Senin, 14 Februari 2011

56. Prospek Pengembangan Komersialisasi SlNPV sebagai Insektisida Mikrobia untuk Mengendalikan Hama Ulatgrayak pada Kedelai


Arifin, M. 1995. Prospek pengembangan komersialisasi SlNPV sebagai insektisida mikrobia untuk mengendalikan hama ulatgrayak pada kedelai. Panel Diskusi & Poster Ilmiah, Pekan Iptek Dewan Riset Nasional di Puspitek, Serpong, Jawa Barat, 26-28 November 1995. 10 p.

Muhammad Arifin
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan


ABSTRAK

Ulatgrayak merupakan salah satu hama penting pada kedelai. Musuh alaminya cukup banyak, salah satu di antaranya yang berpotensi tinggi adalah Spodoptera litura nudear-polyhedrosis virus (SlNPV). Sejak SlNPV ditemukan pada tahun 1985 di Lampung Tengah, penelitian untuk menjadikannya sebagai agensia pengendalian hayati terus dilakukan di Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman pangan, Bogor. Di dalam makalah ini disajikan rangkuman hasil-hasil penelitian tentang keefektifan, metode pembuatan insektisida mikrobia, dan penelitian lanjutan SlNPV. Berdasarkan hasil-hasil percobaan disimpulkan bahwa SlNPV memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan sebagai insektisida mikrobia. Pengembangannya dilakukan dengan tiga tahapan kegiatan, yaitu (a) pembiakan masal ulatgrayak, (b) perbanyakan dan standarisasi SlNPV, serta (c) pemformulasian SlNPV. Penelitian lanjutan sedang dan akan dilaksanakan dengan tiga pendekatan, yaitu (a) teknik produksi SlNPV penggandaan skala (scale up), (b) teknik pemformulasian dan pengemasan SlNPV dan (c) teknik adaptasi dan aplikasi SlNPV di lapang. Hasil penelitian tersebut merupakan landasan utama dalam pengembangan komersialisasi insektisida mikrobia SlNPV oleh pihak industri.
Kata Kunci: Kedelai; SlNPV; ulatgrayak

PENDAHULUAN

Salah satu serangga pemakan daun pada kedelai adalah ulatgrayak (Spodoptera litura). Serangga ini dicirikan oleh dua buah bintik hitam berbentuk bulan sabit pada tiap ruas badan, terutama ruas keempat dan kesepuluh, dan garis-garis samping dan punggung berwarna kuning yang membujur sepanjang badan. Di beberapa sentra produksi kedelai, seperti Karawang dan Brebes, serangga ini menduduki peringkat pertama dari sembilan jenis yang berstatus hama penting. Hal tersebut didasarkan atas seringnya serangga ini mengalami eksplosi.
Sampai saat ini pengendalian hama ulatgrayak masih mengandalkan insektisida kimiawi yang diaplikasikan secara berjadual 2 minggu sekali atau lebih, tanpa memperhatikan keadaan populasi hama di lapangan. Penggunaan insektisida kimiawi menjadi berlebihan sehingga seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan pendapatan. Cara tersebut dilakukan karena teknologi pengendalian ulatgrayak yang didasarkan atas konsep pengendalian hama terpadu (PHT) belum mantap sehingga belum dapat diterapkan oleh petani sepenuhnya.
Dalam mengendalikan ulatgrayak, penggunaan insektisida kimiawi bukanlah satu-satunya cara yang dianjurkan. Salah satu cara yang dikembangkan di banyak negara adalah dengan memanfaatkan sejenis virus patogen yang dikenal sebagai Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus (SlNPV). Virus ini berbentuk batang dan terdapat di dalam inclusion bodies yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak dan terdapat di dalam inti sel yang rentan dari serangga inang, seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis, dan matriks trakea (Tanada dan Kaya, 1993).
Proses infeksi SlNPV dimulai dari tertelannya polihedra bersaama pakan. Di dalam saluran pencernaan yang bersuasana alkalis, selubung polihedra larut sehingga membebaskan virus (virion). Virus kemudian menginfeksi sel-sel yang rentan. Dalam waktu 1-2 hari setelah polihedra tertelan, hemolimfa yang semula jernih berubah menjadi keruh karena banyak mengandung polihedra. Ulat tampak berminyak dan berwarna pucat-kemerahan, terutama pada bagian perut. Ulat cenderung merayap ke puncak tanaman kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan kaki semunya pada bagian tanaman. Integumen ulat yang mati mengalami lisis dan disintegrasi sehingga sangat rapuh. Apabila terkena tusukan, integumen menjadi robek dan dari dalam tubuh keluar hemolimfa yang mengandung banyak polihedra. Ulat muda mati dalam 2 hari, sedangkan ulat tua dalam 4-9 hari setelah polihedra tertelan (Ignoffo dan Couch, 1981).
SlNPV memiliki beberapa sifat yang menguntungkan untuk dijadikan agensia pengendali hama secara hayati, antara lain karena a) memiliki inang spesifik, terutama ulatgrayak dan beberapa jenis serangga Noctuidae lainnya, b) tidak mempengaruhi parasitoid dan predator, dan tidak membahayakan serangga bukan sasaran, manusia, dan lingkungan, c) dapat mengatasi masalah keresistensian ulatgrayak terhadap insektisida kimiawi, dan d) kompatibel dengan insektisida kimiawi, kecuali jenis methyl parathion. Di samping itu, SlNPV memiliki sifat yang merugikan, antara lain daya bunuhnya lambat dan peka terhadap sinar ultra-violet dengan panjang gelombang lebih dari 290 nm (ignoffo dan Couch, 1981; Starnes et al., 1993; Tanada dan Kaya, 1993).
SlNPV belum dimanfaatkan untuk mengendalikan ulatgrayak di Indonesia, meskipun telah diketahui potensinya cukup tinggi dan keberadaannya di lapang secara alamiah. Potensi SlNPV ditunjukkan oleh kemampuannya mematikan ulatgrayak instar III sebesar 90% pada konsentrasi 4 X 105 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml di laboratorium. Keberadaan SlNPV di lapang ditunjukkan oleh daerah sebarannya yang relatif luas, yaitu pada pertanaman kedelai di Lampung dan sepanjang Pulau Jawa (Arifin dan Waskito, 1986). Apabila sifat yang mengun-tungkan dapat dikembangkan, sifat yang merugikan dapat diatasi, dan teknologi pemanfaatannya diketahui, maka SlNPV berpeluang besar untuk dikembangkan sebagai insektisida mikrobia. Di masa depan, SlNPV diharapkan dapat menggantikan peran insektisida kimiawi sehingga kebergantungan cara pengendalian dengan menggunakan insektisida kimiawi dapat dikurangi.
Penelitian tentang pemanfaatan SlNPV untuk mengendalikan ulatgrayak pada kedelai mulai dilakukan di Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan (Balittrio) sejak tahun 1985 (Arifin dan Waskito, 1986). Makalah ini menyajikan rangkuman hasil-hasil penelitian tentang keefektifan, metode pembuatan insektisida mikrobia, dan penelitian lanjutan SlNPV.

HASIL-HASIL PENELITIAN KEEFEKTIFAN SlNPV

Patogenisitas SlNPV. Potensi SlNPV sebagai agensia pengendalian hayati ditentukan oleh tingkat patogenisitasnya terhadap ulatgrayak. Tingkat patogenisitas SlNPV tersebut ditunjukkan oleh nilai LC50 (= konsentrasi yang mematikan 50% populasi). Hasil percobaan laboratorium pada tahun 1985 menunjukkan bahwa LC50 untuk ulat instar III adalah 5,4 X 103 PlBs/ml (Arifin dan Waskito, 1986), LC50 untuk ulat muda (instar I-III) lebih rendah sehingga lebih rentan terhadap SlNPV daripada ulat tua (instar IV-V). Ulat instar I 100 kali lebih rentan daripada ulat instar V. Nilai LC50 tersebut di atas sama dengan yang dikemukakan oleh Okada (1977) di Jepang, yaitu 6 X 103 PIBs/ml, tetapi berbeda dengan hasil percobaab Hwang dan Ding (cit. Hussey dan Tinsley, 1981) di Cina, yaitu 2 X 105 PIBs/ml. Faktor penyebab perbedaan nilai LC50 tersebut tidak diketahui, mungkin karena perbedaan sifat strain SlNPV dan ulatgrayak.
Keefektifan SlNPV Tidak Berformulasi. Mengingat potensi SlNPV, keefektifan SlNPV terhadap ulatgrayak perlu diuji. Nilai keefektifan SlNPV ditentukan berdasarkan tingkat kematian ulat yang dibakukan dalam konsep PHT, yaitu antara 70-80% (Mumford dan Norton, 1984; Reynolds et al., 1975). Hasil percobaan di Banyuwangi pada tahun 1992 menunjukkan bahwa suspensi SlNPV dengan dosis 1,5 X 1012 PIBs/ha efektif terhadap ulatgrayak di laboratorium dengan tingkat kematian 73%, tetapi kurang efektif di lapang dengan tingkat kematian 33% (Arifin et al., 1993). Salah satu faktor penyebab kurang efektifnya SlNPV di lapang adalah sifatnya yang peka terhadap sinar surya. Hasil percobaan lapang oleh Okada (1977) menunjukkan bahwa suspensi SlNPV dengan dosis 1 X 1012 PIBs/ha yang diaplikasikan dengan menggunakan alat semprot ultra low volume (ULV) efektif terhadap ulatgrayak dengan tingkat kematian lebih dari 80%, sedangkan bila diaplikasikan dengan menggunakan alat semprot biasa kurang efektif dengan tingkat kematian kurang dari 70%. Bila dibandingkan dengan hasil percobaan lapang di Banyuwangi, pada dosis yang relatif sama, SlNPV di Jepang lebih efektif. Hal ini diduga karena perbedaan sifat strain. SlNPV dan kondisi lingkungan setempat.
Keefektifan SlNPV Berformulasi. Untuk mengatasi kurang efektifnya SlNPV, beberapa peneliti, antara lain Tanada dan Kaya (1993) mengemukakan perlunya SlNPV diformulasikan dengan bahan pembawa (carrier) dalam bentuk tepung (wettable powder) yang diperkaya dengan bahan pelindung sinar ultra-violet. Hal tersebut dimaksudkan agar SlNPV mampu mempertahankan sifat patogenisitas, stabilitas. dan persistensinya di lapang.
SlNPV telah berhasil diformulasikan dengan laktosum di Balitbio, Bogor dan telah diuji lapang di Karawang pada tahun 1994 (Arifin et al., 1995). Rangkuman hasil pengujian tersebut disajikan dalam Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa SlNPV berformulasi dengan dosis 150 g/ha (setara dengan 1,5 X 1011 PIBs/ha) yang diaplikasikan dua kali dalam selang seminggu, masing-masing dengan dosis 75 g/ha mampu menurunkan populasi ulat 88%, sedangkan insektisida monokrotofos dosis anjuran mampu menurunkan populasi ulat 27%. Perlakuan SlNPV tersebut dapat menurunkan tingkat kerusakan daun 21% dibandingkan dengan insektisida dan 26% dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan SlNPV dan insektisida); hasil panen meningkat 23% dibandingkan dengan insektisida dan 41% dibandingkan dengan kontrol; pendapatan meningkat 25% dibandingkan dengan insektisida dan 35% dibandingkan dengan kontrol.


Hasil percobaan sebelumnya di Banyuwangi (Arifin et al., 1993) menunjukkan bahwa SlNPV tidak berformulasi dengan dosis 1,5 X 1012 PIBs/ha hanya mampu menurunkan populasi ulat 33%. Apabila hasil percobaan tersebut dibandingkan dengan hasil percobaan di Karawang ini, nyatalah bahwa dengan dosis 1/10 kali lebih rendah, SlNPV berformulasi menunjukkan 2,5 kali lebih efektif. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengendalian ulatgrayak dengan menggunakan SlNPV berformulasi dengan dosis 150 g/ha yang diaplikasikan dua kali dalam selang seminggu, masing-masing dengan dosis 75 g/ha lebih efektif dan menguntungkan daripada pengendalian dengan menggunakan insektisida monokrotofos dosis anjuran.

PEMBUATAN INSEKTISIDA MIKROBA SlNPV

Ada tiga tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pembuatan insektisida mikrobia SlNPV, yaitu (a) pembiakan masal ulatgrayak, (b) perbanyakan dan standarisasi SlNPV, serta (c) pemformulasian SlNPV (Gambar 1).


Pembiakan Masal Ulatgrayak. Pembiakan masal ulatgrayak selain ditujukan untuk bahan penelitian, juga untuk memproduksi polihedra. Ulat hasil pembiakan di laboratorium atau hasil koleksi dari lapang dipelihara dengan pakan buatan menurut metode Okada dan Arifin (1982) hingga menjadi kepompong. Ngengat yang muncul dikawinkan dan dipelihara di dalam wadah yang bagian dalamnya dilapisi kertas filter untuk peletakan telur. Sebagai pakan ngengat, digunakan larutan madu 10%. Telur yang dihasilkan dipelihara hingga menetas menjadi ulat.
Perbanyakan dan Standarisasi SlNPV. Perbanyakan SlNPV dilakukan berdasarkan metode Okada dan Arifin (1982), sedangkan standarisasi SlNPV dilakukan berdasarkan metode Okada (1977). Ulat berumur seminggu diberi pakan buatan yang diolesi dengan suspensi polihedra pada konsentrasi lebih kurang 107 PIBs/ml. Setelah mati, ulat dikoleksi kemudian diekstraksi dengan menggunakan penyaring berukuran 100 mata jala (mesh). Suspensi polihedra kasar dimurnikan dengan menggunakan sentrifus dengan kecepatan 3500 putaran/menit selama 15 menit. Endapan yang dihasilkan dari beberapa kali pemurnian dijadikan suspensi polihedra stok dan disimpan di dalam almari es pada suhu 00 C. Suspensi polihedra stok (100) diencerkan dengan air suling secara berturut-turut sehingga diperoleh seri suspensi 10-1-10-5. Konsentrasi suspensi polihedra stok distandarisasi dengan menggunakan haemacytometer melalui penghitungan banyaknya PIBs/ml pada suspensi 10-5. Umumnya, konsentrasi suspensi polihedra stok lebih kurang 109 PIBs/ml, dan rata-rata seekor ulat instar VI mati terserang SlNPV mengandung 1 X 109 partikel polihedra.
Formulasi SlNPV. SlNPV diformulasikan dalam bentuk tepung untuk mempertahankan patogenisitasnya. Pemformulasian SlNPV dilakukan dengan cara sebagai berikut: 100 ml suspensi polihedra stok dengan konsentrasi 1 X 109 PIBs/ml dicampur dengan bahan pelindung sinar ultra violet dan tepung sebanyak 100 g sampai rata dan selanjutnya dikering-anginkan. Dengan cara tersebut, konsentrasi polihedra ditentukan sebesar 1 X 109 PIBs/g.

Produksi SlNPV secara Praktis. Petani dapat membuat insektisida mikrobia SlNPV secara praktis. Pertama-tama, petani harus diinformasikan bahwa dosis SlNPV efektif terhadap ulatgrayak adalah 1,5 X 1012 PIBs/ha (tanpa bahan formulasi dan bahan pelindung sinar ultraviolet), dan seekor ulat instar VI mati terinfeksi SlNPV mengandung 1 X 109 PIBs. Berdasarkan informasi tersebut, banyaknya ulat mati terinfeksi SlNPV yang dibutuhkan untuk mengendalikan ulatgrayak pada tanaman kedelai seluas 1 ha sebanyak (1,5 X 1012 PIBs/ha) / (1 X 109 PIBs/ekor) = 1.500 ekor/ha.
Ulat dikoleksi dan dipelihara sebagaimana halnya dengan pembiakan masal ulatgrayak oleh peneliti, tetapi dengan pakan alami (daun kedelai). Ulat (generasi berikutnya) berumur seminggu sebanyak 2.000 ekor diberi pakan alami yang telah diolesi dengan suspensi polihedra kasar. Suspensi dibuat dengan cara melumatkan seekor ulat instar VI yang mati terinfeksi SlNPV dengan beberapa tetes air. Ulat dipelihara hingga mati. Ulat instar VI sebanyak 1.500 ekor yang mati terinfeksi SlNPV dikoleksi kemudian dilumatkan dengan menambahkan 0,5 l air dan selanjutnya disaring dengan kain halus. Pelumatan dan penyaringan diulang 4 kali hingga diperoleh suspensi polihedra kasar sebanyak 2 l. Suspensi kasar ini diencerkan dengan menambahkan air hingga diperoleh suspensi cair sebanyak 500 l yang cukup untuk diaplikasikan ke tanaman kedelai seluas 1 ha. Agar aktivitas SlNPV dapat dipertahankan stabil, hasil pemprosesan bahan pada setiap tahapan harus disimpan di dalam almari es.


Biaya Produksi SlNPV. Total biaya produksi SlNPV untuk diaplikasikan ke pertanaman kedelai seluas 10 ha (dosis 1,5 X 1011 PlBs/ha) sebanyak Rp 153.000,-, belum termasuk promosi, distribusi, pajak, dan lain-lain (Tabel 2). Biaya produksi tersebut dapat diturunkan 24% melalui pos upah apabila produsen memiliki sentrifus yang berkapasitas lima kali kapasitas sentrifus yang digunakan di Batitbio, Bogor. Bila dibandingkan dengan harga insektisida monokrotofos Rp 300.000,-/10 ha (dosis 2 l/ha), biaya produksi SlNPV hampir dua kali lebih murah. Mengingat SlNPV lebih efektif daripada insektisida kimiawi dan produksinya murah, peluang bisnis untuk komersialisasi SlNPV sebagai insektisida mikrobia terbuka lebar.

PENELITIAN LANJUTAN SlNPV

Penelitian lanjutan sedang dan akan dilaksanakan dengan tiga pendekatan, yaitu (a) teknik produksi SlNPV penggandaan skala (scale up), (b) teknik pemformulasian dan pengemasan SlNPV, dan (c) teknik adaptasi dan aplikasi SlNPV di lapang. Apabila penelitian lanjutan tersebut terlaksana, maka hasil penelitiannya diharapkan dapat dijadikan landasan utama dalam pengembangan komersialisasi insektisida mikrobia SlNPV oleh pihak industri.
Teknik Produksi SlNPV Penggandaan Skala. Luaran yang diinginkan dengan kegiatan ini adalah (a) tersedianya insektisida mikrobia SlNPV yang cukup untuk penelitian pengembangan dan (b) prosedur kerja yang lebih efisien. Untuk itu perlu dilakukan usaha (a) mengadakan atau merekayasa sentrifus sehingga berkapasitas besar dan (b) menyempurnakan teknik produksi SlNPV, antara lain dengan mengefisienkan metode pembiakan masal ulatgrayak dan perbanyakan masal SlNPV.
Teknik Pemformulasian dan Pengemasan SlNPV. Luaran yang diinginkan dengan kegiatan ini adalah teknik pemformulasian dan pengemasan yang menghasilkan SlNPV dengan tingkat patogenisitas dan stabilitas yang tinggi. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan (a) menyempurnakan teknik pemformulasian SlNPV, antara lain dengan menguji patogenisitas SlNPV pada berbagai macam bahan pembawa dan (b) menyempurnakan teknik pengemasan dan penyimpanan SlNPV, antara lain dengan menguji stabilitas SlNPV pada berbagai macam bahan kemasan serta kondisi dan waktu penyimpanan.
Teknik Adaptasi dan Aplikasi SlNPV. Luaran yang diinginkan dengan kegiatan ini adalah teknik adaptasi dan aplikasi SlNPV yang memungkinkan SlNPV lebih efektif. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan (a) menguji patogenisitas SlNPV pada berbagai macam bahan pelindung sinar ultra-violet, (b) menentukan waktu aplikasi SlNPV, dan (c) menentukan umur residu efektif dan frekuensi aplikasi SlNPV.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa SlNPV memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan sebagai insektisida mikrobia. Upaya pengembangannya diarahkan kepada tercapainya teknik perbanyakan SlNPV yang efisien dan teknik aplikasi SlNPV yang efektif. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai (a) teknik produksi SlNPV penggandaan skala, (b) teknik pemformulasian dan pengemasan SlNPV, dan (c) teknik adaptasi dan aplikasi SlNPV di lapang. Hasil penelitian tersebut merupakan landasan utama dalam pengembangan komersialisasi insektisida mikrobia SlNPV oleh pihak industri.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Djoko Said Damardjati yang telah membantu dalam menyempurnakan tulisan ini.

PUSTAKA

1.   Arifin, M. dan W.I.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulatgrayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap nuclear polyhedrosis virus. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Puslitbangtan. Sukamandi, 16-18 Jan. 1986. 1 (Palawija): 74-78.
2.   Arifin, M., E. Soenarjo, B. Soegiarto, dan Subiyakto. 1993. Kemanjuran Spodoptera litura nuclear-polyhedrosis virus terhadap ulatgrayak, Spodoptera litura (F.) pada pertanaman kedelai. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1992 Balittan Malang. hal. 81-86.
3.   Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto, dan A. Alwi. 1995. Keefektifan dan kompatibilitas SlNPV dengan insektisida terhadap ulatgrayak pada kedelai. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi XI. Depok, 24-27 Juli 1995. 9 p.
4.   Hussey, N.W. and T.W. Tinsley. 1981. Impressions of insect pathology in The People's Republic of China, p. 785-795. In H.D. Burges (Ed.). Microbial control of pests and plant diseases 1970-1980. Academic Press, London.
5.   Ignoffo, C.M. and T.L. Conch. 1981. The nucleopolyhedrosis virus of Heliothis species as a microbial insecticide, p. 329-362. ln H.D. Burges (Ed.). Microbial control of pests and plant diseases 1970-1980. Academic Press, London.
6.   Mumford, J.D. and C.A. Norton. 1984. Economics of decision making in pest management. Ann. Rev. Entomol. 29: 157-174.
7.   Okada, M. 1977. Studies on the utilization and mass production of SlNPV for control of the tobacco cutworm, Spodoptera litura F. Rev. Pl. Protec. Res. 10: 102-128.
8.   Okada, M. and M. Arifin. 1982. Comparative rearing test of the common armyworm, Leucania separata Walker on artificial diet and host plants, and patogenicity of LsNPV to the common armyworm. Research Report of Japan-Indonesia Joint Agricultural Research Project. pp. 207-2I5.
9.   Reynolds, H.T., P.L. Adkisson, and R.F. Smith. 1975. Cotton insect pest management, p. 379-443. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). lntroduction to insect pest managenlent. John Wiley & Sons, New York.
10. Starnes, R.L., C.L. Liu, and P.C. Marrone. 1993. History, use, and future of microbial insecticides. American Entomologist. Summer: 83-91.
11. Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect pathology. Academic Press lnc., Toronto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar