Arifin, M. 1993. Pengambilan keputusan pengendalian ulat grayak Spodoptera litura (F.) berdasarkan ambang ekonomi dan teknik penarikan contoh pada kedelai, pp. 49-84. Dalam M. Syam et al. (Eds.). Risalah Seminar Puslitbang Tanaman Pangan April 1992 - Maret 1993. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Muhammad Arifin
Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor
ABSTRACT
Control Decision Making for The common cutworm Population, Spodoptera litura (F.) Based on Control Threshold and Sampling Technique on Soybean. Control decision models for the cutworm population on soybean have been determined based on the experiments on the control threshold and sampling technique on soybean conducted from 1988 to 1989 at Pasuruan. Through these models, the cutworm population were sequentially sampling in an area of 0.1 ha with ninimum 7 units of sample and randomly determined based on diagonal lines of the area. Each sample unit consisted of one hill. Lower limit of the population (control decision was not necessary) and upper limit of the population (control decision was necessary) at V6-V7 was d= 1.3568 n ± 8.8807, at R1-R2 was d= 2.2314 n ± 13.3157, at R3-R4 was d= 2.2591 n ± 13.4564, and R5-R6 was d= 4.3188 n ± 23.9014, where d= cummulative number of larvae; n= number of samples observed; ± upper and lower of the model.
PENDAHULUAN
Hama merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan produksi kedelai. Ada 111 jenis serangga hama kedelai yang telah diketahui di Indonesia (Okada et al. 1988), beberapa di antaranya berstatus hama penting. Salah satu hama penting yang dapat mengakibatkan kehilangan hasil panen adalah pemakan daun yang dikenal sebagai ulat grayak, Spodoptera litura (F.).
Pengendalian ulat grayak umumnya masih mengandalkan insektisida yang diaplikasikan secara terjadwal pada tanaman berumur 20-65 hari setelah tanam dengan frekuensi 2 minggu sekali atau lebih tanpa memperhatikan keadaan populasi hama di lapang (Sumarno dan Harnoto 1983). Cara tersebut dilakukan, karena teknologi pengendalian hama yang didasarkan atas konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) belum tersedia secara mantap sehingga belum diterima dan diterapkan secara utuh oleh petani.
Dalam konsep PHT, pengendalian hama merupakan satu kesatuan sistem pengelolaan ekosistem pertanian dengan penekanan pada upaya memadukan secara optimal semua teknologi pengendalian hama yang cocok dan mendorong berfungsinya proses pengendalian alami yang mampu mempertahankan populasi hama pada tingkat keseimbangan yang rendah. Tujuannya adalah: (1) menurunkan status hama, (2) menjamin keuntungan pendapatan petani, (3) melestarikan kualitas lingkungan, dan (4) menyelesaikan masalah hama secara berkelanjutan (Pedigo dan Higley 1992).
Untuk menerapkan PHT seoptimal mungkin, diperlukan pengetahuan mengenai unsur dasar PHT yakni: (1) ekosistem, khususnya komponen ekosistem yang berperanan sebagai pengendali populasi hama secara alamiah; (2) biologi dan ekologi berbagai jenis organisme untuk menentukan peranan tiap jenis organisme tersebut dalam ekosistem; (3) batas toleransi tanaman terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan hama untuk mengusahakan agar populasi hama dapat dipertahankan tetap berada di bawah batas tersebut; dan (4) teknik pemantauan populasi hama serta komponen fisik dan biologis yang menentukan keberadaan dan mengatur kepadatan populasi hama. Keempat pengetahuan tersebut dipadukan dalam suatu kesatuan yang serasi agar produktivitas tanaman dapat dimaksimumkan dan ekosistem dapat diusahakan stabil.
Berdasarkan konsep PHT tersebut di atas, jelas bahwa pengendalian hama dengan insektisida yang diterapkan secara tunggal dengan prinsip preventif dan terjadwal merupakan cara yang tidak efisien dan dapat mengakibatkan ketimpangan interaksi di antara komponen ekosistem. Oleh karena itu perlu dicari dasar penggunaan insektisida yang rasional, baik ditinjau dari segi ekonomi maupun ekologi. Pengendalian hama dengan insektisida dibenarkan apabila dari segi ekonomi, manfaat yang diperoleh sekurang-kurangnya sama dengan biaya pengendalian hama dan dari segi ekologi, apabila komponen ekosistem, baik fisik maupun biologis, tidak mampu menekan populasi hama dan mempertahankannya pada tingkat keseimbangan yang rendah. Kedua dasar penggunaan insektisida tersebut melahirkan gagasan tentang konsep ambang ekonomi (AE) atau economic threshold, yakni tingkat kepadatan populasi hama yang harus segera dikendalikan agar populasi hama tidak mencapai tingkat yang merugikan tanaman (Stern et al. 1959). Jadi, AE merupakan konsep yang dikembangkan oleh para pakar sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian hama dengan insektisida secara rasional.
Untuk menentukan apakah populasi hama telah melampaui AE, maka harus dilakukan kegiatan pemantauan secara berkala terhadap populasi hama, populasi musuh alami, kondisi pertanaman, dan iklim. Hal ini dimaksudkan agar populasi hama tidak terlambat dikendalikan. Dalam kegiatan pemantauan tersebut, kepadatan populasi hama yang dikategorikan layak dikendalikan ditentukan dengan teknik penarikan contoh beruntun (sequential sampling) berdasarkan pola sebaran populasi, data AE, dan tingkat risiko kesalahan dalam pengambilan keputusan pengendalian (Shepard 1980).
Di dalam makalah ini diketengahkan suatu hasil rekayasa penulis mengenai metode pemantauan dan pengambilan keputusan pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai berdasarkan hasil penelitian mengenai AE dan teknik penarikan contoh populasi ulat grayak selama tahun 1988-89 di Pasuruan, Jawa Timur. Hasil rekayasa ini diharapkan menjadi pedoman bagi petani dalam mengendalikan ulat grayak pada tanaman kedelai dengan insektisida secara bijaksana.
BIOLOGI ULAT GRAYAK
Perikehidupan
Ulat grayak, Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera, Noctuidae) memiliki ciri khas, yakni terdapatnya dua buah bintik hitam berbentuk bulan sabit pada tiap ruas abdomen, terutama ruas keempat dan kesepuluh, yang dibatasi oleh garis-garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur sepanjang badan (Kalshoven 1981).
Perkembangan ulat grayak bersifat metamorfosis sempurna, terdiri atas stadia telur, ulat, kepompong, dan ngengat. Setelah telur menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, ulat tersebut berpencaran. Stadium ulat terdiri atas enam instar dan berlangsung selama 14 hari. Ulat tua bersembunyi di dalam tanah pada siang hari dan giat menyerang tanaman pada malam hari. Ulat berkepompong di dalam tanah tanpa membuat kokon. Stadium kepompong dan ngengat masing-masing berlangsung selama 8 dan 9 hari. Ngengat betina meletakkan telur selama 7 hari dengan masa prapeneluran lebih kurang sehari. Telur diletakkan berkelompok dan ditutupi oleh bulu-bulu halus berwarna coklat kemerahan. Produksi telur terbanyak terjadi pada peneluran hari kedua, yakni 466 butir per ngengat. Banyaknya telur rata-rata yang diletakkan tiap individu ngengat betina sepanjang hidupnya 1413 butir, tersusun atas 5,3 kelompok telur dan 267 butir telur per kelompok. Stadium telur berlangsung selama 3 hari. Daur hidup ulat grayak dari telur ke telur berlangsung selama 28 hari, sedangkan panjang hidup dari telur hingga ngengat mati berlangsung selama 36 hari, lihat Gambar 1 (Arifin 1993).
Perkembangan ulat grayak mulai telur hingga ulat instar VI pada tanaman kedelai disajikan pada Gambar 2. Berawal dari 400-500 butir telur yang diinfestasikan ke tanaman, telur-telur yang menjadi ulat instar VI pada MK I dan II, masing-masing sekitar 7 dan 4% (Arifin 1993).
Nilai Ekonomis
Ulat grayak muda memakan daun sehingga bagian daun yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulangnya saja. Ulat tua merusak pertulangan daun sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan pada daun.
Ulat grayak memiliki kemampuan makan besar, yakni seluas 253 cm2 per ekor. Selama periode ulat instar VI yang berlangsung selama 3-4 hari, 2 ekor ulat dengan kemampuan makan daun seluas 186 cm2 mampu menghabiskan sebatang tanaman stadium vegetatif (V6) dan 10 ekor ulat mampu menghabiskan sebatang tanaman stadia pembentukan polong (R3-R4) seperti terlihat pada Gambar 3 (Arifin 1993).
Penelitian kerusakan tanaman kedelai oleh ulat grayak selama musim tanam 1980/81 di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa infestasi ulat mulai terjadi sekitar 25 hari setelah tanam. Infestasi tertinggi terjadi sekitar 60 hari setelah tanam (Djafar dan Saleh 1983).
Tingkat infestasi ulat grayak rata-rata tiap bulan pada tahun 1987 di seluruh Indonesia berkisar antara 10-40% (BPS 1988). Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat infestasi tertinggi terjadi dua kali dalam setahun; yang pertama, antara akhir Juli hingga awal Agustus atau kira-kira pada pertengahan musim kemarau dan yang kedua, antara awal hingga pertengahan November atau kira-kira pada awal musim hujan (Balittan Bogor 1985).
KEHILANGAN HASIL PANEN
Kehilangan hasil panen tanaman (yield loss) atau pertanaman (crop loss) didefinisikan sebagai perbedaan antara hasil panen yang dapat dicapai (attainable yield) dan hasil panen aktual (actual yield) pada skala lokal atau regional. Hasil panen yang dapat dicapai adalah hasil panen yang diperoleh bila tanaman ditumbuhkan di bawah kondisi optimal dengan menggunakan teknologi yang tersedia, dan sering diukur dalam petak percobaan yang relatif kecil. Kehilangan hasil panen, baik dalam skala lokal maupun regional, merupakan ukuran pengaruh suatu kendala terhadap hasil panen yang dapat dicapai.
Model Kurva Kerusakan
Pendugaan kehilangan hasil panen akibat infestasi hama didasarkan atas hubungan antara kepadatan populasi hama atau kerusakan tanaman akibat infestasi hama dan hasil panen. Hubungan tersebut dinyatakan dengan kurva kerusakan (damage curve) yang bersifat umum, seperti yang tampak pada Gambar 4 (Pedigo et al. 1986). Kurva umum tersebut terdiri atas beberapa bagian, masing-masing menggambarkan macam tanggapan yang berbeda, yakni:
x1 : Toleran – tanaman mampu mentoleransikan meningkatnya kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh infestasi hama sehingga tidak menurunkan hasil panen. Kurva kerusakannya bersifat mendatar dengan kemiringan garis regresi b yang konstan (b = 0).
x2 : Kompensasi berlebihan atau stimulasi – meningkatnya kerusakan tanaman menstimulasikan tanaman untuk meningkatkan hasil panen. Kurva kerusakannya bersifat nonlinier dengan kemiringan garis regresi yang positif (b > 0).
x2 : Kompensasi – meningkatnya kerusakan tanaman menurunkan hasil panen. Kurva kerusakannya bersifat nonlinier dengan kemiringan garis regresi yang negatif (b < 0).
x3 : Linieritas – meningkatnya kerusakan tanaman menurunkan hasil panen secara konstan. Kurva kerusakannya bersifat linier dengan kemiringan garis regresi yang negatif (b < 0).
x4 : Desensitisasi – meningkatnya kerusakan tanaman menurunkan hasil panen yang semakin berkurang. Kurva kerusakannya bersifat nonlinear dengan kemiringan garis regresi yang negatif (b < 0).
x5 : Kemampuan asli – meningkatnya kerusakan tanaman tidak menurunkan hasil panen. Kurva kerusakannya bersifat mendatar dengan kemiringan garis regresi yang konstan (b = 0).
Kurva umum tanggapan hasil panen terhadap kerusakan tanaman tersebut di atas tidak berlaku untuk semua jenis tanaman dan hama. Pada umumnya tanaman jarang memiliki tanggapan x2a, x4, dan x5. Hal tersebut disebabkan karena AE umumnya terjadi pada tingkat kerusakan yang berkaitan dengan tanggapan x1, x2, dan x3.
Percobaan di lapang tentang pengaruh infestasi ulat grayak terhadap hasil panen kedelai telah dilakukan pada MK 1988 di Pasuruan, Jawa Timur. Metode yang digunakan adalah infestasi berbagai kepadatan populasi ulat pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman kedelai di dalam kurungan (Arifin, 1993). Hasil percobaan menunjukkan bahwa potensi hasil panen kedelai Orba pada MK I dan II, masing-masing 8,96 dan 9,49 g/tanaman atau 2.240 dan 2.373 kglha. Hubungan antara populasi ulat dan hasil panen kedelai pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman dinyatakan dengan model umum kurva kerusakan yang bersifat nonlinier asimptotik sebagai berikut:
Y
y = --------------------------------------------------------
1 + exp (- exp [α + β exp {- √ (x + 0,1) } ] )
x = kepadatan populasi ulat (ekor/tanaman),
y = hasil panen dugaan (g/tanaman),
Y = hasil panen potensial (g/tanaman),
α dan β = parameter dugaan regresi.
Bentuk kurva kerusakan akibat infestasi ulat pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman untuk MK I dan II disajikan pada Gambar 5, sedangkan parameter dugaan model regresi disajikan pada Tabel 1.
Model kurva kerusakan pada stadia vegetatif akhir (V6-V7), pembungaan (R1-R2), pembentukan polong (R3-R4), dan pemasakan polong (R5-R6) diperiksa dengan menggunakan turunan kedua (second derivative) atau dy/dx dari hubungan antara hasil panen (y) dan kepadatan populasi ulat (x), seperti yang dikemukakan oleh Priyanto et al. (1992). Secara umum, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kurva kerusakan tersebut memiliki tipe gabungan antara kompensasi, linieritas, dan desensitisasi (Tabel 2). Kurva bertipe kompensasi menggambarkan laju penurunan hasil panen yang semakin bertambah dengan meningkatnya kepadatan populasi ulat, kurva bertipe linieritas menggambarkan laju penurunan hasil panen yang konstan dengan meningkatnya kepadatan populasi ulat, dan kurva bertipe desensitisasi menggambarkan laju penurunan hasil panen yang semakin berkurang dengan merringkatnya kepadatan populasi ulat (Pedigo et al. 1986).
Kemampuan tanaman kedelai mengkompensasi kerusakan daun akibat infestasi ulat grayak ditentukan oleh stadium pertumbuhan taraman. Kemampuan tersebut terjadi apabila tanaman stadia V6-V7, R1-R2, R3-R4, dan R5-R6 pada MK I diinfestasi ulat, masing-masing kurang dari 1,3; 2,3; 1,7, dan 3,0 ekor per tanaman, sedangkan pada MK II, masing-masing kurang dari 0,6; 1,8; 1,4, dan 3,8 ekor/tanaman, atau kalau dirata-ratakan, masing-masing kurang dari 1,9; 4,1; 3,1, dan 6,8 ekor per rumpun. Di atas kepadatan populasi tersebut, tanaman tidak mampu mengkompensasi kerusakan daun.
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa kemampuan tanaman mengkompensasi kerusakan daun terendah terjadi pada stadia V6-V7 kemudian diikuti oleh R3-R4 dan R1-R2, dan yang tertinggi terjadi pada stadia R5-R6.
Awal kurva kerusakan hubungan antara kepadatan populasi ulat dan hasil panen menunjukkan tipe kompensasi (Tabel 2) sehingga batas kerusakan (damage boundary) terjadi pada populasi 0 ekor per tanaman. Karena kepadatan populasi yang mengakibatkan kerusakan ekonomi (economic damage) terletak pada atau di atas batas kerusakan (Pedigo et al. 1986), maka nilai AE ulat grayak terletak pada daerah kompensasi dan bukan pada daerah linieritas.
Letak nilai AE di daerah kompensasi tergantung pada kesetaraan nilai antara kerusakan tanaman akibat infestasi ulat grayak dan biaya pengendalian (Stern et al. 1959). Apabila biaya pengendalian diketahui, maka nilai kerusakan tanaman yang setara dengan biaya pengendalian dapat pula diketahui. Karena letak nilai kerusakan tersebut di daerah kompensasi telah diketahui dan besarnya nilai sama dengan nilai AE, maka letak AE dapat ditentukan. Oleh karena itu, pendekatan linieritas untuk menentukan model kehilangan hasil panen dinyatakan tidak cocok, sehingga penentuan AE dengan cara mengekstrapolasikan model regresi yang bersifat linier tidak diperkenankan.
Model Kehilangan Hasil
Hubungan antara populasi ulat dan persentase kehilangan hasil panen kedelai pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman dinyatakan dengan model umum persamaan regresi yang bersifat norilinier asimptotik sebagai berikut:
x = kepadatan populasi ulat (ekor/tanaman),
y = persentase kehilangan hasil panen dugaan,
α dan β = parameter dugaan regresi
Angka 99,99 dan 0,01 merupakan konstanta yang dipilih sehingga model regresi dipenuhi. Jumlah kedua konstanta tersebut diinterpretasikan sebagai persentase kehilangan hasil maksimum yang mungkin terjadi.
Bentuk kurva kehilangan hasil panen akibat infestasi ulat pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman untuk MK I dan II disajikan pada Gambar 6, sedangkan parameter dugaan model regresi disajikan pada Tabel 3.
Berdasarkan kemiringan garis regresi, pengaruh infestasi ulat pada stadia V6-V7 terbesar, kemudian diikuti oleh stadia R3-R4 dan R1-R2, dan yang terkecil stadia R5-R6. Perbedaan pengaruh infestasi ulat tersebut disebabkan oleh tanggapan tanaman berupa kerusakan daun dan dampaknya terhadap hasil panen yang berbeda pada tiap stadium pertumbuhan tanaman.
Kerusakan daun akibat infestasi ulat pada stadia V6-V7 lebih tinggi karena pertumbuhan daun belum maksimum sehingga mengakibatkan kehilangan hasil panen yang lebih besar daripada stadia R1-R2 hingga R5-R6. Kerusakan daun pada stadia R1-R2 lebih tinggi daripada R3-R4, tetapi karena adanya kemampuan tanaman stadia R1-R2 menyembuhkan diri (recovery) (Rudd et al. 1980), maka kehilangan hasil panen pada stadia tersebut lebih rendah daripada stadia R3-R4. Kerusakan daun pada stadia R5-R6 lebih rendah daripada stadia V6-V7 hingga R3-R4 karena pertumbuhan daun telah melewati maksimum. Di samping itu, polongnya pun telah terisi meskipun belum sempurna. Oleh karena itu, kehilangan hasil panen pada stadia R5-R6 relatif rendah.
AMBANG EKONOMI
Faktor Pengendali Populasi Hama
Dalam suantu ekosistem pertanian, apabila komponen penyusunnya tidak mengalami perubahan yang permanen, maka populasi hama cenderung berfluktuasi di sekitar kedudukan keseimbangan umum (general equilibrium position), yakni kepadatan populasi hama rata-rata pada suatu periode waktu panjang tanpa adanya perubahan lingkungan yang permanen (Stern et al. 1959).
Fluktuasi populasi hama dalam keadaan seimbang diatur oleh faktor tergantung kepadatan (density-dependent factor), yakni faktor yang intensitas bekerjanya berubah-ubah menurut kepadatan populasi hama. Faktor tersebut memiliki sifat penekanan yang lebih ketat terhadap populasi hama ketika kepadatan populasinya tinggi dan peuekatun yang lebih longgar ketika kepadatan populasinya rendah.
Faktor tergantung kepadatan dibedakan menjadi dua kelompok, yakni (1) yang mekanisme kerjanya ditentukan oleh hubungan antara kepadatan populasi hama dan mortalitas oleh faktor tergantung kepadatan, terutama musuh alami hama seperti pemangsa, parasitoid, dan penyakit; apabila populasi hama meningkat, maka mortalitas yang disebabkan oleh bekerjanya musuh alami semakin meningkat, demikian pula sebaliknla; dan (2) yang mekanisme bekerjanya ditentukan oleh sifat kompetisi di antara individu hama untuk mendapatkan pakan, ruang, dan kawin; apabila populasi hama meningkat, maka kompetisi semakin kuat sehingga mortalitas hama semakin tinggi, dan demikian pula sebaliknya.
Usaha manusia mengubah lingkungan, misalnya dengan membentuk sistem pertanaman monokultur secara terus-neuerus dan tidak beraturan (staggered) dapat memberikan lingkungan yang menguntungkan bagi peningkatan populasi hama. Apabila musuh alami tidak dapat bekerja menurunkan populasi hama ke keadaan seimbaug, maka faktor seperti ketahanan varietas tanaman, teknik budi daya, iklim, dan insektisida dapat bertindak sebagai pengendali populasi hama. Karena bekerjanya tidak tergantung pada kepadatan populasi hama, maka faktor tersebut digolongkan sebagai faktor bebas kepadatan (density-independent factor).
Peranan kedua faktor pengendali kepadatan populasi hama tersebut di atas dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan populasi hama secara alamiah dalam jangka panjang. Usaha pemanfaatan tersebut dapat dilakukan dengan mengelola ekosistem sedemikian rupa sehingga menguntungkan musuh alami dan mampu mengendalikan populasi hama. Usaha tersebut dilakukan, antara lain dengan nengatur pola tanam dan menggunakan insektisida secara bijaksana berdasarkan kepadatan populasi hama. Dengan demikian akan selalu terjadi keadaan populasi hama yang secara dinamik berfluktuasi di sekitar kedudukan keseimbangan umum.
Pengendalian hama dengan insektisida dapat dibenarkan apabila populasi hama melampaui AE dengan mempertimbangkan keberadaan musuh alami hama tersebut di pertanaman. Dengan demikian, penggunaan insektisida dapat dikurangi sehingga memberikan peluang bagi musuh alami untuk berperan dalam mengatur populasi hama.
Konsep Ambang Ekonomi
Stern et al. (1959) mengemukakan bahwa tindakan pengendalian hama dilakukan dengan cara menurunkan kemudian mempertahankan populasi hama di bawah tingkat kerusakan ekonomi (TKE) atau economic injury level, yakni tingkat kepadatan populasi hama terendah yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi (econonic damage) pada tanaman. Kerusakan ekonomi adalah tingkat kerusakan tanaman yang pada tingkat tersebut pengeluaran biaya untuk pelaksanaan pengendalian hama dapat dibenarkan.
Agar pelaksanaan pengendalian pada TKE tidak terlambat karena adanya selang waktu antara saat ditemukamya populasi hama pada TKE dan saat pelaksanaan pengendalian hama, maka perlu dilakukan tindakan pengendalian sebagai pengamanan terhadap populasi hama yang cenderuug mengakibatkan kerusakan ekonomi pada tanaman. Tindakan pengamanan tersebut dimulai pada saat populasi hama telah melampaui AE, yakni tingkat kepadatan populasi hama yang harus segera dilakukan tindakan pengendalian untuk mencegah meningkatnya populasi hama mencapai TKE. Jadi, kedudukan AE lebih rendah daripada TKE. Pada Gambar 7 disajikan secara teoritis fluktuasi populasi hama dalam hubungannya dengan TKE, AE, dan kedudukan keseimbangan umum (Stern et al. 1959).
Menurut Mumford dan Norton (1984). konsep TKE yang dikemukakan oleh Stern et al. (1959) tersebut didasarkan atas prinsip titik impas (break-even point) pengendalian hama, yakni kesetaraan antara nilai kehilangan hasil yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dan biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian hama.
Konsep TKE dengan pendekatan prinsip titik impas juga dikemukakan oleh Headley (1975). Berbeda dengan konsep Stern et al. (1959) yang membedakan antara TKE dan AE, konsep Headley (1915) tidak membedakan antara TKE dan AE dengan menganggap bahwa saat ditemukannya populasi hama pada TKE dan saat aplikasi insektisida terjadi bersamaan waktunya. TKE atau AE didefinisikan sebagai kepadatan populasi hama terendah yang pada keadaan tersebut, nilai kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh populasi hama setara dengan biaya pengendalian. Definisi TKE tersebut diperielas dengan Gambar 8. Apabila pengendalian dilakukan pada P2, maka nisbah manfaat (M) atau nilai kerusakan tanaman yang akan diselamatkan setara dengan biaya pengendalian yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan tersebut (B), atau M/B = 1, sedangkan apabila pengendalian dilakukan pada P1, maka nisbah M/B < I , dan apabila pengendalian dilakukan pada P3, maka nisbah M/B > 1. Berdasarkan pengertian tersebut, pengendalian dapat dibenarkan apabila populasi hama telah mencapai P2 yang dinyatakan sebagai TKE. Ini berarti bahwa nilai kerusakan tanaman yang akan diselamatkan pada kepadatan populasi di atas atau di bawah TKE lebih besar atau lebih kecil daripada biaya pengendalian. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa TKE adalah batas kritis pengendalian hama karena manfaat yang diperoleh dari tindakan pengendalian setara dengan biaya pengendalian.
Sampai saat ini, prinsip titik impas pengendalian hama pada TKE tersebut di atas diikuti dan dikembangkan oleh para pakar sebagai kriteria penentuan keputusan saat pengendalian hama. Oleh karena TKE dianggap sama dengan AE, maka pengamat hama harus segera melakukan tindakan pengendalian apabila populasi hama telah mencapai TKE.
Penentuan Ambang Ekonomi
Keterangan tentang AE dapat diperoleh berdasarkan (1) data empiris setempat mengenai kepadatan populasi atau tingkat infestasi hama yang masih dapat ditoleransikan; (2) ketentuan yang telah digunakan di tempat atau negara lain untuk jenis hama dan tanaman yang sama; dan (3) hasil penelitian khusus (Untung 1992). Oleh karena itu, nilai AE suatu hama beragam menurut dasar perolehamya.
Nilai AE juga beragam menurut faktor yang mempengaruhinya, yaitu: (1) ekonomis, yakni biaya pengendalian dan harga komoditas tanaman; (2) biologis, yakni pertumbuhan tanaman dan populasi hama; serta (3) ekologis yang mempengaruhi tanaman dan populasi hama (Andow and Kiritani 1983).
Dengan demikian nilai AE tidak bersifat statis, tetapi dinamis yang berlaku pada waktu, tempat, dan kondisi ekosistem di mana nilai AE ditentukan. Oleh karena itu, nilai AE tidak harus diterapkan pada seluruh ekosistem di Indonesia, tetapi perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan berbagai keadaan komponen ekosistem yang beragam (Untung 1992).
Penghitungan AE ulat grayak didasarkan atas prinsip titik impas pengendalian hama, yakni kesetaraan nilai antara biaya pengendalian dan kehilangan hasil panen yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama. Urutan langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Penentuan ambang perolehan (gain threshold), yakni kehilangan hasil panen yang diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama, diperoleh dari rumus:
BP
AP = ----------
HK x E
AP = ambang perolehan (kg/ha),
BP = biaya pengendalian (Rp/ha),
HK = harga kedelai (Rp/kg),
E = efektivitas pengendalian (%).
2. Penentuan persentase kehilangan hasil panen untuk ambang perolehan (langkah 1), diperoleh dari rumus:
AP
KH = ------ x 100%
PH
KH = kehilangan hasil panen (%),
AP = ambang perolehan (kg/ha),
PH = potensi hasil panen di daerah serempat (kg/ha).
3. Penentuan persamaan regresi hubungan antara kepadatan populasi ulat grayak (x) dan persentase kehilangan hasil panen (y) pada berbagai stadia tanaman, diperoleh dari hasil percobaan mengenai kehilangan hasil panen kedelai akibat infestasi ulat grayak di lapang.
4. Penentuan AE ulat grayak instar VI, diperoleh dengan cara mensubstitusikan nilai y pada persamaan regresi (langkah 3) dengan nilai KH (langkah 2).
5. Penentuan AE ulat instar ke-i, diperoleh dari rumus:
Pi
AEi = AEVI -------
PVI
AEi = nilai AE ulat instar ke-i (ekor/tanaman),
AEVI = nilai AE ulat instar VI (ekor/tanaman),
Pi = persentase individu yang hidup sejak telur hingga ulat instar ke-i, dan
PVI = persentase individu yang hidup sejak telur hingga ulat irxtar VI.
Urutan langkah 1 dan 2 mengikuti metode Stone dan Pedigo (1972) dengan mempertimbangkan efektivitas pengendalian (Pedigo dan Higley 1992), sedangkan urutan langkah 3 hingga 5 merupakan hasil rekayasa penulis.
Data yang dibutuhkan dalam menghitung AE ulat grayak adalah: (1) persentase kehilangan hasil panen kedelai akibat infestasi ulat grayak pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman; data disajikan dalam bentuk persamaan regresi, seperti yang terlihat pada Gambar 6; (2) perkembangan ulat grayak mulai telur hingga ulat instar VI; data disajikan pada Gambar 2; (3) potensi hasil panen kedelai, yakni 2.240 dan 2.373 kg/ha, masing-masing untuk MK I dan II; (4) harga kedelai, yakni Rp 850 dan Rp 650 per kg, masing-masing untuk MK I dan II; (5) biaya pengendalian; data disajikan pada Tabel 4; dan (6) efektivitas pengendalian yang diinginkan, yakni 80%.
Hasil penghitungan nilai AE ulat grayak instar III (yang direkomendasikan layak untuk dikendalikan) pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman kedelai pada MK I dan II disajikan pada Tabel 5. Nilai AE tersebut di atas bersifat kurang dinamis karena hasilnya berlaku untuk situasi harga pasar tertentu. Dengan berubahnya harga pasar, maka nilai AE akan berubah pula. Untuk menentukan nilai AE yang lebih dinamis, diperlukan model persamaan regresi berganda dengan variabel biaya pengendalian dan harga kedelai seperti terlihat pada Tabel 6. Biaya pengendalian berkisar antara Rp 25.000 hingga Rp 50.000 per ha dan harga kedelai berkisar antara Rp 500 hingga Rp 1.000 per kg.
Berdasarkan Tabel 6 tersebut, nyatalah bahwa nilai AE berubah dengan berubahnya biaya pengendalian dan harga kedelai. Makin tinggi biaya pengendalian, makin besar nilai AE, tetapi makin tinggi harga kedelai, makin rendah nilai AE. Jadi, apabila biaya pengendalian pada V6-V7, R1-R2, R3-R4, dan R5-R6, masing-masing Rp 29.000; Rp 37.000; Rp 43.500, dan Rp 43.500 per ha dan harga kedelai Rp 750 per kg, maka nilai AE ulat grayak pada keempat stadia pertumbuhan tanaman tersebut, masing-masing 1,94; 3,20; 3,24, dan 6,21 ekor ulat instar III per rumpun (Gambar 9).
Ketentuan mengenai AE hama pemakan daun pada tanaman kedelai yang selama ini berlaku adalah sebesar kepadatan populasi hama yang setara dengan kerusakan daun 12,5% (Ditlintan 1989). Ketentuan tersebut diperoleh dari hasil penelitian Tengkano dan Sutarno (1982) di Bogor yang menunjukkan bahwa TKE hama pemakan daun kedelai Orba stadium reproduktif sebesar 12,5% kerusakan daun.
Di dalam menentukan TKE hama pemakan daun, Tengkano dan Sutarno (1982) menggunakan cara perompesan dengan pengguntingan daun pada berbagai tingkat kerusakan daun yang dilanjutkan dengan pengguntingan setiap daun yang baru tumbuh. Cara tersebut dibenarkan oleh para pakar karena mudah dilaksanakan, meskipun disadari lemah karena dinamika proses perompesan oleh pemakan daun tidak diperhitungkan (Ferro et al. 1983; Newson et al. 1980).
Menyadari kelemahan tersebut, dalam menentukan AE ulat grayak, penulis menggunakan cara infestasi ulat grayak pada berbagai tingkat kepadatan populasi. Cara tersebut menurut beberapa pakar, antara lain Hammond dan Pedigo (1982) lebih bersifat alami sehingga lebih tepat jika dibandingkan dengan cara perompesan.
TEKNIK PENARIKAN CONTOH
Teknik penarikan contoh populasi serangga ditujukan untuk dua alasan yang berbeda, yakni: (1) untuk menentukan apakah kepadatan populasi serangga berada di atas atau di bawah ambang ekonominya; keterangan yang diperoleh digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian; dan (2) untuk menduga kepadatan populasi serangga dalam penelitian dinamika populasi (Ruesink 1980).
Untuk menentukan apakah populasi hama telah melampaui AE, kegiatan pemantauan populasi harus dilakukan secara berkala. Umumnya, kepadatan populasi hama tidak ditentukan dengan menghitung banyaknya individu hama secara keseluruhan, tetapi dengan teknik penarikan contoh beruntun yang mengkategorikan kepadatan populasi hama berdasarkan AE.
Selain dipengaruhi oleh riilai AE, teknik penarikan contoh juga dipengaruhi oleh pola sebaran spasial populasi hama di lapang. Oleh karena itu, sebelum program penarikan contoh ditentukan, pola sebaran populasi hama harus diketahui terlebih dahulu.
Pola Sebaran Spasial Populasi Hama
Sebaran spasial populasi hama dibedakan menjadi tiga macam pola, yakni acak (random), seragam (regular), dan mengelompok (contagious). Pola sebaran acak terjadi apabila tiap unit contoh di pertanaman mempunyai peluang yang sama untuk ditempati oleh suatu individu. Apabila kehadiran suatu individu pada suatu unit contoh menurunkan peluang untuk ditempati oleh individu lain, maka pola sebarannya seragam, sedangkan apabila meningkatkan peluang untuk ditempati oleh individu lain, maka pola sebarannya mengelonpok (Ruesink 1980).
Umumnya peneliti mempertimbangkan dua pola sebaran, yakni acak dan mengelompok karena keduanya cukup memberikan gambaran tentang pola sebaran dari sebagian besar serangga pada tanaman kedelai (Rudd 1980).
Jika populasi serangga menyebar secara acak, banyaknya individu per unit contoh akan mengikuti sebaran statistik Poisson. Nilai rata-rata populasi (m) pada pola sebaran acak sama besarnya dengan varians populasi (s2). Jika populasi serangga menyebar secara mengelompok, banyaknya individu per unit contoh akan mengikuti sebaran statistik binomial negatif. Nilai m pada pola sebaran mengelompok lebih kecil daripada s2.
Percobaan tentang pola sebaran spasial populasi ulat grayak pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman kedelai telah dilakukan pada MK 1989 di Pasuruan dengan membagi lahan menjadi 100 buah petak, masing-masing berisi 98 rumpun. Pengamatan banyaknya telur, ular instar I-II, instar III-IV, dan instar V-VI dilkukan pada stadia V6-V7, R1-R2, R3-R4, dan R5-R6 sebanyak satu rumpun atau 2 tanaman secara acak di tiap petak (Arifin 1993).
Pola sebaran populasi ulat grayak ditentukan dengan menduga parameter sebaran binomial negatif 1/k berdasarkan rumus berikut (Bliss dan Owen 1958):
s2 - m
1/k = --------------
m2 - s2/n
1/k = parameter sebaran binomial negatif,
m = rata-rata populasi per unit contoh,
s2 = varians populasi,
n = banyaknya contoh.
Nilai 1/k > 0 ntenunjukkan bahwa sebaran populasi bersifat mengelompok,
1/k = 0 bersifat acak, dan 1/k < 0 bersifat seragam.
Cara ini umum digunakan dengan pertimbangan mudah diterapkan di lapang karena fungsi matematisnya sederhana dan dapat digunakan untuk program penarikan contoh pada waktu dan lokasi tunggal maupun majemuk.
Model pendugaan parameter 1/k diperiksa dengan menentukan batas kepercayaan atau confidence limit (CL) berdasarkan varians galatnya (V1/k) (Bliss and Owen 1958).
Data hasil penghitungan rata-rata populasi, varians, parameter sebaran 1/k, dan batas kepercayaannya pada berbagai stadia pertumbuhan ulat grayak dan stadia pertumbuhan tanaman kedelai disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan batas kepercayaan 1/k, terlihat bahwa populasi kelompok telur dan ulat instar V-VI rata-rata pada stadia V6-V7 hingga R5-R6 hampir sama dengan variansnya, dengan parameter sebaran 1/k mendekati nol, sedangkan populasi ulat instar I-II dan III-IV rata-rata lebih kecil daripada variansnya, dengan parameter sebaran 1/k > 0. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok telur dan ulat instar V-VI menyebar secara acak, sedangkan ulat instar I-II dan III-IV menyebar secara mengelompok.
Jadi, kelompok telur diletakkan tersebar secara acak di pertanaman mengikuti sebaran Poisson. Ini berarti bahwa setiap unit contoh di pertanaman memiliki peluang sama untuk ditempati oleh kelompok telur. Setelah telur menetas, ulat instar I berdiam diri dan makan di sekitar tempat kelompok telur diletakkan hingga mencapai instar IV saat pakannya habis. Oleh karena itu, ulat instar I-II dan III-IV tersebar secara mengelompok, mengikuti sebaran binomial negatif. Ini berarti bahwa setiap unit contoh di pertanaman meningkatkan peluang untuk ditempati oleh ulat instar I-II dan III-IV. Setelah mencapai instar V-VI, ulat memencar untuk mendapatkan pakan yang segar. Oleh karena itu, sebaran ulat instar V-VI bersifat acak.
Parameter sebaran 1/k ulat grayak pada berbagai instar ditentukan oleh kepadatan populasi rata-rata m dan varians populasi s2 (Tabel 7). Individu ulat grayak cenderung tersebar secara acak apabila kepadatan populasi dan varians populasinya relatif rendah, dan cenderung tersebar secara mengelompok apabila kepadatan populasi dan varians populasinya relatif tinggi. Tersebarnya populasi ulat grayak cenderung tidak berbeda nyata pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pola sebaran ulat grayak selain ditentukan oleh stadia serangga atau instar ulat, juga oleh kepadatanan varians populasi ulat grayak.
Berdasarkan pola sebaran populasi ulat grayak, pola penarikan contoh yang mempunyai tingkat kepercayaan tinggi dan efisien dapat ditentukan. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa apabila pola sebaran populasi bersifat acak, maka pola penarikan contohnya adalah acak sederhana, sedangkan apabila pola sebaran populasi bersifat mengelompok, maka pola penarikan contohnya adalah acak sepanjang garis diagonal lahan (Nishida dan Torii 1970; Pieters et al. 1974).
Nilai k besarnya beragam, tergantung pada tinggi rendahnya populasi sehingga sukar dijadikan pedoman untuk menduga populasi di lapang. Oleh karena itu harus ditentukan nilai k umum (ku) yang mewakili sederetan nilai k dengan syarat tidak ada korelasi antara k dan rata-rata populasi. Bliss dan Owen (1958) mengemukakan nilai 1/k umum sebagai berikut:
∑ wx2
ku = ------------
∑ wxy
x = m - s2/n ; y = s2 - m
0,5 (n - 1) k4
wx = --------------------------------------------------
[k (k + 1) - (2k - 1)/n - 3/n2] (m + k)2
Hasil analisis korelasi antara nilai 1/k dan kepadatan populasi rata-rata m untuk ulat grayak yang tersebar secara mengelompok mengikuti sebaran binomial negatif, yakni instar I-II dan III- IV pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman disajikan pada Gambar 10. Pada Gambar tersebut tampak bahwa korelasi antara nilai 1/k dan m pada ulat instar I-II bersifat nyata dengan koefisien korelasi r = 0,9941, sedangkan untuk ulat instar III-IV bersifat tidak nyata dengan nilai r = 0,4435.
Bliss dan Owen (1958) mengemukakan bahwa apabila korelasi antara nilai 1/k dan m bersifat nyata, maka tidak perlu ditentukan nilai 1/k umum, sedangkan apabila bersifat tidak nyata, maka perlu ditentukan nilai 1/k umum untuk mewakili semua nilai 1/k. Berdasarkan pendapat tersebut, maka nilai 1/k umum untuk populasi ulat grayak instar I-II tidak perlu ditentukan, sedangkan untuk instar III-IV perlu ditentukan. Hasil penghitungan nilai 1/k umum untuk ulat instar III-IV sebesar 2,5356 dengan kisaran antara 1,5138 hingga 3,5129.
Teknik Penarikan Contoh Beruntun
Dalam teknik penarikan contoh beruntun, keterangan tentang kepadatan populasi hama dikumpulkan dalam waktu singkat, dengan biaya rendah dan dengan tingkat kepercayaan yang diinginkan. Teknik ini berbeda dengan teknik yang konvensional karena banyaknya contoh yang diperlukan tidak konstan, tetapi beragam tergantung pada kepadatan populasi hama di lapang. Banyaknya contoh yang dibutuhkan pada kepadatan populasi tinggi atau rendah relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan kepadatan populasi sedang, yang berada di sekitar nilai AE.
Program penarikan contoh beruntun populasi ulat grayak pada kedelai disusun berdasarkan: (1) pola sebaran populasi hama, (2) nilai ambang ekonomi hama, dan (3) tingkat risiko terhadap keputusan pengendalian yang salah (Shepard 1980). Kedua persamaan berikut ini digunakan untuk membuat batas keputusan pengendalian hama (Waters 1954):
d1 = bn – h1 (batas aman; tidak perlu pengendalian)
d2 = bn + h2 (batas bahaya; perlu pengendalian)
d = banyaknya individu hama kumulatif,
b = kemiringan garis regresi,
n = banyaknya contoh yang diperiksa,
h = titik potong garis regresi pada sumbu y.
Rumus umum yang digunakan untuk menghitung nilai b, h1 dan h2 untuk populasi hama yang menyebar secara nengelompok adalah sebagai berikut:
q2
ln ----
q1
b = k ------------------
p2 q1
ln --------
p1 q2
β 1 – β
ln -------- ln --------
1 – α α
h1 = -------------------- ; h2 = -------------------
p2 q1 p2 q1
ln -------- ln --------
p1 q2 p1 q2
p1 = m1/k dan q1 = 1 + p1
p2 = m2/k dan q2 = 1 + p2
α = risiko salah terhadap anjuran bahwa populasi hama tidak perlu dikendalikan,
β = risiko salah terhadap anjuran bahwa populasi hama perlu dikendalikan,
m1 = kepadatan populasi hama tertinggi yang aman;
m2 = kepadatan populasi terendah yang bahaya.
Model penarikan contoh beruntun populasi ulat instar III pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman kedelai Orba disajikan pada Gambar 11 dan 12, serta Tabel 8 (Arifin 1993). Nilai α dan β ditentukan sebesar 0,2 sesuai dengan anjuran (Shepard 1980). Ini berarti bahwa hanya dua dari 10 kemungkirun mengandung risiko kesalahan dalam pengambilan keputusan pengendalian. Penentuan nilai risiko tersebut didasarkan atas tingkat keseriusan terhadap suatu keputusan yang diambil. Nilai m1 ditentukan sebesar setengah dari nilai AE, sedangkan nilai m2 ditentukan sebesar nilai AE, mengikuti pendapat Onsager (1916). Hal tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa kepadatan populasi hama sebesar m1 itu cukup rendah sehingga tidak memungkinkan terjadinya kerusakan tanaman pada saat penarikan contoh berikutnya (Shepard 1980). Unit contoh berupa satu rumpun atau 2 tanaman. Ketentuan ini didasarkan atas pendapat Pieters dan Sterling (1914) bahwa unit contoh harus cukup kecil sehingga banyaknya individu yang diperoleh tidak lebih dari 5 ekor per unit contoh.
Berdasarkan model penarikan contoh beruntun, banyaknya contoh yang diambil pada stadia V6-V7, R1-R2, R3-R4, dan R5-R6, masing-masing minimal 7, 6, 6, dan 6 unit. Hasil penghitungan populasi dikategorikan menjadi: (1) yang harus dikendalikan karena populasi telah mencapai batas bahaya d2; (2) yang tidak perlu dikendalikan karena populasi belum mencapai batas aman d1; dan (3) yarg harus dilakukan penarikan contoh ulang karena populasi mencapai nilai antara d1 dan d2.
Peluang Pengambilan Keputusan Pengendalian
Keterandalan penarikan contoh beruntun sebagai alat pemantauan dan pengambilan keputusan pengendalian ulat grayak dijelaskan dengan kurva ciri operasi (operating characteristic). Kurva tersebut menggambarkan peluang suatu pengambilan keputusan pengendalian yang benar (Lp) untuk menerima hipotesis bahwa populasi hama tidak layak dikendalikan pada berbagai proporsi serangan atau tingkat kepadatan populasi hama p. Besarnya peluang tersebut ditentukan oleh rumus sebagai berikut (Morris 1954):
Kurva ciri operasi untuk ulat grayak instar III disajikan pada Gambar 13. Berdasarkan nilai α = β = 0,2, peluang 80% untuk tindakan pengendalian yang tidak layak terjadi pada saat kepadatan populasi ulat rata-rata per unit contoh pada stadia V6-V7, R1-R2, R3-R4, dan R5-R6, masing-masing 1,0; 1,6; 1,6, dan 3,1 ekor per rumpun, sedangkan peluang 20%, masing-masing 1,9; 3,2; 3,2, dan 6,2 ekor per rumpun. Demikian pula sebaliknya, peluang 80% untuk tindakan pengendalian yang layak pada keempat stadia tersebut, masing-masing 1,9; 3,2; 3,2, dan 6,2ekor per rumpun, sedangkan peluang 20%, masing-masing 1,0; 1,6; 1,6, dan 3,1 ekor per rumpun. Apabila kepadatan populasi ulat lebih besar dari itu, maka risiko kesalahamya kurang dari 0,2 sehingga peluang dibenarkannya pengambilan keputusan pengendalian lebih besar dari 80%.
Banyaknya Contoh Rata-rata
Banyaknya contoh yang dibutuhkan di dalam mengambil keputusan pengendalian pada berbagai kepadatan populasi hama ditentukan dengan kurva banyaknya contoh rata-rata (BCR) atau average sample number yang rumusnya sebagai berikut (Morris 1954):
h2 + (h1 – h2) L(p)
BCR = ------------------------
m - b
BCR ditentukan oleh nilai m atau p'. Pada saat p' = 0 dan p' = 1, BCR yang diambil bersifat minimum, sedangkan pada saat p' = 0,5, BCR yang diambil bersifat maksimum. BCR berkurang dengan meningkatnya α, β, atau interval antara h1 dan h2. Demikian pula sebaliknya (Onsager 1976).
BCR yang dibutuhkan untuk menentukan keputusan pengendalian pada berbagai kepadatan populasi ulat grayak instar III disajikan pada Gambar 14. Bagian kurva yang naik menunjukkan bahwa keputusan pengendalian hama tidak diinginkan, sedangkan bagian kurva yang menurun menunjukkan bahwa keputusan pengendalian hama diinginkan. Berdasarkan Gambar 14 tersebut, BCR yang dibutuhkan untuk dibenarkannya tindakan pengendalian pada stadia V6-V7, R1-R2, R3-R4, dan R5-R6, masing-masing 9,1; 8,3; 8,2, dan 7,6 unit. Penarikan contoh sebanyak itu terjadi pada saat kepadatan populasi ulat rata-rata pada keempat stadia tersebut, masing-masing 1,9; 3,2; 3,2, dan 6,2 ekor per rumpun. Semakin tinggi kepadatan populasi ulat rata-rata per unit contoh, semakin sedikit contoh yang diambil.
Efisiensi BCR ditentukan dengan cara membandingkannya dengan banyaknya contoh
tetap (BCT) atau (fixed sample number) yang rumusnya sebagai berikut:
BCR
Efisiensi BCR = (1 – -------) x 100%
BCT
Rumus BCT diturunkan oleh B. H. Priyanto (komunikasi pribadi) dari Neymann dan Pearson berdasarkan uji nisbah kemungkinan maksimum (maximum likelihood ratio test) untuk populasi yang menyebar secara mengelompok sebagai berikut:
(Ɵ2 √ kp2q2 – Ɵ1 √ kp1q1)2
BCT(α,β) = ---------------------------------
(m1 - m2)2
BCT(α,β) = banyaknya contoh tetap yang berkekuatan α dan β,
Ɵ2 dan Ɵ2 = nilai yang tergantung pada taraf uji α dan β.
Apabila penarikan contoh dengan metode BCR tersebut di atas dibandingkan dengan metode BCT, maka berdasarkan AE dan risiko kesalahan yang sama, terdapat penghematan banyaknya contoh yang diambil pada stadia V6-V7, R1-R2, R3-R4, dan R5-R6, sekitar 89%, sedangkan apabila dibandingkan dengan metode tetap menurut Ditlintan (1989), terdapat penghematan sekitar 45% (Tabel 9).
METODE PEMANTAUAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
PENGENDALIAN ULAT GRAYAK
Pemantauan populasi ulat grayak dilakukan pada tiap 0,1 ha lahan dengan cara penghitungan populasi secara langsung. Pada lahan tersebut ditentukan minimal 7 unit contoh secara acak berdasarkan garis diagonal lahan. Unit contoh berupa satu rumpun atau 2 tanaman.
Pemantauan populasi ulat grayak meliputi stadia kelompok telur, dan ulat instar I, II, dan III. Untuk memudahkan penghitungan karena populasi ulat instar I dan II relatif kecil sehingga sulit dihitung, dan dengan mempertimbangkan bahwa populasi ulat instar I belum memencar, sedangkan instar II mulai memencar, maka populasi ulat instar I dianggap sama dengan populasi kelompok telur, sedangkan populasi ulat instar II dianggap sama dengan populasi ulat iustar III. Di samping itu, banyaknya kelompok telur atau ulat instar I disetarakan dengan ulat imtar III dengan cara menentukan faktor perkalian. Faktor perkalian tersebut pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman bernilai 94,7 (Tabel 10). Jadi satu kelompok telur atau ulat instar I setara dengan 95 ekor ulat instar III.
Hasil pemantauan dicocokkan dengan model penarikan contoh beruntun, seperti yang disajikan pada Gambar 11 dan 12 yang diperjelas dengan Tabel 8. Hasil pencocokan memberikan tiga macam kategori keputusan pengendalian, yakni:
1. Apabila ditemukan populasi ulat yang berada di bawah batas aman, maka penarikan contoh dihentikan dan ulat grayak tidak perlu dikendalikan. Kegiatan pemantauan berikutnya dilakukan seminggu kemudian.
2. Apabila ditemukan populasi ulat yang berada di atas batas bahaya, maka penarikan contoh dihentikan dan ulat grayak harus segera dikendalikan. Tindakan pengendalian umumnya dilakukan dengan insektisida. Oleh karena itu, kegiatan pemantauan berikutnya dilakukan 2 minggu setelah aplikasi insektisida, mengingat masa efektif residu insektisida )ang umum digunakan, yakni monokrotofos, berlangsung selama seminggu (Arifin et al. 1986).
3. Apabila ditemukan populasi ulat yang berada di antara batas aman dan batas bahaya, maka penarikan contoh dihentikan, dan kegiatan pemantauan diulangi 3-4 hari kemudian. Apabila populasi ulat tetap berada di antara batas aman dan batas bahaya, atau apabila berada di bawah batas aman, maka diputuskan untuk tidak dikendalikan. Kegiatan pemantauan populasi berikutnya seperti kategori 1. Akan tetapi, apabila populasi ulat berada di atas batas bahaya, maka diputuskan untuk dikendalikan. Kegiatan pemantauan populasi berikutnya seperti kategori 2.
Model penarikan contoh beruntun populasi ulat grayak tersebut di atas ketepatannya relatif tinggi karena mengandung risiko kesalahan yang masih dalam batas yang ditoleransi, yakrii α = β = 0,2. Selain itu, sifat model tersebut sederhana sehingga mudah diterapkan sebagai pedoman bagi petani dalam melaksanakan kegiatan pemantauan dan pengambilan keputusan pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai di lahannya sendiri. Pedoman ini sifatnya lebih baik daripada pedoman yang selama ini berlaku yang sifatnya empiris, baik berdasarkan kepadatan populasi hama maupun tingkat kerusakan daun. Oleh karena itu pedoman ini layak dijadikan sebagai salah satu komponen dalam menyusun paket teknologi pengendalian ulat grayak pada tanaman kedelai.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai ambang ekonomi dan teknik penarikan contoh populasi ulat grayak pada tanaman kedelai, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. AE ulat grayak pada berbagai biaya pengendalian dan harga kedelai ditentukan dengan persamaan regresi berganda. Apabila biaya pengendalian pada stadia V6-V7, R1-R2, R3-R4, dan R5-R6, masing-masing diperkirakan Rp 29.000; Rp 37.000; Rp 43.500; dan Rp 43.500 per ha dan harga kedelai Rp 750 per kg, maka AE ulat grayak pada keempat stadia pertumbuhan tanaman tersebut, masing-masing 1,9; 3,2; 3,2; dan 6,2 ekor ulat instar III/rumpun.
2. Hubungan antara populasi ulat dan hasil panen kedelai dinyatakan dengan model regresi yang bersifat nonlinier asimptotik dengan kurva yang bertipe gabungan antara kompensasi, linier, dan desensitisasi. Tipe kompensasi terbentuk apabila tanaman pada stadia V6-V7, R1-R2, R3-R4, dan R5-R6, diinfestasi ulat, masing-masing kurang dari 1.9; 4,1; 3,1; dan 6,8 ekor per rumpun. Di atas kepadatan populasi tersebut, tanaman tidak mampu mengkompensasi kerusakan daun.
3. Kehilangan hasil panen akibat infestasi ulat grayak dapat ditentukan dengan model regresi yang bersifat nonlinier asimptotik. Laju kehilangan hasil tertinggi terjadi pada stadium V6-V7 kemudian diikuti oleh stadia R3-R4 dan R1-R2, dan yang terendah terjadi pada stadium R5-R6.
4. Pola sebaran kelompok telur bersifat acak sehingga metode penarikan contohnya adalah acak sederhana, sedangkan ulat muda (instar I-II) dan ulat sedang (instar III-IV) bersifat mengelompok sehingga metode penarikan contohnya adalah acak sepanjang garis diagonal lahan.
5. Pemantauan populasi ulat grayak diterapkan pada tiap 0,1 ha lahan dengan penghitungan populasi secara langsung dan unit contoh berupa satu rumpun tanaman. Banyaknya contoh yang diperiksa minimum 7 unit yang ditentukan secara acak sepanjang garis diagonal lahan. Model pengambilan keputusan pengendalian pada stadia V6-V7 adalah d = 1,3568 n ± 8,8807, pada stadia R1-R2 adalah d = 2,2314 n ± 13,3157, pada stadia R3-R4 adalah d = 2,2591 n ± 13,4564, dan pada stadia R5-R6 adalah d = 4,3188 ± 23,9014, di mana d = banyaknya ulat kumulatif, n = banyaknya contoh yang diperiksa, (-) = batas aman, populasi ulat tidak perlu dikendalikan, dan (+) = batas bahaya, populasi ulat harus dikendalikan.
6. Ketentuan mengenai metode pemantauan populasi berdasarkan AE dan teknik penarikan contoh populasi ulat grayak ini layak dijadikan pedoman dalam menerapkan PHT pada kedelai. Hal ini karena sifatnya sederhana sehingga mudah dipraktekkan, dan ketepatannya relatif tinggi dengan risiko kesalahan 0,2.
7. Metode pemantauan populasi ulat grayak ini perlu dikembangkan dengan mempertimbangkan keberadaan dan melimpahnya musuh alami. Kriteria populasi ulat yang layak dikendalikan (H1) adalah:
(H1 -M) > H0
M = 1 ∑ (Ki Pi Ci)
H1 = populasi ulat sehat (tidak terserang penyakit) yang dijumpai,
H0 = batas bahaya populasi ulat yang terdapat dalam model,
M = banyaknya ulat yang dimangsa predator,
I = interval pengamatan,
Ki = kemampuan predator i memangsa per hari,
Pi = banyaknya individu predator i,
Ci = efektivitas predator i.
DAFTAR PUSTAKA
Andow, D.A. and K. Kiritani. 1983. The economic injury level and the control threshold. Japan Pesticide Information. 43: 3-9.
Arifin, M. 1993. Ambang ekonomi dan teknik pengambilan contoh populasi ulat grayak, Spodoptera litura (F.) pada tanaman kedelai. Disertasi UGM.
Arifin, M., F. Djapri, dan I.M. Samudra. 1986. Kematian, perkembangan dan daya rusak ulat grayak Spodoptera litura (F.) akibat residu monokrotofos pada kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Puslitbangtan, Bogor. I (Palawija): 69-73.
Balittan Bogor. 1985. Laporan Tahunan Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor 1983- 1984. Balittan Bogor.
Bliss, C.I. and A.R.G. Owen. 1958. Negative binomial distribution with a common k. Biometrika. 45: 37-58.
Biro Pusat Statistik 1988. Survei pertanian: luas dan intensitas serangan jasad pengganggu padi dan palawija di Indonesia 1987. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan. 1989. Pedoman pengamatan dan pelaporan perlindungan tanaman pangan. Ditlintan, Jakata.
Djafar, Z.R. dan R.M. Saleh. 1983. Serangan hama pada tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) di Sumatera Selatan. Kongres Entomologi II. Jakarta, 24-26 Januari 1983.
Ferro, D.N., B.J. Morzuch, and D. Margolies. 1983. Crop loss assessment of the Colorado potato beetle (Coleoptera: Chrysomelirlae) on potatoes in Western Massachusetts. J. Econ. Entomol. 76: 349-56.
Hammond, R.B. and L.P. Pedigo. 1982. Determination of yield-loss relationship for two soybean defoliators by using simulated insect-defoliation techniques. J. Econ. Entomol. 75: 102-7.
Headley, J.C. 1975. The economics of pest management decisions by individual growers. Iowa State J. Res. 49: 623-8.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of plant crops in Indonesia. Revised by P.A. van der Laan. lchtiar Baru - van Hoeve, Jakarta.
Morris, R.F. 1954. A sequential sampling technique for spruce budworm egg surveys. Can. J. Zool. 33: 302-13.
Mumford, J.D. and G.A. Norton. 1984. Economics of decision making in pest management. Ann. Rev. Entomol. 29: 157-74.
Newsom, L.D., M. Kogan, F.D. Miner, R.L. Rabb, S.G. Turnipseed, and W.H. Whitcomb. 1980. General accomplishments toward better pest control in soybean, p. 51-97. In: C.B. Huffaker (ed.). New technology of pest control. John Wiley and Sons, New York.
Nishida, T. and T. Torii. 1970. A handbook of the field methods for research on rice stem-borers and their natural enemies. Burgass and Sons (Abingdon). IBP Handbook No. 14.
Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuwarso. 1988. An outline on soybean pests in Indonesia in faunistic aspects. Seminar Dec. 6, 1988. BORIF, Bogor.
Onsager, J.A. 1976. The rational of sequential sampling, with emphasis on its use in pest management. Tech. Bull. 1526, USDA.
Pedigo, L.P. and L.G. Higley. 1992.The economic injury level concept and environmental quality. American Entomologist. 38(1): 12-21.
Pedigo, L., S.H. Hutchins, and L.G Higley. 1986. Economic injury levels in theory and practice. Ann. Rev. Entomol. 31: 341-68.
Pieters, E.P. and W.L. Sterling. 1974. A sequential sampling plan for the cotton fleahopper, Pseudatomoscelis seriatus. Environ. Entomol. 3: 102-6.
Priyanto, B.H., J. Soejitno, H. Tjatur, dan Waluyo. 1992. Ambang ekonomi penggerek batang padi putih, Scirpophaga innotata (Walker). Prosiding Hasil Penelitian Pendukung PHT, Program Nasional PHT, Bappenas. Cisarua, 7-8 September 1992.
Rudd, W.G. 1980. Sequential estimation of soybean arthropod population densities, p. 94-104. In: M. Kogan and D.C. Herzog (eds.). Sampling methods in soybean entomology. Springer- Verlag, New York.
Rudd, W.G., W.G. Ruesink, L.D. Newsom, D.C. Herzog, R.L. Jensen, and N.F. Marsolan. 1980. The system approach to research and decision making for soybean pest control, p. 99- 122. In: D.B. Huffaker (ed.). New technology of pest control. John Wiley and Sons, New York.
Ruesink, W.G. 1980. Introduction to sampling theory, p. 61-78. In: M. Kogan and D.C. Herzog (eds.). Sampling methods in soybean entomology. Springer-Verlag, New York.
Shepard, B. M. 1980. Sequential sampling plans for soybean arthropods, p.79-93. In: M. Kogan ard D.C. Herzog (eds.). Sampling methods in soybean entomology. Springer-Verlag, New York.
Stern, V.M., R.F. Smith, R. van den Bosch, and K.S. Hagen. 1959. The integrated control concept. Hilgardia. 29: 81-101.
Stone, J.D. and L.P. Pedigo. 1972. Development and economic injury level of the green cloverworm on soybean in Iowa. J. Econ. Entomol. 65: 197-201.
Sumarno dan Harnoto. 1983. Kedelai dan cara bercocok tanamnya. Buletin Teknik 6. Puslitbangtan, Bogor.
Tengkano, W. and T. Sutarno. 1982. Influence of leaf attact at generative stage on yield of Orba soybean variety. Penelitian Pertanian. 2: 51-3.
Untung, K. 1992. Konsep dan strategi pengendalian hama terpadu. Simposium Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung. Sukamandi, 3-4 September 1992.
Waters, W.E. 1954. Sequential sampling in forest insect surveys. For. Sci. 1: 68-79.
Alhamdilillah Terimakasih Banyak Pak Arifin, teramat sangat membantu...
BalasHapus