Arifin, M. dan D. Nuzullianti. 1999. Keefektifan bioinsektisida NPV pada berbagai macam bahan perangsang makan terhadap ulat grayak kedelai, Spodoptera litura (F.), pp. 63-70. Dalam Delita et al. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik Fakultas Pertanian Universitas IBA. Palembang, 30 Oktober 1999. Percetakan Universitas Sriwijaya.
Muhammad Arifin1 dan Desti Nuzullianti2
1 Staf Paneliti Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor
2 Alumnus FMIPA Universitas Pakuan, Bogor
ABSTRACT
Effectiveness of A NPV Bioinsecticide at Different Kinds of Feeding Stimulant against Soybean Cutworm, Spodoptera litura (F.). Nuclear-polyhedrosis virus (NPV) is one of insect pathogens that have a high potency to be developed as an effective bioinsecticide. An experiment has been conducted in a laboratory to find out kinds and concentrations of feeding stimulants as additive materials of NPV bioinsecticide that effective to soybean cutworm. The experiment used a completely randomized design arranged by factorial with 3 replications. First factor was 4 treatments of feeding stimulant material and second factor was 4 treatments of feeding stimulant concentration. Soybeans in pots were sprayed with a NPV bioinsecticide (at different treatment combinations) at a rate of 1.5 X 1011 polyhedra-inclusion bodies (PIBs)/ha and then infested by 25 third instar larvae in cages. After 48 hours, larvae were individually reared and fed by an artificial diet. Larval mortality was observed daily. Results indicated that the NPV enriched by 20% of molasses or sucrose was effective to soybean cutworm. The level of larval mortality was 73- 81%, initial larval mortality was occurred at 4 days after application and 70% of larval mortality was occurred at 9 days after application. It was suggested to use 20% of molasses-B as an additive material in making the NPV bioinsecticide.
Key Words: soybean, feeding stimulant; NPV; Spodoptera litura
ABSTRAK
Nuclear-polyhedrosis virus (NPV) merupakan salah satu patogen serangga yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida yang efektif. Suatu percobaan telah dilaksanakan di laboratorium untuk memperoleh macam dan konsentrasi bahan perangsang makan yang dapat meningkatkan keefektifan bioinsektisida NPV terhadap ulat grayak kedelai. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap yang disusun secara faktorial dengan ulangan 3 kali. Faktor pertama adalah 4 perlakuan bahan perangsang makan dan faktor kedua adalah 4 perlakuan konsentrasi perangsang makan. Tanaman kedelai dalam pot disemprot dengan bioinsektisida NPV (pada berbagai kombinasi perlakuan) pada dosis 1,5 X 1011 polyhedra-inclusion bodies (PlBs)/ha kemudian diinfestasikan 25 ekor ulat instar III dalam kurangan. Setelah 48 jam, ulat dipelihara secara individual dengan pakan buatan. Kematian ulat dicatat setiap hari. Hasil percobaan menunjukkan bahwa NPV yang diperkaya dengan molasis B 20% atau sukrose 20% efektif terhadap ulat grayak kedelai. Tingkat kematian ulat 73-81%, awal kematian ulat terjadi pada 4 hari setelah aplikasi, dan kematian ulat 70% terjadi pada 4 hari setelah aplikasi. Dianjurkan untuk menggunakan molasis-B 20% sebagai bahan aditif dalam pembuatan bioinsektisida NPV.
Kata Kunci: kedelai, perangsang makan, NPV, Spodoptera litura
PENDAHULUAN
Ulat grayak Spodoptera litura (F.) merupakan salah satu serangga berstatus hama penting pada kedelai. Hama tersebut umumnya dikendalikan dengan mengandalikan insektisida kimiawi, sehingga sering menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Cara tersebut dilakukan karena belum tersedia cara pengendalian lain yang efektif dan tidak berdampak negatif, misalnya pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami.
Di dalam sistem pengendalian hama terpadu (PHT), musuh alami berperanan penting untuk mengatur dan mempertahankan populasi hama di bawah tingkatan yang tidak merugikan tanaman. Di antara beberapa jenis musuh alami yang telah dikenal, nuclear-polyhedrosis virus (NPV) merupakan patogen yang berpotensi tinggi dan berpeluang besar untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida yang ramah lingkungan dan efektif.
Dalam upaya mengembangkan NPV sebagai bioinsektisida, (Arifin et al., 1995) telah berhasil memperbanyak NPV secara in vivo dengan inang aselinya, yaitu ulat grayak dan memformulasikannya dalam bentuk tepung (wettable powder) dengan bahan dasar laktosum dan talk. Keberhasilan tersebut belum optimal karena dosis NPV yang dinyatakan efektif masih relatif tinggi, yakni 1,5 X 1011 polyhedra inclusion badies (PIBs)/ha. Untuk mengefisienkan dosis NPV, Tanada dan Kaya (1993) mengemukakan perlunya NPV diperkaya dengan bahan perangsang makan (feeding stimulant). Hal tersebut dimaksudkan agar kemampuan makan ulat meningkat sehingga NPV yang tertelan lebih banyak dan peluang NPV menginfeksi ulat lebih besar. Bahan perangsang makan yang dipilih harus memenuhi dua syarat, yaitu (a) mendukung viabilitas, stabilitas, virulensi, dan efikasi NPV, dan (b) mudah bercampur dengan suspensi NPV dan mudah diaplikasikan (Couch dan Ignoffo, 1981).
Montoya et al. (1966) melaporkan bahwa beberapa macam tepung dari kacang hijau, tomat hijau, dan jagung merupakan perangsang makan yang cocok untuk meningkatkan keefektifan NPV terhadap ulat Heliothis zea dan H. virescens. Reed et al. (1973) juga melaporkan bahwa beberapa macam bahan karbohidrat, seperti madu, molasis, dan sukrose dapat meningkatkan aktivitas NPV, sehingga umum digunakan sebagai perangsang makan bagi serangga yang akan diinfeksi dengan NPV. Roome (1975) mengemukakan bahwa tingkat keefektifan NPV dosis 6 X 1011 PIBs/ha yang diperkaya dengan molasis terhadap ulat H. armigera pada sorghum dan kapas relatif sama dengan dosis 12 X 1011 PIBs/ha tanpa molasis.
Mengingat pentingnya mengefisienkan dosis NPV, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan memperoleh macam dan konsentrasi bahan perangsang makan yang dapat meningkatkan keefektifan NPV terhadap ulat grayak pada kedelai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat maryempurnakan teknik formulasi NPV sehingga bioinsektisida NPV yang diproduksi lebih berdaya guna dalam mengendalikan ulat grayak pada kedelai.
BAHAN DAN METODE
Pelitian ini dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Balitbio Bogor mulai September 1998 hingga Maret 1999 dengan 4 tahapan kegiatan, yaitu (1) pembiakan masal ulat grayak, (2) perbanyakan NPV, (3) penyediaan bioinsektisida NPV, dan (4) pengujian bioinsektisida NPV.
1. Pembiakan Masal Ulat Grayak
Ulat grayak dikoleksi dari daerah Bogor pada bulan Februari 1998 kemudian dibiakkan secara masal dan terus-menerus setiap bulan dengan pakan buatan menurut metode Okada dan Arifin (1982). Populasi ulat grayak yang dihasilkan dibagi menjadi dua kelompok; kelompok pertama (5%) digunakan untuk pembiakan selanjutnya, dan kelompok kedua (95%) untuk perbanyakan NPV.
2. Perbanyakan NPV
NPV yang diperoleh dari sediaan Baiitbio, diperbanyak dengan cara menginokulasikan suspensi NPV stok dengan konsentrasi 107 PIBs/ml (konsentrasi yang mematikan ppopulasi 100%) ke populasi ulat instar IV melalui pakan buatan. Ulat yang mati diekstraksi dan dimurnikan dengan menggunakan sentrifus menurut metode Arifin dan Waskito (1986). Endapan yang terjadi ditentukan konsentrasinya dengan menggunakan haemacytometer di bawah mikroskop cahaya perbesaran 400 kali dan distandarisasi pada konsentrasi 5,9 X 1010 PIBs/ml.
3. Penyediaan Bioinsektisida NPV
Bioinsektisida NPV yang akan diuji dalam penelitian ini mengandung gliserin, molasis-A, molasis-B, atau sukrose, masing-masing pada konsentrasi 0%, 10%, 20%, dan 40%. Sebanyak 1 ml suspensi NPV berkonsentrasi 3 X 109 PIBs/ml dicampur dengan perangsang makan dan tepung talk sehingga menghasilkan 10 g formulasi NPV. Untuk membuat formulasi NPV yang mengandung perangsang makan berkonsentrasi 0%, 10%, 20%, dan 40% dibutuhkan perangsang makan, berturut-turut 0, 1, 2, dan 4 g, dan tepung talk, berturut-turut lebih-kurang 9, 8, 7, dan 5 g. Bioinsektisida NPV pada keempat macam bahan dan keempat konsentrasi perangsang makan tersebut berkonsentrasi 3 X 108 PIBs/g.
4. Pengujian Bioinsektisida NPV
Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap yang disusun secara faktorial dengan ulangan tiga kali. Faktor pertama adalah bahan perangsang makan dengan empat perlakuan, yaitu gliserin, molasis-A, molasis-B, dan sukrose. Faktor kedua adalah konsentrasi perangsang makan dengan empat perlakuan, yaitu 0%, 10%, 20%, dan 40%.
Benih kedelai ditanam dalam pot sebanyak 48 buah pot dengan 3 batang/pot. Saat mencapai stadium pembungaan, tanaman disemprat dengan suspensi NPV pada berbagai kombinasi perlakuan (bahan dan konsentrasi perangsang makan), masing-masmg dengan dosis 500 g/ha (1,5 X 1011 PIBs/ha) dan volume semprot 1000 l/ha (setara dengan konsentrasi 1,5 X 105 PIBs/ml sebanyak 24 ml per 3 rumpun tanaman).
Ulat instar III berumur sehari (generasi F1 dari lapang yang dibiakkan dengan daun kedelai) sebanyak 25 ekor diinfestasikan ke tanaman kemudian tanaman disungkup dengan kurungan piastik. Setelah melalui masa inkubasi 48 jam ulat dipelihara secara individual dalam tabung plastik berdiameter 5 cm dan tinggi 7 cm. Pemeliharaan dilakukan dengan pakan buatan selama 12 hari. Pengamatan meliputi: kematian ulat dan waktu kematian ulat. Ulat yang mati dicatat setiap hari dan ditentukan sebab kematiannya di bawah mikroskop cahaya perbesaran 400 kali. Data diproses dengan analisis varians. Kombinasi perlakuan yang memberikan tingkat kematian ulat >70% dinyatakan efektif (Reynolds et al., 1975).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tingkat Kematian Ulat
Data tingkat kematian ulat setelah diaplikasi dengan NPV dosis 1,5 X 1011 PIBs/ha pada berbagai kombinasi perlakuan macam dan konsentrasi perangsang makan disajikan dalam Tabel 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kematian ulat dipengaruhi oleh macam dan konsentrasi perangsang makan. Peningkatan konsentrasi perangsang makan tidak selalu diikuti oleh meningkatnya kematian ulat. Tingkat kematian ulat tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi 20% (76,6%) kemudian diikuti oleh 40% (58,2%), 10% (57,4%), dan yang terendah pada 0% (33,8%). Pengaruh macam perangsang makan terhadap kematian ulat yang terbesar terjadi pada perlakuan sukrose (62,6%) kemudian diikuti oleh molasis-B (62,0%), molasis-A (51,2%), dan yang terendah pada gliserin (50,3%).
2. Pemilihan Macam dan Konsentrasi Perangsang Makan
Penilaian tingkat keefektifan NPV pada berbagai kombinasi perlakuan macam dan konsentrasi perangsang makan terhadap ulat grayak didasarkan atas hasil pengamatan kematian ulat setelah diaplikasi NPV. Secara umum dapat dikemukakan bahwa kematian ulat karena NPV tidak selalu diikuti oleh meningkatnya konsentrasi perangsang makan. Peningkatan kematian ulat terjadi pada konsentrasi perangsang makan 10% dan 20% (Tabel 1).
Tingkat kematian ulat karena NPV dipengaruhi oleh banyaknya polyhedra yang tertelan oleh ulat (Maddox, 1975). Dalam penelitian ini, perangsang makan mampu meningkatkan kemampuan makan ulat, sehingga polyhedra yang tertelan lebih banyak. Makin banyak polyhedra yang tertelan ulat makin besar pula peluang terjadinya infeksi sel-sel jaringan tubuh yang rentan, sehingga tingkat kematian ulat makin tinggi.
Di dalam konsep PHT, usaha mencegah terjadinya kerusakan ekonomi (economic damage) pada tanaman akibat serangan hama lebih diutamakan daripada memusnahkan hama tersebut. Sehubungan dengan hal itu, beberapa penulis mengemukakan bahwa keefektifan suatu cara pengendalian ditunjukkan oleh kemampuannya menurunkan populasi hama >70% (Reynolds et al., 1975). Berdasarkan ketentuan tersebut, di dalam penelitian ini ada 3 kombinasi perlakuan macam dan konsentrasi perangsang makan yang memungkinkan NPV efektif pada dosis 1,5 X 1011 PIBs/ha, yakni molasis-A, molasis-B, dan sukrose, masing-masing pada konsentrasi 20% (Tabel 1).
3. Waktu kematian ulat
Hasil pengamatan harian tingkat kematian ulat setelah diaplikasi dengan NPV dosis 1,5 X 1011 PIBs/ha pada berbagai perlakuan macam perangsang makan berkonsentrasi 20%, yaitu konsentrasi perangsang makan yang dinyatakan efektif disajikan pada Gambar 1. Awal kematian ulat terjadi pada 4 hari setelah aplikasi (hsa). Tingkat kematian ulat >70% pada perlakuan molasis-A 20%, molasis-B 20%, dan sukrose 20%, masing-masing terjadi pada 9 hsa, sedangkan pada perlakuan gliserin 20%, tidak terjadi. Hasil percobaan ini sesuai dengan pendapat Maddox (1975) dan Starnes et al. (1993) bahwa kematian ulat akibat NPV mulai terjadi pada 3-4 hsa, bergantung pada strain virus, jenis inang, stadia inang, banyaknya polyhedra, dan suhu.
Adanya kenyataan bahwa NPV berdaya bunuh lambat membawa konsekuensi kemungkinan terjadinya kerusakan daun. Menurut Tanada dan Kaya (1993), tingkat kerusakan daun karena NPV ditentukan oleh kemampuan makan, waktu kematian, dan banyaknya ulat yang mati. Makin banyak polyhedra yang tertelan ulat, makin besar peluang terjadinya infeksi, dan semakin cepat ulat mati. Apabila tingkat kematian ulat tinggi, maka total luas daun yang dimakan ulat berkurang, sehingga tingkat kerusakan daun menjadi rendah.
Terjadinya kerusakan daun akibat serangan ulat yang telah diaplikasi dengan NPV dapat dimengerti karena kematian ulat akibat NPV tidak terjadi seketika sebagaimana halnya dengan insektisida kimiawi. Hal ini karena di dalam tubuh ulat berlangsung proses biologis yang membutuhkan waktu beberapa hari, mulai NPV menginfeksi hingga ulat mati. Menurut Starnes et al. (1993), sifat NPV yang berdaya bunuh lambat ini dapat diatasi, antara lain dengan (a) menyisipkan gen-gen spesifik, misalnya gen dari Bacillus thuringiensis ke dalam genom NPV dengan teknik rekombinasi DNA, dan (b) menggunakan strain NPV yang lebih virulen. Apabila salah satu dari kedua cara tersebut dapat dilakukan, upaya mempercepat waktu kematian ulat akan bergantung pada kualitas formulasi dan teknik aplikasi NPV. Masalah sifat NPV yang berdaya bunuh lambat tersebut dapat juga diatasi dalam jangka pendek dengan mengkombinasikan NPV dan insektisida kimiawi yang kompatibel.
4. Pemanfaatan NPV sebagai Bioinsektisida
Umumnya, musuh alami dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama yang menjadi inangnya dengan dua pendekatan, yakni konservasi dan augmentasi. Pendekatan konservasi dilakukan dengan memanipulasi lingkungan dengan tujuan meningkatkan keefektifan musuh alami yang terjadi secara alamiah, sedangkan pendekatan augmentasi dilakukan dengan memperbanyak dan melepas musuh alami secara periodik untuk tujuan jangka panjang dalam program inokulasi atau jangka pendek dalam program inundasi. Khusus NPV untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai, pendekatan yang cocok adalah augmentasi untuk tujuan jangka pendek. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa NPV mudah inaktif karena sifatnya yang peka terhadap sinar surya dan kurang persisten karena ekosistem pertanian tanaman pangan selalu berubah dari musim ke musim. Selain dapat digunakan secara tunggal, NPV juga dapat dipadukan dengan taktik pengendalian lain, misalnya perangkap massal serangga dewasa, dan varietas tanaman tahan hama.
Mengingat bahwa NPV harus tertelan oleh hama serangga agar pengendalian menjadi efektif, dua faktor harus diperhatikan. Pertama, NPV harus diaplikasikan pada daur hidup hama atau tanaman seawal mungkin untuk meminimumkan kerusakan, dan kedua, hasii aplikasi harus konsisten dan seragam melindungi tanaman (Ignoffo, 1974). Di samping itu, aplikasi NPV sebaiknya dilakukan pada sore atau petang hari dan pada kondisi cuaca yang menguntungkan, mengingat sifatnya yang peka terhadap sinar surya, khususnya sinar ultra-violet, dan perilaku ulat yang aktif pada petang dan malam hari (Tanada dan Kaya, 1993).
NPV diaplikasikan dengan menggunakan peralatan dan teknologi sebagaimana yang digunakan untuk insekisida kimiawi. Untuk itu, dosis yang digunakan harus tepat untuk memperoleh hasil pengendalian yang efektif. Demikian pula ukuran lobang penyemprot harus diusahakan sekecil mungkin, sebaiknya menggunakan penyemprot ultra low volume (ULV) sehingga peluang NPV tertelan ulat menjadi besar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa NPV dosis 1,5 X 1011 PIBs/ha yang diperkaya dengan molasis 20% atau sukrose 20% bersifat efektif dan efisien sehingga cocok digunakan untuk mengendalikan ulat grayak pada kedelai. Aplikasi NPV pada kombinasi dosis dan bahan perangsang makan tersebut mengakibatkan tingkat kematian ulat 73-81% dan saat kematian ulat >70% terjadi pada 9 hsa.
Studi eksplorasi strain NPV yang lebih virulen perlu dilakukan dalam upaya mempercepat waktu kematian ulat. Demikian pula penelitian tentang teknik perbanyakan, pemformulasian, dan pengaplikasian NPV yang mudah, murah, dan efektif perlu terus dilanjutkan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto, dan A. Alwi. 1995. Keefektifan dan kompatibiiitas SlNPV dengan insektisida terhadap ulat grayak pada kedelai. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi XI. Depok, 24-27 Juli 1995. 8 p.
Arifin, M. dan W.I.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap nuclear polyhedrosis virus. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Puslitbangtan. Sukamandi, 16-18 Januari 1986. 1 (Palawija): 74-78.
Couch, T.L. and C.M. Ignoffo. 1981. Formulation of insect pathogens, p. 621-634. In H.D. Burges (Ed.). Microbial control of pests and plant diseases 1970-1980. Academic Press, New York.
Ignoffo, C.M. 1974. Microbial control of insects: viral pathogens, p. 541-557. In F.G. Maxwell and F.A. Harris (Eds.). Proc. Summer Institute on Biocontrol of Plant Insect and Dis. Univ. Press of Mississippi, Jackson.
Maddox, J.V. 1975. Use of diseases in pest management, p. 184-233. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to insect pest management. John Wiley & Sons, New York.
Montoya, E.L., C.M. Ignoffo, and R.L. McGarr. 1966. A feeding stimulant to increase effectiveness of and a field test with a nuclear-polyhedrosis virus of Heliothis. J. Invertebr. Pathol. 8: 320-374.
Okada, M. and M. Arifin. 1982. Comparative rearing test of the common armyworm, Leucania separata Walker on artificial diet and host plants, and patogenicity of LsNPV to the ccmmon armyworm. Research Report of Japan-Indonesia Joint Agricultural Research Project. pp. 207-215.
Reed, D.K., R.M. Hendrickson Jr., J.E. Rich. And J.G. Shaw. 1973. J. Invertebr. Pathol. 22: 182-185.
Roome, R.E. 1975. Field trials with a nuclear polyhedrosis virus and Bacillus thuringiensis against larvae of Heliothis armigera (Hb.) (Lepidoptera, Noctuidae) on sorghum and cotton in Botswana. Bull. Entomol. Res. 65: 507-514.
Reynolds, H.T., P.L. Adkisson, and R.F. Smith. 1975. Cotton insect pest management, p. 379-443. In R.L. Metcalf and W.F. Luckmann (Eds.). Introduction to insect pest management. John Wiley & Son, New York.
Starness, R.L., C.L. Liu, and P.G. Marrone. 1993. History, use, and future of microbial insecticides. American Entomologist. Summer: 83-91.
Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect pathology. Academic Press Inc., Toronto.
sangat berguna
BalasHapus