Arifin, M. dan Eliyanti. 1997. Kerentanan ulat grayak terhadap insektisida monokrotofos yang dikombinasikan dengan virus nuclear-polyhedrosis pada tanaman kedelai, pp. 42-51. Dalam Kumpulan Makalah IV: Hortikultura, Palawija dan Kesehatan. Kongres Entomologi IV. Yogyakarta, 28-30 Januari 1992. PEI.
Muhammad Arifin1 dan Eliyanti2
1 Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor
2 Alumnus Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
Sifat kerentanan ulat grayak terhadap insektisida monokrotofos yang dikombinasikan dengan virus nuclear-polyhedrosis (SlNPV) kedelai pada tanaman dievaluasi di rumah kaca dan laboratorium Balittan Bogor darl bulan Januari hingga April 1991. Berbagai kombinasi konsentrasi insektisida dan SlNPV diaplikasikan ke suatu populasi ulat grayak. Kombinasi insektisida dengan konsentrasi 1,3 ml/l dan SlNPV dengan konsentrasi 1,74 X 103 PlBs/ml dapat digunakan untuk mengendalikan ulat grayak. Nilai LC80 insektisida monokrotofos yang dikombinasikan dengan SlNPV dengan konsentrasi 1,74 x 103 PIBs/ml untuk ulat instar III, IV, dan V, masing-masing sebesar 0,5; 0,6; dan 1,3 ml/l.
ABSTRACT
Susceptibility of the cutworm to monocrotophos insecticide combined by a nuclear-polyhedrosis virus (SlNPV) on soybean was evaluated in the greenhouse and laboratory of BORIF Bogor from January to April 1991. Different combinations of insecticide and SlNPV concentrations were applied to a larval population of the cutworm. A combination of insecticide concentrated 1.3 ml/l and SlNPV concentrated 1.74 x 103 PIBs/ml was effective to control the cutworm. LC80 values for monocrotophos insecticide combined by SlNPV concentrated 1.74 x 103 PlBs/ml against third, fourth, and fifth instar larvae were 0.5; 0,6; and 1.3 ml/l, respectively.
PENDAHULUAN
Ulat grayak Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan salah satu serangga pemakan daun yang berstatus hama penting pada tanaman kedelai di Indonesia. Hama ini umumnya dikendalikan dengan insektisida yang diaplikasikan secara intensif sehingga seringkall menimbulkan dampak negatif, antara lain gejala resistensi terhadap insektisida, khususnya diazinon dan karbaril (3). Kenyataan tersebut mendorong dilakukannya penelitian untuk mencari alternatif baru pengendalian, antara lain dengan memanfaatkan patogen yang telah terbukti mampu mengatasi masalah keresistensian hama terhadap insektisida (6).
Virus Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis (SlNPV) dengan nama ilmiah Borrelinavirus litura (Virales, Borrelinaceae) merupakan salah satu patogen pada ulat grayak. Sifat kerentanan ulat grayak terhadap SlNPV ditunjukkan oleh nilai LC50 dan LC90 SlNPV untuk ulat instar III, masing-masing sebesar 5,4 x 103 dan 4,1 x 105 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml (2).
Di dalam sistem pengelolaan hama, NPV dapat diaplikasikan secara tunggal, sebelum, setelah atau dikombinasikan dengan insektisida. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa NPV yang dikombinasikan dengan beberapa jenis insektisida, antara lain methyl parathion dapat digunakan untuk mengendalikan ulat Heliothis zea (5). Hal ini membuktikan adanya sifat kompatibilitas antara NPV dan insektisida.
Mengingat peluang SlNPV dalam mengendalikan ulat grayak dan sifatnya yang kompatibel dengan insektisida, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengevaluasi tingkat kerentanan ulat grayak terhadap berbagai kombinasi konsentrasi SlNPV dan salah satu jenis insektisida yang dianjurkan, yakni monokrotofos.
BAHAN DAN METODA
Percobaan dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Pangan (Balittan) Bogor dari bulan Januari hingga April 1991, terdiri atas 2 unit, yakni di rumah kaca dan laboratorium.
Percobaan Rumah Kaca
Percobaan dimaksudkan untuk nengevaluasl pengaruh berbagai kombinasi konsentrasi SlNPV dan insektisida tarhadap kematian ulat. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok yang disusun secara faktorial. Ada dua faktor perlakuan, yakni konsentrasi SlNPV dan insektisida. Perlakuan konsentrasi SlNPV terdiri atas 4 taraf, yakni 0 (kontrol), 1,74 x 103; 1,74 x 105; dan 1,74 x 107 PIBs/ml, sedangkan perlakuan konsentrasi insektisida terdiri atas 2 taraf, yakni 0 dan 4 ml/l (konsentrasi anjuran). Tiap perlakuan diulang 10 kali.
Kombinasi SlNPV dan insektisida dengan konsentrasi yang sesuai dengan perlakuan, disemprotkan ke tanaman kedelai stadium pembungaan yang ditumbuhkan di dalam pot sebanyak 50 ml/m2 (1 m2= 15 rumpun). Setelah kering angin, ulat instar III awal diinfestasikan ke tanaman sebanyak 5 ekor/rumpun kemudian tanaman dlsungkup dengan kurungan plastik. Ulat yang mati dicatat setiap hari dan ditentukan sebab kematiannya di bawah mikroskop dengan perbesaran 600 kali.
Tolok ukur percobaan terdiri atas (a) tingkat kematian ulat dan (b) lama kehidupan ulat sejak diaplikasi SlNPV hingga mati. Kematian ulat karena NPV untuk masing-masing perlakuan dikoreksi dengan formula Abbott (1) sebagai berikut:
p - C
P = ------------
100 - C
P = persentase kematian ulat karena SlNPV;
p = persentase kematian ulat pada perlakuan;
C = persentase kematian ulat pada kontrol.
Percobaan Laboratorium
Percobaan dimaksudkan untuk nenentukan nilai LC80 insektisida monokrotofos yang dikombinasikan dengan SlNPV dengan konsentrasi 1,74 X 103 PIBs/ml terhadap ulat grayak pada berbagai instar. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 6 taraf perlakuan konsentrasi insektisida di bawah dosis anjuran, yakni 0,5; 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; dan 3,0 ml/l. Tiap perlakuan diulang 12 kali.
Kombinasi SlNPV dan insektisida dengan konsentrasi yang sesuai dengan perlakuan, disemprotkan ke tanaman kedelai sebanyak 50 ml/m2. Setelah kering angin, daun dipetik kemudian dipakankan ke ulat instar III, IV, dan V, masing-masing sebanyak 5 ekor di dalam wadah plastlk. Setelah 48 jam, ulat dipelihara secara individual dengan daun segar. Penggantian daun dengan cara yang sama dilakukan setiap 24 jam. Kematian ulat diamati setiap hari. Data yang terkumpul diproses dengan metode analisis probit seperti yang dikemukakan oleh Finney (4).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan Rumah Kaca
Kematian kumulatif ulat instar III setelah diaplikasi dengan berbagai perlakuan kombinasi SlNPV dan insektisida disajikan pada Tabel 1. Perlakuan SlNPV tanpa insektisida dengan konsentrasi 1,74 X 103 PlBs/ml menyebabkan kematian ulat yang relatif rendah, yakni sekitar 40% sehingga dinyatakan kurang efektif, tetapi apabila dikombinasikan dengan insektisida dengan konsentrasi 4 ml/l nenyebabkan kematian ulat sekitar 100% sehingga dinyatakan efektif.
Di dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu, tujuan pengendalian tidak untuk memusnahkan populasi hama sasaran, tetapi untuk menurunkan kemudian mempertahankan populasi hama tersebut pada tingkat yang tidak membahayakan tanaman. Untuk nencapai tujuan tersebut, efektivitas suatu cara pengendalian yang dianjurkan adalah sebesar 80% (8).
Saat kematian ulat pada berbagai perlakuan kombinasi SlNPV dengan konsentrasi 1,74 X 103 PIBs/ml dan insektisida dengan konsentrasi 4 ml/l disajikan pada Gambar 1. Kematian ulat yang diakibatkan oleh insektlsida mulai terjadi pada 1 hari setelah aplikasl, sedangkan yang diakibatkan oleh SlNPV mulai terjadi pada 5 hari setelah aplikasi.
Kematian ulat akibat NPV terjadi tldak seketika pada saat aplikasi dilakukan karena di dalam tubuh ulat berlangsung proses biologis yang membutuhkan waktu beberapa hari sejak terjadinya infeksi virus hingga ulat mati (9). Jadi, berbeda dengan insektisida yang cepat terlihat hasilnya, SlNPV baru tampak pada beberapa hari setelah aplikasi.
Di dalam penelitian ini, kematian ulat yang diakibatkan oleh semua perlakuan kombinasi SlNPV dan insektisida melebihi 80% (Tabel 1). Oleh karena ltu, konsentrasl insektisida yang akan digunakan untuk mengendalikan ulat grayak harus diencerkan.
Percobaan Laboratorium
Kematian kumulatif ulat instar III, IV, dan V pada berbagai konsentrasi insektisida yang dikombinasikan dengan SlNPV dengan konsentrasi 1,74 x 103 PIBs/ml disajikan pada Tabel 2. Ada perbedaan respons berbagai instar ulat terhadap kombinasi SlNPV dan insektisida; makin bertambah instar ulat, makin tahan terhadap kombinasi SlNPV dan insektisida.
Faktor yang mempengaruhi perbedaan sifat ketahanan ulat pada berbagai instar terhadap insektisida, antara lain sifat permeabilitas kutikula. Ulat instar tua memiliki kutikula yang kurang permeabel sehingga mengurangi daya tembus insektisida kontak. Di samping itu, ulat instar tua memiliki bobot tubuh yang lebih berat, tetapi kemampuan makannya per satuan bobot yang sama lebih rendah (7) sehingga banyaknya insektisida yang tertelan lebih sedikit daripada ulat instar muda.
Faktor yang mempengaruhi perbedaan sifat ketahanan ulat pada berbagai instar terhadap SlNPV, antara lain banyaknya polyhedra yang tertelan. Ulat instar muda memiliki kemampuan makan per satuan bobot yang lebih tinggi (7) sehingga banyaknya polyhedra yang tertelan lebih banyak jika dibandingkan dengan ulat instar muda. Di samping itu, laju pertumbuhan sel, terutama yang rentan terhadap SlNPV, yakni sel darah, badan lemak, matriks trakea, dan hipodermis (9) pada ulat instar muda lebih tinggi dari pada ulat instar tua.
Mengingat bahwa ulat instar muda lebih permeable terhadap insektisida, kemampuan makan per satuan bobot dan laju pertumbuhan sel lebih rendah daripada ulat instar tua, maka ulat instar muda lebih rentan terhadap insektisida dan SlNPV daripada ulat instar tua.
Model penentuan LC80 yang dikombinasikan dengan SlNPV dengan konsentrasi 1,74 X 103 PIBs/ml pada berbagai instar ulat disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan tingkat kematian efektif 80% atau setara dengan tingkat kematian probit 5,84. LC80 insektisida untuk ulat instar III, IV, dan V, berturut-turut sebanyak 0,5; 0,6; dan 1,3 ml/l. Khusus untuk SlNPV, hasil penelitian tersebut relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penemuan sebelumnya yang menyatakan bahwa LC80 SlNPV untuk instar III, IV, dan V, berturut-turut sebesar 9,3 X 104; 8,3 X 105; dan 5,1 X 106 PIBs/ml (2), hanya saja pada penelitian ini untuk mencapai tingkat kematian 80% diperlukan tambahan insektisida sebanyak 0,5; 0,6; dan 1,3 ml/l, berturut-turut untuk ulat instar III, IV, dan V.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka SlNPV dengan konsentrasi 1,74 X 103 PlBs/ml yang dikombinasikan dengan insektisida dengan konsentrasi 1,3 ml/l dinyatakan efeklif terhadp ulat instar III hingga V, sedangkan yang dikombinasikan dengan insektisida dengan konsentrasi 0,5 ml/l meskipun efektif terhadap ulat instar III, tetapi kurang efektif terhadap ulat instar IV dan V. Oleh karena umur ulat di pertanaman sifatnya beragam, maka SlNPV dengan konsentrasl 1,74 x 103 PIBs/ml yang dikombinasikan dengan insektisida dengan konsentrasi 1,3 ml/l layak digunakan untuk mengendalikan ulat grayak.
Di dalam sistem pengelolaan hama, SlNPV dapat digunakan, baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan insektisida. SlNPV yang dikombinasikan dengan insektisida manokrotofos telah terbukti lebih efektif jika dibandingkan dengan SlNPV dan insektisida yang digunakan secara tunggal. Hal ini disebabken oleh pengaruh penambahan (additive), kerjasama synergistic, atau peningkatan kemampuan (potentiating) dari 2 faktor kematian. Sifat kompatibilitas SlNPV dengan insektisida tersebut memberikan peluang besar bagi usaha mengatasi keresistensian ulat grayak terhadap insektisida. Oleh karena itu, disarankan untuk menguji efektivitas kombinasi SlNPV dan insektisida terhadap berbagai koloni ulat grayak yang diduga resisten terhadap insektisida.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Konsentrasi SlNPV 1,74 X 103 PIBs/ml mengakibatkan kematian ulat instar III sebesar 40%, tetapi apabila dikombinasikan dengan insektisida dengan konsentrasi 4 ml/l mengakibatkan kematian sebesar 100%.
2. Awal kematian ulat akibat SlNPV terjndi pada 5 hari setelah tanam, sedangkan akibat insektisida terjadi pada 1 hari setelah tanam.
3. Nilai LC80 insektisida monokrotofos yang dikombinasikan dengan SlNPV dengan konsentrasi 1,74 x 103 PIBs/ml untuk ulat instar III, IV, dan V, masing-masing sebesar 0,5; 0,6; dan 1,3 ml/l.
4. SlNPV dengan konsentrasi 1,74 x 103 PIBs/ml yang dikombinasikan dengan insektisida monokrotofos dengan konsentrasi 1,3 ml/l dapat digunakan untuk mengendalikan ulat grayak pada tanaman kedelai.
PUSTAKA
1. Abbott, W.S. 1925. A method of computing the effectiveness of an insecticide. J. Econ. Entomol. 18: 265-267.
2. Arifin, M dan W.I.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap nuclear-polyhedrosis virus, pp. 74-78. Dalam M. Syam dan Yuswadi (Eds.). Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Vol. 1 (Palawija). Puslitbangtan, Bogor.
3. Endo, S., Sutrisno, I M. Samudra, A. Nugraha, J. Soejitno, dan T. Okada. 1988. Insecticide susceptibility of Spodoptera litura F. collected from three locations in Indonesia. Seminar at BORIF, 24 June 1988. 18 p.
4. Finney, D.J. 1971. Probit analysis. Cambridge University Press, London. 328 p.
5. Ignoffo, C.M. dan E.L. Montoya. 1966. The effects of chemical insecticides and insecticidal adjuvants of a Heliothis NPV. J. Invertebr. Pathol. 8: 409-412.
6. Jaques, R.P. dan O.N. Morris. 1981. Compatibility of pathogens with methods of pest control and with different crops, pp. 695-717. Dalam H.D. Burges. Microbial control of pests and plant diseases 1970-1980.
7. Laba, I W. dan D. Soekarna. 1986. Mortalitas larva ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada berbagai instar dan perlakuan insektisida pada kedelai, pp. 64-68. Dalam M. Syam dan Yuswadi (Eds.). Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Vol. 1 (Palawija). Puslitbangtan, Bogor.
8. Mumford, J.D. and G.A. Norton. 1984. Economic of decision making in pest management. Ann. Rev. Entomol. 29: 157-174.
9. Steinhaus, E.A. 1949. Principles of insect pathology. McGraw-Hill Book Company, Inc., New York. 757 p.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar