Jumat, 25 Februari 2011

84b. Bioinsektisida NPV untuk Pengendalian Hama Tanaman Pangan, Tanaman lndustri, dan Sayuran


Arifin, M. 2000. Bioinsektisida NPV untuk pengendalian hama tanaman pangan, tanaman industri, dan sayuran. Gelar Teknologi BPTPH lV, Satgas DKI Jakarta, 22 November 2000. 10 p.

Muhammad Arifin
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor


ABSTRAK

Bioinsektisida NPV telah berhasil diproduksi dalam skala pilot di Balitbio, Bogor. Bioinsektisida ini aman lingkungan dan efektif terhadap beberapa jenis serangga hama yang tergolong Noctuidae pada berbagai jenis tanaman pangan, tanaman industri, dan sayuran. Proses produksinya mudah dan murah, sehingga memiliki prospek untuk diproduksi dalam skala industri. Keefektifannya perlu didemonstrasikan, seiring dengan kegiatan menyempurnakan teknik formulasi dan aplikasinya. Makalah ini membahas sifat-sifat biologis, potensi dan kendala, proses produksi, pemanfaatan, dan penelitian lanjutan NPV.
Kata Kunci:  Pangan; lndustri; Sayuran; NPV; Hama

PENDAHULUAN

Beberapa jenis serangga hama penting yang tergolong Noctuidae, seperti ulatgrayak, Spodoptera litura dan S. exigua, serta ulat buah, Helicoverpa armigera, sering mengakibatkan gagalnya panen pada berbagai jenis tanaman pangan, tanaman industri, dan sayuran. Hama-hama tersebut umumnya dikendalikan dengan mengandalkan insektisida (kimiawi) semata, sehingga tidak menuntaskan masalah, bahkan sering merugikan secara ekonomis maupun ekologis.
Ada tiga kelompok musuh alami hama, yaitu parasitoid, predator, dan patogen. Salah satu patogen serangga yang direkomendasikan dalam program pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah nuclear-polyhedrosis virus (NPV) (Ditlintan, 1993). NPV yang menginfeksi ulat S. litura disebut SlNPV (Baculovirus litura), yang menginfeksi ulat S. exigua disebut SeNPV (Baculovirus exigua), dan yang menginfeksi ulat H. Armigera disebut HaNPV (Baculovirus heliothis). Ketiga jenis NPV tersebut memiliki sifat yang menguntungkan sebagai agensia  pengendalian hayati, karena (a) memiliki inang spesifik,(b) tidak membahayakan lingkungan, (c) dapat mengatasi masalah keresistensian hama terhadap insektisida, dan (d) kompatibel dengan komponen PHT lainnya, termasuk insektisida (Maddox, 1975; Starnes et al., 1993).
Sampai saat ini, NPV belum dimanfaatkan untuk mengendalikan hama di Indonesia, meskipun potensinya yang cukup tinggi, keberadaannya di lapang secara alamiah, dan teknologi pemanfaatannya telah diketahui. NPV telah berhasil dikembangkan sebagai bioinsektisida dan diproduksi dalam skala pilot di Balitbio, Bogor. Bahan aktif bioinsektisida ini mengandung SlNPV, SeNPV, dan HaNPV yang diformulasikan secara terpisah. Oleh karena itu, NPV memiliki prospek untuk diproduksi dalam skala industri (komersial). Di masa depan, NPV diharapkan dapat menggantikan peran insektisida sehingga kebergantungan cara pengendalian kimiawi dapat dikurangi.
Makalah ini membahas sifat-sifat biologis, potensi dan kendala, proses produksi, pemanfaatan, dan penelitian lanjutan NPV untuk mengendalikan ulat S. litura, S. exigua, dan H. armigera pada berbagai jenis tanaman pangan, tanaman industri, dan sayuran.

SIFAT SIFAT BIOLOGIS

Deskripsi

NPV berbentuk batang dan terdapat di dalam inclusion bodies yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak dan terdapat di dalam inti sel yang rentan dari serangga inang, seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea. Polihedra berukuran 0,5-15 µm dan mengandung partikel virus yang disebut virion (Tanada dan Kaya, 1993). Virion berbentuk batang, berukuran 40-70 nm X 250-400 nm, dan berisi nukleokapsid yang mengandung molekul deoxy-ribonucleic acid (DNA). Virion yang mengandung satu nucleokapsid disebut singly-enveloped NPV, sedangkan yang mengandung beberapa nukleokapsid disebutl multiply-enveloped NPV (Payne dan Kelly, 1981). Morfologi polihedra dan virion dapat dilihat di bawah mikroskop elektron dengan pengecatan negatif atau dengan teknik irisan jaringan yang terinfeksi NPV.

Proses dan Gejala Infeksi

Proses infeksi NPV dimulai dari tertelannya polihedra oleh ulat bersama pakan. Di dalam saluran pencernaan yang bersuasana alkalis (pH 9,0-10,5), selubung polihedra larut, sehingga membebaskan virion. Virion menembus dinding saluran pencernaan untuk masuk ke rongga tubuh, kemudian menginfeksi sel-sel yang rentan. Replikasi virion terjadi di dalam inti sel. Dalam waktu 1-2 hari setelah polihedra tertelan, hemolimfa yang semula jernih berubah menjadi keruh. Ulat tampak berminyak, disertai dengan membran integumen yang membengkak dan perubahan warna tubuh menjadi pucat-kemerahan, terutama pada bagian perut. Kemampuan makannya menurun, sehingga pertumbuhannya lambat. Ulat cenderung merayap ke pucuk tanaman kemudian mati menggantung dengan posisi terbalik dengan tungkai semu bagian akhir pada tanaman. Integumen ulat yang mati mengalami lisis dan disintegrasi, sehingga sangat rapuh. Apabila integumen robek, dari dalam tubuh ulat keluar cairan hemolimfa berwarna putih-kecoklatan yang mengandung milyaran polihedra. Ulat muda (instar I-III) mati dalam 2 hari, sedangkan ulat tua (instar IV-VI) dalam 4-9 hari setelah polihedra tertelan (lgnoffo dan Couch, 1981; Tanada dan Kaya, 1993).

Persistensi

NPV dapat bertahan lama di dalam tanah. Okada (1977) melaporkan bahwa NPV yang menginfeksi ulatgrayak dapat bertahan di dalam tanah selama 3 tahun. Selanjutnya dikemukakan bahwa daun dapat terkontaminasi NPV melalui percikan air hujan yang jatuh ke tanah. Umumnya, makin jauh jarak daun ke permukaan tanah, makin menurun persistensinya.
Pengaruh hujan terhadap aktivitas NPV telah diteliti oleh Okada (1977). Tanaman kedelai yang telah diaplikasi NPV diberi hujan buatan selama 3-4 jam dengan curah hujan 50 mm/jam, kemudian ulat instar II diinfestasikan ke tanaman. Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas residu NPV yang disemprotkan ke daun tidak dipengaruhi secara nyata oleh adanya hujan.
Persistensi NPV pada daun dipengaruhi oleh macam dan tekstur daun. NPV dapat bertahan lebih lama pada daun tomat dan kedelai daripada daun kapas karena adanya rambut-rambut daun dan bentuk daun yang keriting. Persistensi NPV dapat juga dipengaruhi oleh bagian tanaman. NPV dapat bertahan lebih lama pada permukaan bawah daun daripada permukaan atas daun (lgnoffo dan Cough, 1981).

POTENSI DAN KENDALA

Potensi

Potensi NPV ditunjukkan oleh nilai LC50 (=konsentrasi yang mematikan 50% populasi serangga). Nilai LC50 diperoleh dengan cara menyemprot atau mengoleskan suspensi polihedra ke daun kemudian memberikannya ke ulat sebagai pakan. Cara lain adalah dengan mencelupkan daun ke suspensi polihedra atau mencampurkan suspensi polihedra ke pakan buatan. Data kematian ulat diproses dengan analisis probit menurut metode Finney (1981).
Hasil percobaan menunjukkan bahwa LC50 NPV untuk ulat S. litura inslar III sebesar 5,4 X 103 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml (Arifin dan Waskito, 1986), sedangkan untuk ulat H. armigera sebesar 6 X 103 PlBs/ml (Gothama, 1999). Kerentanan ulat S. litura terhadap NPV menurun dengan bertambahnya umur. LC50 untuk ulat muda (instar I-III) lebih rendah, sehingga lebih rentan daripada ulat tua (instar IV-V). Ulat instar I 100 kali lebih rentan daripada ulat instar V. Nilai LC50 tersebut sama dengan hasil percobaan Okada (1977) di Jepang, yaitu 6 X 103 PIBs/ml, tetapi lebih rendah daripada hasil percobaan Hwang dan Ding (dalam Hussey dan Tinsley, 198l) di Cina, yaitu 2 X 105 PIBs/ml.

Kendala

Daya Bunuh

NPV memiliki daya bunuh lambat. Kematian ulat biasanya terjadi pada 4-11 hari setelah aplikasi, sehingga masih memungkinkan ulat merusak tanaman. Untuk mempercepat daya bunuh, ada empat cara yang dapat ditempuh, yaitu (a) mengaplikasikan NPV pada saat ulat masih muda (Okada, 1977), (b) mendapatkan strain NPV yang lebih virulen, (c) mengkombinasikan NPV dengan insektisida, dan (d) mengembangkan NPV rekombinan yang memiliki daya bunuh 2-3 hari. Teknik DNA rekombinan dilakukan dengan cara menyisipkan gen spesifik ke dalam genom NPV. Protein yang dapat meracuni atau mengganggu perkembangan ulat, antara lain Bacillus thuringiensis, juvenil hormon esterase, PTTH, melittin, trehalase, racun kalajengking, dan racun tungau, dapat dilibatkan (Starnes et al., 1993).

Pengaruh Sinar Ultraviolet (UV)

Sinar UV dengan panjang gelombang lebih dari 290 nm merupakan salah satu faktor penyebab inaktivasi NPV. Menurut lgnoffo dan Couch (1981), umur paruh (half life) NPV pada kedelai terjadi setelah 2 hari dan inaktivasi total terjadi setelah 14 hari paparan sinar surya. Okada (1977) juga mengemukakan bahwa aktivitas NPV menurun 50% bila diaplikasikan pada permukaan atas daun selama 3 jam dan menjadi inaktif selama 15 jam. Aktivitas NPV yang diaplikasikan pada permukaan bawah daun masih terpelihara 50% dari aktivitas aslinya setelah 20 jam. Oleh karena itu, disarankan untuk mengaplikasikan NPV pada permukaan bawah daun.
Untuk mengurangi inaktivasi, NPV harus diperkaya dengan bahan pelindung sinar surya. Bahan tersebut, antara lain sunscreen, seperti ethyl hexyl salicylate, cinnamic acid, p-aminobenzoic acid, dan benzilidine sulfonic acid (Shapiro et al., 1983). Demikian juga adjuvant, seperti India ink, charcoal, yeast extract, peptonized milk, dan soy hydrolyzate (Jaques, 1971).
Inaktivasi NPV dapat juga diatasi dengan seleksi strain NPV toleran terhadap sinar UV (Shapiro dan Bell, 1984). NPV diradiasi UV selama 60 menit kemudian diinfeksikan ke ulat. Progeni NPV yang diradiasi dilakukan hal yang sama, demikian seterusnya hingga tahapan seleksi ke-10. Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas NPV pada lima tahapan seleksi pertama menurun 4,5 kali, dari tingkat kematian 92% menjadi 22%, tetapi progeninya menurun secara tidak nyata 0,64 kali, dari LC50= 2,75 x 103 menjadi 4,32 X 103 PIBs/ml. Disimpulkan bahwa meskipun tingkat toleransi NPV yang diradiasi sinar UV menurun, tetapi progeni NPV yang terseleksi menjadi lebih virulen. Kesimpulan tersebut didukung oleh Brassel dan Benz (1979) bahwa virus yang terseleksi, dua kali lebih virulen daripada virus yang tidak terseleksi.

Pengaruh Suhu

NPV relatif tahan terhadap suhu tinggi. Suspensi NPV pada suhu 650 C selama 20 menit tidak menurun aktivitasnya. Aktivitas NPV mulai menurun pada suhu 700 C dan menjadi inaktif pada suhu 850 C setelah 5 menit. Suhu lapang (450 C) tidak berpengaruh terhadap stabilitas NPV. Meskipun demikian, replikasi virus mulai dihambat pada suhu 400 C (MacFarlane dan Keeley dalam lgnoffo dan Couch, 1981).
NPV sebaiknya disimpan pada suhu rendah. Aktivitas suspensi NPV yang disimpan pada suhu -200 hingga 50 C sangat stabil dan tidak menurun setelah 15 tahun. NPV yang disimpan pada suhu kamar (23-270 C) mulai inaktif setelah 5 tahun dan menjadi inaktif total setelah 15 tahun. NPV yang disimpan pada suhu 370 C selama 4 minggu masih menunjukkan aktivitasnya (lgnoffo dan Garcia dalam lgnoffo dan Couch, 1981).

Pengaruh Bahan Kimia

Suasana asam atau alkalis mengganggu aktivitas NPV lgnoffo dan Garcia (dalam Ignoffo dan Couch, 1981) mengemukakan bahwa aktivitas NPV tidak menurun pada pH 7,0, tetapi sedikit menurun (< 15%) pada pH 4,0 dan 9,0, dan menurun secara nyata (> 95%) pada pH 1,2 dan 12,4. Untuk mencegah terjadinya inaktivasi NPV, umumnya peneliti menggunakan fosfat penyangga.
NPV dapat diaplikasikan bersama dengan pestisida (secara terpisah atau dalam campuran) untuk sekaligus mengendalikan penyakit, gulma, dan serangga hama. NPV yang dikombinasikan dengan pestisida mungkin tidak selalu bersifat additive. Pengaruhnya mungkin bersifat sinergistik atau juga antagonistik, bergantung pada macam campuran NPV dengan pestisida. Mohamed et al. (1983) melaporkan bahwa campuran NPV dengan benomyl (fungisida) atau chlordimeform (insektisida-akarisida) bersifat sinergistik, sedangkan dengan chlorothalonil (fungisida), methoprene (insect growth regulator), atau fentin hydroxide (fungisida), bersifat antagonistik. lgnoffo and Montoya (1966) melaporkan bahwa sebagian besar insektisida dan adjuvant kompatibel dengan NPV, kecuali metil paration. Formalin dan natrium hipoklorit merusak NPV sehingga umum digunakan sebagai disinfektan (Ignoffo and Garcia dalam lgnoffo dan Couch, 1981).

PROSES PRODUKSI

Umumnya, NPV diperbanyak secara in vivo dalam tubuh ulat yang menjadi inangnya. NPV dapat juga diperbanyak secara in vitro dalam kultur jaringan. Cara in vitro lebih unggul bila dibandingkan dengan in vivo karena dapat mencegah terjadinya penyimpangan genetik dan kontaminasi, dan menghemat tenaga. Sebaliknya, cara in vitro memiliki kelemahan karena membutuhkan fasilitas fermentasi yang mahal, tidak praktis, dan produktivitasnya rendah (Starnes et al., 1993). Di antara kedua cara tersebut, cara in vivo lebih cocok untuk diterapkan di Indonesia. Hal yang sama juga berlaku di Jepang. Menurut Aizawa (dalam Aizawa, 1987), cara in vitro telah dicoba di Jepang sejak tahun 1950-an dengan kultur sel ulat sutera, tetapi karena sulit, mahal, dan tidak praktis, cara tersebut ditinggalkan. Saat ini, ada lima produk bioinsektisida NPV yang telah terdaftar di Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat dengan nama dagang dan serangga sasaran: Elcar (Heliothis spp.), Biotrol-1 (Orgyia pseudotsugata), Gyp-Check (Lymantria dispar), SAN 404 (Autographa californica), dan Neo Check-S (Neodiprion seftifer) (Shieh, 1986).
Produksi bioinsektisida NPV dilakukan dalam empat ruang terpisah, yaitu (1) ruang pembuatan dan penyimpanan pakan buatan, (2) ruang dengan unit untuk pembiakan massal serangga dan unit lain untuk pemeliharaan ulat yang akan diinfeksi NPV, (3) ruang perbanyakan NPV, dan (4) ruang recovery dan formulasi NPV. Fungsi produksi lainnya, seperti quality control, bioassay, dan karakterisasi produk dilakukan di laboratorium (lgnoffo dan Couch, 1981). Ada tiga tahap kegiatan dalam proses produksi bioinsektisida NPV di Balitbio, yaitu (a) pembiakan massal serangga inang NPV, (b) perbanyakan dan standardisasi NPV, dan (c) pemformulasian NPV (Gambar 1).


Pembiakan Massal Serangga Inang NPV

Ulat hasil pembiakan massal di laboratorium atau hasil koleksi dari lapang dipelihara dengan pakan buatan hingga terbentuk kepompong. Komposisi pakan buatan dan teknik pemeliharaan ulat S. litura dan S. exigua dikemukakan oleh Okada dan Arifin (1982), sedangkan untuk H. armigera dikemukakan oleh Gothama (1990). Ngengat yang muncul dipasangkan dalam wadah yang bagian dalamnya berisi media untuk peletakan telur dan larutan madu 10% untuk pakan. Massa telur dikoleksi setiap hari dan dipelihara hingga menetas. Ulat yang keluar dari telur diberi pakan buatan.

Perbanyakan dan Standardisasi NPV

Perbanyakan NPV didasarkan atas metode Okada dan Arifin (1982), sedangkan standardisasi NPV didasarkan atas metode Okada (1977). lrisan pakan buatan (± 10 g) dimasukkan ke dalam vial plastik kemudian ditetesi dengan suspensi polihedra berkonsentrasi lebih kurang 107 PlBs/ml. Selanjutnya ulat instar IV dimasukkan ke dalam vial secara individual. Ulat mati atau menjelang mati dikoleksi kemudian diekstraksi dengan menggunakan penyaring berukuran 100 mesh. Suspensi polihedra kasar dimurnikan dengan menggunakan sentrifus berkecepatan 3500 putaran/menit selama 15 menit. Endapan yang dihasilkan dari beberapa kali pemurnian dijadikan suspensi polihedra stok dan disimpan di dalam almari es pada suhu 00 C.
Suspensi polihedra stok (100) diencerkan dengan air suling secara berturut-turut, sehingga diperoleh seri suspensi 10-1 – 10-5. Konsentrasi suspensi polihedra stok distandardisasi dengan menggunakan haemacytometer melalui penghitungan banyaknya PIBs/ml pada suspensi 10-5. Umumnya, konsentrasi suspensi polihedra stok lebih kurang 109 PIBs/ml, dan rata-rata seekor ulat S. litura instar VI mati terinfeksi NPV (1 LE; LE= larval equivalent) mengandung 8 X 109 PIBs (8 VU; VU= viral unit), sedangkan ulat H. armigera mengandung 6 X 109 PIBs (6 VU).

Pemformulasian NPV

NPV diformulasikan dengan bahan pembawa (carrier) dalam bentuk tepung (wettable powder) (Tanada dan Kaya, 1993). Bahan pembawa diperkaya dengan bahan additive yang kompatibel untuk meningkatkan persistensi serta mengoptimalkan lapisan penyemprolan (droplet) dan pelingkupan (coverage). Bahan additive terdiri atas bahan (a) pembasah untuk meningkatkan daya basah dan daya sebar, (b) perekat untuk mencegah pencucian air hujan, (c) penebal untuk mengurangi evaporasi dan kehilangan lapisan penyemprotan, (d) pelembab untuk memperlambat proses pengeringan selama penyemprotan, (e) perangsang makan untuk memperbanyak virus yang tertelan, (f) pelindung sinar UV untuk meningkatkan stabilitas terhadap sinar surya, dan (g) kadang-kadang enzim, seperti chitinase untuk meningkatkan aktivitas virus (Johnstone; Smirnoff dalam Couch dan Ignoffo, 1981). Tujuan memformulasikan bioinsektisida, antara lain untuk (1) meningkatkan persistensi virus selama mungkin, dan (2) menempatkan virus agar kontak dengan inangnya sehingga tercapai infeksi maksimum (Maddox, 1975).
Pemformulasian NPV di Balitbio dilakukan dengan cara sebagai berikut: 100 ml suspensi polihedra stok berkonsentrasi 3 X 109 PIBs/ml dicampur dengan tepung talk dan bahan-bahan additive, seperti perata, perekat, pelindung sinar UV, dan perangsang makan hingga mencapai bobot 100 g kemudian dikering-anginkan. Dengan cara tersebut, konsentrasinya ditentukan sebesar 3 X 109 PIBs/g. Bahan aktif bioinsektisida ini sebesar 0,3% (1 mg= 1 X 109 PIBs). Bioinsektisida NPV sebanyak 500 g siap diaplikasikan ke pertanaman seluas 1 ha.

Produksi Skala Pilot

Pada T.A. 1998/99, melalui kerjasama penelitian dengan pihak swasta (PT. Mastalin Mandiri, Jakarta), Balitbio memproduksi tiga macam bioinsektisida NPV (bioinsektisida SlNPV, SeNPV, dan HaNPV) dalam skala pilot. Metode produksi bioinsektisida NPV skala laboratorium dikembangkan dengan beberapa modifikasi pada alat dan bahan sehingga lebih efisien. Biaya produksi untuk skala luasan 1 ha sebanyak Rp 67.000,- dengan rincian: (a) bahan untuk pakan buatan, formulasi, dan kemasan Rp 25.000,- (b) upah pembiakan massal serangga inang NPV, perbanyakan NPV, dan pemformulasian NPV Rp 40.000,- dan (c) biaya lain-lain Rp 2.000,-. Karena bobot netto produk dalam kemasan ditentukan 500 g untuk skala luasan 1 ha, maka biaya produksi per kemasan juga sebanyak Rp 67.000,-/500 g atau Rp 134.000,-/kg. Bila dibandingkan dengan harga insektisida yang direkomendasikan, biaya produksi bioinsektisida NPV lebih-kurang 50% lebih murah.
Karakteristik produk bioinsektisida NPV tersebut adalah sebagai berikut: bahan aktif NPV 0,3%, formulasi tepung talk yang diperkaya dengan beberapa macam bahan additive, konsentrasi 3 X 109 PIBs/g, kemasan alumunium foil, berat netto per kemasan 500 g, efektif terhadap ulat S. litura, S. exigua, dan H. armigera, dosis aplikasi 500 g/ha, dan biaya produksi per kemasan Rp 67.000,-.

Produksi NPV secara Praktis

Petani (kelompok tani) dapat membuat bioinsektisida NPV secara praktis. Untuk itu, perlu diinformasikan bahwa dosis NPV efektif terhadap ulat S. litura, S. exigua, dan H. armigera adalah 15 X 1011 PlBs/ha. Seekor ulat instar VI mati terinfeksi NPV rata-rata mengandung 6 X 109 PIBs. Berdasarkan informasi tersebut, banyaknya ulat mati terinfeksi NPV yang dibutuhkan untuk diaplikasikan ke pertanaman seluas 1 ha sebanyak (15 X 1011 PIBs/ha / (6 X 109 PIBs/ekor) = 250 ekor/ha.
Ulat dikoleksi dari lapang kemudian dipelihara dengan pakan buatan atau pakan alami (daun kedelai untuk S. litura, daun bawang untuk S. exigua, dan jagung muda untuk H. armigera). Ulat (generasi berikutnya) berumur seminggu sebanyak 300 ekor dipelihara secara individual dalam vial plastik dengan diberi pakan yang telah diolesi dengan suspensi polihedra kasar. Suspensi dibuat dengan cara melumatkan seekor ulat instar VI yang mati terinfeksi NPV kemudian mencampurnya dengan 10 ml air. Ulat dipelihara hingga mati. Sebanyak 250 ekor ulat instar VI mati terinfeksi NPV dikoleksi kemudian dilumatkan dengan menambahkan 0,5 l air dan selanjutnya disaring dengan kain halus. Pelumatan dan penyaringan diulang 4 kali hingga diperoleh suspensi polihedra kasar sebanyak 2 l. Saat akan digunakan, suspensi polihedra kasar ini diencerkan dengan menambahkan air hingga diperoleh suspensi cair sebanyak 400-500 l yang cukup untuk diaplikasikan ke pertanaman seluas 1 ha. Agar aktivitas NPV dapat dipertahankan stabil dan dapat digunakan lebih dari setahun, sebaiknya, suspensi polihedra kasar dicampur dengan tepung talk (1 l/250 g) kemudian dikemas dengan plastik dan disimpan di tempat sejuk pada suhu kurang dari 270 C.

PEMANFAATAN

Strategi Pemanfaatan

Ada tiga strategi pemanfaatan NPV dalam program PHT, yaitu (Maddox, 1975; Starnes et al., 1993):
1. Mengaplikasikan NPV secara terbatas agar NPV dapat mengatur populasi ulat secara permanen melalui pengendalian hayati klasik. Strategi ini cocok untuk tanaman perkebunan, tetapi kurang cocok untuk tanaman semusim karena kurang toleran terhadap tingkat populasi ulat yang relatif tinggi.
2. Mengusahakan epizootik NPV melalui transmisi vertikal dan horizontal dengan kemungkinan mengaplikasikan NPV agar terjadi epizootik lebih awal. NPV sering mengalami epizootik yang dapat mengurangi populasi hama sasaran secara drastis. Epizootik demikian dapat dimanfaatkan dalam program PHT bila (a) ambang ekonomi populasi ulat diketahui dan (b) pengamat mengenal gejala ulat yang terinfeksi NPV. Jika pengamat menyadari bahwa ulat sering terinfeksi NPV secara alamiah, dia mungkin akan memantau populasi ulat secara berkala dan menghindarkan perlakuan insektisida, kecuali bila populasi larva melampaui ambang ekonomi. Strategi ini cocok untuk pertanaman semusim yang sering mengalami epizootik NPV.
3. Mengaplikasikan NPV secara berulang karena tidak adanya transmisi horizontal. Lni berarti bahwa NPV dapat diaplikasikan, serupa dengan insektisida kimiawi untuk tujuan pengendalian berjangka pendek. Untuk itu, beberapa faktor harus dipertimbangkan, antara lain (a) konsentrasi NPV harus cukup tinggi untuk menghasilkan infeksi, (b) kepadatan populasi ulat harus relatif tinggi agar menjamin perbanyakan dan daya tahan hidup NPV dari generasi ke generasi, dan (c) NPV seharusnya diaplikasikan selama ulat berada dalam stadium yang rentan. Strategi ini paling cocok untuk tanaman semusim, karena ambang ekonomi ulat yang didasarkan atas aplikasi NPV dapat ditentukan (Starnes et al., 1993).

Effektivitas

Bioinsektisida NPV yang spesifik terhadap ulat S. litura telah diuji lapang pada kedelai (Arifin et al. 1995). Hasilnya menunjukkan bahwa NPV dengan dosis 15 X 1011 PIBs/ha yang diaplikasikan dua kali dalam selang seminggu, masing-masing dengan dosis 7,5 x 1011  PIBs/ha mampu menurunkan populasi ulat 88% (dari 2,25 ekor/rumpun menjadi 0,27 ekor/rumpun), sedangkan insektisida (monokrotofos) dosis anjuran tidak mampu menurunkan, bahkan meningkatkan populasi ulat 27% (dari 2,25 ekor/rumpun menjadi 2,85 ekor/rumpun).
Yamasuki dan Yoshioka (1987) mengaplikasikan NPV untuk ulat S. litura pada kedelai dengan dosis 3 X 1012 PIBs/ha sebanyak dua kali dalam selang seminggu. Dua hari kemudian, ulat dikoleksi dan dipelihara dengan pakan buatan. Hasilnya menunjukkan bahwa kematian ulat yang dikoleksi setelah aplikasi pertama sebesar 66%, sedjngkan yang dikoleksi setelah aplikasi kedua sebesar 89%.
Indrayani et al. (1992) mengaplikasikan NPV untuk ulat H. armigera pada kapas berdasarkan ambang ekonomi dengan dosis 6 X 1011 PIBs/ha. Hasilnya menunjukkan bahwa aplikasi NPV dengan frekuensi tujuh kali pada 60 – 110 hari setelah tanam menurunkan intensitas buah rusak 31,0% dan meningkatkan hasil kapas berbiji 44,9%.

Teknik Aplikasi

Bioinsektisida NPV diaplikasikan dengan menggunakan alat semprot yang umum digunakan untuk mengaplikasikan insektisida. Hasil terbaik dicapai bila NPV diaplikasikan selama awal stadium perkembangan serangga. Alasannya, ulat instar awal lebih rentan terhadap NPV daripada ulat instar akhir. Agar efektif, dosis, frekuensi, waktu, dan cara aplikasi harus tepat. Dosis aplikasi yang digunakan sebanyak 500 g/ha (setara dengan 15 X 1011 PlBs/ha). Apabila kepadatan populasi ulat relatif tinggi, aplikasi sebaiknya diulang 1-2 minggu kemudian. Dasarnya, untuk mengantisipasi berkurangnya stabilitas NPV akibat paparan sinar surya.
Sinar surya mempengaruhi NPV. Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, aplikasi harus dilakukan pada sore atau senja hari agar polihedra segera tertelan oleh ulat pada malam harinya. Aplikasi pada pagi atau siang hari menginaktivasi polihedra sebelum tertelan oleh ulat. Kedua, aplikasi sebaiknya diarahkan ke permukaan bawah daun agar persistensi polihedra berlangsung lebih lama. NPV yangdiaplikasikan ke permukaan atas daun menurun aktivitasnya hingga 50% setelah 3 jam dan menjadi inaktif setelah 15 jam, sedangkan yang diaplikasikan ke permukaan bawah daun menurun aktivitasnya hingga 50% setelah 20 jam (Okada, 1977).

PENELITIAN LANJUTAN

Bioinsektisida NPV yang diproduksi di Balitbio memiliki kelemahan utama, yaitu sifatnya yang spesies spesifik dan berdaya-bunuh lambat. Kelemahan NPV tersebut perlu diatasi agar petani lebih memilih bioinsektisida NPV daripada Insektisida. Petani menginginkan "obat-obatan" yang dapat mengendalikan beberapa jenis hama sekaligus secara cepat dalam sekali semprot. Untuk mendapatkan bioinsektisida NPV berspektrum luas dan berdaya bunuh cepat, perlu dilakukan kegiatan eksplorasi isolat NPV yang lebih virulen dan penelitian sinergisme beberapa jenis NPV, atau antara NPV dengan agensia hayati lainnya, misalnya Bacillus thuringiensis.
Kemajuan penelitian teknik pembiakan ulatgrayak, perbanyakan, pemurnian, dan formulasi NPV telah mendorong keberhasilan usaha memproduksi bioinsektisida NPV dalam skala pilot. Keberhasilan usaha tersebut belum sempurna karena masih dijumpai kendala, terutama dalam menyiasati sifat NPV yang peka terhadap sinar UV. Untuk mengatasi kendala tersebut, penelitian untuk menemukan bahan pelindung sinar UV yang dapat menstabilkan NPV dan strain NPV yang relatif tahan sinar UV, perlu dilakukan.
Untuk memenuhi kebutuhan pengguna, bioinsektisida NPV perlu didemonstrasikan ke pengguna, terutama petani untuk memperoleh informasi umpan balik kelayakan teknologi dan sosial ekonomi pemanfaatannya.

KESIMPULAN

Sebagai agensia pengendalian hayati, NPV cocok untuk digunakan dalam program PHT karena sifatnya yang efektif dan ramah lingkungan. Patogen serangga tersebut telah berhasil dikembangkan sebagai bioinsektisida dan diproduksi dalam berskala pilot untuk mengendalikan beberapa jenis hama tanaman pangan, tanaman industri, dan sayuran. Keefektifannya perlu didemonstrasikan, seiring dengan kegiatan menyempurnakan teknik formulasi dan aplikasi NPV. Terlaksananya beberapa kegiatan tersebut diharapkan dapat menjadi landasan utama dalam pengembangan bioinsektisida berskala komersial.

PUSTAKA

Aizawa, K. 1987. Biological pest control for field crops. Food & Fertilizer Technology Center. Ext. Bull. 252, Taiwan.
Arifin, M. dan W.I.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulatgrayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap nuclear polyhedrosis virus. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Puslitbangtan. Sukamandi, 16-18 Jan. 1986. 1 (Palawija): 74-78.
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto, dan A. Alwi. 1995. Keefektifan dan kompatibilitas SlNPV dengan insektisida terhadap ulatgrayak pada kedelai. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi Xl. Depok, 24-27 Juli 1995. 8 p.
Brassel, J. dan G. Benz. 1979. Selection of a strain of the granulosis virus of the codling moth with improved resistance against artificial ultraviolet radiation and sunlight. J. Invertebr. Pathol. 33: 358-363.
Couch, T.L. and C.M. lgnoffo. 1981. Formulation of insect pathogen, p. 621-634. In H.D. Burges (Ed.). Microbral Control of Pests and Plant Diseases 1970-1980. Academic Press, San Francisco.
Ditlintan. 1993 Pedoman rekomendasi pengendalian hama dan penyakit tanaman pangan. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Jakarta. 186 p.
Finney, D.J. 1971. Probit analysis. Cambridge Univ. Press, London.
Gothama, A.A.A. 1990. Pemeliharaan massal Helicoverpa armigera Hubner) dengan pakan buatan. Pelatihan Perbanyakan dan Penyebaran Helicoverpa armigera nuclear polyhedrosis virus. Balittas, Malang. 10 p.
Gothama, A.AA. 1999. Peningkatan efektivitas Helicoverpa armigera (Lepidoptera, Noctuidae) nuclear-polyhedrosis virus dengan beberapa adjuvant. Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. PEI Cabang Bogor, 16 Februari 1999.
Hussey, N.W. and T.W. Tinsley. 1981. lmpressions of insect pathology in The People's Republic of China, p. 785-795. ln H.D. Burges (Ed.). Microbial Control of Pests and Plant Diseases 1970-1980. Academic press, London.
Ignoffo, C.M. and E.L. Montoya. 1966. The efiect of chemical insecticides and insecticidal adjuvants of a nuclear polyhedrosis virus. J. Invertebr. Pathol. 8: 409-412.
Ignoffo, C.M. and T.L. Couch. 1981. The nucleopolyhedrosis virus of Heliothis species as a microbial insecticide, p. 329-362. ln H.D. Burges (Ed.) Microbial Control of Pests and Plant Diseases 1970-1980. Academic Press, London.
Indrayani, I.G.A.A., D. Winarno, Subiyakto, dan A.A.A. Gothama. 1992. Efisiensi pengendalian Helicoverpa armigera (Hubner) dengan kombinasi NPV dan insektisida pada kapas. Kongres Entomologi IV. Yogyakarta, 28-30 Januari 1992. 10 p.
Jacques, R.P. 1971.Tests on protectants for foliar deposits of a polyhedrosis virus. J. Invertebr. Pathol. 17: 9-16.
Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management, p. 184-233. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New York.
Mohamed, A.I., S.Y. Young, and W.C. Yearian. 1983. Susceptibility of Heliothis virescens (F.) (Lepidoptera: Noctuidae) larvae to microbial agent - chemical pesticide mixtures on cotton foliage Environ. Entomol. 14(5): 1403-1405.
Okada, M. 1977. Studies on the utilization and mass production of SlNPV for control of the tobacco cutworm, Spodoptera litura F. Rev. Pl. Protec. Res. 10: 102-128.
Okada, M. and M. Arifin. 1982 Comparative rearing test of the common armyworm, Leucania separata Walker on artificial diet and host plants, and patogenicity of LsNPV to the common armyworm. Research Report of Japan-Indonesia Joint Agricultural Research Project. pp. 207-215.
Payne, C.C. and D.C. Kelly. 1981. Identification of insect and mite viruses, p. 61-91. ln H.D Burges (Ed.). Microbial Control of Pests and Plant Diseases 1970-1980. Academic Press, London.
Shapiro, M. and A.A. Bell. 1984. Selection of a UV-tolerant strain of the gypsy moth, Lymantria dispar (L.) (Lepidoptera: Lymantriidae), nucleopolyhedrosis virus. Environ. Entomol. 13(6): 1522-1526.
Shapiro, M., P.P. Agin, and R.A. Bell. 1983. Ultraviolet protectants of the gypsy moth (Lepidoptera: Lymantriidae) nucleopolyhedrosis virus. Environ. Entomol. 12(3): 982-985.
Shieh, T.R. 1984. Industrial production on viral pesticides. Advances in Virus Research. 36: 315-343.
Starnes, R.L., C.L. Liu, and P.G. Marrone. 1993. History, use, and future of microbial insectrcides. American Entomologist. Summer: 83-91.
Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology. Academic Press, Inc., Toronto.
Yamasaki, Y. and K. Yoshioka. 1987. The use of nuclear polyhedrosis virus for control of the tobacco cutworm, Spodoptera litura in Echime Prefecture, Japan, p. 16-17. ln K. Aizawa (Ed.). Biological pest control for field crops. Food & Fertilizer Technology Center. Ext. Bull. 257, Taiwan.

1 komentar: