754 dan 1.233 ha.
4. Faktor yang diperkirakan menyebabkan terjadinya eksplosi ulat grayak, antara lain adalah kurangnya pengenalan terhadap bioekologi ulat grayak, kondisi lingkungan yang menguntungkan pada kedua saat pergantian musim kemarau dan hujan, waktu tanam pada bulan Desember atau Januari, dan penghentian pengairan dalam tempo yang relatif lama sebelum saat menjelang panen.
5. Disarankan untuk (A) memperdalam pengkajian terhadap berbagai aspek bioekologi dan pengendalian ulat grayak, antara lain dalam hal: (a) hubungan antara iklim dan terjadinya serangan ulat grayak, (b) pemanfaatan pola tanam dan teknik budidaya yang dapat menghambat perikehidupan ulat grayak, (c) penentuan ambang ekonomi dan teknik pemantauan populasi ulat grayak, dan (d) pengujian efektivitas berbagai jenis insektisida, terutama yang diperbolehkan untuk digunakan pada tanaman padi terhadap ulat grayak, dan (B) meningkatkan kegiatan penyuluhan terhadap petani mengenai pengenalan bioekologi dan cara pengendalian ulat grayak.

PUSTAKA

1. Anonim. 1988. Survei pertanian: luas dan intensitas serangan jasad pengganggu padi dan palawija di Indonesia 1987. BPS, Jakarta. 203 p.
2. Anonim. 1989. Pestisida untuk pertanian dan kehutanan. Direktorat Perlindungan Tanaman pangan, Jakarta. 240 p.
3. Borror, D.J. D.M. DeLong., and C.A. Triplehorn 1964. An introduction to the study of insects. 4th ed. Holt, Rinehart, and Winston, New York. 852 p.
4. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of crops in Indonesia. Revised and translated by P.A. van der Laan. Ichtiar Baru - van Hoeve, Jakarta. 701 p.
5. Okada, M. and M. Arifin. 1982. Comparative rearing test of rhe common armyworm, Leucania separata Walker on artificial diet and host plants, and patogenicity of LsNPV to the common armyworm. Research Report of Japan-Indonesia Joint Agricultural Research project. pp. 207-15.
6. Watson, T.F., L. Moore, and G.W. Ware. 1976. Practical insect pest management: a self-instruction manual. W.H. Freeman and Company, San Francisco. 196 p.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar