Jumat, 04 Februari 2011

19. Ambang Ekonomi Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Kedelai Varietas Orba


Arifin, M. dan A. Rizal. 1989. Ambang ekonomi ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai varietas Orba. Penelitian Pertanian. 9(2): 71-77.

Muhammad Arifin1 dan Abdul Rizal2
1 Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor
2 Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta



ABSTRACT

Economic Threshold of the Common Cutworm (Spodoptera litura F.) on Soybean Variety Orba. The influence of 5 population levels of the common cutworm larvae, namely 0, 0.5, 1, 2, and 4 larvae/hill, on soybean yield and yield components was evaluated at 4 different stages of plant growth, i.e. V6-V7, R1-R2, R3-R4, and R5-R6. Infestation of soybean plant with a population of 1 larva/hill at any of the plant stages did not reduce either the yield or yield components. Simple regression equations were developed to correlate between larval population and plant damage, larval population and yield, larval population and yield components, plant damage and yield, and yield and yield components. It was indicated that larval populations were negatively correlated with soybean yield and yield components, but positively correlated with plant damage. The yields were negatively correlated with plant damage, but positively correlated with yield components. Based on the break-even point principle of pest control, the economic threshold of the common cutworm at different plant stages from V6-V7 to R5-R6 was 1 egg mass/57 plants, which was equal to 58 first instar larvae, 32 second instar larvae or 17 third instar larvae/12 plants, respectively.



Ulat grayak, Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae) adalah salah satu hama penting pada tanaman kedelai di Indonesia. Hama ini menyerang daun pada pertanaman stadium vegetatif hingga pengisian biji, menyebabkan gangguan pada proses fotosintesis dan mengakibatkan kehilangan hasil panen.
Pengendalian ulat grayak sampai saat ini masih mengandalkan insektisida yang diaplikasikan secara berjadwal pada tanaman berumur 20-65 hari setelah tanam dengan frekuensi 2 minggu sekali (7). Pengendalian yang didasarkan atas populasi hama belum dilakukan karena kurangnya informasi mengenai besarnya ambang ekonomi ulat grayak.
Salah satu komponen penting dalam menentukan ambang ekonomi adalah kehilangan hasil. Stone dan Pedigo (6) menentukan kehilangan hasil panen kedelai dengan membandingkan antara hasil panen tanaman sehat dan yang didefoliasi secara buatan melalui pengguntingan daun. Metode tersebut mempunyai kelemahan karena dinamika proses defoliasi oleh hama daun dan kemampuan tanaman mengkompensasi kerusakan daun tidak diperhitungkan (1,5). Mengingat kelemahan tersebut, maka kehilangan hasil panen oleh ulat grayak ditentukan dengan membandingkan hasil panen antara tanaman sehat dan tanaman yang diinfestasi serangga. Faktor yang diperhitungkan dalam menentukan kehilangan hasil panen, antara lain tingkat populasi hama dan stadium pertumbuhan tanaman.
Penelitian ini bertujuan: (a) mempelajari pengaruh infestasi ulat grayak terhadap kerusakan daun, komponen hasil, dan hasil panen, (b) menentukan kehilangan hasil kedelai karena ulat grayak, dan (c) menentukan ambang ekonomi ulat grayak. Di dalam penelitian ini juga diamati pertumbuhan dan perkembangan ulat grayak sebagai komponen dalam menentukan ambang ekonomi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di daerah Mojosari, Jawa Timur pada bulan Mei-Oktober (MK) 1987, dalam 2 tahap, yaitu (a) infestasi ulat pada tanaman kedelai, dan b) pertumbuhan dan perkembangan ulat grayak. Data yang diperoleh dari kedua tahap penelitian tersebut digunakan untuk menentukan ambang ekonomi ulat grayak.

Pemeliharaan Ulat Grayak

Ulat grayak yang digunakan untuk penelitian ini diperoleh dari hasil koleksi di daerah Mojosari kemudian dipelihara secara alamiah di lapang. Pemeliharaan ulat dilakukan pada tanaman kedelai varietas Orba yang ditanam pada pot berdiameter 21 cm. Tanaman disungkup dengan kurungan plastik tembus cahaya yang berbentuk silinder, berdiameter 21 cm dan tinggi 100 cm. Kurungan dilengkapi dengan 3 buah lubang ventilasi pada dinding. Lubang ventilasi tersebut dan bagian atas kurungan yang terbuka ditutup kain kasa. Penggantian pakan dilakukan dengan memindahkan ulat ke tanaman segar sebelum daun kedelai yang lama habis. Kepompong yang terjadi dikoleksi dalam kotak plastik berukuran 15 cm x 20 cm yang bagian dasarnya berisi pasir. Ngengat yang muncul dipelihara secara berpasangan dalam kotak plastik berukuran sama yang sisi dalamnya dilapisi kertas filter untuk peletakan telur. Larutan madu 10% dimasukkan ke dalam kotak sebagai pakan dan diganti setiap hari. Kelompok telur yang diletakkan di kertas dikoleksi dan dipindahkan ke tanaman sehat.

Persiapan Lahan Penelitian

Benih kedelai varietas Orba ditanam pada lahan seluas ± 2500 m2 dalam 60 petak pertanaman yang masing-masing berukuran 4 m x 5 m. Jarak antar barisan tanaman adalah 40 cm dan jarak antar tanaman dalam barisan adalah 20 cm, dengan 2 batang tanaman/rumpun. Pupuk diberikan pada saat tanam sebanyak 50 kg N, 75 kg P2O5, dan 50 kg K2O/ha.

Pengaruh Infestasi Ulat terhadap Tanaman

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh infestasi ulat grayak terhadap kerusakan daun, komponen hasil, dan hasil panen.
Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah. Petak utama terdiri atas 5 tingkat populasi ulat, yaitu: 0; 0,5; 1; 2; dan 4 ekor/rumpun. Semua perlakuan diulang 3 kali. Banyaknya tanaman tiap anak petak adalah 15 rumpun, dan banyaknya rumpun contoh tiap anak petak adalah 3 rumpun. Pengamatan meliputi kerusakan daun, komponen hasil, dan hasil panen.
Tanaman pada waktu berumur 8 hari setelah tanam disemprot insektisida monokrotofos dengan dosis 5 cc/l air untuk mencegah gangguan hama. Tanaman kemudian disungkup dengan kurungan kasa nilon berkerangka besi yang berukuran 1 m x 1 m x 1 m. Setelah berumur 19, 33, 47, dan 61 hari setelah tanam, tanaman diinfestasi ulat instar III yang akan berganti kulit sesuai dengan perlakuan anak petak. Kerusakan daun dihitung setelah ulat menjadi prakepompong di dalam tanah, yaitu kira-kira 10 hari setelah infestasi. Penghitungan kerusakan daun dilakukan dengan metode McKinney (3) yang keterangan notasinya disesuaikan untuk hama daun sebagai berikut:
         k
         ∑   (ni x vi)
        i=1
P = -----------------  x 100%
              ZN
dimana: P  = tingkat kerusakan daun;
            ni  = jumlah daun pada skala ke-i;
            vi  = nilai skala ke-i;
            Z  = nilai skala tertinggi;
            N  = jumlah seluruh daun yang diamati.
Nilai skala:  0  = tidak ada serangan;
1    = kerusakan < 25%;
2    = kerusakan 25-50%;
3    = kerusakan 50-75%;
4    = kerusakan < 75% dari luas helaian daun yang diamati.
Pada saat panen, ketiga rumpun contoh tiap anak petak yang telah diamati kerusakannya dibawa ke laboratorium. Komponen hasil dan hasil panen diamati segera setelah biji kedelai yang dipetik mencapai kering panen. Pengamatan komponen hasil meliputi jumlah polong isi dan jumlah biji/rumpun serta bobot 100 biji. Pengamatan hasil panen berupa bobot biji total/rumpun.
Sidik ragam digunakan untuk menguji data secara statistik, dan uji beda nyata Duncan (UBD) digunakan untuk membandingkan rata-rata hasil perlakuan.

Pertumbuhan dan Perkembangan Ulat

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pertumbuhan dan perkembangan ulat grayak pada tanaman kedelai varietas Orba. Penelitian terdiri atas 2 bagian, yaitu (a) pertumbuhan ulat dari telur hingga prakepompong, dan (b) penentuan banyaknya telur yang diletakkan tiap ngengat betina.
Pertumbuhan ulat. Telur sebanyak 7 kelompok (200-300 butir/kelompok), hasil pemeliharaan di laboratorium diletakkan di permukaan bawah helaian daun stadium R1-R2 di lapang secara terpisah pada 7 rumpun tanaman. Tanaman kemudian disungkup dengan kurungan plastik tembus cahaya yang dibenamkan ke dalam tanah. Agar tidak mudah roboh, kurungan diperkuat dengan 2 bilah bambu sebagai penyangga. Setelah telur menetas, jumlah ulat instar I dihitung dari salah satu kurungan. Setelah penghitungan, ulat dimatikan. Jumlah ulat instar II-VI dan prakepompong dihitung dengan cara sama, masing-masing dari salah satu kurungan. Apabila diperlukan, penggantian pakan dilakukan dengan memindahkan ulat ke tanaman sehat sebelum daun kedelai habis. Percobaan diulang 10 kali.
Jumlah telur/ngengat betina. Ngengat yang muncul dari hasil pemeliharaan di laboratorium dikawinkan sepasang-sepasang dalam kotak peneluran. Jumlah kelompok telur dan jumlah telur/kelompok yang diletakkan tiap individu ngengat betina dihitung setiap hari. Percobaan diulang 10 kali.

Penghitungan Ambang Ekonomi

Ambang ekonomi ulat grayak ditentukan dengan prinsip impas (break-even) pengendalian hama, yaitu nilai kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk tindakan tersebut. Penghitungan ambang ekonomi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penentuan ambang perolehan, yaitu kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama; besarnya:
         biaya pengendalian (Rp/ha)
     = ----------------------------------
             harga kedelai (Rp/kg)
2. Penentuan persentase kehilangan hasil untuk ambang perolehan (langkah 1); besarnya;
           ambang perolehan (kg/ha)
     = ------------------------------------  x 100%
           potensi hasil panen (kg/ha)
3. Penentuan persamaan regresi hubungan antara tingkat populasi ulat grayak dan persentase kehilangan hasil pada berbagai stadia tanaman; diperoleh dari hasil penelitian.
4. Penentuan ambang ekonomi ulat grayak instar VI; diperoleh dengan memasukkan nilai persentase kehilangan hasil untuk ambang perolehan (langkah 2) ke dalam persamaan regresi (langkah 3).
5. Penentuan ambang ekonomi berdasarkan kelompok telur; besarnya = ambang ekonomi ulat instar VI dibagi dengan persentase individu hidup sejak telur hingga prakepompong kemudian dibagi dengan jumlah telur/kelompok.
6. Penentuan ambang ekonomi berdasarkan ulat instar I, II, dan III; besarnya
     =  ambang ekonomi ulat instar VI dikali dengan hasil bagi antara persentase individu hidup sejak telur hingga ulat instar tertentu dan persentase individu hidup sejak telur hingga prakepompong.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Infestasi Ulat terhadap Tanaman

Kerusakan daun. Sidik ragam kerusakan daun akibat infestasi ulat grayak pada berbagai stadia tanaman kedelai varietas Orba di lapang menunjukkan bahwa kerusakan daun dipengaruhi oleh populasi ulat, stadium tanaman, dan interaksi antara populasi ulat dan stadium tanaman (Tabel 1).
Data pengaruh interaksi antara populasi ulat dan stadium tanaman terhadap kerusakan daun disajikan pada Tabel 2. Kerusakan daun akibat infestasi ulat sebanyak 0,5-4 ekor/rumpun pada stadia V6-V7, hingga R5-R6 bervariasi antara 15-78%. Kerusakan daun rata-rata pada populasi ulat yang rendah menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan populasi ulat yang lebih tinggi. Kerusakan daun rata-rata pada stadium V6-V7 lebih tinggi daripada stadium R1-R2 hingga R5-R6.
 Kerusakan daun akibat infestasi ulat sebanyak 0,5 ekor/rumpun pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 tidak berbeda nyata, demikian pula akibat infestasi ulat antara 1 dan 2 ekor/rumpun. Akan tetapi, akibat infestasi ulat sebanyak 4 ekor/rumpun pada stadium V6-V7 berbeda nyata jika dibandingkan dengan pada stadia R1-R2 hingga R5-R6 (Tabel 2). Perbedaan tingkat kerusakan ini disebabkan oleh pertumbuhan daun yang berlainan pada tiap stadium. Pertumbuhan daun pada stadium V6-V7 belum optimal sedangkan pada stadia R1-R2 hingga R5-R6 mendekati atau sudah mencapai optimal. Tingkat kerusakan tinggi terjadi pada pertumbuhan daun awal, yaitu pada stadium V6-V7.
Hubungan antara tingkat populasi ulat dan persentase kerusakan daun pada stadia V-V7 hingga R5-R6 dinyatakan dengan model regresi linier, yaitu:
- V6-V7, % kerusakan daun = 9,620 + 17,720 (jumlah ulat/rumpun); r: 0,975**, dan
- R1-R2 hingga R5-R6, % kerusakan daun = 9,893 + 10,645 (jumlah ulat/rumpun);
  r = 0,923**.
Makin tinggi tingkat populasi ulat, makin tinggi pula tingkat kerusakan daun. Kedua persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa kerusakan daun merupakan fungsi dari populasi ulat grayak pada stadia V6-V7 hingga R5-R6.
Komponen hasil. Sidik ragam jumlah polong dan jumlah biji akibat infestasi ulat grayak pada berbagai stadia tanaman kedelai varietas Orba menunjukkan bahwa jumlah polong dan jumlah biji dipengaruhi oleh populasi ulat, tetapi tidak dipengaruhi oleh stadium tanaman dan interaksi antara populasi ulat dan stadium tanaman (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa infestasi ulat pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 memberikan pengaruh yang sama terhadap jumlah polong dan jumlah biji.
Infestasi ulat sebanyak 0,5 dan 1 ekor/rumpun pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 tidak memberikan pengaruh nyata, tetapi infestasi ulat sebanyak 2 dan 4 ekor/rumpun memberikan pengaruh nyata terhadap berkurangnya jumlah polong dan jumlah biji (Tabel 3). Berkurangnya jumlah polong dan jumlah biji tersebut mungkin disebabkan oleh bunga dan polong muda banyak yang gugur serta polong banyak yang kempis akibat berkurangnya pengiriman hasil fotosintesis ke polong karena kerusakan daun (2).
Hubungan antara tingkat populasi ulat dan jumlah polong pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 bersifat linier, dengan persamaan:
jumlah polong/rumpun = 72,205 - 3,510 (jumlah ulat/rumpun); r = 0,911**.
Hubungan antara tingkat populasi ulat dan jumlah biji pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 juga bersifat linier, dengan persamaan:
jumlah biji/rumpun = 131,938 - 9,185 (jumlah ulat/rumpun); r = 0,915**.
Makin tinggi tingkat populasi ulat, makin berkurang jumlah polong dan jumlah biji. Kedua persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa jumlah polong dan jumlah biji merupakan fungsi kerusakan tanaman akibat infestasi ulat grayak pada stadia V6-V7 hingga R5-R6.
Sidik ragam bobot 100 biji menunjukkan bahwa bobot biji tidak dipengaruhi secara nyata oleh populasi ulat, stadium tanaman, dan interaksi antara populasi ulat dan stadium tanaman (Tabel 1). Meskipun pengaruh infestasi ulat dan stadium tanaman tidak nyata, tetapi dari hasil pengamatan tampak adanya kecenderungan terhadap penurunan bobot biji. Penurunan tersebut mungkin disebabkan oleh tanggapan tanaman terhadap gangguan selama proses pertumbuhan biji. Kerusakan daun menyebabkan terganggunya proses pengiriman hasil fotosintesis untuk pembentukan biji sehingga bobot biji berkurang (2).
Hubungan antara tingkat populasi ulat dan bobot biji pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 bersifat linier, dengan persamaan:
bobot 100 biji = 10,702 - 0,198 (jumlah ulat/rumpun); r : 0,876**.
Makin tinggi tingkat populasi ulat, makin berkurang bobot biji. Persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa bobot biji merupakan fungsi kerusakan tanaman akibat infestasi ulat grayak pada stadia V6-V7 hingga R5-R6.
Hasil panen. Sidik ragam hasil panen akibat infestasi ulat grayak pada berbagai stadia tanaman kedelai varietas Orba menunjukkan bahwa hasil panen dipengaruhi oleh populasi ulat, tetapi tidak dipengaruhi oleh stadium tanaman dan interaksi antara populasi ulat dan stadium tanaman (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa infestasi ulat pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 memberikan pengaruh sama terhadap hasil panen.
Infestasi ulat sebanyak 0,5 dan 1 ekor/rumpun pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 tidak memberikan pengaruh nyata, tetapi infestasi ulat sebanyak 2 dan 4 ekor/rumpun memberikan pengaruh nyata terhadap hasil panen (Tabel 3). Hal ini berarti bahwa tanaman kedelai mampu mentoleransi kerusakan daun yang diakibatkan oleh infestasi ulat sebanyak 1 ekor/rumpun, yaitu sebesar 25-32% pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 (Tabel 2).
 Tengkano dan Sutarno (8) mengemukakan bahwa kerusakan daun kedelai varietas Orba sebesar 25% pada stadia R1-R6 tidak mengakibatkan kehilangan hasil yang nyata. Toleransi tanaman terhadap kerusakan daun ini disebabkan oleh kemampuan tanaman membentuk daun-daun baru sebagai kompensasi terhadap kerusakan daun. Di samping itu, kerusakan daun mengurangi pengaruh saling naung-menaungi di antara dedaunan yang memungkinkan penetrasi cahaya sampai ke tajuk daun di bagian bawah sehingga hasil fotosintesis meningkat (9).
Hubungan antara tingkat populasi ulat dan hasil panen pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 bersifat linier dengan persamaan:
hasil panen/rumpun = 10,931 - 0,581 (jumlah ulat/rumpun); r : 0,888**.
Makin tinggi tingkat populasi ulat, makin berkurang hasil panen. Persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa hasil panen merupakan fungsi kerusakan daun akibat infestasi ulat grayak pada stadia V6-V7 hingga R5-R6.
Berdasarkan persamaan regresi hubungan antara tingkat populasi ulat dan hasil panen di atas, dapat dihitug persamaan regresi kehilangan hasil panennya, yaitu:
% kehilangan hasil = 0,002 + 5,310 (jumlah ulat/rumpun); r : 1,000**.
Nilai kehilangan hasil panen akibat infestasi ulat grayak disajikan pada Tabel 4.
 Hasil panen pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 berkorelasi negatif terhadap kerusakan daun (r = -0,951**), berkorelasi positif terhadap jumlah polong (r = 0,943**), jumlah biji (r = 0,957**), dan bobot biji (r = 0,932**). Beberapa korelasi tersebut menunjukkan bahwa hasil panen tergantung pada kerusakan daun, jumlah polong, jumlah biji, dan bobot 100 biji. Makin tinggi tingkat kerusakan daun, makin berkurang jumlah polong, jumlah biji, dan bobot 100 biji, maka makin rendah hasil panen.

Pertumbuhan dan Perkembangan Ulat
Pertumbuhan ulat grayak sejak telur menetas hingga pra-kepompong pada tanaman kedelai varietas Orba di lapang disajikan pada Gambar 1. Dari 200-300 butir telur/kelompok yang diinfestasikan ke tanaman, yang menetas menjadi ulat instar I sebanyak 87%. Terjadinya telur yang tidak menetas diduga karena tidak fertil. Ulat-ulat ini kemudian tumbuh menjadi ulat instar II, III, IV, V, dan VI, serta prakepompong, masing-masing sebanyak 48%, 26%, 14%, 7%, 4%, dan 4%. Berkurangnya jumlah ulat tersebut diduga karena kondisi suhu di dalam kurungan plastik yang lebih tinggi daripada di luar kurungan, dan terjadinya kompetisi di antara individu ulat untuk mendapatkan pakan dan ruang.
Jumlah telur dan kelompok telur yang diletakkan tiap individu ngengat betina tiap hari disajikan pada Gambar 2. Ngengat betina meletakkan telur selama 6 hari dengan masa pra-peneluran kurang lebih sehari. Populasi telur terbanyak terjadi pada peneluran hari ketiga, yaitu sebanyak 521 butir. Jumlah telur yang diletakkan tiap individu ngengat betina sepanjang hidupnya sebanyak 1566 butir yang tersusun dalam 5 kelompok telur dengan tata-rata 316 butir telur/kelompok.

Ambang Ekonomi

Langkah awal dalam menentukan ambang ekonomi ulat grayak adalah menentukan biaya pengendalian dan harga kedelai di Mojosari, Jawa Timur pada musim tanam MK 1987 dan potensi hasil panen tiap ha. Biaya pengendalian tiap ha untuk sekali aplikasi insektisida monokrotofos 15 WSC sebesar Rp 29.250,00/ha dengan perincian sebagai berikut:
Harga 2,5 l insektisida                   = Rp 18.000,00
Upah 9 orang tenaga semprot        = Rp   6.750,00
Sewa 9 buah alat semprot             = Rp   4.500,00
                     ----------------------------------------------
                            Jumlah           = Rp 29.250,00
Harga kedelai sebesar Rp 850,00/kg dan potensi hasil panen kedelai varietas Orba sebesar 1500 kg/ha.
Berdasarkan rumus ambang ekonomi yang disajikan pada Bahan dan Metode, dapat dihitung ambang ekonomi ulat grayak dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Ambang perolehan
          (Rp 29.250,00/ha)
     = ------------------------  = 34,412 kg/ha
            (Rp 850,00/kg)
2. Persentase kehilangan hasil untuk ambang perolehan tersebut
          (34,412 kg/ha)
     = -------------------- =  x 100% = 2,294%
           (1.500 kg/ha)
3. Persamaan regresi hubungan antara tingkat populasi ulat dan persentase kehilangan hasil panen pada stadia V6-V7 hingga R5-R6, yaitu:
% kehilangan hasil panen = 0,002 + 5,310 (jumlah ulat/rumpun).
4. Ambang ekonomi ulat instar VI diperoleh dengan cara memasukkan nilai kehilangan hasil panen sebesar 2,294% (langkah 2) ke dalam persamaan regresi di atas (langkah 3) sebagai berikut:
2,294 = 0,002 + 5,310 (jumlah ulat/rumpun)
                                       2,294 - 0,002
    Jumlah ulat/rumpun = ------------------- = 0,432 ekor/rumpun.
                                             5,310
5. Ambang ekonomi kelompok telur
                  (0,432 ekor/rumpun)
     = -------------------------------------------  
          (3,9%)(316 butir telur/kelompok)
     = 0,035 kelompok telur/rumpun atau 1 kelompok telur/57 tanaman;
6. Ambang ekonomi ulat instar I
                                           (87%)
     = (0,432 ekor/rumpun) x ----------
                                           (3,9%)
     = 9,637 ekor/rumpun atau 58 ekor/12 tanaman;
    Ambang ekonomi ulat instar II
                                          (48,1%)
 = (0,432 ekor/rumpun) x ----------
                                       (3,9%)
 = 5,328 ekor/rumpun atau 32 ekot/12 tanaman;
    Ambang ekonomi ulat instar III
                                          (25,7%)
     = (0,432 ekor/rumpun) x ----------
                                           (3,9%)
     = 2,847 ekor/rumpun atau 17 ekor/12tanaman.
Penghitungan ambang ekonomi tersebut bersifat statik yang hasilnya berlaku untuk situasi harga pasar tertentu. Dengan berubahnya harga pasar, maka nilai ambang ekonomi akan berubah pula. Untuk menentukan ambang ekonomi di suatu tempat, perlu diperoleh data sekunder mengenai besarnya biaya pengendalian dan harga kedelai pada saat itu. Dengan memasukkan komponen-komponen tersebut ke dalam langkah-langkah penentuan ambang ekonomi di atas, nilai ambang ekonomi baru dapat ditentukan.
Di dalam pengendalian hama terpadu, ambang ekonomi merupakan pedoman dasar yang pertama kali harus ditentukan sebelum dilakukannya tindakan pengendalian hama dengan insektisida. Hal ini dimaksudkan agar pengendalian hama tidak mengakibatkan kerugian, baik secara ekonomi maupun ekologi. Dengan berpegang pada prinsip pengendalian hama sedini mungkin, pengendalian ulat grayak dengan insektisida harus dilakukan pada saat ulat mencapai instar I, II, atau III, yaitu instar ulat yang rentan terhadap insektisida (4), masing-masing sebanyak 58, 32, dan 17 ekor/12 tanaman. Pengendalian dapat juga dilakukan setelah 2-4 hari sejak ditemukannya populasi telur sebanyak 1 kelompok telur/57 tanaman.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ambang ekonomi ulat grayak pada tanaman kedelai varietas Orba di daerah Mojosari, Jawa Timur pada MK 1987, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kerusakan daun akibat infestasi ulat menurunkan komponen hasil dan hasil panen. Tingkat penurunan komponen hasil dan hasil panen antara stadia V6-V7 hingga R5-R6 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
2. Tanaman kedelai mampu mentoleransi kerusakan daun sebesar 25-32% pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 yang diakibatkan oleh infestasi ulat sebanyak 1 ekor/rumpun.
3. Kehilangan hasil panen kedelai ditentukan oleh berkurangnya jumlah polong, jumlah biji, dan bobot 100 biji akibat infestasi ulat.
4. Dengan perkiraan biaya pengendalian sebesar Rp 29.250,00/ha dan harga kedelai sebesar Rp 850,00/kg, maka nilai ambang ekonomi ulat grayak adalah 1 kelompok telur/57 tanaman atau setara dengan 58 ekor ulat instar I, 32 ekor ulat instar II, dan 17 ekor ulat instar III tiap 12 tanaman (1 m baris = 12 tanaman).
5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada berbagai musim tanam dan lokasi untuk menentukan ambang ekonomi ulat grayak yang lebih tepat, sederhana dan mudah dipraktekkan.

PUSTAKA

1. Ferro, D.N., B.J. Morzuch, and D. Margolies. 1983. Crop loss assessment of the Colorado potato beetle (Coleoptera: Chrysomelidae) on potatoes in Western Massachusetts. J. Econ. Entomol. 76:349-356.
2. Hanway, J.J. and H.E. Thompson. 1967. How a soybean plant develops. Special Report 53. Iowa State University of Science and Technology Cooperative Extension Service. Ames, Iowa. 18 p.
3. Horsfall, J.G. and A.E. Dimond. 1959. Plant pathology, an advanced treatise. Academic Press, New York and London. 1: 99-142.
4. Laba, I.W. dan D. Soekarna. 1986. Mortalitas larva ulat grayak (Spodoptera litura F .) pada berbagai instar dan perlakuan insektisida pada kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. I (Palawija): 64-68.
5. Newsom, L.D., M. Kogan, F.D. Miner, R.L. Rabb, S.G. Turnipseed, and W.H. Whitcomb. 1980. General accomplishments toward better pest control in soybean, pp. 51-97. In C.B. Huffaker (ed.). New technology of pest control. John Wiley and Sons, New york.
6. Stone, J.D. and L.P. Pedigo. t972. Development and economic injury level of the green cloverworm on soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.
7. Sumarno dan Harnoto. 1983. Kedelai dan cara bercocok tanamnya. Puslitbangtan, Bogor. 53 p.
8. Tengkano, W. and T. Sutarno. 1982. Influence of leaf attack at generative stage on yield of Orba soybean variety. Penelitian pertanian. 2(2): 51-53.
9. Turnipseed, S.G. 1972. Response of soybeans to foliage losses in South Carolina. J. Econ. Entomol. 65: 224-229.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar